Lily melangkah dengan sensual melewati Bianca yang tengah menunggu Damian. Tatapan Bianca tampak sinis, penuh ketidaksabaran, sementara Lily terlihat jauh lebih tenang, seolah kemenangan sudah ada di tangannya. Langkahnya ringan dan percaya diri, seperti seorang ratu yang baru saja menaklukkan mangsanya.
Apa yang dilakukan Lily di sana? Bianca sama sekali tidak tahu bahwa Lily berada di tempat yang sama dengan kekasihnya.
Setelah melewati Bianca beberapa meter, Lily akhirnya berhenti. Ia menoleh perlahan, menatap wanita itu dengan senyum tipis yang penuh arti.
"Hm, kasihan sekali. Dibuat menunggu oleh kekasihmu sendiri," ucapnya dengan nada manis, tetapi penuh racun.
"Moretti bekerja sama dengan Richi Group. Apa kau tidak tahu, wahai wanita sialan?"
Bianca tampak berpikir keras. Damian tidak pernah memberitahunya bahwa Richi Group bekerja sama dengan Moretti. Siapa yang lebih dulu menawarkan kerja sama?
"Kau tidak pantas menjalin kerja sama dengan Richi Group."
Lily terkekeh kecil. "Hei, mengapa tidak pantas? Aku diterima oleh mereka." Ia mendekat sedikit, menatap Bianca dengan tajam. "Hm, sebaiknya kau bercermin pada dirimu sendiri. Pantaskah kau untuk seorang Damian Richi?"
Bianca menggeram pelan, kedua tangannya mengepal kuat menahan emosi yang berkumpul begitu saja.
Lily hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa lagi. Ia melanjutkan langkahnya, membiarkan Bianca terjebak dalam pikirannya sendiri.
Sementara itu, Damian akhirnya keluar dari ruang rapat dengan ekspresi sulit ditebak. Saat melewati Bianca, ia hanya menepuk ringan bahu wanita itu sebelum berjalan tanpa menjelaskan apa pun.
Bianca menghela napas pelan, menahan ketidaksukaannya terhadap sikap Damian yang terasa sangat berbeda.
"Damian, mengapa kau tidak bercerita padaku mengenai kerja samamu dengan Lily?" desaknya, menginginkan kejelasan.
Damian menghentikan langkahnya. "Haruskah aku menjelaskan semuanya padamu? Dengan menjalin kerja sama dengan Moretti, itu artinya kau juga memperoleh keuntungan dari sini."
"Tapi kau tidak pernah memberitahuku, Damian. Dan tiba-tiba saja aku mendapatkan informasi dari anak buahmu bahwa kau sedang ada di sini."
Damian menatap Bianca sekilas sebelum menjawab datar, "Ya, aku tidak sempat memberitahumu. Bukankah kau ada jadwal pemotretan siang ini?"
"Ya, tapi aku masih punya waktu satu jam untuk makan siang bersama."
"Aku tidak bisa makan siang bersamamu, Bianca. Aku harus menyambut tamu yang baru saja datang dari London."
Bianca menatap Damian dengan pancaran penuh kekecewaan. Sepertinya baru kali ini Damian menolaknya dan bersikap sekaku itu. Apa ada sesuatu yang tidak beres?
"Siapa yang lebih dulu menawarkan kerja sama?" tanyanya, mencoba mencari kepastian.
"Aku. Dan jangan bertanya lagi, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus segera menuju hotel lainnya."
Damian berbohong. Sebenarnya, Lily yang lebih dulu menawarkan kerja sama dengan Richi Group untuk tujuannya sendiri. Bisa dikatakan, ia mengambil jalur berbahaya dan mempertaruhkan nama Moretti. Tapi siapa sangka Damian malah mengaku sebagai pihak yang lebih dulu mengajukan kerja sama?
Di sisi lain, Lily melangkah keluar dari gedung dengan senyum kemenangan. Jemarinya masih bisa merasakan sensasi dasi Damian yang sempat ia genggam, sementara di bibirnya, samar-samar masih ada jejak ciuman panas mereka.
Senyum itu semakin melebar. Di belakangnya, Damian masih berdiri di ambang pintu, memperhatikannya dengan tatapan yang semakin dalam.
