Bab 5
Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui? "Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias. "Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung. "Ah iya, saya memang nggak sampai berpikir ke arah sana, Mbak. Sebenarnya saya memang lagi bingung untuk mencari ibu susu yang cocok untuk keponakan saya. Kebetulan tadi saya bertemu dengan Mbak saat Mbak akan menyelesaikan pembayaran," papar Atta. Dia menangkupkan tangan di dadanya. Pria itu terlihat menelan ludahnya tanpa mengalihkan atensinya kepadaku. "Tapi Mbak tenang saja, tidak perlu khawatir. Ini memang belum sepengetahuan Mas Aariz, tapi saya yakin beliau pasti akan senang jika ada wanita yang mau menyusui bayinya. Selama dua hari ini kami sudah mencoba beberapa merek susu formula bahkan yang soya sekalipun, tetapi nggak ada yang cocok. Gibran bahkan selalu menolak menyusu dot. Sepertinya memang hanya ASI yang cocok." "Mas terkesan perhatian sekali dengan keponakan." Aku memuji dengan senyum getir lantaran merasa sedikit iri. Adik dokter Aariz ini begitu perhatian dengan nasib keponakannya, sementara papanya Zaid malah tidak tahu sama sekali keberadaan bayinya yang bahkan sudah menghembuskan nafas terakhir kemarin. "Karena saya tidak mau melihat Mas Aariz terus bersedih. Dia sudah kehilangan istrinya, masa iya harus kehilangan anaknya pula? Jadi sedapat mungkin kami akan berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Gibran," ujar pria itu. "Gibran? Wah, nama yang bagus." Aku kembali mencoba untuk tersenyum dengan tatapan teralih pada dadaku. Aku meraba dadaku yang basah, sembari berpikir mungkin memang sudah jalannya. Bayi itu menginginkan sosok seorang ibu, sementara aku baru saja kehilangan anakku. Bukankah kami bisa saling melengkapi nantinya? "Baiklah, Mas. Saya bersedia. Mohon dipahami, di sini saya tidak dalam posisi menjual air susu saya, tetapi hanya membaginya kepada bayi yang membutuhkan," ujarku menegaskan. "Tentu saja. Saya percaya Mbak Alifa orangnya tulus dan ini adalah poin plus untuk Mbak Alifa. Mbak Alifa nanti tidak hanya sekedar menjadi ibu susu bagi keponakan saya, tetapi juga menjadi ibu asuhnya. Jadi Mbak Alifa akan tinggal bersama kami, dan mohon maaf harus resign dari pekerjaan Mbak selama ini, karena Mbak Alifa harus full menyusui dan mengasuh keponakan saya," pinta Atta. "Iya Mas, tidak apa-apa. Seandainya anak saya masih hidup pun saya juga akan resign dari pekerjaan saya. Saya sudah berencana memberinya ASI eksklusif...." Setelah menghabiskan minuman yang sudah kami pesan, Atta mengantarku kembali ke toko, sekalian berpamitan dengan ibu Sabrina dan juga mengambil barang-barangku yang tidak seberapa. Mataku basah kembali saat mengemasi barang-barang yang sedianya akan aku pakai untuk menyambut kelahiran bayiku. Aku sudah membeli perlengkapan untuk bayiku. Kasur lengkap dengan bantal dan guling, baju, celana, selimut, popok bayi, perlengkapan mandi, dan lainnya. Aku mengambilnya dari toko ibu Sabrina sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemampuanku untuk membayar. Terkadang aku membayarnya dengan jumlah komisi yang didapatkan setiap harinya. Semoga saja masih berguna untuk anak susuanku nanti, supaya benda-benda ini tidak mubazir. Meski aku sendiri juga ragu, karena mereka adalah orang berada. Barang-barang perlengkapan