"Permulaan yang cukup mengesankan, Tuan Richi. Aku menyukai cara kau memperlakukan wanita itu."
Lily bersandar santai di kursi mobil, sorot matanya menyiratkan permainan saat menatap Damian. Senyum miring tak henti menghiasi wajahnya, seolah menikmati setiap detik ketegangan yang ia ciptakan. Sementara itu, Damian duduk kaku di sampingnya, menatap lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh pada wanita yang kini duduk anggun di sisinya. "Diam saja? Tak mau bicara dengan selir barumu?" Nada suara Lily terdengar ringan, tapi ujung jarinya mulai bergerak. Dengan sengaja, ia meremas lembut paha Damian—gerakan kecil yang sukses membuat rahang pria itu menegang dan kedua tangannya mengepal. "Singkirkan tanganmu. Aku muak dengan perempuan murahan," desis Damian tajam. Namun Lily tak tersinggung. Ia justru terkekeh pelan dan sedikit tertawa. "Perempuan murahan, katamu? Tapi kau justru memilih wanita yang bahkan lebih rendah dari wanita bayaran untuk jadi kekasihmu. Di mana letak kehormatanmu, Damian?" Nada suara Lily menajam, membuat buku-buku jari Damian memutih karena terlalu erat mengepalkan tangan. "Diam!" teriak Damian tiba-tiba. Dadanya naik-turun, amarahnya mulai membocor dari celah pertahanannya. Ia tak menyangka bisa dijebak oleh perempuan licik seperti Lily dan yang lebih parah, ia jatuh dalam permainannya. Tapi Damian tidak akan tinggal diam begitu saja, ia bukanlah pria yang suka dikendalikan. Apalagi yang mengendalikannya hanyalah seorang wanita muda seperti Lily. Siapa sebenarnya wanita ini? "Menyuruhku diam?" Lily mencondongkan tubuh, napasnya hangat menyentuh telinga Damian. "Sayangnya, aku bukan tipe wanita yang suka patuh, sayang. Kau bisa memanfaatkanku... Tapi aku tahu, kau sedang menahannya dengan susah payah." Tangannya kembali bergerak naik, dari paha ke arah yang lebih tinggi, membuat Damian nyaris kehilangan kendali. Tapi ia tetap diam, menggertakkan gigi, mencoba bertahan dari godaan yang semakin membakar. "Kau menahan napas?" Senyum Lily melebar. Ia tahu, pria mana pun akan bereaksi jika disentuh seperti itu. Tiba-tiba, Damian mengangkat tangan. "Berhenti." Suaranya berat, dingin, dan penuh tekanan. Sopir yang duduk di depan segera menginjak rem, menghentikan mobil di pinggir jalan yang cukup sunyi. Tanpa sepatah kata pun, Damian membuka pintu dan keluar. Lily mengerutkan kening, matanya mengikuti gerak pria itu yang berjalan mendekati sopir pribadinya. "Antar wanita ini kembali ke tempat asalnya. Aku tidak ingin melihat wajahnya lagi." Ucap Damian tegas ke sopirnya. Lily tertawa pelan, namun matanya menyala dengan api yang tak padam. Ia tidak gentar sedikit pun. Dengan anggun, ia melangkah keluar dan berdiri di hadapan Damian—begitu dekat hingga nyaris bersentuhan. "Kau membuangku seperti sampah... padahal baru saja tubuhmu bergetar karena sentuhan wanita murahan ini." Damian menatapnya tajam, rahangnya mengeras. Tapi ia tetap diam. "Takut kehilangan kendali, Tuan Richi?" bisik Lily, lirih namun tajam. Damian membalas dengan suara rendah dan nyaris mengancam, "Jika aku kehilangan kendali, kau akan menyesal pernah bermain api denganku, Lilyana." "Oh, aku justru menanti saat itu datang. Karena itu yang biasanya dilakukan oleh seorang wanita simpanan." Lily melangkah mundur dengan senyum penuh tantangan. Ia masuk kembali ke dalam mobil tanpa paksaan. Mobil kembali melaju, membawa Lily menjauh. Tapi bara yang ia nyalakan masih