Share

Misi sang Pembuka Gerbang
Misi sang Pembuka Gerbang
Penulis: Silver Puma

Chapter 01

Viole menganga; matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Dia berada di tengah-tengah tempat yang sama sekali tidak dikenalnya. Padahal beberapa detik yang lalu, dia masih berdiri di kamar.

Pemandangan di sekelilingnya adalah tanaman raksasa. Bahkan daun-daun yang tumbuh berukuran mencapai 100 kali lipat dari ukuran daun biasa. Batang pohonnya juga sangat besar. Akar yang menyembul keluar pun ukurannya sangat tidak wajar. Serta suasana di tempat itu seperti musim dingin; tidak adanya sinar matahari.

Di tengah rasa kagumnya, Viole teringat akan buku yang sebelumnya ia pegang, kini tak lagi berada di tangannya, dan dia juga menyadari sesuatu. Suhu di sekelilingnya sangat dingin.

‘Dingin sekali. Ini aneh, nggak ada sinar matahari, tapi pepohonan di sini tumbuhnya nggak ngotak,’ batin Viole.

Untungnya, Viole mengenakan pakaian panjang. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, mencoba menghangatkan tangannya yang tidak tertutupi oleh lengan baju.

Di tengah usaha menghangatkan tangan yang terasa seperti es itu, Viole teringat dugaannya selama ini ternyata benar, bahwa buku itu adalah gerbang ke dunia lain. Maka dari itu, dia bertekad mencari sang ayah yang dia percaya juga terjebak disini.

‘Gua harus nemuin Papa!’ batin Viole.

Lalu tiba-tiba muncul suara aneh. Sontak, Viole langsung menoleh ke belakang, dari mana suara itu berasal. Dia melihat ada segerombolan semak-semak setinggi orang dewasa yang terus bergoyang.

Viole memperhatikan dengan seksama tanpa berkedip, ‘Ada apaan sih disana?' batinnya penasaran.

Tiba-tiba, dari dalam semak-semak, keluar seorang pemuda. Viole terjatuh ke belakang karena sangat terkejut. Jantungnya berdegup kencang hingga ia merasa jantungnya itu bisa copot.

Namun, belum sempat bernapas, Viole melihat pemuda itu berteriak keras sambil berlari melewatinya, "Kau! Ayo lari!"

Viole pun berlari mengikuti pemuda yang tidak dikenalnya itu tanpa tahu mengapa ia menyuruhnya lari.

"Kenapa harus lari sih?!" tanyanya setengah berteriak.

"Kenapa?! Apa kau mau mati?!" jawab pemuda itu tanpa menoleh.

Viole tertegun. Apa yang dimaksud oleh pemuda asing itu dengan mati?

Sebelum dia bisa mendapatkan jawaban, dari arah belakangnya terdengar suara derap kaki, membuat jantung Viole semakin berdegup kencang.

‘Apaan tuh di belakang?!’ batinnya bertanya-tanya.

Dia berlari mengikuti langkah pemuda asing itu, menembus lebatnya hutan, tanpa istirahat. Lama kelamaan napasnya mulai habis, bulir-bulir keringat dingin karena suhu disana, terus mengalir di dahi Viole.

Dia melihat jaraknya dengan pemuda di depan mulai semakin jauh. ‘Cepet banget sih larinya?!’ batin Viole.

“Tung … gu!” serunya terbata.

Si pemuda lantas menoleh ke belakang, kedua matanya seketika membulat, "Kau! Cepat menunduk!”, teriaknya.

Viole secara refleks pun merunduk, dan tiba-tiba di belakangnya terdengar suara benturan yang sangat keras, diikuti dengan suara melengking dan menggelegar: "Kheekkhh!"

‘Hih apaan itu serem banget!’ batin Viole mendengar suara di belakangnya, begitu menakutkan.

Setelah itu, derap kaki yang sebelumnya terdengar, kini tidak terdengar lagi. Penasaran dengan apa yang terjadi di belakangnya, sambil tetap berlari Viole menengok ke belakang.

Namun karena rambut panjang Viole yang tergerai menutupi mata, dia tidak dapat melihat dengan jelas.

‘Aduh! Ini rambut nutupin!’ batin Viole sambil menyingkap rambutnya dari wajah.

Karena gadis itu tidak memperhatikan arah di depannya. Dia pun tidak sengaja menabrak sesuatu hingga terjatuh.

“Aduh….” gumam Viole sambil menahan rasa sakit di dahi, perlahan ia mengangkat kepala.

Perlahan pula pandangan gadis itu mengarah ke atas. Deg! Matanya membulat, melihat wajah si pemuda asing itu, tengah melihat ke arahnya.

‘Astaga OMG!’ jerit Viole dalam hati.

Dia pun dengan cepat berdiri, namun karena terlalu tergesa-gesa, ia jatuh ke belakang dengan posisi terduduk.

Sementara itu, merasa beban berat yang menindihnya telah hilang, si pemuda kemudian berdiri. Dia membersihkan tanah yang menempel di pakaiannya, lalu menoleh ke arah belakang gadis yang duduk di tanah tidak jauh darinya itu.

