Bab 4
Aku tahu jika bayiku memang harus dirawat di ruang anak karena menderita infeksi. Aku tidak tahu itu penyakit apa, tapi menurut informasi yang kudapat, katanya darah merah dan darah putih di tubuh bayiku tidak stabil. Aku kurang paham juga apa maksudnya, tapi mereka meyakinkan jika bayiku akan baik-baik saja. Lalu kenapa sekarang bayiku malah berpulang? Bahkan sebelumnya tidak ada informasi jika bayiku dalam keadaan kritis. "Anakku...." Aku memeluk putraku dengan perasaan hancur. Matanya sudah terpejam. Tubuh mungilnya begitu dingin. Sebelum ini, aku bahkan belum sempat menatap wajahnya karena bayiku langsung dibawa ke ruangan NICU setelah dikeluarkan dari perutku. Kenapa takdir begitu kejam? Aku hanya sempat mendengarkan tangis pertamanya, tapi kenapa keesokan harinya aku hanya bisa memeluk jasadnya saja? Tuhan, aku sudah nggak peduli jika harus kehilangan suami dan semua kasih sayangnya, tapi aku nggak bisa kehilangan anakku juga. Kenapa tidak sekalian saja Kau ambil nyawaku?! Aku meraung tanpa henti sembari memeluk erat tubuh mungil yang sudah dingin itu. "Sudahlah, Bu. Semua sudah takdir," ucap perawat perempuan itu menghiburku. "Tapi takdir ini begitu kejam. Aku nggak sanggup!" "Ibu pasti sanggup. Bukannya Ibu sudah mengalami banyak hal selama mengandung dan melahirkan Adek?" "Aku bisa menerima cobaan apapun, tapi bukan kehilangan anakku!" Bahuku berguncang hebat. Aku tak sanggup, sungguh aku tak sanggup menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi, bagaimana mungkin aku bisa menolak takdir? Menangis darah sekalipun takkan bisa menghidupkan bayiku kembali. Aku pasrah pada nasibku. Pihak rumah sakit menanyakan soal keluargaku, tetapi aku hanya mampu menggeleng, bahkan akhirnya meminta para petugas rumah sakit untuk menyelenggarakan jenazah bayiku. Mereka yang memandikan dan memakamkan. Aku sendiri tidak bisa mengiringi sampai ke pemakaman, karena aku harus tetap menjalani proses pemulihan di ruangan perawatanku. Pihak rumah sakit tentu tidak mau ambil resiko jika seandainya terjadi apa-apa denganku lantaran terlalu banyak bergerak pasca operasi. Hanya ibu Sabrina yang mengiring prosesi bayiku sampai pemakaman, mewakili pihak keluarga. "Malangnya nasibmu, Nak. Apa kamu merasa kehadiranmu tidak akan diakui oleh Papa, sehingga kamu memilih pergi?!" Aku kembali meraung. Aku baru bisa pergi ke pemakaman bayiku setelah keluar dari rumah sakit keesokan harinya. Beruntung pihak rumah sakit bersedia memberikan keringanan, mungkin lantaran iba dengan nasibku. Aku cukup membayar sebesar 7 juta sesuai uang yang ada padaku saat ini, sementara sisanya boleh dicicil. Aku pun mendapatkan diskon, karena bayiku meninggal saat berada di rumah sakit. Di balik segala kesulitan pasti ada kemudahan. Namun itu takkan mampu mengurangi kesedihanku. Rasanya separuh jiwaku pergi bersama dengan kepergian bayiku yang kehadirannya sudah lama aku nantikan. Tak peduli papanya mengakui atau tidak, tetapi dia adalah buah hatiku, sebagian dari diriku. "Zaid, maafin Mama karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk kamu. Mama pun nggak bisa ngasih tahu soal kehadiranmu ke Papa, karena Papa kamu sudah membuang Mama. Mama takut Papa kamu nggak percaya jika kamu anak Papa. Papa kamu lebih mempercayai keluarganya sendiri, Nak." "Doain Mama ya, semoga Mama kuat. Doain Mama semoga Mama banyak rezeki biar nanti bisa beli kambing untuk aqiqah Zaid. Doain Mama ya, Sayang. Mama yakin suatu saat kita pasti akan bertemu kembali dengan keadaan yang lebih baik. Mama percaya kamu pasti melihat di atas sana gimana kondisi Mama saat ini. Percayalah... Mama hanyalah manusia biasa yang juga memiliki rasa sakit." "Mama nggak tahu gimana caranya melanjutkan hidup tanpa kehadiran kamu. Apa yang harus Mama lakukan, Sayang?" Aku memegang dadaku. Sepasang gunung kembar milikku itu terasa sangat keras dan itu sudah sejak kemarin. