Share

Mercusuar
Mercusuar
Author: Andrea Lee

Rindu

Author: Andrea Lee
last update Last Updated: 2021-03-13 01:59:49

PRAAANG!

“Dasar istri tidak tahu diri. PELACUR KAU!”

Aku kecil berusaha keras menutup kedua lubang telinga yang menangkap kalimat makian tadi. Pekik hardikan itu sungguh-sungguh menyiksa. Walau sudah disumpal dengan lipatan bantal erat-erat, tetap saja suara kerasnya itu berhasil menerobos masuk.

Dengan refleksnya, aku dorong kuat-kuat sumpalan bantal hingga daun telinga ini terasa sedikit sakit. Sampai kemudian aku yakin kalau suara-suara yang bernada penuh emosi itu tidak mengusik lagi di dalam gendang telinga.

Diriku bahkan mendadak dibuat meringkuk di dalam selimut abu-abu yang katanya hadiah pemberian orang yang barusan mencela ibu tadi.

“Suami bajingan. Pergi sana, sama perempuan peliharaanmu!”

“BANGSAT KAMU!”

PLAAAK!

Satu suara seperti pipi yang ditampar keras terdengar lagi dari depan kamar tidur yang lampunya sengaja dimatikan.

Aku hanya melihat pergulatan itu dari siluet bayangan perkelahian mereka yang muncul di gorden penutup celah pintu kamarku.

Tak lama, suara itu menghilang.

Sayup-sayup kegelapan malam yang ada di luar rumah mungil ini pun mulai menjalar masuk.

Dan tak lama, aku mendengar pintu depan rumah dibuka dengan paksa hingga deritnya begitu jelas terdengar.

Entah siapa yang keluar dan pergi. Apakah ibu? Atau mungkin ayah yang pergi lagi? Ah, aku sudah tidak peduli.

Sayup-sayup kemudian mulai mendengar suara lirih yang lain. Yaitu suara ibu yang menangis pelan.

Rintihannya amat lirih namun sangat mengiris hati. Walau waktu itu aku tidak dan belum memahami apa arti dari sebuah sakit hati, tetapi sepertinya aku mulai mempelajarinya.

Ibu terdengar menangis di luar. Entah dari ruang tamu, atau di ruang kecil yang di dalamnya ada meja serbaguna yang biasa aku pakai untuk sarapan, atau mungkin di sudut tembok kamarku persis.

Tangisannya kian mendayu-dayu. Begitu sedih menyayat. Begitu dalam.

Dan aku merasakannya kini.

Pelan-pelan kaki-kaki ini bergerak menepi dari atas ranjang. Lalu turun menjejaki lantai yang ada di bawahnya. Dan dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran, akhirnya aku membuka kain gorden yang memisahkan isi kamar dengan suasana sedih yang tadi terjadi di luar sana.

"Bu?" tanyaku pelan.

Kulihat ibu sedang terduduk lemas dengan wajah yang datar tanpa harapan sedikitpun.

Aku dibuat bingung. Apakah kesedihan itu karena ulah ayah, atau karena ulah kenakalanku, atau akibat penyesalan karena sudah melahirkanku?

Aku tidak mengerti.

Dan dalam tubuh yang berdiri kaku di samping kusen pintu ini, ibu melempar pandangannya yang memanggil aku untuk segera mendekat.

Disekanya derai air matanya. Lalu kedua lengan tangannya ibu luruskan panjang-panjang.

Bibir ibu tak lama bergerak-gerak menahan pilu, kedua kelopak matanya bahkan berkedip perlahan memanggil lagi dengan caranya yang lain.

"Kemari, nak."

Aku yang teringat pesan moral ibu agar selalu mematuhi perintah orang tua tanpa harus menanyakan maksud dan tujuannya, segera menjawab panggilan itu.

Pelan-pelan, aku berjalan dan semakin dekatkan diri dengan sosok ibu yang yang masih duduk pasrah di sudut lantai. Kemudian aku merunduk, dan akhirnya masuk ke pelukannya yang masih terasa hangat dan nyaman.

Kedua mata ini lalu ku pejamkan erat-erat, sambil mencoba rasakan kembali detak jantung dan riak naik turun jalan napas ibu yang setiap malam menemaniku menjelang tidur.

“Maafin Lukman ya bu. Sudah bikin ibu menangis.”

“Tidak apa-apa, anak manis. Ibu tidak apa-apa kok.”

