Bab 5
Aku terdiam dan balas menatap lurus pria itu. Kelihatannya dia memang bersungguh-sungguh ingin memintaku untuk menyusui keponakannya. Namun masalahnya, anak yang akan aku susui adalah anak dokter kandungan terbaik di kota ini. Mereka orang berada. Orang yang datang kepadaku ini pun adalah adik dokter Aariz. Dia hanya sekedar paman dari si bayi, bukan ayah si bayi. Memangnya ayahnya bayi itu bersedia jika anaknya aku susui? "Mbak tenang saja. Mbak pasti akan mendapat imbalan yang pantas, gaji bulanan dan bonus yang menggiurkan. Tinggal sebut berapa angkanya, insya Allah Mas Aariz maupun saya pasti akan memenuhinya," bujuk pria itu, mungkin karena melihat reaksiku yang tidak terlalu antusias. "Ini bukan soal bayaran, Mas. Saya tidak berada dalam posisi menjual air susu saya. Sejujurnya saya masih ragu, karena yang menawarkan ini adalah Mas Atta, bukan Dokter Aariz sendiri," ujarku hati-hati. Aku berusaha memilih kalimat sebaik mungkin supaya ia tidak tersinggung. "Ah iya, saya memang nggak sampai berpikir ke arah sana, Mbak. Sebenarnya saya memang lagi bingung untuk mencari ibu susu yang cocok untuk keponakan saya. Kebetulan tadi saya bertemu dengan Mbak saat Mbak akan menyelesaikan pembayaran," papar Atta. Dia menangkupkan tangan di dadanya. Pria itu terlihat menelan ludahnya tanpa mengalihkan atensinya kepadaku. "Tapi Mbak tenang saja, tidak perlu khawatir. Ini memang belum sepengetahuan Mas Aariz, tapi saya yakin beliau pasti akan senang jika ada wanita yang mau menyusui bayinya. Selama dua hari ini kami sudah mencoba beberapa merek susu formula bahkan yang soya sekalipun, tetapi nggak ada yang cocok. Gibran bahkan selalu menolak menyusu dot. Sepertinya memang hanya ASI yang cocok." "Mas terkesan perhatian sekali dengan keponakan." Aku memuji dengan senyum getir lantaran merasa sedikit iri. Adik dokter Aariz ini begitu perhatian dengan nasib keponakannya, sementara papanya Zaid malah tidak tahu sama sekali keberadaan bayinya yang bahkan sudah menghembuskan nafas terakhir kemarin. "Karena saya tidak mau melihat Mas Aariz terus bersedih. Dia sudah kehilangan istrinya, masa iya harus kehilangan anaknya pula? Jadi sedapat mungkin kami akan berusaha untuk memberikan yang terbaik kepada Gibran," ujar pria itu. "Gibran? Wah, nama yang bagus." Aku kembali mencoba untuk tersenyum dengan tatapan teralih pada dadaku. Aku meraba dadaku yang basah, sembari berpikir mungkin memang sudah jalannya. Bayi itu menginginkan sosok seorang ibu, sementara aku baru saja kehilangan anakku. Bukankah kami bisa saling melengkapi nantinya? "Baiklah, Mas. Saya bersedia. Mohon dipahami, di sini saya tidak dalam posisi menjual air susu saya, tetapi hanya membaginya kepada bayi yang membutuhkan," ujarku menegaskan. "Tentu saja. Saya percaya Mbak Alifa orangnya tulus dan ini adalah poin plus untuk Mbak Alifa. Mbak Alifa nanti tidak hanya sekedar menjadi ibu susu bagi keponakan saya, tetapi juga menjadi ibu asuhnya. Jadi Mbak Alifa akan tinggal bersama kami, dan mohon maaf harus resign dari pekerjaan Mbak selama ini, karena Mbak Alifa harus full menyusui dan mengasuh keponakan saya," pinta Atta. "Iya Mas, tidak apa-apa. Seandainya anak saya masih hidup pun saya juga akan resign dari pekerjaan saya. Saya sudah berencana memberinya ASI eksklusif...." Setelah