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menyusui putraku, jika sekarang saja jasadnya telah terbujur di dalam tanah? Air mataku kembali menitik tatkala menyadari cairan putih di dadaku itu mulai merembes. Bra yang kukenakan sudah basah oleh air susu. Ya Tuhan, bagaimana ini? Haruskah air susu yang Engkau ciptakan ini terbuang sia-sia? "Mbak Alifa?" sapa seorang laki-laki yang rupanya baru saja memasuki kompleks pemakaman ini dan kini berdiri tak jauh dariku. Pria muda bertubuh tinggi dan gagah. Pakaian yang dikenakannya pun sangat bagus, berbanding terbalik denganku yang hanya mengenakan gamis lusuh. "Iya, Mas." Aku mengangguk. "Apa ada yang bisa saya bantu?" "Ya, Mbak. Kalau Mbak Alifa tidak berkeberatan, saya ingin bicara," ujarnya sembari mengangguk. "Bicaralah, Mas." Aku berjalan mendekatinya. "Kenalkan, nama saya Atta. Saya adiknya dokter Aariz. Kita sudah bertemu saat Mbak Alifa berada di bagian administrasi tadi, bukan? Sekali lagi, saya turut berduka cita atas meninggalnya putra Mbak Alifa dan kami selaku pihak rumah sakit Ibu Dan Anak Hermina sangat menyesalkan kejadian ini." "Tak apa, Mas. Saya sudah pasrah. Mungkin memang ini yang terbaik untuk Zaid." Ya, setidaknya aku berpikir seperti itu untuk menghibur hatiku. Bukankah anak yang meninggal di saat mereka masih kecil itu akan menjadi tabungan orang tuanya? Bukankah anak-anak itu nantinya akan menunggu orang tuanya di pintu surga? "Saya berharap Mbak Alifa kuat," ucap pria itu terlihat bersungguh-sungguh. Pria itu membungkuk dan mengambil tas lusuh milikku, lalu memintaku untuk berjalan di sampingnya. Rupanya ada sebuah mobil yang sedang terparkir di samping komplek pemakaman ini. "Masuklah, Mbak. Kita akan bicara di tempat yang lebih baik dan nyaman." Dia membuka pintu mobilnya lebar-lebar, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya seolah memberi hormat. Aku menurut saja saat pria itu membawaku ke sebuah cafe yang terlihat agak sepi. Tak ada alasanku tidak percaya dengan pria itu. Dia terlihat sungguh-sungguh dan ramah. Tidak mungkin ia mencelakakanku, apalagi aku mengenalnya saat berada di rumah sakit tadi. Dia pula yang memerintahkan kepada petugas bagian administrasi untuk memberikan keringanan dan diskon sebagai bentuk dukungan dan ungkapan duka cita dari pihak rumah sakit. "Mohon maaf sekali jika saya lancang." Atta menangkupkan tangan di dadanya. Dia menatapku lurus. Namun aku merasa jika tatapannya malah berfokus kepada dadaku. "Dada Mbak sepertinya cukup keras. ASI-nya banyak, Mbak?" "ASI?" Sontak aku menatap dadaku. Ternyata bukan cuma bra yang basah, tapi juga kain baju di bagian dadaku pun basah, dan itu yang terlihat jelas oleh Atta. Aku pun mengangguk. "Sepertinya iya, Mas. Kalau stok asinya nggak melimpah, bagaimana mungkin kain baju saya di bagian dada bisa basah seperti ini? Maaf jika penampilan saya jadi nggak sopan." "Nggak masalah itu, Mbak. Namanya juga ibu menyusui." "Tapi yang disusui udah nggak ada," lirihku sambil menunduk. "Jika saya menawarkan kepada mbak Alifa untuk menyusui seorang bayi, apakah