LOGINMalam harinya, aku menjenguk ibu. Riana dan Dino ku suruh pulang sebentar untuk membersihkan diri dan makan malam. Kami gantian berjaga. Aku tau, meskipun aku lelah bekerja, Riana dan Dino pasti juga merasa lelah karena menunggu orang yang sakit di rumah sakit.
Ibu sudah sadar pagi tadi. Saat ini ia tengah tertidur pulas setelah perawat membantu membersihkan tubuhnya. Kondisinya berangsur membaik, meskipun sekarang masih dalam masa pemulihan dan pembersihan dalam lambungnya. Cairan berwarna hitam masih setia mengalir dari selang makan miliknya, tapi warnanya tak sepekat sebelumnya. Aku menatap ibu. Menggenggam tangannya dengan lembut. Ibu bergerak pelan, lalu kembali tertidur pulas. Tadi, aku sudah menemui dokter Danu. kembali berkonsultasi soal kondisi ibuku dan rencana operasi pemasangan ring jantung. Dokter Danu menyarankan segera. Dan aku akhirnya menyetujui setelah berbincang juga dengan kedua adikku. Ibu belum tau terkait rencana operasinya. Aku belum mengatakannya. Dulu, ibu selalu menolak setiap kami—anak-anaknya—membujuk ibu untuk melakukan operasi. Katanya beliau takut. Tapi aku sadar, ibu bukan takut karena tindakan operasi. Tapi takut karena biaya operasi yang terlampau besar. Suara dentingan di ponselku membuatku buru-buru merogoh tas. Aku tersenyum lebar. Yang kutunggu-tunggu akhirnya sampai. Cek senilai 25 milyar dari nona Claire berhasil masuk ke rekeningku. Artinya, aku sudah bisa melunasi biaya pengobatan dan operasi ibu hari ini juga. Di saat aku berniat berdiri, ibu tiba-tiba bergerak pelan, menarik lenganku. Aku menoleh dan mendorong pelan ibu yang ingin duduk. Dokter belum mengizinkan ibu untuk duduk, jadi beliau harus tetap berbaring sementara waktu. "Tiduran dulu ya, Buk. Belum boleh duduk. Ibu mau apa?" Ibu menggeleng sangat pelan. Lalu tangannya bergerak menarik jariku, memintaku untuk duduk. Aku mengikutinya untuk kembali duduk. Kutatap ibu dengan senyum tipis. Tangan yang sudah menua miliknya kuelus pelan. "Ibu minggu depan operasi, ya?" bujukku. Aku tak lagi harus menyembunyikannya. Uang untuk operasi bukan masalah lagi. Jadi, kupikir ibu tak perlu khawatir soal ini. Namun, sayangnya ibu masih menolak. Ia menggeleng pelan. "Nggak mau. Ibu nggak mau, Din. Ibu takut." Aku menghela napas pelan. Lalu mengusap rambut ibu yang mulai memutih. "Buk, nggak perlu takut. Operasi ini biar ibu nggak ngerasain sakit lagi. Dokternya udah ahli, jadi ibu nggak usah khawatir. Dan soal biaya, ibu nggak perlu pikirin. Diana dapat bonus dari kantor, lumayan besar. Cukup untuk biaya operasi ibu, sama buat uang kuliah Riana dan Dino. Masih sisa malah." Aku tertawa pelan, mencoba agar membuat ibu bisa lebih tenang. Namun, yang kulihat malah sebaliknya. Ibu menangis. Air matanya menetes. Dia menggenggam tanganku erat, tanpa berucap apa-apa. Suara tangisannya membuat hatiku menjerit, juga sedikit panik. "Ibuk kenapa? Ada yang sakit?" tanyaku. Ibu kembali menggeleng pelan. Ia menarik napas dalam, mencoba menghentikan tangisnya. Lalu, matanya menatapku dalam. Aku bisa melihat mata tulusnya, penuh rasa kasih sayang. "Maafin ibu, ya, Din. Ibu gagal jadi orang tua. Ibu malah nyusain kamu," ucapnya