Share

Chapter 02

Terlihat sesosok berudu berkaki empat, namun dia tumbuh sangat besar. Ukurannya mencapai satu juta kali lebih besar dari berudu pada umumnya.

Sang monster menatap ke arah Viole, air liur si monster terus meluber hingga beberapa berjatuhan ke tanah.

‘Eww!’ batin Viole, merasa jijik melihat air liur yang menyerupai lendir itu.

Jarak si monster cukup jauh dari tempat Viole berdiri, namun dia dapat mendengar suara geraman dari sang monster.

Membuat nyali gadis itu ciut, dirinya sangat takut hingga tubuhnya terasa kaku. Lalu tiba-tiba saja sesuatu menariknya dari arah belakang.

Rupanya Zanquenlah yang menarik Viole untuk berlari dari monster itu, karena jika tidak, si monster bisa saja tiba-tiba menyerang. Dan benar, makhluk berkaki empat itu dengan cepat merayap di tanah, mengejar mereka berdua.

"Zan, i … itu apa?!" tanya Viole terbata panik.

"Itu monster!" jawab Zanquen sambil menarik tangan Viole untuk berlari lebih cepat.

“Lalu makhluk yang tergeletak di belakang itu apa?! Monster juga?!” tanya Viole lebih panik.

“Iya! Itu juga monster! Tapi dia sudah mati saat kau menunduk tadi!” jawab Zanquen, terus menarik tangan Viole.

Viole terperanjat mengetahui di dunia ini bukan hanya ukuran tumbuhannya yang raksasa. Akan tetapi berikut dengan hewan di dalamnya. Bahkan mereka bermutasi hingga ukuran tubuhnya sangat mengerikan.

‘Dunia macam apa ini?!’ teriak frustasi Viole dalam hati.

Zanquen tidak berhenti menarik Viole, meski gadis itu merasa kewalahan. Mereka berdua terus berlari tanpa henti, melewati pepohonan raksasa dan hewan-hewan bermutasi yang menakutkan.

Viole merasa napasnya tersengal-sengal dan tubuhnya mulai berat. Dia hampir mencapai batas.

"Ayo Viole, jangan berhenti!" teriak Zanquen.

Namun, Viole tidak mampu lagi. Bahkan dia tidak mampu bicara untuk membalas Zanquen. Dia merasa tubuhnya kian melemah dan pada akhirnya ia jatuh ke tanah.

Seketika Zanquen menghentikan langkah hingga hampir terjungkal ke depan. Kemudian segera berbalik, menghampiri Viole dan memapahnya untuk menjauh dari monster yang semakin mendekat.

"Ayo Viole, kita harus terus berlari!" ujar Zanquen menyuruh Viole untuk tetap berlari.

'Gua udah nggak kuat,” kata Viole dalam hati, dirinya sudah benar-benar mencapai batasnya.

Terdengar suara raungan sang monster di belakang, Zanquen sadar si monster semakin dekat. Dia harus mencari cara untuk mengalihkan perhatian monster itu.

‘Sesuatu! Aku harus mendapatkan sesuatu!’ batin Zanquen melirik tanah di sekitarnya.

Dia mengambil beberapa batu dan melemparkannya ke arah mata sang monster.

Suara nyaring kesakitan dari sang monster terdengar keras, tatkala lemparan Zanquen mengenai tepat di mata si monster. Saking kerasnya hingga pohon di sekitar tempat itu bergetar.

Selagi si monster sibuk dengan matanya, Zanquen segera memapah gadis itu untuk menjauh. Namun, saat mereka melarikan diri, tanpa mereka sadari ekor sang monster tengah mengarah ke arah mereka.

Duak! Mereka berdua terkena kibasan ekor si monster, terpental hingga membentur pohon sebelum akhirnya jatuh ke tanah.

Viole merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuhnya, seolah seluruh tulangnya hancur. Karena bagian punggungnya lebih dulu membentur pohon, kini seluruh tubuh Viole tidak bisa bergerak.

‘Aduh, badan gua … gak bisa digerakin,’ rintihnya dalam hati.

Kedua iris hitam Viole perlahan bergerak ke samping. Dia melihat Zanquen tergeletak tidak sadarkan diri. Dari mulutnya keluar cairan merah segar, membasahi leher hingga kerah bajunya.