mbak Alifa bisa menerima?" "Menyusui bayi?" "Bener, Mbak. Saat ini ada seorang bayi yang sangat membutuhkan air susu. Namanya Gibran dan dia adalah keponakan saya yang juga baru lahir...." "Anak dokter Aariz?" tebakku asal. "Betul, Mbak." Pria itu tersenyum. "Kami tidak mungkin memberikan susu formula karena tidak ada satupun merk susu formula yang cocok untuknya. Dia hanya mau ASI, sementara...." "Ibunya ke mana, Mas?" tanyaku tak sabar. "Gibran dan ibunya, Winda dipisahkan paksa oleh kedua orang tua Winda. Keluarga kami dan keluarga istri Mas Aariz itu memang berkonflik sejak lama. Ceritanya panjang, Mbak. Nanti kapan-kapan aku akan bercerita soal mereka." Aku mengangguk. Cukup hanya sekedar itu. Tidak mungkin aku bertanya detail kepada Atta, karena rasanya tidak etis. "Saya turut prihatin, Mas." "Jadi bagaimana nih Mbak apakah Mbak bersedia menjadi ibu susunya keponakan saya?"Bab 199Tak ada rasa cemburu, apalagi sakit hati. Semua rasa itu begitu tawar. Alifah sudah sepenuhnya berdamai. Dia hanya ingin melanjutkan hidup dengan baik, menerima takdirnya sebagai istri dari Aariz El Fata, yang sudah memilihnya, meski di awal dia bukanlah pilihan. Setiap rumah tangga memiliki cobaan masing-masing. Seperti dia yang pernah dicintai oleh Keenan dan diratukan di awal-awal pernikahan mereka meski keluarga Kenan tidak menyukainya, tapi toh akhirnya mereka bercerai juga. Kekuatan cinta tidak lantas bersinergi dengan kekuatan takdir. Dia sudah mencoba bertahan dan berjuang, tapi ternyata dia akhirnya diusir dan diceraikan.Alifa memang tidak bisa melupakan semuanya, tapi setidaknya dia bisa mengelola rasa yang ada di dalam dirinya. Trauma memang masih ada. Namun semua itu akhirnya teratasi dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh suaminya yang sekarang, pria yang ia harapkan menjadi tempatnya merenda takdir di hari-hari selanjutnya sampai mereka menua dan kelak menutup m
Bab 198"Anak-anak ini memang sudah menikah, tapi saya bermaksud untuk melamar Sulis secara resmi kepada kamu. Ini memang terlambat dan nggak sesuai dengan aturan, tapi anak-anak ini...." Perempuan setengah baya itu menghela nafas. Andai tahu dari awal jika sebenarnya Wulan yang dimaksud oleh Sulis itu adalah sahabat masa kecilnya, tentu Wardah akan melakukan persiapan lebih detail.Wardah merasa sangat malu kepada sahabatnya. Dia memang hilang kontak dengan Wulan selama puluhan tahun, jadi tidak tahu jika Wulan memiliki seorang anak angkat. Sepanjang yang ia ketahui, Wulan memang tidak punya anak, karena ia divonis mandul. Ingin rasanya ia menjitak kepala Atta, atau menjewer telinga putra bungsunya ini. Namun sekali lagi, semuanya percuma. Nggak ada gunanya. Mereka sudah terlanjur menikah, dan mungkin sudah melewati malam pertama. Terlihat dari raut wajah Sulis yang sedikit pucat dan cara jalannya yang tidak normal."Iya, saya juga tidak tahu. Sulis baru menelpon pagi hari setelah m
Bab 197Dengan sekali gerakan, Atta menggendong Sulis menuju pembaringan. Beruntung rupanya ranjang di kamar itu berukuran king. Meski kamar ini ukurannya tidak terlalu besar, namun fasilitasnya cukup baik. Kamar ini pun cukup bersih, dan yang lebih menarik ternyata lagi-lagi salah satu bidang dinding dihiasi oleh wallpaper bermotif keroppi. Ada juga hiasan boneka gantungan kunci dan pernak-pernik dengan motif keroppi. Mungkin istrinya ini memang menyukai tokoh karakter kartun tersebut.Atta sama sekali tidak menyangka jika pusaka miliknya malah mengeras, mengeras dengan sangat sempurna layaknya pria normal pada umumnya. Padahal tujuannya pertama kali menyentuh Sulis adalah ingin melimpahi perempuan yang sudah mau menerima dirinya apa adanya ini dengan kasih sayang. Atta tidak tahu seperti apa bentuk perasaannya saat ini. Mereka baru dua kali bertemu dan sisanya hanya berhubungan lewat telepon seluler.Namun setiap kali bertemu dengan perempuan itu, setiap kali dia menghubungi Sulis
