PRAAANG!
“Dasar istri tidak tahu diri. PELACUR KAU!”
Aku kecil berusaha keras menutup kedua lubang telinga yang menangkap kalimat makian tadi. Pekik hardikan itu sungguh-sungguh menyiksa. Walau sudah disumpal dengan lipatan bantal erat-erat, tetap saja suara kerasnya itu berhasil menerobos masuk.
Dengan refleksnya, aku dorong kuat-kuat sumpalan bantal hingga daun telinga ini terasa sedikit sakit. Sampai kemudian aku yakin kalau suara-suara yang bernada penuh emosi itu tidak mengusik lagi di dalam gendang telinga.
Diriku bahkan mendadak dibuat meringkuk di dalam selimut abu-abu yang katanya hadiah pemberian orang yang barusan mencela ibu tadi.
“Suami bajingan. Pergi sana, sama perempuan peliharaanmu!”
“BANGSAT KAMU!”
PLAAAK!
Satu suara seperti pipi yang ditampar keras terdengar lagi dari depan kamar tidur yang lampunya sengaja dimatikan.
Aku hanya melihat pergulatan itu dari siluet bayangan perkelahian mereka yang muncul di gorden penutup celah pintu kamarku.
Tak lama, suara itu menghilang.
Sayup-sayup kegelapan malam yang ada di luar rumah mungil ini pun mulai menjalar masuk.
Dan tak lama, aku mendengar pintu depan rumah dibuka dengan paksa hingga deritnya begitu jelas terdengar.
Entah siapa yang keluar dan pergi. Apakah ibu? Atau mungkin ayah yang pergi lagi? Ah, aku sudah tidak peduli.
Sayup-sayup kemudian mulai mendengar suara lirih yang lain. Yaitu suara ibu yang menangis pelan.
Rintihannya amat lirih namun sangat mengiris hati. Walau waktu itu aku tidak dan belum memahami apa arti dari sebuah sakit hati, tetapi sepertinya aku mulai mempelajarinya.
Ibu terdengar menangis di luar. Entah dari ruang tamu, atau di ruang kecil yang di dalamnya ada meja serbaguna yang biasa aku pakai untuk sarapan, atau mungkin di sudut tembok kamarku persis.
Tangisannya kian mendayu-dayu. Begitu sedih menyayat. Begitu dalam.
Dan aku merasakannya kini.
Pelan-pelan kaki-kaki ini bergerak menepi dari atas ranjang. Lalu turun menjejaki lantai yang ada di bawahnya. Dan dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran, akhirnya aku membuka kain gorden yang memisahkan isi kamar dengan suasana sedih yang tadi terjadi di luar sana.
"Bu?" tanyaku pelan.
Kulihat ibu sedang terduduk lemas dengan wajah yang datar tanpa harapan sedikitpun.
Aku dibuat bingung. Apakah kesedihan itu karena ulah ayah, atau karena ulah kenakalanku, atau akibat penyesalan karena sudah melahirkanku?
Aku tidak mengerti.
Dan dalam tubuh yang berdiri kaku di samping kusen pintu ini, ibu melempar pandangannya yang memanggil aku untuk segera mendekat.
Disekanya derai air matanya. Lalu kedua lengan tangannya ibu luruskan panjang-panjang.
Bibir ibu tak lama bergerak-gerak menahan pilu, kedua kelopak matanya bahkan berkedip perlahan memanggil lagi dengan caranya yang lain.
"Kemari, nak."
Aku yang teringat pesan moral ibu agar selalu mematuhi perintah orang tua tanpa harus menanyakan maksud dan tujuannya, segera menjawab panggilan itu.
Pelan-pelan, aku berjalan dan semakin dekatkan diri dengan sosok ibu yang yang masih duduk pasrah di sudut lantai. Kemudian aku merunduk, dan akhirnya masuk ke pelukannya yang masih terasa hangat dan nyaman.
Kedua mata ini lalu ku pejamkan erat-erat, sambil mencoba rasakan kembali detak jantung dan riak naik turun jalan napas ibu yang setiap malam menemaniku menjelang tidur.