bayi ini bukan berasal dari merk terkenal dan mahal. Apakah mereka mengizinkan aku memakaikannya kepada bayi mereka? Meski merasakan hatiku ragu, aku tetap mengemasinya, lalu meminta kepada ibu Sabrina dan Atta untuk membawa barang-barang itu ke mobil. Aku sendiri masih tidak bisa mengangkat barang berat karena masih dalam proses pemulihan pasca operasi. "Seringlah main kemari, Nak. Ibu pasti akan selalu merindukanmu, apalagi kamu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri." "Tentu saja, Bu. Aku pun pasti selalu merindukan Ibu." Aku balas memeluk Ibu Sabrina, lalu mencium pipi kanan dan kiri beliau, lalu akhirnya berbalik dan masuk ke mobil. *** Aku termangu menatap bangunan tinggi dan besar di hadapanku. Ini bukanlah rumah, tetapi seperti istana kecil. Jadi di sinikah tempat tinggalku sekarang? Aku menghela nafas, berusaha menepis rasa rendah diri yang diam-diam menyergap. "Mari silahkan masuk," ujar pria itu. Dia memegang tanganku, lalu menarikku pelan dan kami akhirnya berjalan beriringan. Sementara barang-barangku dibawa oleh seorang pria yang memakai seragam petugas keamanan. Seorang perempuan tua menyambut. Terlihat dari penampilannya biasa saja. Namun aku bisa melihat jika pakaian yang dikenakan oleh perempuan tua itu bukan berasal dari brand murahan. "Kenalkan, ini Ibu saya. Namanya Wardah," ujar Atta setelah melepaskan genggaman tangannya. Aku berusaha untuk membungkuk dan mencium tangan perempuan itu. Namun seperti paham dengan kesulitanku, perempuan tua itu malah menarik tangannya sedikit ke atas, sehingga aku tidak perlu membungkuk hanya untuk menyalami punggung tangannya. "Saya Alifa, Bu. Mas Atta meminta saya untuk menjadi ibu susu bagi keponakannya." Aku menjabarkan keperluanku secara gamblang. "Iya, barusan Atta kirim pesan kepada Ibu. Jadi benar, kamu yang akan menjadi ibu susu cucu saya?" "Benar, Bu," sahutku agak sungkan karena ternyata perempuan tua itu meminta duduk di sisinya. Dengan ekor mataku aku memindai sekeliling ruangan. Ruangan tamu ini nampak begitu mewah, jauh lebih mewah dari rumahku dulu bersama dengan mas Keenan. Ah kenapa pula aku harus memikirkan pria itu lagi? Aku menghela nafas berat, lalu membalas tatapan bu Wardah. "Maaf jika penampilan saya kurang berkenan. Saya baru keluar dari rumah sakit, tadi nggak sengaja bertemu dengan Mas Atta saat berada di ruang administrasi dan di pemakaman putra saya...." "Anak kamu meninggal?" tanya perempuan tua itu sembari menatap gundukan di dadaku. Pakaian atasku yang basah pun tak luput dari pengamatannya. "Iya Bu, bayi saya meninggal sehari setelah dilahirkan. Ada infeksi di tubuhnya dan dia tak tertolong." Ibu Wardah terlihat mengangguk-angguk, lalu menatap putranya yang duduk berseberangan dengan kami. "Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Ma. Aku ketemu Mbak Alifa ini saat berada di bagian administrasi, lalu aku mengikutinya, dan ternyata dia berada di pemakaman." Pria itu mulai menjelaskan. "Jadi aku rasa nggak ada salahnya jika kita meminta Mbak Alifa untuk menyusui Gibran." "Ya, Mama mengerti. Tapi kita tunggu kakak kamu dulu. Tanpa persetujuannya, kita tidak bisa berbuat apa-apa." Ibunya mengingatkan. "Aku yakin Mas Aariz pasti setuju, Ma." "Iya. Tetap saja kita harus meminta izinnya." Perempuan tua itu bangkit dan memintaku untuk