"Apa yang sudah kau lakukan di dalam sana? Kau mengusirku dan membuatku menunggu begitu lama, Lilyana."
Zio menggerutu begitu Lily masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya.
"Hanya sedikit ciuman panas dengan Damian Richi."
Zio terkejut, refleks tangannya hampir saja kehilangan kendali atas kemudi. Mobil di depannya nyaris saja tertabrak.
"Hei! Kau benar-benar gila, Lily! Kenapa kau begitu berani? Kau tidak tahu siapa Damian Richi! Sepuluh tahun lalu, namanya sempat menjadi perbincangan hangat karena sesuatu yang buruk. Dan aku yakin kau sama sekali tidak tahu soal itu."
Lily mengangkat bahu dengan santai. "Sayangnya, aku tidak peduli. Sepuluh tahun lalu aku masih kecil dan sibuk bermain. Jadi, menurutmu aku harus mengkhawatirkan hal itu?"
Zio menegang. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya.
Ia tahu betul, Damian bukanlah pria yang bisa diremehkan atau dipermainkan begitu saja. Di balik wajah tampannya yang penuh karisma, tersembunyi sosok iblis yang sangat menakutkan.
"Kau sedang menceburkan dirimu sendiri ke dalam lubang buaya, Lily. Demi Tuhan, aku benar-benar takut."
"Berhentilah bicara, Zionathan. Aku tidak peduli dengan siapa pun itu. Tujuanku mendekati Damian hanyalah untuk membalas dendam pada wanita sialan itu. Dan sebaiknya kau mendukungku saja, tidak peduli apa pun yang akan kulakukan."
Lily sama sekali tidak mau mendengar peringatan Zio.
Zio hanya bisa menghela napas berat. "Aku hanya takut," gumamnya lirih. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk menghentikan sahabatnya yang begitu keras kepala itu.
***
"Hm, Damian…"
Lily melangkah santai menuju pintu utama mansion, membiarkan angin malam yang sejuk membelai kulitnya. Bulan bersinar terang di langit, seakan ikut merayakan keberhasilannya malam ini.
Para pelayan yang masih berjaga di sekitar mansion segera menunduk hormat saat melihat kedatangan sang pewaris keluarga Moretti. Tidak ada satu pun yang berani membantahnya—Lily adalah penerus sah kekayaan ini, berbeda dengan Bianca yang hanya sekadar penikmat harta tanpa hak.
Namun, ada satu hal yang mengikat mereka berdua. Berdasarkan surat wasiat mendiang Tuan Moretti, jika Lily dan Bianca memilih untuk berpisah, maka seluruh harta Moretti tidak akan jatuh ke tangan siapa pun. Sebaliknya, semuanya akan disumbangkan—ke panti asuhan, panti jompo, atau orang-orang yang lebih membutuhkannya.
Sialnya, itu berarti Lily harus terus berbagi atap dengan wanita yang paling dibencinya.
Langkahnya terhenti ketika melihat sosok Bianca yang duduk anggun di ruang tamu. Wanita itu terlihat sangat rapi dalam balutan gaun mewah, dengan riasan sempurna dan aroma parfum mahal yang memenuhi ruangan. Seperti seseorang yang tengah menunggu seseorang dengan penuh harapan.
"Sudah pasti Damian," Lily bergumam pelan, nyaris tak terdengar.
Dengan senyum tipis, ia mendekati Bianca, lalu berhenti tepat di hadapannya. Tatapannya penuh arti, seakan menikmati momen ini sepenuhnya.
"Hm, sepertinya ada seorang pria yang telah membuat kekasihnya kecewa, dan kini menebusnya dengan makan malam romantis," ucapnya ringan, namun dengan nada yang begitu tajam.
Bianca mendongak dengan ekspresi tak suka. "Diam kau."
Di sisi lain, Nyonya Lombardi—ibu Bianca—ikut menatap Lily dengan wajah penuh ketidaksenangan. Wanita paruh baya itu sangat berperan penting dalam kehidupan putrinya hingga bisa sampai di detik ini.
