“Ahh,” batinku tidak peduli.
Ayah terus bergerak bahkan sempat menunduk hormat sejenak ke satu penjaga gerbang sekolah yang masih setia ada di sana.
Namun aku, berjalan lurus tanpa perlu memikirkan pria yang mengenakan seragam monoton itu. Gayaku benar-benar seperti, jagoan.
“Memang aku jagoan. Kamu tidak percaya? Lihat saja nanti, setelah kau mengenal Brian, Agus, Toha dan beberapa barang yang berhasil kami nikmati dari jerih payah kami. Intinya, kami, The Freak Doors bangga dengan semua hal yang kami perbuat,” ucap dalam hati.
“Masuk!” titah ayah dengan dagunya. Dia lalu duduk di kursi pengemudi sambil menarik dan menutup pintu mobil tuanya yang sering mogok.
Aku berjalan berputar di depan kap mobilnya. Bagiku, tidak penting juga untuk memutar dari arah belakang atau dari depan mobil. Terserah apakah nanti dibilang tidak sopan atau anak yang tidak tahu diri. Terserahkan apa katamu.
Buatku, bukankah revolusi emansipasi terjadi untuk menepis kesenjangan seperti itu? Ketika tua dan muda, lelaki dan perempuan, sehat dan cacat, semua menjadi bernilai sama? Bukankah begitu? Menurutku sih, iya.
Aku membuat pintu sisi penumpang yang ada di sebelah ayah, kemudian aku tutup pintunya dengan agak membanting. Tetapi aku sampai bingung, kenapa ayah tetiba menoleh ke arahku sambil memasang muka masamnya lagi? Apa yang salah?
“Orang bodoh!!” celetuk batinku.
Ayah lalu memutar tuas anak kuncinya hingga mesin mobil itu mengerang-ngerang seperti kesakitan, yang kemudian membuat mesin mobilnya menyala dan menggetarkan kursi tempat duduk. Tak lama, ayah mulai memainkan pijakan kopling, rem dan gasnya, juga beberapa tuas yang sudah aku kuasai lebih baik darinya.
“Man,” ucapnya memulai dengan tatapan yang masih serius ke arah jalan.
Aku membuang ekor mata ke arah suara itu. Bagiku, saat ini, melihat pinggiran got yang seperti berombak-ombak di tepi jalan itu lebih menarik dibanding harus ikut menatap ke arah yang dia tuju.
“Ayah tahu, kamu pasti kecewa sama ayah.”
Aku sedikit menoleh ke arahnya. “Maksud ucapannya barusan, apa?” tanya dalam batin.
Aku menunggu kelanjutannya. Tetapi hingga sepuluh menit kemudian, kalimatnya seperti buntu.. Dia sepertinya lebih sibuk memperhatikan jalanan aspal yang terik. Dan aku pun kembali membuang wajah ke kiri.
“Tapi, mau apapun kondisinya. Perlu kamu tahu, Man. Bapak sayang sama kamu.”
“Ah… Omong kosong!!” pekikku dalam hati.
“Maaf kalau bapak sudah keras sama kamu. Bapak cuma tidak mau, kalau kamu menjadi orang yang,”
Ayah kembali diam, padahal aku sudah menoleh ke arahnya dengan tolehan yang lebih besar beberapa derajat dibanding tolehan yang tadi.
“Tidak bisa membahagiakan ibumu. Buat ibu, Man. Bukan buat bapak.”
“Baguslah kalau kau sudah sadar dengan posisimu, wahai ayah tiri,” imbuh batinku.
Setir mobilnya diputar ke kanan hingga mobil yang aku tumpangi itu membanting arah ke sisi kanannya, kemudian berputar sedikit, lalu lurus kembali.
Tak lama, percakapan kami menghilang.
Aku sempat menoleh lebih jauh ke wajah ayah. Ku lihat kedua bola matanya yang masih lurus fokus ke depan. Bibirnya terkatup kaku, juga, kulihat ada noda-noda kehitaman yang aman tampak di bawah kantung matanya.
“Hhhhh,” lirihku sambil sedikit memicingkan bibir ke arah lain.
