“Sudah selesai, Mas. Terus ini aku nggak sisiran, gitu?” tanya Meisya sembari duduk, kemudiah meraih bedak dan lipbalm yang ia letakkan di dashboard. Dengan enggan kuraih laci dashboard dan mengambil sisir milikku. “Nih, dipakai. Tapi nanti sampai di rumah harus segera kamu cuci yang bersih!”“Emang kenapa, Mas? ‘Kan, aku baru saja keramas, nih masih bau wangi.” Dengan sengaja ia mendekatkan kepalanya k earah wajahku.“Apaan, sih, kamu? Bisa cepet nggak? Capek nungguin kamu. Mandinya lama, dandan aja juga lama. Lama-lama tumbuh jamur di kepala gegara kelamaan nungguin kamu!”“Hahaha … Mas Darren ini bisa aja. Masa jamur tumbuh di kepala, yang ada jamur itu tumbuh di batang kayu yang udah lama.”“Terserah!” jawabku ketus sembari membuang pandangan keluar mobil.“Eh, Mas. Tahu nggak waktu yang dibutuhkan jamur untuk tumbuh setinggi pohon manga?” tetiba ia melontarkan pertanyaan seraya tangannya memegang lengan atasku, wajahnya tampak serius.Pertanyaan aneh, mana ada jamur tumbuh setin
Kubiarkan ia memungut kembali sandal miliknya, kemudian memasukkan ke dalam kardus dan berlari kembali ke kasir untuk meminta kantong plastik. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, ia bergegas menghampiriku lagi.Akhirnya langkah ini bisa menuju ke tempat yang menjadi tujuan awal, bagian dari mall yang memberikan banyak keseruan. Sudah tentu ke wahana permainan yang akan menyita waktu tanpa terasa.Riuh suara manusia saling berlomba, mereka heboh dengan permainan yang tengah mereka mainkan terdengar ke seluruh penjuru area permainan saat langkah ini mulai memasuki bagian mall yang paling seru itu.Sudah pasti wajah-wajah mereka dipenuhi dengan keceriaan yang mungkin hanya sesaat mereka rasakan, menghilangkan penat setelah lelah beraktivitas hampir satu pekan. Meski setelah permaianan selesai mereka akan dihadapkan kembali pada rutinitas.Suara anak-anak mendominasi kehebohan di wahana permainan yang beraneka macam. Sedangkan aku yang paling menyukai game dance lebih memilih Pump I
“Mas Darren,” panggil Meisya yang membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya.“Apa?”“Ocean blue itu samudera biru, ‘kan?”“Iya. Emang kenapa?”“Squash itu jenis sirup jeruk, ya?”“Iya!” jawabku sedikit kesal karena ia melontarkan pertanyaan yang tak bermutu.“Terus itu tadi Mas Darren pesen minuman osean blue squash?”“Iya! Kamu itu mau ngomong apa, sih, sebenernya? Bikin emosi aja dari tadi.” Nada suaraku langsung naik ke oktaf atas.“Nggak jadi! Orang aku cuma mau nanya kenapa pesen air laut yang dikasih sirup, gitu aja udah marah duluan. Kalau cuma air laut kasih sirup, ngapain coba bayar mahal?” ungkapnya dengan ekspresi polosnya.Ya Tuhan … harus aku apakan gadis di hadapanku ini? Geram rasanya mendengar celotehan dia yang sangat tak bermanfaat itu. Kenapa sampai bisa ada gadis yang seaneh dirinya? Nama saja keren, Meisya, tapi kelakuan teramat ndeso.“Meisya Anindya Ningrum, Mas.”Mulutku ternganga. Kenapa bisa lupa jika ia bisa mendengar suara hatiku. “Iya, Meisya Anindya Ning
Tak sabar dengan sikapnya, kutarik bahunya agar menghadap ke arahku. “Mau kamu apa? Kenapa tidak menjawab pertanyaanku?”Ia hanya mendelik ke arahku, wajahnya berubah masam. Tanpa menghiraukan ekspresi wajahku yang sudah memerah karena jengkel, ia kembali membalikkan badan ke arah pintu mobil.“Meisya!” kali ini aku membentaknya dengan sangat keras hingga ia terhenyak dan menutup telinga.“Apa, sih, Mas?”“Kamu kenapa abaikan aku?”“Katanya aku disuruh diem? Giliran aku diem malah marah-marah. Mas Darren maunya apa?” kali ini ucapan dia agak sinis, baru kali ini kulihat ia marah.“Ya, maksud aku, tuh … kamu tolong jangan banyak protes. Bicara yang kiranya penting aja.”“Oh, jadi mengingatkan Mas Darren agar nggak boros itu hal nggak penting? Aku mengingatkan karena aku pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan, Mas.” Wajah Meisya berubah sedih, ia menunduk dan memainkan jemarinya seakan ada pengalaman pahit yang tengah muncul dalam ingatannya.“Hal yang tidak menyenangkan? Maksud k