Lily tertawa kecil, menyilangkan tangan di depan dada. "Aku hanya ingin mengucapkan selamat bersenang-senang, ibu tiriku tersayang." Ia menekankan kata terakhir dengan nada mengejek. "Aku harap Damian bisa setia dengan wanita sepertimu. Sungguh, aku heran bagaimana pria sekelas dia bisa tertarik pada seseorang yang terkenal hanya sebagai perempuan murahan—yang rela menikahi pria tua demi harta."
Wajah Bianca menegang, rahangnya mengatup rapat.
"Lily, sampai kapan kau akan terus menghina putriku?" suara Nyonya Lombardi terdengar tajam. "Pada kenyataannya, hidup Bianca jauh lebih baik darimu. Apalagi sebentar lagi, dia akan menikah dengan Damian."
Alih-alih marah, Lily justru tersenyum semakin lebar. "Oh ya? Aku turut senang mendengarnya." Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Sayangnya, ada satu hal yang kau lupakan. Damian bukan pria yang bisa dengan mudah setia. Dia senang mempermainkan wanita. Aku hanya khawatir Bianca akan menjadi korban berikutnya—menangis karena diberi harapan palsu, seperti semua wanita lain yang pernah jatuh ke dalam jebakannya."
Tatapan Bianca semakin tajam. Tangannya mengepal, seakan ingin melayangkan tamparan ke wajah Lily. Namun, ia tahu lebih baik. Sekali saja Lily mengadu ke pengacara mendiang ayahnya, maka semuanya bisa berantakan.
Lily menatapnya penuh kemenangan, lalu berbisik dengan nada manis. "Aku akan menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat jika kau benar-benar menjadi Nyonya Muda Richi."
"Damian Richi, aku perlu membuktikan ucapanmu itu. Aku tidak peduli dengan siapa kau di masa lalu. Yang jelas, menghancurkan Bianca adalah tujuanku."Lily menatap bayangannya di cermin besar di hadapannya. Gaun mewah berkelas dan mahal sudah melekat sempurna di tubuhnya. Kali ini, ia memilih gaun yang sedikit lebih terbuka—tentu saja, untuk menyelinap dan menggagalkan makan malam Bianca dengan pria itu.Senyum tipis terukir di bibirnya. Jemarinya dengan perlahan menyusuri garis lehernya, merasakan kain lembut yang membungkus kulitnya."Aku hanya penasaran... apa kau akan tetap bersama wanita itu, atau malah meninggalkannya dan menarikku ke atas ranjangmu, seperti yang sudah pernah kau katakan sebelumnya?Lily menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya, memperhatikan pantulan dirinya di cermin dengan penuh percaya diri. Ia tahu apa yang ia lakukan berbahaya, tetapi itu justru yang membuatnya semakin bersemangat.Dengan langkah anggun, ia mengambil tas tangan kecilnya lalu berjal
Tidak terdengar lagi suara Bianca di luar sana. Dengan itu, Damian langsung bergegas keluar dari dalam toilet. Tujuannya jelas, yaitu mengejar buruannya yang telah kabur entah ke mana."Kau pikir kau bisa pergi begitu saja, Nona Moretti? Kau yang lebih dulu membangkitkanku. Jangan pikir aku hanya pria biasa seperti yang ada di pikiranmu," gumam Damian dengan senyum tipis.Dengan cepat, ia melajukan mobilnya, meninggalkan Bianca yang masih sibuk mencari keberadaannya. Ia tahu betul di mana Lily. Damian adalah orang berkuasa yang tidak mudah dikelabuhi begitu saja—memiliki anak buah di mana-mana yang bisa memberikan informasi apa pun.Mobil Damian berhenti di salah satu klub mewah. Buruannya ada di dalam sana.Lily duduk di sofa VIP dengan anggun, jemarinya memainkan gelas wine merah yang berputar perlahan di tangannya. Sorot matanya penuh kepuasan saat mengamati kerumunan di lantai dansa, seolah yakin pria itu akan segera tiba.Dan benar saja.Damian melangkah masuk ke klub dengan lang