“Terlalu banyak nonton bola. Atau terlalu sok sibuk mencari uang,” ucapku lagi di dalam hati.
“Kamu tahu. Usiamu berapa sekarang?”
“Ya, aku sangat tahu itu. Bahkan aku lebih tahu sudah lewat berapa hari, jam, menit dan detik sejak hari ulang tahun yang terakhir,” jawabku dalam hati.
Aku melirik lagi ke arahnya yang kembali diam sambil memutar kemudinya ke sisi kanan, hingga tubuhnya dan tubuh ini ikutan bergerak dibuatnya.
Ku palingkan lagi wajah ini ke arah lubang-lubang trotoar yang bergerak mundur dan sesekali ditutup pepohonan perdu.
Aku coba menggerakkan kedua bola mata sambil memikirkan, apakah nanti, aku akan mendapatkan sahabat baru yang lebih waras? Tetapi yang terpenting, apakah nanti semua guru di sana bisa dikatakan cukup waras?
Seharusnya demikian. Karena sepengetahuanku, aku lebih waras dibanding semua mantan guru-guru yang pernah ku lihat.
"Hhhhh…."
Satu napas lekas ku buang. Rasanya lama benar perjalanan pulang kali ini.
Tetiba aku melempar ekor bola mata ke kanan.
Segera saja ku pastikan, apakah kami berada di jalan yang benar?
"Ah… jalan yang benar. Jalan yang manakah? Setahuku, semua yang ku lalui sudah benar. Tetapi kenapa ayah tiri dan si guru tengil tadi mengatakannya tidak? Dimana salahnya?" Tanyaku membantin.
Mobil yang ku tumpangi ini, tanpa disadari, memperlambat gerak rodanya. Aku langsung memperbaiki tegak. Kemudian, ku luruskan pandangan yang ternyata sedang menyaksikan kemacetan di lampu merah.
Semuanya terhenti.
Kecuali para pengemis dan satu pengamen muda yang menyanyikan sebuah lagu, lalu ayah memotongnya dengan satu keping uang koin keperakan.
Aku sontak terkekeh kecil.
“Ada-ada saja. Masih muda sudah melanglang buana di tepian jalan raya. Mau jadi apa dia?” gumamku.
Lalu netraku sejenak melihat simbol OSIS berlatar kecokelatan yang menjadi identitas di saku seragam sekolah. Mungkin, logo itu akan menemani lagi setidaknya untuk setengah tahun ke depan.
Tetapi, apa peduliku?
Mau lulus hari ini, esok, nanti, atau mungkin diluluskan dengan tidak hormat, semua artinya sama saja.
Aku, adalah Lukman. Ya, aku Lukman. Lukman yang apa adanya. Beginilah aku.
"Man??.. kamu dengar apa yang ayah katakan?" tanya ayah tiba-tiba dengan nada suara yang lebih dinaikkan.
Dahiku mengernyit tidak mengerti.
"Hei… Kenapa dia menjadi sedikit beremosi? Bukankah dari tadi bibir ini sudah diam saja? Dimana salahnya?" gumamku.
Ayah tak lama membuang napas kecewanya.
Suaranya lebih berat dari yang sudah-sudah. Tetapi, apa peduliku?
DRRRRRRR..
Akhirnya mesin mobil tua itu dimatikan. Tepat di samping pagar rumah yang dihalangi pohon-pohon perdu, juga dua pohon tinggi yang daunnya sangat rindang.
Aku tak mengenal jenis pohon apa itu. Yang ku tahu pasti, dulu, ibu yang menanamnya bersamaku, yaitu tepat ketika kami mendapatkan pucuk benihnya di waktu aku berhasil menjuarai lomba sepeda hias di rumah baru ini.
"Hmmm…. Rumah baru," batinku terkekeh.
Walau waktu sudah berlalu hingga aku besar seperti sekarang, aku masih bisa mengingat dengan jelas semua kenangan itu.
