Share

Menyambut Kebebasan Baru

Ibu berhasil menidurkanku lagi di atas ranjang.

Malam itu, aku pun akhirnya terlelap dengan satu pelukan hangat yang hadir di sekujur tubuh.

Ya!

Ibu memeluk erat seperti malam-malam yang lain. Tetapi kali itu, ada yang sedikit berbeda.

Karena aku bisa merasakannya betul.

Dalam napasnya yang mendayu-dayu naik dan turun, sesekali, ada isaknya yang masih saja muncul.

Pikiranku selalu saja bertanya-tanya setiap kali isak itu terdengar.

Apakah kesedihan ibu itu, karena ulah ayah, kenakalanku, atau akibat penyesalan karena sudah melahirkanku.

Pikiran itu, selalu saja menghantui.

Aku lalu memeluk ibu dengan sama eratnya. Bahkan, dalam tidur yang semakin terlarut, aku sempat menggenggam baju kaos putihnya yang masih lembab karena derai air matanya.

Aku tidak mau kehilangannya. Dan aku tahu, ibu pun menginginkan hal yang serupa.

Bayang-bayang kisah itu sesekali muncul dalam lamunan. Tetapi aku tidak mengerti, kenapa kenangan itu masih saja hadir. Terutama jika aku, terjerembab dalam kesendirian.

“Berulah lagi. Hmm.. Ibu harus ngomong pakai bahasa apalagi ya sama kamu, Lukman. Mungkin memang sekolah ini bukan tempat yang cocok untuk mendidik kamu. Ada pertanyaan?”

Guru perempuan yang berkacamata dan bertampang sangar itu melotot persis di depanku. Kedua bola matanya yang benar-benar dibuat bulat, seperti hendak dilontarkan tepat ke wajah.

Aku hanya melengos membuang muka. Sebentar lagi, pasti dia akan menyindir dengan kalimat saktinya yang sama.

“Dasar… Sampah!! Tidak punya masa depan!!”

Betulkan?!

Aku tidak peduli lagi dia mau bicara apa. Bagiku sama saja. Semuanya, bangsat.

Sejenak aku melirik ke papan nama kecil yang bersanding di dada kirinya. Rohayati. Atau kalau boleh, aku menyebutnya si Wanita Iblis.

Wanita yang selalu saja membatasi kebebasan untuk mencari makna kehidupan. Wanita yang mempunyai tugas lain selain mengajar mata pelajaran Ekonomi yang tidak bermanfaat itu. Yaitu tugas sebagai orang yang sok mengatur semua anak yang katanya nakal dan tidak waras, agar kembali ke jalan yang benar.

Ah, bullshit!!

Seperti dirinya sudah benar saja. Kau atur saja dirimu sendiri, wahai perawan tua.

“Maksudmu apa menatap ibu seperti itu? Marah? Marah saja sama ulahmu sendiri. Malu kamu, sama orang tuamu!”

Ah, perawan tua. Kenapa kau bawa-bawa keluargaku dalam urusan ini?

Aku membuang wajah lagi. Seolah lebih mulia menatap lantai ruangan tempat dimana berkumpulnya guru-guru yang sok teladan, dibanding harus menatap wajahnya yang sudah sangat tidak menarik itu.

“Selamat siang.”

Suara datar tanpa emosi hadir dari balik pintu kayu. Ayah tiriku.

“Selamat siang, pak Ary. Silahkan.” Ibu guru lapuk itu mempersilahkan ayah untuk duduk di satu kursi kosong yang sengaja ia letakkan di situ sejak tadi, sejak aku ditariknya ke ruangan ini.

Ayah menatapku dengan tajam. Aku sempat melihat bola matanya yang bengis. Lalu aku buang wajah ini lagi ke arah lain.

“Boleh tahu kenapa, Bu Rohayati?” tanyanya sambil sesekali melirik ke arahku.

Aku yakin, nanti setibanya di rumah, dia akan melakukan hal yang sama seperti sebelum-sebelumnya.

Tetapi, apakah aku harus peduli? Kenapa juga? Toh, dia kan bukan ayahku. Kenapa harus bersusah payah mengatur anak yang bukan darah dagingnya sendiri? Lebih baik kau urus saja benih-benihmu yang tidak pernah berhasil bersemi, wahai ayah tiri.

“Lukman.” Guru Konseling itu menarik napas dan mencoba mencari kata yang tepat untuk memulai. Ayah menyimaknya dengan serius. Duduknya sejenak digeser-geser untuk mencari posisi yang nyaman.

“Dia berkelahi lagi. Dan kali ini bukan dengan sembarang orang. Bapak tahu siapa yang menjadi korban kebodohannya itu?” Dengan amat sinisnya dia menatapku. Bibir dan tenggorokannya bergerak-gerak seperti ingin menelanku bulat-bulat. Atau bahkan ingin memaki seperti di awal tadi.

“Bukan adik kelas, Pak. Atau siswa culun yang lebih pintar dari dia. Atau juga penjaga kios kantin atau penjaga sekolah. Bukan, bukan mereka. Tetapi Ini orang yang paling penting di sekolah ini.”

“Siapa?” tanya ayah penuh dengan kerutan dahi, namun aku tidak akan peduli dengan siapapun nama yang akan disebutkan oleh wanita tua itu.

“Bapak Alfredo Gultom. Sang Pemilik Sekolah dan Ketua Yayasan. Beliau sudah dibuat masuk ke UGD dan harus dirawat inap lantaran tulang rahangnya yang patah. Bukan hanya itu. Lukman, dengan polosnya sudah merusak mobil BMW beliau.”