“Maafin Lukman ya bu. Sudah bikin ibu menangis.”
“Tidak apa-apa, anak manis. Ibu tidak apa-apa kok.”
Kurasakan ibu sepertinya tersenyum barusan. Gerak pipinya terasa sekali di atas tempurung kepala.
Lama kelamaan tangisan ibu kian menyusut, dan akhirnya surut sama sekali.
“Bu, Lukman ngantuk.”
“Iyah… Tidur ya nak, tidur sama ibu.”
Lambat laun ibu mulai menyanyikan lagu gubahannya sendiri. Lagu yang selalu dia nyanyikan kalau aku mau menikmati tidur yang menghapus lelah dan kemudian menyegarkan.
“Tidurlah, tidur. Anak ibu yang baik. Anak ibu yang soleh. Anak ibu yang pintar. Tidurlah, tidur. Biar ibu yang menjagamu.”
Lagu itu ibu nyanyikan hingga lima kali, kemudian dia pelankan nada suaranya, hingga akhirnya perlahan-lahan menghilang.
Aku, yang pura-pura tertidur lagi di dalam pelukannya, menatap ke pecahan piring yang ada di lantai di dekat meja kayu tempat kompor yang biasa ibu gunakan.
Hamparan tajamnya ada dimana-mana. Mungkin besok pagi ibu akan berhasil menghilangkan jejak pecahannya lagi. Tetapi kali ini, aku berhasil melihat dengan mata kepala sendiri, seperti apa bentuk luluh lantahnya.
Tanganku tak lama berubah melingkar memeluk dadanya. Lalu, begitu aku berhasil memeluknya, ku eratkan rangkulan tangan itu, seolah menyampaikan maksud kalau aku tidak mau kehilangan sosoknya. Apapun itu kondisinya. Apapun.
“Hhhhh…..”
Aku mendengar ibu mendesah barusan.
Dalam hembusan napasnya yang terasa berat itu, aku seperti merasakan semua beban yang sedang ibu luapkan.
Lagi-lagi aku berpikir.
Apakah karena ulah ayah, atau karena ulah kenakalanku. Atau mungkin memang, karena penyesalan sudah melahirkanku.
Aku pun bingung. Sungguh-sungguh tidak mengerti.
Mungkin karena memang belum waktunya aku memahami semua itu.
Tetiba, aku merasakan tiupan angin dingin yang menjalar di punggung. Dinginnya begitu menusuk-nusuk. Bahkan tumpuan kaki ibu yang ku gunakan sebagai alas duduk, dibuatnya bergerak-gerak.
“Sebentar ya sayang,” ucap ibu sebelum akhirnya dia menguatkan pelukannya kemudian berdiri dan membawaku bergerak menghampiri pintu depan yang terbuka lebar.
Ibu menutup pintu itu pelan-pelan. Suaranya begitu lembut. Berbeda dengan suara yang aku dengar sebelumnya.
Dan begitu bunyi anak kuncinya diputar, aku merasakan udara yang lebih hangat. Terlebih kehangatan dari pelukan ibu.
Sekarang, ibu berjejak melangkah sambil sesekali menumpu ke tembok yang lewat di sampingnya.
Mungkin karena beratnya beban yang ibu emban, atau mungkin karena berat badan yang semakin bertambah.
Ah, aku memilih perkiraan yang terakhir saja.
Karena ibu begitu lihai memilih makanan yang murah bergizi untukku selalu, aku pun berhasil tumbuh menjadi anak yang baik, soleh dan pintar sesuai doa dan lantunan lagunya.
Beratku sekarang berapa ya?
Terakhir ditimbang bersama ibu saat berkunjung ke klinik di ujung kompleks, jarum angkanya menunjuk ke angka dua puluh lebih sedikit.