mengiringinya ke sebuah ruangan. Suara tangis bayi langsung menyambut saat aku memasuki ruangan itu. Sosok perempuan muda yang tengah menggendong bayi yang menangis kejar. Aku yang tidak tega memilih duduk di pembaringan dan meminta bayi itu untuk segera disusui. Tak sampai semenit, bayi itu langsung diam. Hanya suara kecipak dari mulut baby Gibran yang tengah menyusu terdengar, dan itu membuat ibu Wardah dan perempuan muda yang sepertinya merupakan baby sister itu tersenyum senang. "Alhamdulillah... Terima kasih, Mbak." Perempuan muda itu menghela nafas lega. "Sama-sama. Saya senang bisa menyusui bayi ini. Saya nggak menyangka jika ternyata air susu saya bisa berguna." Aku menunduk dan menatap wajah polos bayi itu. Jantungku berdetak lebih kencang saat menatap wajahnya. Entah kenapa aku merasa memiliki ikatan batin dengan bayi ini. Hanya dengan memangkunya sekali saja, aku sudah merasa sangat menyayanginya. Ah, mungkin karena aku memang ditakdirkan untuk menjadi ibu susunya. Aku akan menjalani peranku dengan senang hati. Aku berharap semoga dokter Aariz berkenan memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu susu bagi anaknya. Akhirnya bayi itu tertidur setelah kenyang menyusu. Baby sister yang bernama Naira itu meminta baby Gibran untuk ditidurkan di box bayi. Aku segera keluar kamar menyusul ibu Wardah yang lebih dulu keluar dari kamar ini setelah mendapati cucunya tenang bersamaku. Kuayunkan kakiku, melangkah perlahan menuju ke ruang tamu lantaran berpikir mungkin ibu Wardah berada di ruangan itu. "Kenapa kamu seceroboh itu Atta? Kenapa kamu nggak minta izin sama Mas saat membawa perempuan itu ke rumah kita?!" Suara dokter Aariz terdengar. Seketika aku menghentikan langkah dan merapatkan tubuh ke dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. "Ini juga dadakan sih Mas. Aku nggak tega lihat Gibran menangis terus. Sebenarnya tadi aku mau menyusul Mas ke Hermina, tapi aku melihat Mbak Alifa ada di bagian administrasi, jadi aku minta saja dia untuk menyusui Gibran, lagi pula dari petugas administrasi aku jadi tahu jika bayinya mbak Alifa itu baru saja meninggal...." "Tapi kita tidak bisa sembarangan menerima seorang perempuan untuk menyusui Gibran. Kita nggak tahu dia sehat atau enggak...." Aku yang tidak tahan lagi dengan perdebatan itu akhirnya memberanikan diri untuk menyusul dua lelaki yang tengah berdebat di teras rumah ini. "Mohon maaf... Mas Atta, Dokter Aariz, mohon maaf jika saya sudah lancang menyusui baby Gibran." Aku berjalan mendekati mereka dengan wajah tertunduk. "Mbak Alifa?!" Suara tertahan Atta. Tentunya dia kaget dengan keberadaanku di teras rumah ini, karena yang dia tahu jika aku tengah bersama dengan keponakannya di ruangan bayi. "Jika yang Dokter Aariz maksudkan adalah soal kesehatan, saya bersedia kok untuk diperiksa kesehatannya, termasuk kualitas dari ASI saya. Saya nggak akan tersinggung kok Mas, karena saya tahu setiap ayah pasti ingin memberikan yang terbaik untuk putranya, kan?!"Bab 6 "Mbak Alifa, maaf." Attalarich langsung menangkupkan tangan di dadanya sesaat setelah dia memutar tubuhnya menghadap kepadaku. "Tidak apa-apa, Mas Atta. Saya siap kok diperiksa kesehatannya jika memang itu menjadi syarat saya diterima menjadi ibu susunya Dek Gibran," ujarku tenang. Buat apa tersinggung? Apa yang diungkapkan oleh