Kenangan disaat aku dan ibu dibawa oleh lelaki yang baru saja membuka pintu mobilnya. Lalu dia memperkenalkan satu ruangan yang lengkap dengan segala pernik mobil-mobilan, yang kemudian membuat wajah luguku semringah bahagia.
Seseorang yang kemudian, dengan bangganya, ibu perkenalkan sebagai ayah untukku.
"Ah, ya… Rumah baru," ucap batin ini lagi saat melirik ke pagar temboknya yang sudah terkikis air hujan.
Kalau saja pohon yang kutanam itu tidak berhasil tumbuh merindang seperti sekarang, mungkin pagar itu sudah hancur lebih awal.
"Lihat ayah, aku bukan sampah seperti yang si Wanita Iblis itu simpulkan," ucapku lirih ke arah kepergiannya.
Ayah berlalu ke dalam rumah. Sepertinya dia ingin segera menyampaikan alasannya ke ibu karena tiba di rumah lebih awal. Biarlah, aku sudah tidak peduli.
Aku membuka pintu mobil. Lalu ku tutup dengan sedikit membanting. Bukan karena rasa kecewa yang muncul di hari ini, tapi lebih karena pintu mobil itu yang memang membutuhkan sentuhan ekstra untuk menutupnya kembali ke tempatnya.
Dalam berdiri yang disandarkan ke pintu itu, aku mulai,
Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.
Memandang pohon yang ada di hadapanku, yang lingkar batangnya sudah besar jauh melebihi lingkar pinggang.Bibir ini pun entah mengapa tersenyum kecil ke arahnya. Ku pikir, hanya dialah saksi bisu yang sangat mengerti sejak ia dibiarkan tumbuh di atas tanah itu.Setelah membuang napas yang lelah, aku segera menegak. Dan mencoba berjalan penuh santai ke arah pagar garasi rumah, kemudian membuka bagiannya yang sudah ayah buka lebih dulu.“Assalamualaikum,” salam dari bibir ini ketika melangkahkan kaki kanan lebih dulu.Aku benar-benar menyadari apa yang dilakukan barusan. Itu adalah salah satu buah pengajaran ibu yang disampaikan berulang-ulang, bahkan sejak aku masih tinggal di rumah yang dulu.“Ah, rumah itu,
Adalah Agus dan Toha, anggota The Freak Doors yang lain. Mereka sudah menunggu kami di atas dipan panjang yang berhimpit dengan tembok belakang pertokoan itu.Aku melihat dengan bangga grafiti yang dibuat tepat di dinding yang dihimpit oleh dipan yang sedang mereka tumpu. Sebuah lambang tulisan yang tegas dan berani dengan sepasang sayap yang sedang membawanya terbang.“Brader!!! Kemana aja lo?” tanya Agus sambil berdiri mendekat dengan telapak tangan kanan yang diangkat.Tak lama, aku sambut telapak itu dan kami mulai memainkan gerakan-gerakan unik yang menjadi identitas kami, yang ditutup dengan gerakan saling meninju.“Aseeemm!!... Sabar Bray, jaga emosinya dong,” keluh Agus yang merasakan kalau tonjokanku terlalu keras dari biasanya.