pilu. Aku segera menggeleng tegas. Hatiku sakit mendengar ibu meminta maaf. Tidak. Ibu sama sekali tidak gagal menjadi orang tua. "Nggak, Buk. Ibuk nggak gagal. Rezeki Diana sekarang pasti karena doa ibuk juga. Ibu hebat. Riana sekuat ini justru karena ibuk." "Kamu nggak usah maksain diri, Nak. Ibuk tau kamu capek kerja. Kamu sibuk jadi tulang punggung keluarga. Kamu jarang mikirin diri kamu sendiri." Aku kembali menggeleng tegas, tidak setuju dengan pernyataan ibuk. Meskipun hariku berat, tapi aku senang melakukannya. Aku senang bisa berguna untuk ibu dan kedua adikku. "Buk, jangan mikir macam-macam. Diana senang melakukannya. Diana senang bisa berguna buat ibuk, Riana, dan Dino. Lagian, Diana juga senang kerja di kantor. Diana punya banyak teman. Bos Diana juga baik sekali," ucapku riang. Aku tertawa pelan, mencoba mengusir suasana melankolis ini. Senangnya, ibuk ikut tersenyum, meskipun tipis. Matanya berbinar. Sekali lagi, tangan keriputnya mengelus tanganku. "Syukurlah, Din. Ibu sangat takut kalau merepotkan kamu lagi dan lagi. Do'akan ibuk ya, supaya cepat sehat. Supaya bisa beraktifitas normal lagi." Aku mengangguk semangat. "Pasti, Buk. Makanya, ibuk harus mau operasi, ya?" bujukku lagi. Kali ini senyum lebarku tak kuasa kutahan. Ibu mengangguk dengan senyum cantiknya, membuat merasa sangat lega. Kali ini, pikiranku sedikit tenang. Soal pengobatan ibu, semoga berjalan lancar. "Oh, ya, gimana hubunganmu sama Elzard? Lama sekali ibu tidak lihat dia." Senyumku perlahan luntur. Mendengar nama Elzard disebut membuatku merasa kesal setengah mati. Laki-laki itu sudah kublokir dari sejak hari di mana dia ketahuan selingkuh. Lebih kesalnya lagi, pria itu sama sekali tidak mencoba menghubungiku untuk meminta maaf. Yah, meskipun memang kublokir, tapi jika dia menyesal, setidaknya ia berusaha lebih keras untuk meminta maaf padaku. "Kami putus. Dia selingkuh," kataku lesu. Ibu terlihat terkejut, tapi tidak merespons apa-apa. Elzard adalah satu-satunya laki-laki yang kukenalkan pada ibu. Berharap dia yang akan menjadi suamiku. Sayang, hubungan kami kandas begitu saja. "Nggak papa, kan, Buk, kalau Diana nggak nikah secepatnya?" tanyaku ragu. Ibu mengangguk pelan. "Nggak papa, Din. Kamu mau nikah kapanpun dan dengan siapapun, ibu akan dukung. Asalkan itu baik buat kamu." Aku tersenyum. Sebelum sempat menimpali ucapan ibuk, ponselku berdenting. Pesan masuk dari pak James membuatku tersenyum. --Bagaimana keadaan ibumu, Diana?-- Aku segera mengetikkan pesan balasan. Memberitahu kondisi ibuku padanya. Tak lama, Pak James kembali membalas. --Syukurlah kalau begitu. Semoga ibumu cepat sembuh. Salam untuk beliau.-- Aku tersenyum semakin lebar. Rupanya ibu mengamatiku. Ia menoel lenganku, seakan memintaku untuk menjelaskan kenapa aku tersenyum lebar. "Dapat salam dari bos Diana, Buk. Pak James." Ibu mengangguk. Ibu memang sudah tau tentang pak James, meskipun belum pernah bertemu langsung. Dulu aku sering bercerita soal pak James pada ibu. "Bosmu baik sekali, Diana. Kamu beruntung bisa kerja sama dia." Aku mengangguk setuju. "Iya. Dia memang sangat baik, Buk. Sering ngasih Diana bonus juga," ucapku dengan senyum