Dada Viole sesak, matanya mulai berkaca-kaca. Viole merasa bersalah pada Zanquen. Jika saja pemuda itu meninggalkannya saat terjatuh tadi, ia tidak akan berakhir seperti itu.

‘Zan, padahal elu bisa nyelametin diri elu sendiri,’ sesal Viole dalam hati, air mata yang tidak dapat dibendung lagi pun menetes dari sudut matanya.

Tidak lama kemudian, tanah berguncang diiringi dengan suara hentakan yang berat. Viole melirik ke arah sumber suara tersebut yang semakin mendekat.

Rupanya, suara itu berasal dari langkah kaki si monster yang semakin dekat.

Melihat monster itu mendekat. Tubuh Viole yang tidak dapat digerakkan, membuat dia hanya bisa terpaku. Kedua mata almond Viole menatap sayu, ujung bibirnya sedikit terangkat, tersenyum kecut.

‘Masa gua berakhir gini? Gua mati jadi makanan monster anakan katak kaya gitu?’ batin Viole mempertanyakan akan nasibnya.

Perlahan gambaran mengenai kehidupannya mulai terlintas di ingatan Viole. Gambaran masa kecil dengan sikap ibunya yang kasar kepadanya terus terbayang, seperti sebuah film yang diputar dari rol ingatan.

Dari semua gambaran menyakitkan itu, yang paling membahagiakan adalah ketika dia diajak ke laboratorium milik sang ayah.

‘Papa, gua kangen sama Papa, setidaknya sebelum mati, gua pengin ketemu Papa lagi,’ batin Viole mengucapkan harapan sebelum kematian datang padanya.

Dari salah satu sudut mata Viole, air mata kembali menitik dan jatuh mengenai hidung kecil nan mancungnya.

‘Sudahlah, tamat riwayat gua.’ batin Viole lagi.

Bayangan besar menutupi seluruh tubuh gadis itu. Sang monster sudah berdiri tepat di hadapan Viole. Dia membuka mulutnya, mengeluarkan aroma seperti pedang yang menusuk indra penciuman.

‘Mulut lu bau banget anjir!’ cecar Viole dalam hati.

Dari dalam mulut raksasa itu, muncul sesosok bayangan yang perlahan menggeliat. Viole seketika menelan ludah begitu melihatnya.

‘Apaan lagi itu?! Jangan-jangan itu lidahnya?!’ terka Viole dalam hati.

Kemudian ketika terkena cahaya luar, nampaklah wujud bayangan itu.

Sebuah benda lunak berwarna merah muda, dengan permukaan dipenuhi tonjolan seperti kumpulan batu apung, lalu di bagian bawah, terdapat sulur kecil yang tidak terhitung jumlahnya.

Benar dugaan Viole, itu adalah lidah si monster. Lidah berbentuk seperti lidah manusia, tetapi memiliki panjang seperti lidah bunglon itu pun menjilat tubuh Viole.

Si monster mencicipi terlebih dahulu rasa buruannya. Mengakibatkan tubuh gadis itu penuh akan air liur.

‘Hiy! Menjijikkan sekali!’ teriak Viole dalam hati, ketika seluruh tubuhnya diselimuti air liur lengket dari sang monster.

Setelah si monster merasa buruannya cukup lezat, tanpa membuang waktu, dia melilit tubuh mangsanya dengan lidah. Diangkatnya tubuh gadis itu, kemudian ditarik menuju bagian dalam mulutnya.

Setelah itu sang monster melepaskan lilitan lidah lengketnya, kemudian menutup mulut menyerupai gua itu. Viole yang ada di dalam mulut si monster pun diselimuti oleh kegelapan total.

Dia sudah pasrah akan hidupnya. Sudah berada di mulut sang monster berarti ia akan mati. Namun untuk terakhir kalinya, Viole menginginkan secercah harapan.

‘Andai saja aku punya kekuatan …’

‘Andai saja aku punya senjata …’

‘Andai saja….’

Air mata kembali menitik dari sudut mata almond yang sayu itu. ‘Ah sudahlah, berakhir sudah.’

Viole mulai menutup perlahan mata. Namun saat ia menutup rapat kedua matanya, indera pendengaran gadis itu menangkap sesuatu.

“Baiklah, akan aku kabulkan keinginanmu …”

“Anak manusia.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status