Kurasakan ibu sepertinya tersenyum barusan. Gerak pipinya terasa sekali di atas tempurung kepala.

Lama kelamaan tangisan ibu kian menyusut, dan akhirnya surut sama sekali.

“Bu, Lukman ngantuk.”

“Iyah… Tidur ya nak, tidur sama ibu.”

Lambat laun ibu mulai menyanyikan lagu gubahannya sendiri. Lagu yang selalu dia nyanyikan kalau aku mau menikmati tidur yang menghapus lelah dan kemudian menyegarkan.

“Tidurlah, tidur. Anak ibu yang baik. Anak ibu yang soleh. Anak ibu yang pintar. Tidurlah, tidur. Biar ibu yang menjagamu.”

Lagu itu ibu nyanyikan hingga lima kali, kemudian dia pelankan nada suaranya, hingga akhirnya perlahan-lahan menghilang.

Aku, yang pura-pura tertidur lagi di dalam pelukannya, menatap ke pecahan piring yang ada di lantai di dekat meja kayu tempat kompor yang biasa ibu gunakan.

Hamparan tajamnya ada dimana-mana. Mungkin besok pagi ibu akan berhasil menghilangkan jejak pecahannya lagi. Tetapi kali ini, aku berhasil melihat dengan mata kepala sendiri, seperti apa bentuk luluh lantahnya.

Tanganku tak lama berubah melingkar memeluk dadanya. Lalu, begitu aku berhasil memeluknya, ku eratkan rangkulan tangan itu, seolah menyampaikan maksud kalau aku tidak mau kehilangan sosoknya. Apapun itu kondisinya. Apapun.

“Hhhhh…..”

Aku mendengar ibu mendesah barusan.

Dalam hembusan napasnya yang terasa berat itu, aku seperti merasakan semua beban yang sedang ibu luapkan.

Lagi-lagi aku berpikir.

Apakah karena ulah ayah, atau karena ulah kenakalanku. Atau mungkin memang, karena penyesalan sudah melahirkanku.

Aku pun bingung. Sungguh-sungguh tidak mengerti.

Mungkin karena memang belum waktunya aku memahami semua itu.

Tetiba, aku merasakan tiupan angin dingin yang menjalar di punggung. Dinginnya begitu menusuk-nusuk. Bahkan tumpuan kaki ibu yang ku gunakan sebagai alas duduk, dibuatnya bergerak-gerak.

“Sebentar ya sayang,” ucap ibu sebelum akhirnya dia menguatkan pelukannya kemudian berdiri dan membawaku bergerak menghampiri pintu depan yang terbuka lebar.

Ibu menutup pintu itu pelan-pelan. Suaranya begitu lembut. Berbeda dengan suara yang aku dengar sebelumnya.

Dan begitu bunyi anak kuncinya diputar, aku merasakan udara yang lebih hangat. Terlebih kehangatan dari pelukan ibu.

Sekarang, ibu berjejak melangkah sambil sesekali menumpu ke tembok yang lewat di sampingnya.

Mungkin karena beratnya beban yang ibu emban, atau mungkin karena berat badan yang semakin bertambah.

Ah, aku memilih perkiraan yang terakhir saja.

Karena ibu begitu lihai memilih makanan yang murah bergizi untukku selalu, aku pun berhasil tumbuh menjadi anak yang baik, soleh dan pintar sesuai doa dan lantunan lagunya.

Beratku sekarang berapa ya?

Terakhir ditimbang bersama ibu saat berkunjung ke klinik di ujung kompleks, jarum angkanya menunjuk ke angka dua puluh lebih sedikit.

Aku saat itu hanya bisa menerka-nerka artinya. Yang pasti, saat tubuh ini berusaha melompat-lompat kecil di atas tumpuannya, jarum itu ikut bergerak-gerak mengimbangi iramaku. Bahkan, jarumnya masih bergerak-gerak kecil saat aku sudah berdiri diam. Lalu bibir ini, hanya bisa tersenyum.

Jarum itu lucu.

“Berapa bu?” tanyaku waktu itu.

Tak lama, setelah ibu mencermati ujung jarumnya, dan membaca isyarat angka apa yang ditunjukkan olehnya, ibu akhirnya menyimpulkan, “Dua puluh dua. Alhamdulillah.”

Ibu akhirnya tersenyum senang, aku pun juga ikutan tersenyum bersamanya.