dokter Aariz itu nggak salah, apalagi dalam kapasitasnya dia sebagai tenaga kesehatan. "Bukan begitu maksud Mas Aariz. Seharusnya dia tidak perlu meminta untuk memeriksa Mbak Alifa. Bukankah dia yang menangani proses persalinan Mbak Alifa kemarin? Seharusnya tahu dong rekam mediknya Mbak," ujar Atta sembari menatap sang kakak. "Siapa bilang?" Wajah pria itu terlihat dingin. "Aku menangani pasien VVIP yang kebetulan kondisinya juga darurat, sementara Ibu Alifa ditangani oleh dokter Halimah," jelasnya. "Benar, Mas." Aku langsung mengangguk lantaran teringat penjelasan dokter Aariz waktu itu. "Saya memang ditangani oleh dokter Halimah, kar
Bab 7 Di dapur, Keenan membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Dia sudah biasa seperti ini sepeninggal Alifa. Dulu dia pernah menyuruh Eliana untuk membuatkan kopi untuknya, tetapi rasanya tidak pas. Akhirnya dia memilih membuat kopi sendiri. Keenan pun malas menyuruh istrinya untuk memasak, karena tahu Eliana tidak bisa memasak. Jangan sampai dapur ini seperti kapal pecah karena ulah Eliana. Untuk urusan memasak, Keenan lebih percaya kepada mbak Narti yang setiap hari datang ke rumah ini. Tugas mbak Narti adalah memasak dan mencuci pakaian, sementara urusan rumah dikerjakan oleh pak Amran yang merangkap sebagai tukang kebun dan bersih-bersih halaman. Keenan membuka lemari dapur dan kemudian mengeluarkan isinya. Makan malam sudah disiapkan oleh mbak Narti. Dia hanya tinggal makan saja. Keenan makan dengan lahap meskipun tentu saja masakan itu sudah dingin lantaran dia pulang larut malam. Namun Keenan tidak peduli, yang penting perutnya kenyang. Pria itu ha
Bab 8Entahlah. Keenan sendiri tidak bisa mendeskripsikan.Banyak hal yang terjadi setelah Alifa pergi. Keluarga besarnya rame-rame menjodohkannya dengan Eliana. Secara fisik Eliana cantik dan berpendidikan tinggi. Dia lulusan sebuah universitas ternama. Meski dia tidak menggunakan ijazahnya untuk bekerja, itu tak masalah bagi Keenan, karena masih bisa menafkahi Eliana, asalkan masih dalam taraf yang wajar.Namun setelah Eliana hamil, perempuan itu berubah. Dia seperti tidak Eliana yang dia kenal selama ini. Sikap lembut dan anggun itu hilang begitu saja. Ataukah jangan-jangan ini adalah kepribadian asli seorang Eliana?Namun Keenan tidak punya pilihan. Dia harus tetap bersama Eliana, karena ibunya sangat menyukai perempuan itu. Kelemahan Keenan ada pada ibunya. Untuk bisa bersama Alifa saja dulu Keenan harus bersusah payah meminta restu, meskipun pada akhirnya Alifa menodai cinta mereka."Cukup, El. Aku lelah dan ingin tidur. Sebaiknya kamu juga segera tidur. Tidak baik berkeliara
Bab 9Pria itu masih saja seperti yang dulu. Hanya saja kali ini Mas Keenan terlihat sedikit kurus. Selebihnya dia masih tetap menawan.Sontak aku memejamkan mata lalu menunduk.Apa-apaan ini?Setelah apa yang ia lakukan kepadaku, masihkah aku sudi mengagumi sosoknya?Pria itu sudah tidak memiliki ikatan apapun lagi denganku. Sebagai manusia biasa tentunya aku tidak pernah melupakan peristiwa saat aku diusirnya dari rumah, bahkan dia pun menghancurkan masa depanku dengan membakar semua surat berharga yang kumiliki termasuk ijazah dan kartu tanda pengenal.Aku bisa saja mengurus kembali ijazahku, sehingga aku bisa bekerja di tempat yang lebih layak, tetapi resikonya aku harus berhubungan dengan orang-orang yang ada di kota itu.Mereka pasti akan memberondongku dengan pertanyaan yang ujung-ujungnya hanya akan menyudutkanku sebab mana mungkin mereka akan mempercayai jika aku sebenarnya tidak pernah melakukan hal yang nista, mengingat banyaknya bukti yang disodorkan oleh kedua kakak pere
