Share

BAB 2 PERJANJIAN

Senja mengerjapkan mata, tidak percaya dengan ucapan pria di depannya yang barusan didengar. Keterkejutannya makin bertambah tatkala seorang karyawan kantor masuk ke ruangan dan meletakkan beberapa berkas di atas meja kerja pria tersebut. Karyawan perempuan itu menunduk sejenak.

“Rapat dimulai satu jam lagi, Pak,” ucapnya. “Klien juga sudah datang dan menunggu di ruangan.”

Asa mengangguk. “Berikan presentasi periklanan yang dibuat kemarin dahulu,” titahnya.

“Baik, Pak.” Karyawan itu keluar ruangan sekian detik kemudian.

Senja kembali menatap pria di depannya. Pria itu tersenyum dengan lesung pipit di pipinya yang membuat sisi lain diri Senja tidak memercayai jika yang ada di hadapannya saat ini adalah CEO dari salah satu perusahaan terbesar yang menaungi platform kepenulisan tempat naskahnya ditolak.

Gadis itu menggaruk tengkuk, lalu menunduk. “Maaf atas kelancangan saya kemarin, Pak. Saya benar-benar tidak tahu kalau—”

“Iya, tidak masalah,” potong Asa. “Jadi, apa yang membuat Anda menelepon saya kemarin?”

Senja meneguk saliva. Mendengar ucapan Asa yang informal padanya, membuat dirinya makin ketakutan dan dilanda stres yang luar biasa. “Um … ini soal penolakan naskah saya, Pak,” jawabnya.

“Naskah yang mana?” Asa yang semula menyandarkan bokong di tepi mejanya, lalu berdiri tegap seketika. Dia mengecek berkas di meja kerja, berharap menemukan sesuatu di sana.

Sementara itu, Senja lagi-lagi melongo. Dia tahu dan sadar jika pria itu kemarin tahu soal naskahnya, tetapi realita yang dihadapi Senja kini sangat berbanding terbalik dengan kemarin. “Anu ….”

“Anu?” Asa sontak mengangkat kedua alis.

“Ah, tidak, Pak, maksud saya, bukannya Bapak kemarin menjawab sendiri kalau Bapak sudah tahu soal naskah saya yang ditolak?”

“Hah?”

Tentu saja Asa mengingatnya. Dia sendiri mengatakan jika dirinya tahu soal naskah itu, meski sebenarnya dia tidak tahu apa-apa dan sibuk mengurusi perusahaan. Pria itu menggaruk tengkuk sejenak.

“Saya pikir, saya melupakan sesuatu,” ucapnya. “Tidak ada naskah yang masuk ke meja kerja saya sejak kemarin.”

Manik Senja melebar. Adrenalinnya seolah terpacu seketika usai mendengar ucapan pria tersebut. “Tapi, Pak, saya—”

“Itu benar, karena mungkin naskah Anda langsung saya buang begitu saja kemarin.” Asa menggumam, bahkan tanpa menatap Senja detik ini. Dia tahu jika gadis itu kesal sekarang. Semuanya dapat terbaca dengan baik meski hanya melalui satu lirikan matanya saja.

“Pak?”

“Iya.”

Asa menoleh, menatap Senja dengan satu alis terangkat. “Saya tahu ada banyak naskah yang ditolak kemarin, tapi ….” Dia menggantung ucapannya. Jelas sekali gadis di hadapannya menunggu kelanjutan kalimatnya. “Mungkin saya bisa membantu Anda lolos kontrak dan dibayar dengan harga yang pantas.”

Seketika mata Senja berbinar-binar. Raut wajahnya langsung berubah begitu saja mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Asa. “Serius, Pak?”

Pria berambut hitam itu mengangguk. Entah kenapa, dia tertarik pada gadis itu. Bukan karena kecantikannya, melainkan dari suatu hal yang membuat Asa mengenang masa lalunya. Seolah ada keterikatan, Asa ingin sekali mengenal gadis tersebut.

“Iya, saya serius,” jawab pria berlesung pipit itu.

“Wah! Jadi, bagaimana, Pak, caranya?”

Ceruk manis terukir dari sudut bibir Asa. “Ada tiga syarat,” timpalnya. Senja menatapnya antusias. “Pertama, saya ingin Anda menjadi asisten pribadi saya.”

Senja mengangguk. Di pikirannya sudah terbentuk sebuah rumus dan rencana jika keputusannya kali ini adalah yang terbaik dan tentu membawa manifestasi dalam hidupnya.

“Kedua, kalau Anda berminat menjadi—”

“Saya minat kok, Pak,” potong gadis itu cepat. “Minat sekali!”