lebar. Ibu kembali tersenyum tipis. Tatapannya dalam. "Semoga, suatu saat kamu bisa dapat suami seperti pak James, ya, Din. Semoga siapapun yang akan jadi pasanganmu, bisa bikin kamu bahagia suatu saat nanti." Ucapan ibuk membuat jantungku seakan berhenti. Masih adakah kesempatan untukku mendapat pasangan yang baik setelah apa yang kulakukan nanti? Dan bagaimana jika ibuk tau jika aku berniat menggoda pak James yang sudah beristri? Bagaimana jika ibu tau uang yang dipakai untuk operasinya bukan bonus dari pak James? melainkan hasil bayaran untuk menggoda pak James? Ah, sepertinya uang 25 milyar ini akan membuatku tak tenang.Hari ini aku tak masuk kerja. Seperti yang sudah kukatakan pada pak James beberapa waktu lalu. Hari ini jadwal ibu operasi, jadi aku ingin menemaninya. Aku duduk merenung setelah 2 jam berlalu sejak ibu masuk ruangan operasi. Tidak, aku tidak memikirkan atau khawatir soal keadaan ibu. Dokter Danu paling ahli di bidang ini. Jadi, aku sangat percaya padanya bisa melakukan yang terbaik untuk ibu. Kondisi ibu juga berangsur membaik, jauh lebih baik dari sebelumnya sebelum masuk kamar operasi. Jadi, harusnya ibu akan baik-baik saja. Pikiranku justru berkelana pada kondisi pak James. Setelah hari di mana pak James mengatakan bahwa ia mandul, aku sedikit khawatir. Pak James mungkin berpikir jika ia sangat bertanggung jawab atas kejadian malam bersama nona Claire. Lalu, saat tau dirinya tidak bisa menghamili nona Claire, pak James merasa semakin bersalah. Mungkin itu sebabnya pak James begitu putus asa. Nona Claire yang berseli
"Diana, menurutmu, perempuan lebih suka laki-laki yang membebaskannya untuk melakukan sesuatu yang dia inginkan, atau mengekangnya dengan segala aturan?" Pak James tiba-tiba berhenti mengunyah. Ia manatapku, menunggu jawaban. Saat ini, kami sedang berada di warung nasi padang yang sama seperti yang kami kunjungi beberapa waktu lalu. Ini kedua kalinya pak James mengajakku kemarin. Tadinya, kupikir pak James akan mengurung diri di ruangannya setelah masalah yang ia hadapi dengan nona Claire. Tapi, ternyata tidak. Ia malah mengajakku ke sini. "Tentu saja pilih laki-laki yang membebaskan saya untuk melakukan segala hal yang saya mau. Tapi, bukan dalam artian sebebas-bebasnya. Perempuan itu suka diperhatikan, Pak. Jadi, dibebaskan dalam artian didukung, asalkan itu baik. Memangnya kenapa, Pak? Tumben Bapak tanya hal seperti ini?" Pak James hanya menggeleng pelan, lalu kembali menyantap makanannya. Membuatku bertanya-tanya. Apakah ini ada hubungannya dengan nona Claire. "Em, saya
"Selamat pagi, Pak," sapaku pada Pak James yang sedang sibuk menatap layar tablet miliknya. Kacamata yang ia pakai menambah kesan wibawa. Pak James menatapku, lalu melepaskan kacamatanya dan meletakkannya di meja. "Selamat pagi, Diana," jawabnya dengan senyum samar. Ia memandangku aneh, sedikit menaikkan alisnya. "Kamu sedang tak enak badan?" tanyanya. Aku sedikit bingung awalnya. Namun, pak James melirik syal yang kukenakan, membuatku paham maksud pertanyaannya. Aku segera menggeleng pelan, lalu akhirnya mengangguk karena kupikir akan lebih baik jika aku berbohong. "Iya, sedikit tidak enak badan pak James. Tapi saya masih kuat bekerja," kataku. Pak James menatapku seakan tak percaya. Tapi, pada akhirnya ia mengangguk saja. Lagipula, tidak mungkin juga jika aku mengatakan yang sejujurnya. Pak James mungkin tidak akan mengingatnya dan malah menuduhku yang tidak-tidak. Karena semalam dia mabuk. Bahkan setelah pelepasannya, dia langsung a