Bab 10"Jangan gila kamu, Mas! Berhenti atau aku lapor sama Mama!" Eliana hanya memberinya dua pilihan dan itu cukup untuk membuat Keenan berhenti dari tujuannya semula ingin menyusul Alifa yang dibawa oleh dokter Aariz.Begitu banyak pertanyaan yang tumbuh di benaknya. Ada hubungan apa Alifa dengan dokter Aariz? Keenan melihat dengan mata kepalanya sendiri, dokter Aariz menyerahkan seorang bayi kepada Alifa. Apakah itu bayi mereka? Keenan mencoba menghitung sejak Alifa pergi dari rumah. Ya, bisa saja itu merupakan bayi mereka, karena sekarang sudah lewat 9 bulan lebih. Tapi masalahnya, kapan mereka menikah?Iddah seorang wanita yang diceraikan adalah tiga kali suci, yang berarti itu setidaknya dua bulan lebih. Alifa tentu lebih paham soal agama, sedikit berbeda dengannya yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh agama dari keluarga. Tidak mungkin mereka menikah begitu ia menceraikan Alifa, bukan?Atau jangan-jangan sepasang insan itu kumpul kebo dan bayi itu adalah hasil ci
Bab 11Aku mengangguk. "Tentu saja, Dok. Saya akan patuhi semua aturan dari Dokter dan Mas Atta.""Baiklah, Alifa. Saya hanya bisa mengantar kamu sampai sini." Pria itu menyentuh tombol di pintu, lalu pintu itupun terbuka. "Silahkan masuk. Saya akan menghubungi Atta untuk memberitahu, supaya dia tidak perlu kaget jika melihat keberadaan kamu dan Gibran di apartemennya.""Apakah Mas Atta akan tinggal di sini?" tanyaku. Aku melongok ke dalam dan menyadari jika apartemen ini ukurannya tidak terlalu luas."Kadang-kadang. Terkadang dia masih menyukai tinggal di rumah utama, tapi tak jarang dia pun pulang ke apartemennya sendiri."Aku tidak lagi menanyakan apa-apa dan membiarkan dokter Aariz meninggalkan tempat itu setelah memberitahukan password pintu masuk apartemen ini.Kuhela nafas dalam-dalam sembari menyandarkan punggungku di sandaran sofa, menikmati geliat tubuh Gibran yang tampak gelisah. Aku mengeluarkan aset pribadiku dan mulai menyusui Gibran. Tidak ada perlengkapan bayi di apar
Bab 12Dibandingkan dengan dokter Aariz, Atta memang lebih hangat dan membuatku nyaman dari pertama kali bertemu. Pria itu pula yang pertama kali menawarkan untuk menyusui keponakannya.Aku mengangguk, lalu kembali menyuap nasi goreng yang terasa begitu lezat di lidahku. Atta pun begitu juga. Kami makan dengan sangat lahap karena memang belum makan apapun semenjak sore tadi. Aku bahkan sengaja nggak masak dan berjanji kepada Naira untuk membawakan makanan untuknya.Selesai makan, aku pun bangkit dari kursi dan berjalan menuju sisi cafe ini. Cafe ini didesain terbuka, jadi tinggi dindingnya hanya setengah badanku. Sementara bagian atas dibiarkan terbuka, sehingga terkesan tempat ini menyatu dengan alam. Aku menikmati pemandangan beberapa orang yang masih saja berlarian di bibir pantai sembari bermain pasir. Tampak begitu ceria dan bahagianya mereka.Aku menggigit bibirku. Getir sekali. Dulu aku seringkali dibawa mas Keenan menghabiskan waktu di pantai seperti ini.Ah, kenapa otakku ti