menghabiskan minuman yang sudah kami pesan, Atta mengantarku kembali ke toko, sekalian berpamitan dengan ibu Sabrina dan juga mengambil barang-barangku yang tidak seberapa. Mataku basah kembali saat mengemasi barang-barang yang sedianya akan aku pakai untuk menyambut kelahiran bayiku. Aku sudah membeli perlengkapan untuk bayiku. Kasur lengkap dengan bantal dan guling, baju, celana, selimut, popok bayi, perlengkapan mandi, dan lainnya. Aku mengambilnya dari toko ibu Sabrina sedikit demi sedikit, sesuai dengan kemampuanku untuk membayar. Terkadang aku membayarnya dengan jumlah komisi yang didapatkan setiap harinya. Semoga saja masih berguna untuk anak susuanku nanti, supaya benda-benda ini tidak mubazir. Meski aku sendiri juga ragu, karena mereka adalah orang berada. Barang-barang perlengkapan bayi ini bukan berasal dari merk terkenal dan mahal. Apakah mereka mengizinkan aku memakaikannya kepada bayi mereka? Meski merasakan hatiku ragu, aku tetap mengemasinya, lalu meminta kepada ibu Sabrina dan Atta untuk membawa barang-barang itu ke mobil. Aku sendiri masih tidak bisa mengangkat barang berat karena masih dalam proses pemulihan pasca operasi. "Seringlah main kemari, Nak. Ibu pasti akan selalu merindukanmu, apalagi kamu sudah Ibu anggap seperti anak sendiri." "Tentu saja, Bu. Aku pun pasti selalu merindukan Ibu." Aku balas memeluk Ibu Sabrina, lalu mencium pipi kanan dan kiri beliau, lalu akhirnya berbalik dan masuk ke mobil. *** Aku termangu menatap bangunan tinggi dan besar di hadapanku. Ini bukanlah rumah, tetapi seperti istana kecil. Jadi di sinikah tempat tinggalku sekarang? Aku menghela nafas, berusaha menepis rasa rendah diri yang diam-diam menyergap. "Mari silahkan masuk," ujar pria itu. Dia memegang tanganku, lalu menarikku pelan dan kami akhirnya berjalan beriringan. Sementara barang-barangku dibawa oleh seorang pria yang memakai seragam petugas keamanan. Seorang perempuan tua menyambut. Terlihat dari penampilannya biasa saja. Namun aku bisa melihat jika pakaian yang dikenakan oleh perempuan tua itu bukan berasal dari brand murahan. "Kenalkan, ini Ibu saya. Namanya Wardah," ujar Atta setelah melepaskan genggaman tangannya. Aku berusaha untuk membungkuk dan mencium tangan perempuan itu. Namun seperti paham dengan kesulitanku, perempuan tua itu malah menarik tangannya sedikit ke atas, sehingga aku tidak perlu membungkuk hanya untuk menyalami punggung tangannya. "Saya Alifa, Bu. Mas Atta meminta saya untuk menjadi ibu susu bagi keponakannya." Aku menjabarkan keperluanku secara gamblang. "Iya, barusan Atta kirim pesan kepada Ibu. Jadi benar, kamu yang akan menjadi ibu susu cucu saya?" "Benar, Bu," sahutku agak sungkan karena ternyata perempuan tua itu meminta duduk di sisinya. Dengan ekor mataku aku memindai sekeliling ruangan. Ruangan tamu ini nampak begitu mewah, jauh lebih mewah dari rumahku dulu bersama dengan mas Keenan. Ah kenapa pula aku harus memikirkan pria itu lagi? Aku menghela nafas berat, lalu membalas tatapan bu Wardah. "Maaf jika penampilan saya kurang berkenan. Saya baru keluar dari rumah sakit, tadi nggak sengaja bertemu dengan Mas Atta saat berada di ruang administrasi dan di pemakaman putra saya...." "Anak kamu meninggal?" tanya perempuan tua itu sembari menatap gundukan di dadaku. Pakaian