Kembali maniknya memicing tajam ke arahku.

“Entah apa yang ada di dalam kepalanya untuk berpikir. Saya sampai sekarang masih bingung. Apakah isinya benar-benar otak, atau seonggok sampah.”

Aku melirik ke wajah ayah. Dan seperti yang sudah diduga, kedua bola matanya membelalak seperti mau dilempar.

“Kapan?”

“Tadi. Saat istirahat. Mohon maaf sebelumnya pak Ary, kalau saya harus memanggil bapak untuk datang lagi kemari. Tapi sepertinya hal ini sudah jauh dari batasan kebebasan yang berlaku di sekolah kami.”

“Maksud ibu, Lukman mau dikeluarkan?” Ayah menengok ke arahku. Wajahnya benar-benar mengamuk besar.

Aku sempat melihat ke tangan kanannya yang mengepal-ngepal tapi ditutupi dengan remasan tangan kirinya. Coba saja kalau sampai berani memainkan tangannya di sini. Bisa aku hajar balik, dia.

“Sepertinya harus, pak.”

“Tidak ada cara lain? Kesempatan lain?”

“Sepertinya sudah habis.”

Aku mengerti kalau sekolah ini adalah sekolah yang ke sepuluh yang ku jajaki di tahun ini, Tetapi, menurutmu, apakah aku peduli?

“Oke.”

Ayah menghentikan kalimatnya sebentar. Sepertinya dia mencari-cari cara untuk bisa mempertahankanku di sekolah ini. Lagi.

“Bisakah saya berbicara dengan Kepala Sekolah.”

“Mohon maaf, pak Ary. Kepala Sekolah sudah melimpahkan semua urusan dan keputusannya ke saya, pak,” tukas si Wanita Iblis ke wajah ayah yang ada di depannya persis.

“Oh, oke. Maaf kalau begitu. Tetapi, apakah saya, maksud saya, Lukman, masih diberi masa tenggang hingga saya berhasil mencarikan sekolah pengganti untuknya?” melas ayahku sopan.

“Pak Ary, mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pertanyaan bapak sudah pernah bapak utarakan sebulan lalu. Bahkan sejak… enam bulan yang lalu. Satu semester lalu. Dan sudah saya jawab boleh waktu itu. Hingga hari ini pak,” jawab guru itu sopan tetapi tajam.

“Jadi sudah tidak ada kesempatan?”

“Iya pak. Mohon maaf yang sebesar-besarnya.”

“Bisakah diberi waktu sedikit lagi, bu? Sepertinya akan sulit bagi saya untuk mencari sekolah lain di tengah-tengah tahun ajaran seperti ini.”

“Bapak mungkin bisa cari referensi atau informasi lain, pak. Terlebih dengan adanya internet. Sepertinya pencarian bapak akan sangat dibantu dan akan lebih mudah.”

Aku mengerti arah pembicaraan ayah. Bukan masalah pindah sekolah yang dia khawatirkan, melainkan pembiayaan yang terpaksa harus muncul agar sekolah baru mau menerimaku belajar di sana.

Tetapi sekali lagi. Aku tidak peduli.

“Baiklah bu. Jika itu adalah keputusan yang tepat.” Ayah menutup kalimatnya yang menyerah dengan satu hembusan napas yang panjang.

Tangan kanannya yang mengepal-ngepal sejak tadi, sudah kulihat lagi. Jari-jemari itu sudah ia lemaskan. Ternyata ayah sudah menyerah dengan kenakalanku.

“Terima kasih.”

“Sama-sama, pak Ary.”

“Ayo.”

Ayah segera bangkit.

Aku pun akhirnya, dengan kemalasan yang dibuat lebih berat, terpaksa ikutan bangkit bersamanya.

Kutarik tas selempang yang ku duduki sejak perbincangan kumuh ini dimulai. Kemudian ia dicantolkan ke satu bahuku.

“Ini! Jangan lupa.”

Bu Rohayati menyodorkan satu bungkus rokok filter yang kotaknya berwarna cokelat ke hadapan ayah. Tak lama, setelah ayah bertukar pandang dengannya, ia meraih bungkusan itu, lalu menyerahkannya kepadaku.

Netraku yang masih kesal segera melihat lagi ke kedua bola matanya yang menatap kosong seolah tidak punya harapan.

Dan lagi-lagi, seperti yang sudah-sudah. Aku, tidak peduli.

Ayah kemudian melangkah keluar, dan aku, mengikutinya dari belakang.

“Bebas!!” batin ini tersenyum puas.

Kutarik satu napas kebebasan dengan tarikan yang panjang sepanjang yang aku bisa.

Akhirnya aku bisa terbebas dari belenggu si Wanita Iblis itu. Tetapi, nanti, entah siapa lagi wanita iblis yang akan hadir di tempat yang baru, dengan maksud yang sama, namun berbeda rupa.

Dengan,

Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Nafi Thook
kasihan, dia jadi korban broken home
goodnovel comment avatar
Anna klinski
astaghfirullah pak bu.. kelakuan dia seperti itu karena broken home bukan nya ditanyain ada masalah apaan malahan main keluarin ae
goodnovel comment avatar
nana28
Gue kasihan sama masa kecilnya tapi gedenya nyebelin. Lebih nyebelin lagi gurunya. Setuju sama Lukman. ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status