Dan senyumannya itu, semakin melebar saat dokter memberitahukan kalau demam tinggi yang pernah aku rasakan karena terlalu banyak minum es teh manis, sudah lenyap menghilang.

Kata ibu, karena aku anak yang pintar dan rajin minum obat pemberian pak dokter itu, walau rasanya ada yang agak getir di ujung lidah.

“Hhhhh..”

Ibu mendesah lagi. Kali ini rasanya lebih lepas. Aku tidak mengerti kenapa. Tetapi yang pasti, dalam satu napas yang barusan ibu buang, aku merasakan kalau penat yang ibu hadirkan sejak tadi sudah berangsur-angsur menguap.

“Bismillah…”

Kata mulia itu ibu tuturkan dua kali dalam jeda kira-kira empat detik. Sebelum akhirnya,

Simak terus kelanjutannya ya. Jangan lupa subscribe, beri komentar, star dan gift terbaik kamu juga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Indah Yuliana
wah, awal yang menegangkan, ada masalah apa ya sampai si ayah semarah itu? ceritanya ngalir... runtut enak dibaca. lanjut thor..
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
astaga, baru aja mulai udah dimaki2. kwkwkw. Btw, untuk tanda serunya cukup tiga atau kelipatannya. contoh: Praaang! atau Prang!!! Ini setahuku, ya? Haha. CMIIW
goodnovel comment avatar
Anna klinski
rapi banget thor merinding aku jadinya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mercusuar   Pelayan Bodoh

    “HAHAHAHAHA,” tawa Denise yang terbahak-bahak sempurna."NGGAK BECUS LO!" timpalku.Diana menunduk malu. Di kelamnya suasana kolong meja, aku tahu dia barusan melepas isaknya. Tapi kesedihan itu malah membuat rasa bahagiaku makin bergejolak.Di antara tawa-tawa kami, ia terus merapikan wadah-wadah kotor, juga membersihkan ceceran minuman dan remah-remah yang ditumpahkan Denise ke lantai.PRAANG!"Uppps! Sorry."Piring kue yang Denise pesan tetiba ikutan jatuh. Isinya tumpah ke punggung Diana dan mengotori pakaian putihnya.Aku tahu kalau barusan adalah ulahnya yang betul-betul disengaja, dan kegaduhan itu pun menambah bumbu keceriaan canda kami.Kami kian tertawa lepas.Beberapa orang pengunjung pun sampai memerhatikan ulah kami yang begitu seru. Tapi tak ada yang menghiraukannya.Gadis pelayan itu makin merunduk dalam kikuk. Lalu tanpa banyak bicara, semua kotoran yang bertambah banyak itu dia ambil satu-persatu dan diletakkan ke atas nampan.Saat Diana berjongkok untuk mengambil pec

  • Mercusuar   Gadis Pelayan

    Jo tertawa lepas di depanku. Begitu pula dengan Frans. Aku pun demikian.Entah seperti apa rasanya. Tonggak yang sedang tegang-tegangnya di grasah-grusuh tanpa arah. Rasanya pasti seperti ingin patah."Aduh, aduh.. udah, Sayang. Sakit!""Ngaku! Kamu sudah main sama Anisa kan?""NGGAAAK! Ya Tuhan.""Nggak usah bawa-bawa Tuhan!"Tetiba Brian memeluk Denise dengan erat. Lalu kepalanya dibenamkan ke dalam belahan dada Denise yang montok."AAAAUUW!" jerit Denise keras-keras. Sampai-sampai suaranya itu memanggil perhatian orang lain yang ada di cafe itu. Tapi mereka kemudian tidak menghiraukannya.Dengan sekuat tenaga Denise mendorong kepala Brian agar bisa menjauh darinya. Tapi usahanya itu hanya membuahkan hasil yang sia-sia.Semakin dia mendorongnya, Brian kian mendekap lebih erat."LEPASIN!.. .AUUWCH… LEPAS! BRIANH… BRIAAAN!!""Mmmm.. Akuh mau dekap kamu terus, Sayang.""LEPASSSH!" dorong gadis itu lebih kuat sampai akhirnya Brian pun menyerah."Mmmuu–""Jaga nih mulut! Nyosor mulu!" k