Bab 196"Kamu yakin?" Lirih sekali suara perempuan itu. Namun ia tetap mengangguk."Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Sulis. Apa kamu yakin bisa menerima kekuranganku ini? Bagaimana jika seandainya kekuranganku ini menjadi sesuatu yang permanen? Kita tidak bisa menjamin, kan? Bisa saja analisa kamu itu salah.""Aku yakin, Mas. Aku yakin sekali. Kamu pria yang istimewa. Sesuatu yang kamu anggap sebagai kekurangan itu sebenarnya adalah sebuah kelebihan yang tak bisa sembarang orang miliki. Percayalah. Kalau aku tidak memandangmu sebagai pria yang istimewa, tentu tidak akan ku tawarkan hal ini. Eh, aku seperti wanita murahan ya?""Aku nggak pernah menganggapmu seperti itu." Pria itu menarik tangan Sulis, lalu mengecup ujung jarinya setelah ia selesai menyematkan cincin di jari manis perempuan itu. Kini mereka sudah resmi bertunangan.Namun pertunangan ini hanya berlangsung beberapa jam, karena malam ini juga mereka sepakat memutuskan untuk menikah siri.Waktu menunjukkan pukul 10.
Bab 195"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak, tetapi saya sudah punya calon istri." Pria itu menjawab setelah ia berhasil menguasai dirinya. Atta tidak menyukai Shireen, apalagi Sheila. Pantang baginya kembali ataupun menjadi suami dari saudara kembar wanita yang pernah menyakiti hatinya.Atta tidak mau lagi terlibat secara pribadi dengan orang-orang toxic yang hanya ingin mereguk keuntungan untuk kepentingannya sendiri. Shireen memang terlihat lebih baik dari Sheila, tetapi baik saja tidak cukup bagi Atta. Dia hanya tak mau berurusan secara pribadi dengan keluarga Surya, apalagi dua anak tirinya."Sudah punya calon istri? Kenapa Mas Atta nggak pernah spek up ke publik? kenapa hanya Anindita yang diperkenalkan?' gugat pria itu. Dia gusar bercampur malu. Tadi dengan penuh percaya diri dia menawarkan Shireen, karena mengira Shireen sudah berhasil mendekati Atta.Surya lah yang meminta Shireen untuk menghadiri rapat waktu itu, padahal dia sebenarnya tidak sedang sibuk ataupun berhalangan.
Bab 194Menikah?Seketika pria itu membeku. Tawaran Sulis seolah mengunci pikirannya. Sangat tidak masuk akal seorang dokter kejiwaan menawari menikah kepada pasiennya.Seorang dokter tentu ingin agar pasiennya cepat sembuh, tetapi tidak begitu juga caranya. Apakah Sulis tak lebih dari tipe-tipe perempuan yang mengejar-ngejarnya selama ini? Apakah Sulis sengaja ingin memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkannya dengan alasan terapi?Ini masih merupakan teka teki. Tapi yang jelas, Atta sudah mantap menolaknya. Dia ke tempat praktek dokter Sulis bukan untuk menikah, tetapi berobat."Ini hanya sekedar penawaran ya, Mas. Saya juga nggak maksa dan saya minta maaf, karena saya lancang. Akan tetapi jika memang ini bisa membawa kebaikan bagi Mas Atta, saya nggak masalah kok. Tapi kalau memang Mas Atta punya kekasih dan siap untuk dinikahi, lebih baik Mas Atta menikahi kekasih Mas ketimbang saya yang baru dikenal hari ini." Tutur kata Sulis begitu lunak. Alih-alih merasa tersinggung, perempuan