Dalam keheningan yang kami isi dengan canda gurau yang khas sebagai obrolan anak jalanan, dan sesekali sambil menyanyikan beberapa lagu usang secara acapela, dimana aku, beberapa kali berdecak kagum ke sisi Brian, sosok teman yang memiliki suara yang lebih normal dikala bernyanyi dibandingkan kami semua, aku merasakan, kalau diri ini, adalah aku yang sebenarnya.Tak ada gundah, terlebih bayang-bayang dari bekas sekolah.“Ah, lupakan!” pinta batinku sambil mendendang lagu lawas andalan kami."Eh, gue baru inget,” ucap Agus sambil segera bangkit dari duduk malasnya.Kami semua melirik ke arahnya.“Apaan?”“Ada tempat nongkrong yang baru buka. Tadi
Srrrrrrrrrrtt….Satu suara seret tiba-tiba muncul di samping kiri. Sontak langsung aku melirik ke arah itu melalui kaca spion yang ternyata,“Gila lo!!!” ucapku segera dengan agak terkekeh.Disana, Brian baru saja membuat satu baretan panjang di satu mobil yang terparkir di sisi jalur kami.Aku pun memainkan ekor mata hingga melirik ke semua sisi untuk memastikan kalau ulah sintingnya tidak diketahui oleh siapapun.“Turun!” tukasku cepat sambil memutar anak kuncinya.Brian pun lekas melompat dari duduknya dengan satu dorongan yang dia berikan ke punggung sampai,“BANGSAAAT!! Sakiit,” rintihku
Terlihat begitu senang ke arah mereka. Dan tak lama, Toha mengangkat tangannya ke meja kami..Aku baru mengetahui, kalau ternyata, untuk menghampiri mejaku ini, terpaksa Agus dan Toha harus melewati meja mereka.Semoga saja nanti semua berjalan dengan aman sentosa.Namun aku masih terus merasa cemas, kalau-kalau Agus dan Toha, atau bahkan mereka yang masih mencuri-curi tatap dengan kami, membuat kekacauan baru."Lihat saja kalau berani," gumamku.Aku menoleh ke sisi Brian yang ada di samping. Dia ternyata masih mengamati kemana dan bagaimana Agus dan Toha akan datang."Itu dua kunyuk udah tau belum ya?" tanyaku dengan wajah yang ditujukan ke dua sabahat yang lain.
Menjalar bersama derai angin yang menderu-deru di samping.Laju motor itu terus ku buat berlalu sejalan dengan garis putus-putus putih yang menghiasi bagian tengah aspal jalanan raya. Dan kubiarkan pula tubuh ini tersinari oleh lampu-lampu jalan yang seolah berlari mendekat lalu meninggalkan ke belakang.“Ah… Nikmatnya malam ini.” Bibirku mengukir senyum saat mengucapkan kalimat itu di dalam pikiran.“Bray… Pada mampus nggak tuh?” tanya bibir yang mendekati telinga.Aku tak menjawabnya, aku terus fokuskan dua bola mata ini untuk menatap rute yang sudah dimantapkan,“Pulang!” tegas batinku kemudian.Brian masih melekat di bahu kanan
Dengan sigap, ibu menangkap ayunan tangannya itu. “Sabar mas.” “Lama-lama aku lelah dengan dia bu. Ini adalah kesekian kalinya dia berurusan dengan pihak yang berwajib. Mungkin yang sebelum-sebelumnya hanya sebatas hansip atau penjaga sekolah, tapi kali ini…. Hebat benar kamu ya Man, sekarang sudah betul-betul naik level,” sindir ayah dalam keheningan. Ibu tidak menimpali kalimatnya kali ini. Termasuk dua sosok polisi yang mematung di hadapanku. "Bawa segera dia pak. Biar dia lekas belajar, bahwa menjadi manusia itu harus punya hati dan nurani. Harus bisa berguna. Minimal buat hidupnya sendiri." "Masss…." lirih ibu yang suaranya hampir terdengar menghilang. Wajahku terus terdiam sambil menunduk. Dan saat kertas panggilan itu ditarik oleh satu dari mereka, aku langsung mendongak. Ku perhatikan lagi dua wajah yang hadir dengan tegasnya itu. Sebenarnya aku ingin sekali melirik ke paras ibu yang terus menahan kesedihannya, tetapi h
Sebuah tangan menahan dan menarik pundakku hingga tersentak. “Mau kemana?” ucapnya dengan suara yang amat berat. Dan aku amat sangat mengenalinya. “Dia mau ke ruang tahanan sendiri, Bos. Sudah hapal kan?” tanya petugas yang telah selesai meletakkan laporannya di dalam rak berkas. Aku memasang wajah yang datar ke kedua muka itu. Kemudian, seperti biasa, seseorang yang dia panggil dengan sebutan bos tadi merangkulku dengan santainya. “Biar gua yang anter. Sekalian ada yang mau gua obrolin sedikit.” “Oh… Siap Bos,” responnya dengan wajah yang tetiba semringah. Petugas itu lalu melengos seperti tidak terjadi apa-apa, dan aku amat me