atasku yang basah pun tak luput dari pengamatannya. "Iya Bu, bayi saya meninggal sehari setelah dilahirkan. Ada infeksi di tubuhnya dan dia tak tertolong." Ibu Wardah terlihat mengangguk-angguk, lalu menatap putranya yang duduk berseberangan dengan kami. "Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, Ma. Aku ketemu Mbak Alifa ini saat berada di bagian administrasi, lalu aku mengikutinya, dan ternyata dia berada di pemakaman." Pria itu mulai menjelaskan. "Jadi aku rasa nggak ada salahnya jika kita meminta Mbak Alifa untuk menyusui Gibran." "Ya, Mama mengerti. Tapi kita tunggu kakak kamu dulu. Tanpa persetujuannya, kita tidak bisa berbuat apa-apa." Ibunya mengingatkan. "Aku yakin Mas Aariz pasti setuju, Ma." "Iya. Tetap saja kita harus meminta izinnya." Perempuan tua itu bangkit dan memintaku untuk mengiringinya ke sebuah ruangan. Suara tangis bayi langsung menyambut saat aku memasuki ruangan itu. Sosok perempuan muda yang tengah menggendong bayi yang menangis kejar. Aku yang tidak tega memilih duduk di pembaringan dan meminta bayi itu untuk segera disusui. Tak sampai semenit, bayi itu langsung diam. Hanya suara kecipak dari mulut baby Gibran yang tengah menyusu terdengar, dan itu membuat ibu Wardah dan perempuan muda yang sepertinya merupakan baby sister itu tersenyum senang. "Alhamdulillah... Terima kasih, Mbak." Perempuan muda itu menghela nafas lega. "Sama-sama. Saya senang bisa menyusui bayi ini. Saya nggak menyangka jika ternyata air susu saya bisa berguna." Aku menunduk dan menatap wajah polos bayi itu. Jantungku berdetak lebih kencang saat menatap wajahnya. Entah kenapa aku merasa memiliki ikatan batin dengan bayi ini. Hanya dengan memangkunya sekali saja, aku sudah merasa sangat menyayanginya. Ah, mungkin karena aku memang ditakdirkan untuk menjadi ibu susunya. Aku akan menjalani peranku dengan senang hati. Aku berharap semoga dokter Aariz berkenan memberikan kepercayaan kepadaku untuk menjadi ibu susu bagi anaknya. Akhirnya bayi itu tertidur setelah kenyang menyusu. Baby sister yang bernama Naira itu meminta baby Gibran untuk ditidurkan di box bayi. Aku segera keluar kamar menyusul ibu Wardah yang lebih dulu keluar dari kamar ini setelah mendapati cucunya tenang bersamaku. Kuayunkan kakiku, melangkah perlahan menuju ke ruang tamu lantaran berpikir mungkin ibu Wardah berada di ruangan itu. "Kenapa kamu seceroboh itu Atta? Kenapa kamu nggak minta izin sama Mas saat membawa perempuan itu ke rumah kita?!" Suara dokter Aariz terdengar. Seketika aku menghentikan langkah dan merapatkan tubuh ke dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. "Ini juga dadakan sih Mas. Aku nggak tega lihat Gibran menangis terus. Sebenarnya tadi aku mau menyusul Mas ke Hermina, tapi aku melihat Mbak Alifa ada di bagian administrasi, jadi aku minta saja dia untuk menyusui Gibran, lagi pula dari petugas administrasi aku jadi tahu jika bayinya mbak Alifa itu baru saja meninggal...." "Tapi kita tidak bisa sembarangan menerima seorang perempuan untuk menyusui Gibran. Kita nggak tahu dia sehat atau enggak...." Aku yang tidak tahan lagi dengan perdebatan itu akhirnya memberanikan diri untuk menyusul dua lelaki yang tengah berdebat di teras rumah ini. "Mohon maaf... Mas Atta, Dokter Aariz, mohon maaf jika saya sudah lancang