Aku saat itu hanya bisa menerka-nerka artinya. Yang pasti, saat tubuh ini berusaha melompat-lompat kecil di atas tumpuannya, jarum itu ikut bergerak-gerak mengimbangi iramaku. Bahkan, jarumnya masih bergerak-gerak kecil saat aku sudah berdiri diam. Lalu bibir ini, hanya bisa tersenyum.
Jarum itu lucu.
“Berapa bu?” tanyaku waktu itu.
Tak lama, setelah ibu mencermati ujung jarumnya, dan membaca isyarat angka apa yang ditunjukkan olehnya, ibu akhirnya menyimpulkan, “Dua puluh dua. Alhamdulillah.”
Ibu akhirnya tersenyum senang, aku pun juga ikutan tersenyum bersamanya.
Dan senyumannya itu, semakin melebar saat dokter memberitahukan kalau demam tinggi yang pernah aku rasakan karena terlalu banyak minum es teh manis, sudah lenyap menghilang.
Kata ibu, karena aku anak yang pintar dan rajin minum obat pemberian pak dokter itu, walau rasanya ada yang agak getir di ujung lidah.
“Hhhhh..”
Ibu mendesah lagi. Kali ini rasanya lebih lepas. Aku tidak mengerti kenapa. Tetapi yang pasti, dalam satu napas yang barusan ibu buang, aku merasakan kalau penat yang ibu hadirkan sejak tadi sudah berangsur-angsur menguap.
“Bismillah…”
Kata mulia itu ibu tuturkan dua kali dalam jeda kira-kira empat detik. Sebelum akhirnya,
Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.
Ibu berhasil menidurkanku lagi di atas ranjang.Malam itu, aku pun akhirnya terlelap dengan satu pelukan hangat yang hadir di sekujur tubuh.Ya!Ibu memeluk erat seperti malam-malam yang lain. Tetapi kali itu, ada yang sedikit berbeda.Karena aku bisa merasakannya betul.Dalam napasnya yang mendayu-dayu naik dan turun, sesekali, ada isaknya yang masih saja muncul.Pikiranku selalu saja bertanya-tanya setiap kali isak itu terdengar.Apakah kesedihan ibu itu, karena ulah ayah, kenakalanku, atau akibat penyesalan karena sudah melahirkanku.Pikiran itu, selalu saja menghantui.
“Ahh,” batinku tidak peduli.Ayah terus bergerak bahkan sempat menunduk hormat sejenak ke satu penjaga gerbang sekolah yang masih setia ada di sana.Namun aku, berjalan lurus tanpa perlu memikirkan pria yang mengenakan seragam monoton itu. Gayaku benar-benar seperti, jagoan.“Memang aku jagoan. Kamu tidak percaya? Lihat saja nanti, setelah kau mengenal Brian, Agus, Toha dan beberapa barang yang berhasil kami nikmati dari jerih payah kami. Intinya, kami, The Freak Doors bangga dengan semua hal yang kami perbuat,” ucap dalam hati.“Masuk!” titah ayah dengan dagunya. Dia lalu duduk di kursi pengemudi sambil menarik dan menutup pintu mobil tuanya yang sering mogok.Aku berjalan berputar di depa
Memandang pohon yang ada di hadapanku, yang lingkar batangnya sudah besar jauh melebihi lingkar pinggang.Bibir ini pun entah mengapa tersenyum kecil ke arahnya. Ku pikir, hanya dialah saksi bisu yang sangat mengerti sejak ia dibiarkan tumbuh di atas tanah itu.Setelah membuang napas yang lelah, aku segera menegak. Dan mencoba berjalan penuh santai ke arah pagar garasi rumah, kemudian membuka bagiannya yang sudah ayah buka lebih dulu.“Assalamualaikum,” salam dari bibir ini ketika melangkahkan kaki kanan lebih dulu.Aku benar-benar menyadari apa yang dilakukan barusan. Itu adalah salah satu buah pengajaran ibu yang disampaikan berulang-ulang, bahkan sejak aku masih tinggal di rumah yang dulu.“Ah, rumah itu,
Adalah Agus dan Toha, anggota The Freak Doors yang lain. Mereka sudah menunggu kami di atas dipan panjang yang berhimpit dengan tembok belakang pertokoan itu.Aku melihat dengan bangga grafiti yang dibuat tepat di dinding yang dihimpit oleh dipan yang sedang mereka tumpu. Sebuah lambang tulisan yang tegas dan berani dengan sepasang sayap yang sedang membawanya terbang.“Brader!!! Kemana aja lo?” tanya Agus sambil berdiri mendekat dengan telapak tangan kanan yang diangkat.Tak lama, aku sambut telapak itu dan kami mulai memainkan gerakan-gerakan unik yang menjadi identitas kami, yang ditutup dengan gerakan saling meninju.“Aseeemm!!... Sabar Bray, jaga emosinya dong,” keluh Agus yang merasakan kalau tonjokanku terlalu keras dari biasanya.
