Share

Miskin itu Memalukan
Miskin itu Memalukan
Penulis: Henya Firmansyah

Minta-Minta

Miskin itu memalukan 1

Mama yang selalu menyusahkan

[Ufi, ada yang 50 ribu nggak, tolong mamah ditransfer ya, biar uangnya bisa diambil dari ATM]

Aku menghela nafas membaca pesan singkat dari mamaku. Memang tidak seberapa hanya meminta 50 ribu saja tetapi, itu mengganggu pikiranku. Sekalian minta banyak gitu gapapa, lha ini crat crit tapi cukup sering. Kesannya receh banget, masak uang segitu aja nggak punya? Apa suaminya tidak memberinya uang? Percuma saja menikah lagi kalau tidak dinafkahi dan hidupnya malah melarat. Mengambil ponsel lalu aku melakukan transaksi banking. Kuberikan 100 ribu sekalian bukan 50. Meski begitu, aku yakin beberapa hari lagi pasti mama ngemis lagi dengan berbagai alasan.

Aku adalah anak tertua dari orang tuaku. Mama dan papa bercerai saat aku masih di sekolah dasar. Setelah itu aku hidup dengan mama sampai aku SMA kelas tiga. Cukup lama mama hidup menjanda. Mama bekerja di sebuah pabrik untuk bertahan hidup dan juga untuk biaya sekolah aku. Aku sangat paham perjuangan mamaku. Sampai aku bersumpah untuk membahagiakan mama di hari tuanya nanti.

Semuanya berubah semenjak mama mengenal seorang lelaki. Aku tahu mama kesepian karena aku sudah beranjak dewasa dan lebih sibuk belajar dan bermain dengan teman-temanku, mungkin juga mana terlalu lama memendam has rat. Lelaki itu sering datang ke rumahku, bisa ditebak, dia telah menjadi kekasih mama. Hingga akhirnya dia pun menjadi bapak tiriku. Aku tidak begitu suka mama menikah lagi. Lelaki itu lebih muda dari mama, dan dia tidak memiliki pekerjaan tetap. Kupikir dia hanya ingin numpang hidup saja karena mama memiliki rumah.

Untung saja aku sudah lulus SMA saat itu. Nasib baik aku diterima bekerja di sebuah bank swasta setelah melalui serangkaian tes masuk yang tidak mudah. Dengan gaji yang lumayan banyak, aku memutuskan untuk keluar dari rumah dan kost. Sesuatu tang menjengkelkan kemudian terjadi, mama hamil dan aku memiliki adik bayi! Huh! Sekarang adikku itu sudah berumur lima tahun dan sekolah TK.

[sudah, Ma.] balasku sembari memasukkan ponsel ke dalam tas dan kembali bekerja.

“Kenapa?”

Ruly, pacarku bertanya saat melihat aku lebih banyak berdiam diri di mobil. Hampir setiap hari Ruly menjemputku sepulang kerja.

“Gapapa” sahutku malas. Ruly nampak melirik.

Setelah cukup lama diam akhirnya aku bercerita juga, “mama lho, minta uang lagi,” kataku lirih.

“Kasih dong, berapa, sih?” Tanya Ruly sambil memutar setir mobil untuk berbelok.

“Cuma 50 sih, tapi menurutku itu mengganggu,” kataku dengan menekuk wajah. Kudengar Ruly tertawa kecil, membuat mata ini melirik ke samping.

“Menganggu gimana, apa kamu nggak punya uang?” Ruly menoleh sekilas. Memang sih, meskipun baru pacaran, Ruly ini sudah menopang keuanganku, dia yang membayar kosku setiap bulan yang besarannya mencapai satu jutaan.

“Bukan begitu, aku tuh mikir, apa suami mama itu nggak pernah ngasih uang sampai-sampai 50 ribu aja nggak punya?” Gusar aku jadinya.

“Sudah lah, anggap aja kamu memberi ibumu, nggak usah mikir ke mana-mana,” kata Ruly seolah menenangkan perasaanku. Aku menghela nafas dalam, padahal saat menjadi janda, mama tidak sesusah ini hidupnya. Kupikir, lelaki yang menjadi suami mama adalah biang sial. Mama sekarang miskin, jelek, nggak pernah megang uang, malu-maluin.