membakar dada Damian. Tak jauh dari sana, Lily meminta sopir berhenti. Ia keluar dari mobil tersebut dan masuk ke dalam mobil lain yang sejak tadi mengikutinya. "Apa yang sudah kau lakukan dengan Damian Richi? Kau mengusirku, membuatku menunggu begitu lama, dan memaksaku mengikutimu, Lilyana." Zio menggerutu begitu Lily duduk di sampingnya. "Aku sedang berusaha menyentuhnya. Tapi pria itu sangat munafik." Zio terkejut. Refleks tangannya nyaris membuat mobil di depannya tertabrak. "Kau tidak tahu siapa Damian Richi! Sepuluh tahun lalu, namanya sempat jadi perbincangan hangat karena hal buruk. Dan aku yakin kau sama sekali tidak tahu soal itu." Lily hanya mengangkat bahu santai. "Kau meragukanku? Kau tak tahu betapa tegangnya wajah pria itu saat aku menyentuh kembali luka lamanya. Dan bukan, ini bukan rumor yang kau sebutkan tadi, Zionathan. Ini... sesuatu yang hanya aku yang tahu." Zio menegang. Kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Meski ia tahu seberapa kuat Lily, Damian tetap bukan lawan yang bisa diremehkan. "Kau sedang menceburkan diri ke lubang buaya, Lily. Demi Tuhan, aku benar-benar takut." "Berhenti bicara, Zio. Aku tidak peduli siapa dia. Tujuanku mendekati Damian hanya satu: membalas dendam pada wanita sialan itu. Dan sebaiknya kau dukung aku, apa pun yang terjadi." Zio hanya bisa menghela napas berat. "Aku hanya takut," gumamnya lirih. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa ia lontarkan. Ia tahu, tak ada yang bisa menghentikan Lily jika wanita itu sudah menentukan langkahnya. *** Lily melangkah santai menuju pintu utama mansion, membiarkan angin malam yang sejuk menyapu kulitnya. Para pelayan yang berjaga segera menunduk hormat. Tidak ada yang berani membantah—Lily adalah pewaris sah keluarga Moretti. Berbeda dengan Bianca yang hanya penikmat harta sehingga tidak memiliki hak. Namun, satu hal mengikat mereka berdua: wasiat mendiang Tuan Moretti menyatakan bahwa jika Lily dan Bianca memilih berpisah, maka seluruh kekayaan keluarga akan disumbangkan ke panti asuhan dan panti jompo. Artinya, Lily harus tetap berbagi atap dengan wanita yang paling dibencinya. Langkahnya terhenti saat melihat Bianca duduk anggun di ruang tamu. Wanita itu tampak sempurna dengan gaun mahal, riasan tanpa cela, dan aroma parfum berkelas yang memenuhi ruangan. Seperti seseorang yang sedang menunggu dengan penuh harapan. "Sudah pasti Damian," gumam Lily pelan. Dengan senyum tipis, ia mendekati Bianca dan berhenti tepat di hadapannya. Tatapannya menusuk, tapi lebih menatap wanita itu dengan tatapan jijik dan meremehkan. "Hm, sepertinya ada pria yang membuat kekasihnya kecewa, dan kini menebusnya dengan makan malam romantis," ucapnya ringan, namun dengan nada setajam pisau. Bianca mendongak, ekspresi wajahnya tak suka. "Diam, kau." Di sisi lain, Nyonya Lombardi—ibu Bianca—menatap Lily penuh ketidaksenangan. Ia adalah orang yang paling berpengaruh dalam hidup Bianca, yang mengantarkannya sejauh ini. Lily tertawa kecil, menyilangkan tangan di dada. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat bersenang-senang, ibu tiriku tersayang." Ia menekankan kata terakhir dengan nada mengejek. "Semoga Damian setia padamu. Sungguh, aku heran, bagaimana bisa pria seperti dia tertarik pada perempuan yang menikahi pria tua demi harta." Wajah Bianca menegang, rahangnya mengatup. "Lily, sampai kapan kau akan terus menghina putriku, hah?!" tegur Nyonya Lombardi tajam, "Kenyataannya, hidup Bianca jauh lebih baik darimu. Apalagi, dia akan segera menikah dengan Damian." Alih-alih marah, Lily justru tersenyum semakin lebar. "Oh ya? Aku turut senang." Ia mencondongkan tubuhnya mendekati Bianca, lantas berbisik pelan, "Sayangnya, kau lupa satu hal. Damian bukan pria yang bisa setia. Dia suka mempermainkan wanita. Aku hanya khawatir Bianca akan jadi korban berikutnya kemudian menangis karena diberi harapan palsu, seperti banyak wanita lainnya." Tatapan Bianca semakin tajam. Tangannya mengepal, seakan hendak menampar Lily. Tapi ia tahu, satu langkah salah bisa membuat Lily melaporkan ke pengacara ayahnya dan semuanya bisa hancur. Lily menatapnya penuh kemenangan, lalu berbisik manis, "Aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan selamat... jika kau benar-benar menjadi Nyonya Muda Richi.”"Apa kau setuju dengan penawaranku ini, Bianca?" tanya Tuan Marcello, senyum miring menghiasi wajahnya. Ia tahu, Bianca tak memiliki pilihan lain."Padahal aku bisa saja memberikan bagianmu tanpa harus—""Ssst… tidak ada tawaran lain selain yang sudah kusebutkan tadi," potong Tuan Marcello, suaranya berbisik di telinga Bianca, begitu dekat hingga napasnya terasa di kulitnya. "Jika kau menolak, kau bisa segera pergi dari kediamanku."Tangan pria paruh baya itu terulur pelan, jemarinya yang kasar menyentuh sisi lengan Bianca, lalu turun perlahan, mencari titik yang diinginkan."Jadi, bagaimana?" ulang Tuan Marcello, suaranya rendah dan menekan.Bianca menggigit bibir, tak menjawab. Tubuhnya menegang, namun tidak bergerak menjauh. Hanya desah halus lolos dari bibirnya, ambigu—antara penolakan dan kepasrahan.Sentuhan Tuan Marcello bagaikan bara api yang menyengat di kulitnya. Sentuhan itu kian liar, dan sedikit pun Bianca tidak berniat untuk menepisnya."Oh, Tuan Marcello…"Kedua mata wa
"Sungguh sangat tidak masuk akal." Bianca menggeleng keras, tangannya meremas kuat ujung gaun yang dikenakan."Apa pun bisa masuk akal. Termasuk Damian sendiri yang merobeknya," jawab Lily santai."LILYANA!"Tangan Bianca menggantung di udara. Amarahnya meledak-ledak, tapi ia tak bisa menampar Lily karena disaksikan banyak orang. Jika ia melakukannya, itu hanya akan merusak reputasinya. Apa pun yang terjadi saat ini bisa dengan mudah tersebar di media."Mengapa berhenti? Kau bisa menamparku," ucap Lily tenang, tatapannya tajam namun tetap menantang.Bianca menatap Lily dengan kobaran api yang semakin melalap habis dirinya. Tangannya yang sempat menggantung di udara perlahan turun kembali. Jemarinya mengepal lebih kuat, berusaha sekuat tenaga menahan dorongan untuk tidak melayangkan tamparan itu ke wajah Lily.Gumaman lirih terdengar dari beberapa pegawai yang melintas. Mereka mulai berbisik, memperhatikan ketegangan yang menyeruak di antara ketiga orang itu. Beberapa pura-pura sibuk,
Zio berdiri di hadapan sahabatnya dengan kedua lengan terlipat di depan dada. Pria itu terus menggeleng pelan, nyaris tak percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Lily."Apa kau benar-benar tidak bisa memilih cara lain?" tanya Zio dengan nada penuh kekhawatiran. Ia takut rencana kehancuran Bianca yang disusun Lily justru akan berbalik menyakiti wanita itu sendiri."Tidak bisa, Zionathan. Aku sudah melangkah terlalu jauh. Dan tentu saja, aku tidak akan berbalik hanya untuk menghentikan semuanya. Meski Damian berbahaya, justru itu yang membuat semuanya terasa menantang."Zio menghela napas berat. "Kau mengatakan dia merusakmu, memborgolmu, bahkan ada senjata ilegal... itu lebih dari sekadar berbahaya, Lilyana.""Damian tidak akan menyakitiku," sahut Lily cepat. Senyum tipis mengembang di wajahnya saat ia kembali mengingat bagaimana pria itu bisa bersikap cukup manis setelah menyelesaikan permainan itu."Kau tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya," sahut Zio. Ia tidak bisa m