Bab 13Pengalaman indah?Ya, aku memang memiliki kenangan indah bersama dengan mas Keenan. Tapi itu dulu, sebelum orang-orang di dalam keluarga mas Keenan merencanakan makar untuk memisahkan kami."Aku tidak punya kriteria apapun. Yang penting dia pria yang baik. Sudah, itu saja.""Cuma itu?!" Atta tampak kaget. "Wanita secantik Mbak Alifa tidak punya kriteria tentang suami idaman?""Nggak, Mas." Aku tersenyum geli, merasa lucu dengan pertanyaan pria itu. Bukan cuma pertanyaannya, tetapi juga dengan gestur tubuhnya yang di mataku terlihat menggemaskan, mirip seorang pria yang ingin menembak seorang wanita saja. Namun aku segera menepis dugaan itu, karena tidak mungkin juga Mas Atta akan menembakku.Dibalik perhatiannya yang detil, Atta selalu bersikap sopan, menghormati, dan tidak pernah menggodaku, padahal ia tahu jika aku seorang janda.Namun pria itu balas tersenyum. Dia tak menanyakan apapun, tetapi malah bangkit dari sofa. Dia melangkah menuju kamar, lalu merebahkan Gibran denga
Bab 182"Kamu sudah nikah, Ta? Kenapa nggak kasih kabar sama aku sih?" rajuk perempuan itu. Dia melirik balita mungil yang tengah duduk di dekat Atta. Dita nampak asyik memainkan puzzle, walaupun tak karuan bentuk bangun yang sedang dia ciptakan.Atta dan Sheila duduk berhadapan, di batasi meja pendek. Mereka duduk lesehan di lantai. Saung yang mereka tempati memang agak jauh jaraknya dari saung lain yang ada di kebun ini, sehingga pembicaraan mereka tak mudah didengar oleh orang lain."Apa penting aku ngasih kabar sama kamu tentang apapun yang terjadi di dalam hidupku? Kenapa kamu begitu percaya diri? Apa kamu merasa sepenting itu dalam hidupku?" Pria itu berkata dengan nada meninggi.Pertemuan yang tak diduga ini membuatnya muak. Sheila, perempuan yang pernah mewarnai masa lalunya, cerita manis dan pahit sekaligus. Berawal manis dan berakhir dengan sangat pahit. Hinaan Sheila yang mengikis habis harga dirinya juga yang membuat Atta sampai saat ini tidak pernah mencoba untuk menjalin
Bab 181"Daripada dia tantrum, tambah repot lagi. Kasihan Maya. Mbak Alifa kan sibuk, lagi pula Mbak Alifa harus fokus dengan kandungan Mbak." Pria itu berucap dengan nada yang datar, nyaris tanpa ekspresi apapun. Dia mendekap Anindita dalam gendongannya. Tubuh mungil itu tampak damai dalam tidur, mungkin dia tengah bermimpi indah, sehingga tak perlu mendengarkan pembicaraan tiga orang dewasa yang tengah membahas dirinya."Ya udah, nggak apa-apa. Yang penting putri kamu itu baik-baik saja, Ta." Aariz menengahi. Dia sudah memprediksi bakal terjadi keributan jika meneruskan meladeni tingkah Atta. Pembicaraan ini sangat sensitif. Jangan sampai Atta dan Alifa merasa tidak enak hati, apalagi Alifa. Jangan sampai istrinya merasa bersalah karena merasa menomor duakan anak susuan yang merupakan putri angkat Atta itu.Sebenarnya Aariz tidak pernah membedakan anak-anaknya, hanya saja memang akhir-akhir ini sejak Anindita disapih, perhatian Alifa memang berkurang, karena lebih sering mengurung