menyusui baby Gibran." Aku berjalan mendekati mereka dengan wajah tertunduk. "Mbak Alifa?!" Suara tertahan Atta. Tentunya dia kaget dengan keberadaanku di teras rumah ini, karena yang dia tahu jika aku tengah bersama dengan keponakannya di ruangan bayi. "Jika yang Dokter Aariz maksudkan adalah soal kesehatan, saya bersedia kok untuk diperiksa kesehatannya, termasuk kualitas dari ASI saya. Saya nggak akan tersinggung kok Mas, karena saya tahu setiap ayah pasti ingin memberikan yang terbaik untuk putranya, kan?!"Bab 199Tak ada rasa cemburu, apalagi sakit hati. Semua rasa itu begitu tawar. Alifah sudah sepenuhnya berdamai. Dia hanya ingin melanjutkan hidup dengan baik, menerima takdirnya sebagai istri dari Aariz El Fata, yang sudah memilihnya, meski di awal dia bukanlah pilihan. Setiap rumah tangga memiliki cobaan masing-masing. Seperti dia yang pernah dicintai oleh Keenan dan diratukan di awal-awal pernikahan mereka meski keluarga Kenan tidak menyukainya, tapi toh akhirnya mereka bercerai juga. Kekuatan cinta tidak lantas bersinergi dengan kekuatan takdir. Dia sudah mencoba bertahan dan berjuang, tapi ternyata dia akhirnya diusir dan diceraikan.Alifa memang tidak bisa melupakan semuanya, tapi setidaknya dia bisa mengelola rasa yang ada di dalam dirinya. Trauma memang masih ada. Namun semua itu akhirnya teratasi dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh suaminya yang sekarang, pria yang ia harapkan menjadi tempatnya merenda takdir di hari-hari selanjutnya sampai mereka menua dan kelak menutup m
Bab 198"Anak-anak ini memang sudah menikah, tapi saya bermaksud untuk melamar Sulis secara resmi kepada kamu. Ini memang terlambat dan nggak sesuai dengan aturan, tapi anak-anak ini...." Perempuan setengah baya itu menghela nafas. Andai tahu dari awal jika sebenarnya Wulan yang dimaksud oleh Sulis itu adalah sahabat masa kecilnya, tentu Wardah akan melakukan persiapan lebih detail.Wardah merasa sangat malu kepada sahabatnya. Dia memang hilang kontak dengan Wulan selama puluhan tahun, jadi tidak tahu jika Wulan memiliki seorang anak angkat. Sepanjang yang ia ketahui, Wulan memang tidak punya anak, karena ia divonis mandul. Ingin rasanya ia menjitak kepala Atta, atau menjewer telinga putra bungsunya ini. Namun sekali lagi, semuanya percuma. Nggak ada gunanya. Mereka sudah terlanjur menikah, dan mungkin sudah melewati malam pertama. Terlihat dari raut wajah Sulis yang sedikit pucat dan cara jalannya yang tidak normal."Iya, saya juga tidak tahu. Sulis baru menelpon pagi hari setelah m
Bab 197Dengan sekali gerakan, Atta menggendong Sulis menuju pembaringan. Beruntung rupanya ranjang di kamar itu berukuran king. Meski kamar ini ukurannya tidak terlalu besar, namun fasilitasnya cukup baik. Kamar ini pun cukup bersih, dan yang lebih menarik ternyata lagi-lagi salah satu bidang dinding dihiasi oleh wallpaper bermotif keroppi. Ada juga hiasan boneka gantungan kunci dan pernak-pernik dengan motif keroppi. Mungkin istrinya ini memang menyukai tokoh karakter kartun tersebut.Atta sama sekali tidak menyangka jika pusaka miliknya malah mengeras, mengeras dengan sangat sempurna layaknya pria normal pada umumnya. Padahal tujuannya pertama kali menyentuh Sulis adalah ingin melimpahi perempuan yang sudah mau menerima dirinya apa adanya ini dengan kasih sayang. Atta tidak tahu seperti apa bentuk perasaannya saat ini. Mereka baru dua kali bertemu dan sisanya hanya berhubungan lewat telepon seluler.Namun setiap kali bertemu dengan perempuan itu, setiap kali dia menghubungi Sulis