**

“Eh, Ufi, kok nggak ngabarin kalau mau pulang?” Perempuan paruh baya itu tergopoh gopoh menyambut kedatanganku.

“Mampir doang kok, Ma,” jawabku lalu mencium tangan perempuan yang kupanggil mama ini.

“Ayo, masuk.” Ajaknya sembari menuntunku memasuki rumah. Mama belum mandi, wajahnya kusam dan terlihat banyak flek hitam mulai muncul di kulit wajahnya. Terlihat sekali kalau tidak keurus.

Duduk di kursi tamu, aku menaruh belanjaan di lantai. Tadi mampir super market untuk membeli beras, minyak goreng, telur dan camilan untuk Adikku. Mama ke belakang entah mau ngapain.

“Minum, Fi,” katanya sambil menaruh segelas teh panas di meja. “Apa kabar?” Bibir mama tersenyum lebar. Aku mengangguk, “baik.”

“Kok nggak sama Ruly?” Tanya mama lagi. Aku menggeleng. Memang aku niat sendiri ke sini sebab ada yang akan aku bicarakan dengan mama.

“Ma, aku mau bicara sesuatu,” ucapku setelah berbasa basi sebentar.

“Apa, Fi?”

“Aku mau menikah,” kataku tenang.

“Alhamdulillah, kapan, Fi?” Mata mama tampak berbinar.

“Tiga bulan lagi lamaran.”

“Oh ….” Mendadak wajah mama berubah sedih. Aku menatapnya.

“Nggak usah takut,Ma, lamarannya nggak di sini kok. Aku sama Ruly sudah booking sebuah rumah makan.”

Aku tahu apa yang ada di pikiran mama. Paling-paling dia takut aku akan lamaran di sini. Mama takut kalau aku memintanya menjamu keluarga Ruly, maklumlah mamaku ini miskin mana punya uang buat beli makanan. Lagian siapa coba yang mau lamaran di rumah jelek ini? Malu-maluin saja. Keluarga Ruly orang kaya, bapaknya pengusaha, jangan sampai dia tahu keadaan keluargaku. Bisa batal nanti pernikahanku.

“Maaf ya, Fi, mama belum punya uang buat lamaran kamu,” terdengar suara lirih mama.

“Mama tuh kapan punya uang? Semua habis buat makan, iya, kan?” Tanyaku sinis. Mama terdiam menunduk. Aku tidak suka mama menikah lagi. Sedianya aku akan membawa mama bersamaku saat aku berkeluarga nanti namun, impian itu buyar setelah mama punya suami baru dan memiliki anak lagi.

“Nanti kalau aku menikah, mama bantu dikit-dikit ya, Ma, jangan malu-maluin. Pestanya dua kali soalnya, di pihak perempuan dan di pihak laki-laki.” Jelasku.

“I_iya, Fi ….”

“Usahakan ya, Ma, masih ada waktu lima bulan lagi buat nabung. Pokoknya jangan sampai nggak ada uang. Aku ini anak mama juga, tanggung jawab mama membiayai pernikahan aku.”

Mama menghela nafas dan mengangguk perlahan. Setelah selesai mengungkapkan maksudku, segera aku berpamitan. Tidak nampak bapak tiri dan adikku. Aku juga tidak menanyakan di mana mereka, nggak penting.

“Ini buat mama.” Kuberikan dua lembar uang merah di meja buat tinggalan. Mama nampak senang melihat uang itu. Wajahnya menyiratkan kalau dia sudah lama tidak melihat uang merah.

Dengan naik grab aku meninggalkan rumah mama. Sebenarnya aku tidak butuh uang tambahan untuk perhelatan pernikahanku nanti. Uang tabunganku lebih dari cukup kalau hanya untuk pesta di hotel sekalipun. Ruly pasti membantu. Hanya saja aku ingin melihat usaha mama, pengorbanan apa yang akan dilakukan mama untuk mengangkat harga diriku di hadapan keluarga Ruly. Paling tidak keluarga Ruly harus tahu kalau mamaku juga ikut andil dalam hal keuangan pesta, bukan semuanya diselesaikan oleh keluarga pihak laki-laki. Aku sudah wanti-wanti mama agar tidak memalukan dan menjatuhkan martabatku di hadapan keluarga Ruly. Terserah bagaimana caranya aku tetap akan meminta sejumlah uang sama mama untuk pesta pernikahan, titik!

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status