Asa tersenyum tipis. “Kalau begitu, Anda harus tinggal bersama saya.”

Kalimat itu lantas membuat Senja mengernyit. “Maksud Bapak?”

“Iya, saya tidak mau Anda terlambat atau apa pun itu,” alibi Asa. “Jadi, ini untuk mempermudah memantau kinerja Anda dan juga karena Anda masih baru di sini.”

“Owh, begitu.” Tidak ada yang Senja pikirkan kali ini. Ucapan pria itu benar, menurutnya.

“Dan yang ketiga ….” Lagi-lagi Asa menggantung ucapannya. Dia menatap Senja amat lekat. “Jadilah istri saya.”

***

“Apa? Istri?” Senja memelotot pada pria di depannya. Mana mungkin?

Jangankan menikah, sejak dulu Senja hanya memikirkan tentang uang, uang, dan uang. Seperti yang didoktrin oleh keluarga besarnya sejak dirinya dilahirkan. Gadis itu tidak pernah sekali pun memikirkan tentang pernikahan, apalagi menjadi istri dari seorang CEO.

“Iya, benar. Kenapa?”

Senja meneguk liur. Dirinya dilanda dilemma berat. Satu tangannya memijat pelipis. “Saya—”

“Anda menolak? Ya sudah—”

“Eh, tidak! Bukan begitu, Pak!”

Asa menatap gadis itu, menunggu responsnya. Setidaknya, tiga syarat itu sudah bisa mendekatkan mereka berdua. Asa tidak punya cara lain selain membuat gadis itu menjadi istrinya.

“Saya bisa memberi Anda jaminan yang tidak pernah Anda dapatkan sebelumnya,” ucap CEO muda itu kemudian.

Senja menghela napas. Sepertinya, Asa tahu alasan dirinya kemari. Apalagi selain mencari uang? Jelas sekali terlihat dari cara dia merespons setiap ucapan pria itu sejak tadi.

“Jadi, jaminan apa yang Anda berikan kepada saya nantinya?” tanyanya.

Asa tersenyum. “Rumah, uang, kedamaian, dan … kebebasan.”

Lagi-lagi saliva Senja meluncur melewati kerongkongannya yang tercekat. Empat hal itulah yang memang diinginkan oleh Senja Anindita selama ini. Kerangkeng keluarga membuatnya bermimpi tentang kebebasan serta kedamaian di luar sana.

Sekian menit menunggu, akhirnya gadis itu mengangguk. Namun, pria itu justru mengangkat tangan dan kembali ke kursinya. Senja masih memandang langkah pria yang mengenakan kemeja berwarna senada dengan blouse miliknya itu.

“Kita butuh kontrak dan saya belum membuatnya,” ucap Asa dengan wajah inosen.

Senja berdecak. “Lagipula, kita hanya bermain suami-istri, ‘kan? Maksud saya, kita tidak benar-benar ….”

Asa tahu maksud gadis itu. Senja belum ingin menikah dengannya dan tentu saja hal itu patut dimaklumi mengingat hari ini adalah pertemuan pertama mereka. Dia mengangguk menimpali, membuat gadis itu menarik napas lega.

“Tapi ….” Ucapan Asa menarik atensi Senja kembali. “Saya ingin Anda menuliskan kisah cinta yang tidak pernah saya baca sebelumnya di platform mana pun, termasuk di platform Kanagara Group.”

“Apa itu syarat bonus?” Senja memastikan.

“Ah, tidak, bukan,” timpal Asa. “Tuliskan kisah cinta itu, jalani tiga syaratnya, maka akan saya janjikan naskah Anda yang ini lolos tanpa proses seleksi.”

Senja menyentuh dagu, mencermati setiap perkataan Asa. Pria itu memintanya untuk menuliskan kisah romansa baru. Sisi lainnya menyetujui hal ini meski bertentangan dengan diri sejatinya yang menolak segala aturan. Namun, dia sangat membutuhkan uang itu sekarang dan jika dirinya menolak, maka sudah habis kesempatan yang diberikan Sang Maha Kuasa kepadanya.

“Baiklah kalau begitu,” ucap gadis itu sekian menit kemudian.

Asa menangkupkan kedua tangannya di atas meja. Manik cokelatnya berkilat menatap gadis di seberang meja. Senyum tipis terukir di sudut bibirnya, menampakkan sedikit lesung pipit yang tersembunyi anggun di sana.

“Besok datanglah kemari lagi,” perintahnya. “Akan saya berikan surat kontrak untuk kita tandatangani.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status