"Selamat pagi, Tuan Damian. Maaf telah membuat Anda menunggu lama." Lily melangkah dengan anggun, setiap gerakan tubuhnya dipenuhi kepercayaan diri yang terlatih. Tumit tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama halus, sementara gaun formalnya membalut tubuh dengan sempurna, menonjolkan siluet yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di hadapan Damian. Tatapannya tajam, lekat tertuju pada pria itu yang tampak dingin dan kaku—tak tergoyahkan sedikit pun oleh Lily yang tengah berusaha memancing perhatiannya. Lily menyunggingkan senyum tipis. Pikirannya berlarian liar, mencoba memikirkan kembali cara untuk menaklukkan pria yang jauh dari apa yang ia perkirakan. "Tidak masalah, Nona Moretti. Kita tidak perlu terlalu formal." Nada suara Damian terdengar santai, tapi Lily menangkap sesuatu di balik senyumnya yang samar. Ia tahu siapa Damian Richi. Seorang pria yang cukup berbahaya, dikenal luas di dunia bisnis dengan cara-cara keras dan tanpa kompromi. Namun, bagi Lily, itu bukanlah h
"Yang aku tahu, sosok pria sepertimu tidak suka menghabiskan waktu terlalu lama untuk membuat keputusan," ucap Lily dengan nada datar namun tajam, membuyarkan lamunan Damian. Pria itu mengerjap pelan, terhentak sejenak seolah baru tersadar dari perjalanan panjang dalam pikirannya sendiri. Tatapan kosongnya sebelumnya tampak penuh beban, seolah bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. "Ya, aku menyepakatinya," gumam Damian akhirnya, suaranya rendah dan berat. Ia memutar badannya sehingga membelakangi Lily. "Bagus," balas Lily sambil tersenyum, senyum yang terpatri anggun di wajahnya seperti topeng tak tergoyahkan. Di balik senyum itu, ada ribuan helai niat tersembunyi. Rencana awalnya berjalan nyaris sempurna. Layaknya rubah kecil yang lihai, Lily tahu betul kapan harus bergerak, kapan harus diam, dan kapan harus mencabik. Ia bukan hanya cantik, tapi cerdik—sangat cerdik. Tak. Tak. Tak. Ketukan sepatu hak tingginya terdengar begitu nyaring, Lily mendekati Damian yang mas
Tidak terdengar lagi suara Bianca di luar sana. Dengan itu, Damian langsung bergegas keluar dari dalam toilet. Tujuannya jelas, yaitu mengejar buruannya yang telah kabur entah ke mana."Kau pikir kau bisa pergi begitu saja, Nona Moretti? Kau yang lebih dulu membangkitkanku. Jangan pikir aku hanya pria biasa seperti yang ada di pikiranmu," gumam Damian dengan senyum tipis.Dengan cepat, ia melajukan mobilnya, meninggalkan Bianca yang masih sibuk mencari keberadaannya. Ia tahu betul di mana Lily. Damian adalah orang berkuasa yang tidak mudah dikelabuhi begitu saja—memiliki anak buah di mana-mana yang bisa memberikan informasi apa pun.Mobil Damian berhenti di salah satu klub mewah. Buruannya ada di dalam sana.Lily duduk di sofa VIP dengan anggun, jemarinya memainkan gelas wine merah yang berputar perlahan di tangannya. Sorot matanya penuh kepuasan saat mengamati kerumunan di lantai dansa, seolah yakin pria itu akan segera tiba.Dan benar saja.Damian melangkah masuk ke klub dengan lang