  • Mercusuar   Anisa

    Makan malam di meja makan tetap hening seperti biasanya. Semua yang hadir pun sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.Ayah dengan lembaran korannya, yang sesekali diganggu oleh ibu dengan bujukan lauk juga gosip sepanjang hari ini. Sedang aku, sibuk mengurusi butiran nasi yang sepertinya tidak ada habis-habis."Tadi Ayah ke sekolah," ujar ayah memulai topik yang lain.Seketika perhatian Ibu berpindah. Ia pun kemudian memerhatikanku sesaat, terlebih-lebih Ayah."Kamu tahu, kenapa Ayah harus ke sekolahmu?""Apa apa lagi, Man? Apa ada, Yah?" bingung Ibu."Coba jelaskan!"Aku diam dalam kesantaian dan kesibukanku sendiri."Maan…"Perlahan telapak tangan ibu bergerak dan menyentuh punggung tangan kiriku. Aku terhenyak saat menikmati kehangatannya.Tapi kasih sayang itu segera aku tepis. Kutarik tanganku untuk menjauh darinya."Kamu punya urusan apa lagi? Kamu nggak kasihan sama Ayahmu? Sama Ibu?" ucap Ibu penuh iba.Tak lama Ayah menarik napasnya dalam-dalam. Lalu dia banting dengan begi

  • Mercusuar   Gadis Itu, Diana

    Pagi itu adalah hari keempat sejak kuberikan peringatan ke gadis Bazar Sosial. Gadis yang tanpa disangka-sangka bisa kubuat ingin menangis kencang di kantin namun tertahan oleh rasa malunya. Sejak hardikan itu, dia tidak berani muncul mencariku. Terlebih-lebih aku. Untuk apa mencarinya? Siapa yang peduli?Namun tanpa kuduga, panggilan dari Pak Kepala Sekolah terjadi lagi.Saat pelajaran Sejarah tengah berlangsung dalam keheningan, satu penjaga sekolah memanggil namaku dari sisi pintu kelas."Lukman! Cepat pergi! Jangan kamu buang-buang waktu pelajaran saya!" ketus ibu guru.Perlahan kubangkit dan berjalan santai ke depan kelas.Sang Guru Cantik itu menatap dengan penuh lekat. Aku pun sesekali menangkap sorotan matanya itu. Tapi aku biarkan saja. Sepertinya dia sudah tahu apa telah terjadi kemarin, dan mungkin, apa yang akan terjadi di ruang Kepala Sekolah nanti, juga yang nanti setelahnya.Apa karena dia memiliki jaringan di sekolah ini sehingga semua informasinya pasti dia ikuti? A

  • Mercusuar   Jebakan Batman

    Carlitta tersenyum dengan bibir tipisnya yang begitu seksi.Aku sampai terhenyak ke dalam pesonanya itu. Bibir yang begitu mengkilap dengan warna merah muda yang membuat birahiku beriak-riak.Ditambah lagi liuk pinggulnya yang begitu elok membentuk."Alamak. Kenapa ini tante sekarang jadi enak dipandang ya?" decak batinku.“Tidak perlu,” jawabnya.“Jangan gitu. Gua harus bisa berterima kasih.”Wanita itu pun terkekeh kecil.“Jangan sok gaya. Mana ada sih cowok begundal yang benar-benar romantis dan tulus?”“Hahahahaha.”“Atau, karena kamu baru menang taruhan?” lanjutnya yang sedikit nakal. Satu kelopak matanya berkedip genit di hadapanku.“Mungkin. Gimana? Mau kan?"“Hmmm…” Carlitta berpikir sejenak seolah itu adalah pilihan yang amat sulit. Lalu bibirnya berucap kembali.“Ok. Rejeki tidak boleh ditolak. Pamali.”“Kamu mau apa?” tanyaku sambil meremas-remas jemarinya yang begitu halus.“Duitnya kan cuma sepuluh juta. Jangan sok kaya deh.”“Segitu juga duit. Kalo buat beli lontong–”“H

  • Mercusuar   Permainan Biliar

    Segera kutarik resleting tas dan kutinggalkan buku tulis, buku paket Sosiologi dan pulpen di atas meja. Toh besok aku masih bertemu dengan mereka lagi, jadi untuk apa harus repot-repot dibawa pulang?“Mas, bukunya!”“Biarin, Pak!” jawabku sambil meninggalkannya sendirian di kelas.Sore itu aku ingin mampir ke basecamp, namun setelah mendapat kabar kalau dua dari tiga temanku sedang pergi keluar kota, terpaksa aku harus mencari agenda yang lain.Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala. Mataku pun sampai berbinar-binar dibuatnya."Cafe!" Lirihku kemudian.Tanpa banyak pertimbangan, segera kumainkan tuas gas motor ke cafe tempat anak-anak biasa bermain biliar."Kopi satu, Mbak!" pintaku ke pelayannya, lalu aku berjalan menyusuri meja-meja biliar yang hening.Kulihat ada satu meja yang sedang seru dikerubungi pengunjung. Aku pun langsung ke sana."Ikutan main dong?" ucapku memotong permainan mereka. Kulihat semua wajah gembiranya berubah segan untuk menyambut. "Oke, Bro?" sambungku lagi