Dalam keheningan yang kami isi dengan canda gurau yang khas sebagai obrolan anak jalanan, dan sesekali sambil menyanyikan beberapa lagu usang secara acapela, dimana aku, beberapa kali berdecak kagum ke sisi Brian, sosok teman yang memiliki suara yang lebih normal dikala bernyanyi dibandingkan kami semua, aku merasakan, kalau diri ini, adalah aku yang sebenarnya.Tak ada gundah, terlebih bayang-bayang dari bekas sekolah.“Ah, lupakan!” pinta batinku sambil mendendang lagu lawas andalan kami."Eh, gue baru inget,” ucap Agus sambil segera bangkit dari duduk malasnya.Kami semua melirik ke arahnya.“Apaan?”“Ada tempat nongkrong yang baru buka. Tadi
Srrrrrrrrrrtt….Satu suara seret tiba-tiba muncul di samping kiri. Sontak langsung aku melirik ke arah itu melalui kaca spion yang ternyata,“Gila lo!!!” ucapku segera dengan agak terkekeh.Disana, Brian baru saja membuat satu baretan panjang di satu mobil yang terparkir di sisi jalur kami.Aku pun memainkan ekor mata hingga melirik ke semua sisi untuk memastikan kalau ulah sintingnya tidak diketahui oleh siapapun.“Turun!” tukasku cepat sambil memutar anak kuncinya.Brian pun lekas melompat dari duduknya dengan satu dorongan yang dia berikan ke punggung sampai,“BANGSAAAT!! Sakiit,” rintihku
Terlihat begitu senang ke arah mereka. Dan tak lama, Toha mengangkat tangannya ke meja kami..Aku baru mengetahui, kalau ternyata, untuk menghampiri mejaku ini, terpaksa Agus dan Toha harus melewati meja mereka.Semoga saja nanti semua berjalan dengan aman sentosa.Namun aku masih terus merasa cemas, kalau-kalau Agus dan Toha, atau bahkan mereka yang masih mencuri-curi tatap dengan kami, membuat kekacauan baru."Lihat saja kalau berani," gumamku.Aku menoleh ke sisi Brian yang ada di samping. Dia ternyata masih mengamati kemana dan bagaimana Agus dan Toha akan datang."Itu dua kunyuk udah tau belum ya?" tanyaku dengan wajah yang ditujukan ke dua sabahat yang lain.
Menjalar bersama derai angin yang menderu-deru di samping.Laju motor itu terus ku buat berlalu sejalan dengan garis putus-putus putih yang menghiasi bagian tengah aspal jalanan raya. Dan kubiarkan pula tubuh ini tersinari oleh lampu-lampu jalan yang seolah berlari mendekat lalu meninggalkan ke belakang.“Ah… Nikmatnya malam ini.” Bibirku mengukir senyum saat mengucapkan kalimat itu di dalam pikiran.“Bray… Pada mampus nggak tuh?” tanya bibir yang mendekati telinga.Aku tak menjawabnya, aku terus fokuskan dua bola mata ini untuk menatap rute yang sudah dimantapkan,“Pulang!” tegas batinku kemudian.Brian masih melekat di bahu kanan