Sang pemuda lantas mengehela napas panjang, merasa lega akan sesuatu. Kemudian matanya tertuju pada gadis yang terus memegangi kepalanya dengan kedua tangan.

‘Apakah makhluk itu berhasil mengenai kepalanya?’ batin si pemuda.

Akan tetapi, sebelumnya dia melihat, gadis itu berhasil merunduk tepat waktu, dan juga tidak terjadi apa-apa pada kepalanya. Namun, kenapa dia terus memegangi kepalanya?

‘Apa kepalanya akan copot bila tidak dia pegang?’ batin si pemuda.

“Kepalamu baik-baik saja?” tanyanya kemudian.

Viole yang sibuk dengan pikirannya dan juga merasa malu pun menoleh. Ekspresi pemuda itu tampak biasa saja, tidak terkejut atau pun marah padanya. Padahal, Viole sudah menabrak hingga mereka berdua jatuh, bahkan secara tak sengaja menindihnya.

‘Dia kok biasa aja sih?’ batin Viole bertanya-tanya.

“Apakah kau tuli?” tanya pemuda itu kembali, karena gadis yang dia ajak bicara malah melongo.

“Eng…. nggak!” jawab Viole.

“Gua gak tuli kok, gua … gua denger,” lanjutnya salah tingkah, kemudian berdiri.

“Apa itu?” sahut si pemuda.

Viole yang sebelumnya salah tingkah sendiri, kini merasa heran dengan pertanyaan yang pemuda itu lontarkan.

‘Maksudnya apaan sih?’ batinnya bingung.

“Maksudnya apa?” Viole balik bertanya pada pemuda itu.

“Aku bertanya padamu, bukannya dijawab, kau malah balik tanya padaku,” sahut si pemuda dengan nada sewot.

‘Anjir ni orang … ternyata nyebelin!’ batin Viole kesal.

Dia pun menatap mata si pemuda yang berwarna merah. Dengan langkah kasar, dia berjalan mendekati pemuda itu, hingga sampai di hadapannya.

“Gua nanya karena kagak ngerti!” ujar Viole dengan nada tinggi.

Alis si pemuda lantas berkerut. Dia tidak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan gadis di depannya ini, dan ekspresi wajah yang menggebu-gebu itu, sepertinya gadis itu marah.

‘Kenapa dia marah? Lalu apa yang dia bicarakan? Itu bahasa apa?’ batin si pemuda bertanya-tanya.

Sementara Viole, melihat reaksi pemuda itu hanya diam, ia menduga jika si pemuda seakan tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan.

Gadis itu lantas menurunkan emosinya. Kemudian menunduk, memalingkan pandangan ke bawah. Seketika rasa tidak enak muncul di benak Viole.

Meski sebelumnya nada bicara pemuda itu memang terdengar menyebalkan, akan tetapi dia pun tidak semestinya berkata dengan nada tinggi seperti itu padanya. Lagian secara tidak langsung, si pemuda asing itu telah menolongnya.

‘Seharusnya gua berterima kasih sih, bukan marah-marah kaya tadi, tidak sopan juga,’ batin Viole berpikir ulang.

Dia pun sedikit menengadah, “Maaf kata-kata gua nyinggung elu ya tadi, makasih udah nolongin gua,”

Si pemuda hanya diam. Lagi-lagi gadis yang lebih pendek darinya ini berbicara dengan bahasa yang tidak ia mengerti.

‘Apa sih yang dari tadi dia ucapkan?’ batin pemuda itu mulai bingung.

Melihat itu, Viole menduga kunci dari komunikasi mereka yang tidak kunjung nyambung adalah bahasa.

‘Kayanya dia nggak paham bahasa slank deh,’ terka Viole dalam hati.

“Aku minta maaf jika perkataanku menyinggung perasaanmu. Terimakasih sudah menolongku,” ujarnya kemudian.

Kedua alis pemuda itu pun terangkat. Rupanya, kalimat dengan bahasa asing yang terus dibicarakan oleh gadis di hadapannya ini, adalah ucapan terima kasih.

"Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak menyinggungku, dan aku juga tidak menolongmu. Kau yang berusaha sendiri,” ujar si pemuda, kemudian tersenyum.

Masalah komunikasi mereka terpecahkan, Viole lantas mengajak pemuda itu untuk berkenalan. Siapa tahu dengan mengetahui nama satu sama lain, pemuda itu bisa menjadi temannya, karena ia hanya sendirian ketika datang.

“Gua, maksudku.. namaku Viole,” ujarnya mengulurkan jabat tangan.

Pemuda itu pun menyambut, “Namaku Zanquen,” ujarnya memperkenalkan diri.

Baru juga keadaan tenang, kedua iris merah Zanquen yang sedang menatap Viole beralih menatap ke arah belakangnya. Senyum Zanquen langsung runtuh, matanya membelalak.

Hal itu membuat Viole menjadi penasaran. Apa yang ada di belakangnya?

Perlahan-lahan ia pun menoleh ke belakang. Mata almond berbingkai bulu lentik itu langsung membulat, “Anjay! Apa-apaan itu?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status