"Di mana Lily?" tanya Nyonya Lombardi santai, menyelipkan pertanyaan itu di tengah momen sarapan mereka yang tenang.Bianca mendadak meletakkan alat makannya dengan kasar. Dentingnya menggema, mengganggu keheningan pagi. Matanya menyipit tajam ke arah sang ibu."Apa Ibu tidak salah menanyakan wanita itu?" katanya dingin, "Damian menghilang. Tidak ada kabar dan tidak bisa dihubungi. Dan itu jauh lebih membuatku frustrasi."Nyonya Lombardi hanya menghela napas pelan, seolah tak terpengaruh oleh kemarahan putrinya."Ibu bertanya bukan karena peduli," ujarnya tenang, "Tapi sudah dua hari dia menghilang dari mansion. Bukankah itu seharusnya menjadi kabar baik?""Tentu saja kabar baik. Tapi sayangnya, ini rumahku. Dan sampai kapan pun, aku tidak akan pergi dari sini."Suara yang tiba-tiba menyela percakapan itu membuat keduanya menoleh refleks.Lily berdiri dengan tegak dan tenang di ambang pintu ruang makan.Namun bukan kehadiran Lily yang membuat Bianca dan Nyonya Lombardi terpaku, melain
Tangan Damian mencengkeram rahang Lily dengan kuat, memaksa wajahnya menghadap ke arahnya. "Jadilah wanita simpananku yang penurut, sayang. Aku tak punya kesabaran untuk menghadapi wanita pembangkang," desis Damian, suaranya tenang namun berbahaya.Lidah Lily terasa kelu. Kata-kata yang hendak ia lontarkan terhenti di tenggorokan, tertelan oleh ketakutan yang menjeratnya.Namun, dengan sisa keberanian yang belum sepenuhnya dilumat Damian, ia memaksakan diri bersuara, "Brengsek! Lepaskan aku! Atau aku akan bongkar semua kejahatanmu di masa lalu!"Ancaman itu kembali ia lemparkan, senjata terakhir yang masih ia genggam. Tapi Damian hanya terkekeh pelan, nyaris seperti mengejek."Ancamanmu tak berarti lagi untukku, Lilyana. Kau pikir aku akan diam saja?" gumamnya sambil menyeringai lebar. Tatapannya menusuk, membuat napas Lily tercekat."Damian...""Ini konsekuensinya. Sekali kau masuk ke lubangku, jangan pernah berharap bisa keluar lagi," ucapnya datar.Detik kemudian, Damian langsung
Sinar mentari pagi menyusup lembut melalui celah tirai, perlahan membangunkan Lily dari tidurnya yang lelap. Ia menggeliat pelan, mencoba meregangkan tubuh yang terasa nyeri dan remuk—bekas dari malam penuh kendali yang dipaksakan oleh Damian."Damian... di mana pria brengsek itu?" gumam Lily. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar itu, tapi nyatanya Damian sudah tidak ada di sana. Yang tersisa hanyalah jejak-jejak semalam dengan aroma menusuk yang menyeruak ke seluruh ruangan."Oh shit... kau sangat buas, Damian." Tubuhnya tiba-tiba mendesir hebat saat kembali mengingat permainan mereka semalam. Permainan yang sebelumnya tidak pernah Lily bayangkan, tapi ia sukses membuat sosok Damian Richi melolong sepanjang malam.Lily bangkit dari tempat tidur yang tak berbentuk lagi. Langkah kakinya yang ia paksakan membawanya menuju pintu masuk kamar itu.Namun, tiba-tiba kening Lily mengerut."Heh... kenapa pintunya terkunci?" gumamnya curiga. Tangannya tak henti memutar kenop, menarik,