Rupanya dugaanku salah. Bukannya menghentikan kegiatannya, Pak James malah kembali menciumku secara brutal. Tangannya sudah menyusup ke punggungku, melepaskan kaitan bra yang kukenakan. Tanganku segera menutupi dua asetku yang tak lagi tertutup bra. Pak James kembali menegakkan badannya, lalu diam menatap bagian depanku dengan mata berkilat nafsu. "Jangan ditutup, Diana. Tidak baik menutupi sesuatu yang sangat indah ini," ucapnya parau, sambil mencoba menyingkirkan kedua tanganku. Aku masih mencoba menahan tangan pak James, tapi tenagaku tak cukup kuat. Dengan sekali sentak, pak James berhasil menyingkirkan kedua tanganku dari dua bongkahan milikku. Tanganku ditarik ke atas, membuat dadaku lebih condong ke arahnya. Dan tanpa aba-aba, pak James langsung menenggelamkan kepalanya ke sana. "Ah.... Bapak hentikanhh." Pak James menghirup dalam-dalam aroma tubuhku. Ia juga kembali memberikan tanda di san
Setelah kejadian di dapur apartemen pak James hari itu, aku memutuskan untuk pulang. Pak James tak lagi menghubungiku. Akupun juga tak berniat menghubunginya. Aku butuh waktu, khususnya untuk memikirkan rencanaku selanjutnya. Ada rasa takut ketika mendengar kenyataan bahwa pak James mungkin tertarik padaku, juga tubuhku. Meskipun nona Claire memintaku untuk menggunakan tubuh untuk menggoda pak James—dan sudah kulakukan, nyatanya ada perasaan takut jika hal-hal yang melewati batas akhirnya terjadi. Pak James laki-laki normal. Dia bilang sendiri padaku. Artinya, apakah aku sudah menemukan jawaban yang nona Claire minta? Apakah aku harus menghentikan pekerjaan ini sekarang dan memberi tau nona Claire bahwa pak James tidak setia padanya? Tapi, apa yang akan dilakukan nona Claire selanjutnya setelah mengetahui hal ini? Apakah mereka tetap melanjutkan pernikahan atau malah memutuskan bercerai? Jika bercerai, bukankah aku terlalu jahat pada pak J
Perbincanganku dengan pak James masih berlanjut. Tapi kini kami sudah berpindah duduk di sofa. Di depan kami, televisi besar pak James menyala, menampilkan salah satu tayangan berita yang begitu membosankan menurutku. "Em, kalau boleh tau, nona Claire pergi ke mana, Pak? Kenapa Bapak tidak ikut saja? Ini kan weekend." Aku menoleh ke arah Pak James yang tampak fokus menonton berita. Pak James sepertinya sangat tertarik dengan dunia politik, juga berita kriminal. "Swiss. Dia sedang liburan. Menikmati waktu sendirinya. Kamu tau, perempuan terkadang butuh me time." Aku mengangguk saja. Tapi, batinku seakan tidak setuju. Sebagai seorang perempuan yang masih lajang, aku justru memiliki harapan untuk bisa pergi liburan dengan kekasihku. Untuk me time, akan lebih baik jika hanya untuk kegiatan murah, seperti tidur, baca buku, ngopi santai. Tapi liburan di Swiss, sayang sekali jika tidak bersama pasangan. "Bapak membiarkannya per