  • Mercusuar   Permainan Carlitta

    "Hai," ucap wanita itu dengan penutup senyuman ramah.Bulu matanya yang lentik seolah menghipnotisku. Dia begitu cantik untuk usianya yang sudah tidak muda lagi. Bahkan jika boleh dikata, mungkin usianya setara dengan usia ibu. Sepertinya begitu menurut penilaianku.Ia selanjutnya duduk di tepi ranjang, lalu Brian menjamunya bak tamu yang benar-benar istimewa.Setelah dua teguk minuman di gelasnya dihabiskan bersama senda gurau kami, Brian kemudian memangku dan mulai mencumbu lehernya, yang tak lama menjalar ke pangkal dadanya. Sungguh-sungguh pemandangan yang amat menggugah gairah.Jonathan pun meletakkan gelasnya yang masih berisi bir di seperempat bagiannya. Ia rupanya sudah tak tahan untuk ikut meramaikan suasana. Jika Brian menyerang dari sisi belakang Carlitta, maka Jo memainkan perannya dari bagian depan.Aku sampai terkekeh sejenak.“Buset, kita lagi nonton live,” seringaiku ke Frans yang tak bergeming.Tak lama, pertahanan Frans pun bobol. Ia segera menaruh gelasnya dengan se

  • Mercusuar   Wanita Penghibur

    [Nise, beneran lu ngirimin gue motor? Anjir. Gua harus bilang apa? Thanks ya.] Sejenak bibirku tersenyum sendirian di keremangan kamar ketika pesan itu berhasil terkirim. Kini aku memikirkan apa yang harus kukatakan besok ke teman-teman di sekolah. Pastinya, besok adalah babak baru buatku. *** Pagi itu aku berangkat ke sekolah dengan semangat yang berapi-api. Ibu pun menangkap alasan yang membuatku bereuforia seperti itu. Dengan wajah yang berseri, kubelah jalanan kecil yang membagi kompleks perumahan, dilanjut jalanan aspal yang ramai dan bising, hingga kemudian kuparkirkan motor baru itu di sudut parkiran sekolah. Denise. Dia pun melempar senyum hangat saat aku memasuki kelas dan duduk di kursi. Dalam senyum kecilku ini, dia menangkap apa maksudnya. Saat pulang sekolah, semua kawanku terheran dan terkaget dengan apa yang aku tumpangi. “Anjir, ada anak sultan. Banyak duit lu?” “Menang lotere apa dibeliin tante girang? Wkwkwkwkwkw,” sambung Frans. Aku diam sambil mengulum se

  • Mercusuar   Hadiah Tak Terduga

    “Come on, Sayang,” bujuknya lagi. Bibirnya kemudian digigit-gigit manja bersama kedipan bulu matanya yang kian menggoda.“Nise…. Kit–”Tanpa kusangka, Denise langsung melumat bibirku lagi dengan gairahnya. Libidoku pun meledak dan memuncak, menjalar ke sekujur tubuh untuk membangkitkan gelora liar yang lain.“Ahh…. Shit! Denise…Shhh...” desahku sambil merengkuh tubuh montoknya.“Come on, Honey.”Tanganku langsung mengacak liar di seluruh liuk tubuhnya, hingga kemudian kedua tangan ini melepaskan semua pakaian kami.Entah berapa lama aku memainkan pemanasan itu. Mungkin kali ini lebih liar dari yang sebelumnya. Denise sepertinya amat menikmati semangat kejantananku. Lidahnya dengan lincah menjilat-jilat daun telingaku, lalu turun ke leher, dada, bulu-bulu halus di atas perutku, kemudian dengan penuh kegirangan menikmati bagian keras yang berdenyut dengan gagah.“Ahh…”Permainan panas itu pun kian berlanjut ke babak yang lebih memanas. Sungguh-sungguh permainan yang luar biasa.Tak ada

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status