Bab 180"Mas...." Alifa mendesah. Dia menggenggam tangan sang suami, lalu mengecup ujung jemari Aariz sekilas. "Kalau aku nggak bisa melahirkan anak laki-laki kayak Mama Wardah, apa Mas Aariz akan menceraikanku atau berpoligami?"Pertanyaan yang membuat Aariz seketika membeku. "Hei... Mas kenapa diam?" Alifa mengibaskan tangannya persis di depan mata sang suami."Apa Mas ingin menjawab jika di dalam keluarga El Fata, setiap generasi wajib memiliki anak laki-laki?" Alifa tentu saja berpikir karena Hasyim El Fata berasal dari negara timur tengah, sama seperti syekh Ishak yang garis keturunannya menginduk ke syekh Sulaiman Al-Qurthubi. Pertemuan singkat dengan Zara sedikit banyaknya mempengaruhi jalan pikiran Alifa saat ini.Soal anak. Dia tidak pernah berpikir jika ada keluarga yang begitu mengagungkan anak laki-laki, terutama bagi keluarga-keluarga yang garis keturunannya ditarik dari pihak laki-laki.Baru ia menyadari sekarang jika bukan tidak mungkin keluarga El Fata akan mengungki
Bab 179 Barulah Alifa maklum. Dia memang benar pernah mendengar tentang tokoh besar yang sangat terkenal di negeri ini. Dan ternyata suaminya Zara adalah salah satu keturunan dari tokoh itu. Keharusan memiliki anak laki-laki yang membuat pria itu memaksa istrinya untuk hamil lagi anak ke-4 dan berharap jika anak keempat adalah laki-laki, padahal kondisi rahim Zara sudah tidak memungkinkan. "Kita tidak bisa memaksakan takdir, Bu. Anak laki-laki atau anak perempuan mutlak ketentuan Tuhan." "Tapi masih ada jalan, kan? Setidaknya itu menurut versi mereka." Zara tersenyum kecut. "Setiap ikhtiar tentu diperbolehkan, tapi bukan berarti harus mengabaikan keselamatan nyawa istri sendiri." "Asal Ibu tahu, saat ini ada seorang perempuan yang berasal dari keturunan mereka siap untuk menjadi istri kedua suami saya." Mata perempuan itu mengerjap. Zara sudah tidak lagi menangis, bahkan ia menghapus sisa-sisa lembab di wajahnya dengan tisu yang disodorkan oleh Alifa. "Bagaimana jika wanita itu
Bab 178Keenan bukan pria yang pelit. Jika kepada keluarganya sendiri terkesan hitung-hitungan, dia hanya sekedar memberikan pelajaran. Mencari uang bukan hal yang gampang, dan dia bukan ATM berjalan.Meski ada beberapa orang yang bergantung hidup kepadanya, dan ia biayai selama ini. Dia sengaja membiarkan ibu dan kedua kakak perempuannya bertahan dengan uang bulanan pas-pasan, agar mereka mau belajar menghargai pemberiannya. Jangan mentang-mentang Keenan adalah anggota keluarga mereka, mereka bisa seenaknya.Itulah kenapa dia terlihat begitu royal dengan Alifa. Alifa diratukan saat menjadi istrinya, bahkan sebelum itu, karena Alifa itu perempuan yang tulus. Bukan cuma sekedar tulus, tapi dia juga berjuang untuk keberlangsungan perusahaan. Rasanya wajar jika Keenan memberikan timbal balik. Alifa tidak sekedar cuma bisa menadahkan tangan, tetapi dia berjuang dan terjun langsung mengurus perusahaan. Para karyawannya hafal betul siapa Alifa.Alifa berbeda dengan ibu dan kedua kakak pere
Bab 177"Yeah.... Yang mau ketemuan sama duda plus papanya anak asuh...." Maya mengerjap gemas melihat tingkah Naira yang kedapatan berkali-kali mengecek penampilannya di cermin yang ada di kamar anak-anak.Maya dan Naira memang tinggal sekamar dengan anak-anak, karena mereka full menjaga anak-anak itu. Gibran dan Anindita yang sedang aktif-aktifnya."Siapa bilang? Ikatan pada rambutku kendor nanti kalau lepas malah kelihatannya nggak rapi. Kamu kayak nggak tahu gimana aktifnya Gibran kalau sudah di luar ruangan," balas Naira. Gadis itu terlihat salah tingkah. Berkali-kali ia malah melirik arlojinya. Gibran sudah ia siapkan sejak pagi sekali. Dan seperti mendukung keinginan papa dan pengasuhnya untuk bertemu, ia sama sekali tidak rewel untuk dibangunkan. Mandi dan berpakaian rapi. Semua perlengkapan Gibran juga sudah siap. Naira pun sudah menyuapi Gibran untuk sarapan."Bentar lagi," gumam gadis itu tak sadar jika suaranya bisa didengarkan oleh Maya."Iya, sabar dikit kenapa sih?" go