"Damian Richi, aku perlu membuktikan ucapanmu itu. Aku tidak peduli dengan siapa kau di masa lalu. Yang jelas, menghancurkan Bianca adalah tujuanku."Lily menatap bayangannya di cermin besar di hadapannya. Gaun mewah berkelas dan mahal sudah melekat sempurna di tubuhnya. Kali ini, ia memilih gaun yang sedikit lebih terbuka—tentu saja, untuk menyelinap dan menggagalkan makan malam Bianca dengan pria itu.Senyum tipis terukir di bibirnya. Jemarinya dengan perlahan menyusuri garis lehernya, merasakan kain lembut yang membungkus kulitnya."Aku hanya penasaran... apa kau akan tetap bersama wanita itu, atau malah meninggalkannya dan menarikku ke atas ranjangmu, seperti yang sudah pernah kau katakan sebelumnya?Lily menyelipkan sehelai rambut ke belakang telinganya, memperhatikan pantulan dirinya di cermin dengan penuh percaya diri. Ia tahu apa yang ia lakukan berbahaya, tetapi itu justru yang membuatnya semakin bersemangat.Dengan langkah anggun, ia mengambil tas tangan kecilnya lalu berjal
Lily melangkah dengan sensual melewati Bianca yang tengah menunggu Damian. Tatapan Bianca tampak sinis, penuh ketidaksabaran, sementara Lily terlihat jauh lebih tenang, seolah kemenangan sudah ada di tangannya. Langkahnya ringan dan percaya diri, seperti seorang ratu yang baru saja menaklukkan mangsanya.Apa yang dilakukan Lily di sana? Bianca sama sekali tidak tahu bahwa Lily berada di tempat yang sama dengan kekasihnya.Setelah melewati Bianca beberapa meter, Lily akhirnya berhenti. Ia menoleh perlahan, menatap wanita itu dengan senyum tipis yang penuh arti."Hm, kasihan sekali. Dibuat menunggu oleh kekasihmu sendiri," ucapnya dengan nada manis, tetapi penuh racun."Moretti bekerja sama dengan Richi Group. Apa kau tidak tahu, wahai wanita sialan?"Bianca tampak berpikir keras. Damian tidak pernah memberitahunya bahwa Richi Group bekerja sama dengan Moretti. Siapa yang lebih dulu menawarkan kerja sama?"Kau tidak pantas menjalin kerja sama dengan Richi Group."Lily terkekeh kecil. "H
"Yang aku tahu, sosok pria sepertimu tidak suka menghabiskan waktu terlalu lama untuk membuat keputusan," ucap Lily dengan nada datar namun tajam, membuyarkan lamunan Damian. Pria itu mengerjap pelan, terhentak sejenak seolah baru tersadar dari perjalanan panjang dalam pikirannya sendiri. Tatapan kosongnya sebelumnya tampak penuh beban, seolah bayang-bayang masa lalu kembali menghantuinya. "Ya, aku menyepakatinya," gumam Damian akhirnya, suaranya rendah dan berat. Ia memutar badannya sehingga membelakangi Lily. "Bagus," balas Lily sambil tersenyum, senyum yang terpatri anggun di wajahnya seperti topeng tak tergoyahkan. Di balik senyum itu, ada ribuan helai niat tersembunyi. Rencana awalnya berjalan nyaris sempurna. Layaknya rubah kecil yang lihai, Lily tahu betul kapan harus bergerak, kapan harus diam, dan kapan harus mencabik. Ia bukan hanya cantik, tapi cerdik—sangat cerdik. Tak. Tak. Tak. Ketukan sepatu hak tingginya terdengar begitu nyaring, Lily mendekati Damian yang mas
"Selamat pagi, Tuan Damian. Maaf telah membuat Anda menunggu lama." Lily melangkah dengan anggun, setiap gerakan tubuhnya dipenuhi kepercayaan diri yang terlatih. Tumit tingginya mengetuk lantai marmer dengan irama halus, sementara gaun formalnya membalut tubuh dengan sempurna, menonjolkan siluet yang tak bisa diabaikan. Ia duduk di hadapan Damian. Tatapannya tajam, lekat tertuju pada pria itu yang tampak dingin dan kaku—tak tergoyahkan sedikit pun oleh Lily yang tengah berusaha memancing perhatiannya. Lily menyunggingkan senyum tipis. Pikirannya berlarian liar, mencoba memikirkan kembali cara untuk menaklukkan pria yang jauh dari apa yang ia perkirakan. "Tidak masalah, Nona Moretti. Kita tidak perlu terlalu formal." Nada suara Damian terdengar santai, tapi Lily menangkap sesuatu di balik senyumnya yang samar. Ia tahu siapa Damian Richi. Seorang pria yang cukup berbahaya, dikenal luas di dunia bisnis dengan cara-cara keras dan tanpa kompromi. Namun, bagi Lily, itu bukanlah h