Bab 196"Kamu yakin?" Lirih sekali suara perempuan itu. Namun ia tetap mengangguk."Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Sulis. Apa kamu yakin bisa menerima kekuranganku ini? Bagaimana jika seandainya kekuranganku ini menjadi sesuatu yang permanen? Kita tidak bisa menjamin, kan? Bisa saja analisa kamu itu salah.""Aku yakin, Mas. Aku yakin sekali. Kamu pria yang istimewa. Sesuatu yang kamu anggap sebagai kekurangan itu sebenarnya adalah sebuah kelebihan yang tak bisa sembarang orang miliki. Percayalah. Kalau aku tidak memandangmu sebagai pria yang istimewa, tentu tidak akan ku tawarkan hal ini. Eh, aku seperti wanita murahan ya?""Aku nggak pernah menganggapmu seperti itu." Pria itu menarik tangan Sulis, lalu mengecup ujung jarinya setelah ia selesai menyematkan cincin di jari manis perempuan itu. Kini mereka sudah resmi bertunangan.Namun pertunangan ini hanya berlangsung beberapa jam, karena malam ini juga mereka sepakat memutuskan untuk menikah siri.Waktu menunjukkan pukul 10.
Bab 195"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak, tetapi saya sudah punya calon istri." Pria itu menjawab setelah ia berhasil menguasai dirinya. Atta tidak menyukai Shireen, apalagi Sheila. Pantang baginya kembali ataupun menjadi suami dari saudara kembar wanita yang pernah menyakiti hatinya.Atta tidak mau lagi terlibat secara pribadi dengan orang-orang toxic yang hanya ingin mereguk keuntungan untuk kepentingannya sendiri. Shireen memang terlihat lebih baik dari Sheila, tetapi baik saja tidak cukup bagi Atta. Dia hanya tak mau berurusan secara pribadi dengan keluarga Surya, apalagi dua anak tirinya."Sudah punya calon istri? Kenapa Mas Atta nggak pernah spek up ke publik? kenapa hanya Anindita yang diperkenalkan?' gugat pria itu. Dia gusar bercampur malu. Tadi dengan penuh percaya diri dia menawarkan Shireen, karena mengira Shireen sudah berhasil mendekati Atta.Surya lah yang meminta Shireen untuk menghadiri rapat waktu itu, padahal dia sebenarnya tidak sedang sibuk ataupun berhalangan.
Bab 194Menikah?Seketika pria itu membeku. Tawaran Sulis seolah mengunci pikirannya. Sangat tidak masuk akal seorang dokter kejiwaan menawari menikah kepada pasiennya.Seorang dokter tentu ingin agar pasiennya cepat sembuh, tetapi tidak begitu juga caranya. Apakah Sulis tak lebih dari tipe-tipe perempuan yang mengejar-ngejarnya selama ini? Apakah Sulis sengaja ingin memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkannya dengan alasan terapi?Ini masih merupakan teka teki. Tapi yang jelas, Atta sudah mantap menolaknya. Dia ke tempat praktek dokter Sulis bukan untuk menikah, tetapi berobat."Ini hanya sekedar penawaran ya, Mas. Saya juga nggak maksa dan saya minta maaf, karena saya lancang. Akan tetapi jika memang ini bisa membawa kebaikan bagi Mas Atta, saya nggak masalah kok. Tapi kalau memang Mas Atta punya kekasih dan siap untuk dinikahi, lebih baik Mas Atta menikahi kekasih Mas ketimbang saya yang baru dikenal hari ini." Tutur kata Sulis begitu lunak. Alih-alih merasa tersinggung, perempuan