Bab 176"Kasihan gimana? Memangnya kamu pikir Mas akan mempermainkan Naira?!"Setiap akhir pekan Naira rutin mendampingi Gibran untuk bertemu dengannya, berakhir dengan menginap di apartemen. Meski gadis itu sering terlihat tidak nyaman saat bersamanya, tetapi Keenan berhasil membuat suasana kembali mencair, sehingga tak ada kecanggungan yang kentara, apalagi saat mereka berada di hadapan ibunya Ina yang bernama Rima itu, bahkan perempuan setengah baya itu benar-benar mengira jika Naira adalah calon istri Keenan. Kebersamaannya dengan Gibran perlahan mulai menumbuhkan rasa keterikatan dalam diri bocah kecil itu. Meski sampai saat ini Keenan masih tetap mengajarkan kepada Gibran untuk memanggilnya Om, demi memenuhi janjinya kepada Alifa. Namun itu tidak mengurangi keakraban di antara mereka. Entah sampai kapan. Mungkin sampai putranya dewasa, barulah bisa mengerti alasan dibalik perpisahan kedua orang tuanya. Tapi meski begitu, Keenan juga tidak bisa menjamin apakah Gibran bisa mener
Bab 175Plak plak plak!Tiga tamparan keras cukup membuat tubuh Tanti terjengkang. Wanita paruh baya itu malah berguling-guling di lantai. Untung saja lantai ruang dilapisi oleh karpet tebal, sehingga tidak membuat Tanti menderita cedera otak."Mama!" pekik Winda. Perempuan itu berlari dan langsung meraih ibunya. Tak lupa dia menangkap kaki sang ayah, agar kaki itu urung mendaratkan tendangan di tubuh ibunya.Lelaki paruh baya itu langsung terjengkang, lantaran tidak memiliki kewaspadaan. Dia tidak menyangka jika Winda muncul dari dalam dan mencegah tindakannya.Kemunculan putrinya membuatnya melupakan keinginannya untuk menghajar Tanti barang sejenak.Winda membantu ibunya untuk bangkit, sehingga perempuan itu kini bisa duduk, meskipun kepalanya terasa berputar-putar. Dia memejamkan mata sejenak, lalu kembali menatap sang suami yang juga sudah kembali berdiri, sembari berkacak pinggang."Itu pelajaran bagi seorang wanita yang mau enaknya saja. Dari dulu aku sudah terlalu sabar mengha
Bab 174"Setidaknya beri mereka pelajaran. Bukan soal Mbak Winda, tapi juga keluarganya yang sejak dulu selalu merongrong keluarga ini." Alifa angkat bicara setelah mereka terdiam beberapa saat."Balasan setiap perbuatan adalah hal yang setimpal, tapi tidak mungkin juga kan kita balas dengan melakukan percobaan pembunuhan kepada Winda, misalnya," ujar Atta blak-blakan yang disambut pelototan mata oleh kakaknya.Bagaimanapun, Winda adalah mantan istrinya, orang yang pernah ia cintai setengah mati. Walaupun sedikit, masih tersisa rasa cinta kepada perempuan yang pernah singgah di hatinya dan pernah menjadi ibu dari mendiang putranya, Zaid. Dia masih merasa berat hati jika Winda harus berakhir di tangan keluarganya sendiri, walaupun Winda sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal dan baginya tidak bisa termaafkan."Atta," tegur ibunya."Nggak, Ma. Mana mungkin aku tega membunuh mantan ayang." Pria itu nyengir yang disambut tabokan keras oleh Aariz di bahu kirinya."Sudah, sudah, jangan