Tampak dua tebing tinggi berjajar, kemudian di sisi lain adalah spot tebing yang digunakan untuk melihat pemandangan di sekitar dua tebing yang berjajar tersebut. Perbukitan panjang membentang menambah keasrian destinasi wisata tersebuut.Sungguh tak kuduga, tempat itulah yang ada dalam mimpi dan sama persis. Apa ini sebuah kebetulan? Rasanya tak mungkin karena mana ada sebuah bunga tidur bisa menjadi sebuah kenyataan.Satu persatu mimpi yang hadir dalam lelapku berubah menjadi hal yang nyata. Meisya, gadis yang hadir dalam mimpi juga menjadi bukti pertama bahwa semua bayangan itu bukan sekedar bunga tidur.Perlahan genggamanku melemah hingga ponsel terjatuh. Tubuhku lunglai, serasa seluruh tulang melunak. Kusandarkan tubuh ke sandaran jok, pandangan pun seketika nanar. Meski kali ini tak kurasakan sakit pada kepala, namun keseimbangan otak mulai oleng.“Mas Darren kenapa? Mas ….” Meisya menggoyangkan lenganku dengan panik, mungkin ia lihat wajahku yang tetiba pucat pasi.Aku tak mere
Potongan slide kedua yang hadir adalah sebuah acara sakral, namun aku masih belum tahu apakah acara tersebut merupakan pertunangan atau resepsi pernikahan karena hingga kini belum muncul kepingan lain yang bisa memperjelas bayangan tersebut.Dan potongan yang terakhir seakan mulai mengungkap tirai misteri, mimpi tentang tempat yang kukunjungi bersama Meisya dan ternyata tempat itu benar ada di daerah gadis itu berasal. Sedangkan potongan slide yang sering hadir sejak lama berupa kecelakaan menghadirkan bayangan empat orang dalam mobil. Itu artinya kecelakaan akan terjadi dalam mobil yang berisi empat orang.Berdasarkan semua analisis puzle mimpi itu, kuputuskan untuk mulai sekarang jika ingin pergi menggunakan mobil, aku harus menghindari pergi dengan jumlah tersebut. “Mas Darren,” panggil Meisya menghentikan usahaku untuk menyusun dan menghubungkan potongan memori yang terberai.Kuhelai kembali napas berat, kemudian bangkit dari posisi tidurku. “Meisya, apa kamu tahu apa saja yang
Debar yang biasanya kurasakan saat berdekatan dengan Meisya tak dapat aku rasakan lagi. Rasa itu justru berubah jadi sebuah kebingungan, seakan diri ini berada di labirin yang begitu menyesatkan.Keanehan sejak tadi kurasakan sejak ia memanggilku dengan nama Arda. Lalu, wajah itu terlihat lebih dewasa dari Meisya yang biasanya. Dan sekarang ia bicara tentang pekerjaanku."Kebiasaan kamu ini, Mas. Kalau diajak bicara pasti ngelamun. Apa kalau kamu di kantor juga seperti itu? Bos lagi mimpin meeting, eh kamunya asyik melamun."What? Apalagi ini?Sejak kapan aku bekerja dan jadi bawahan? Papaku seorang pengusaha sukses yang bisa memberiku warisan banyak, bahkan aku adalah pewaris tunggal dari perusahaan yang telah memiliki delapan cabang di Indonesia.Jadi, kurasa tak mungkin aku bekerja jadi bawahan. Terus, apa maksud perkataan Meisya tadi?"Mas Arda! Kenapa, sih, selalu nyebelin gitu? Bisa nggak kalau diajak ngomong, tuh, nyimak. Respon gitu!" Bibirnya manyun sambil membuang muka.Dia
Aku beranjak dari tepi ranjang dan mendekat ke jendela pula. Tatapanku masih menelisik raut wajah yang masih menyisakan tanda kecantikan masa muda itu. Sorot mata mama tampak sayu."Ma, apa ada yang Mama sembunyikan dari Darren?""Sebenernya Mama masih belum yakin, Darren.""Yakin tentang apa?""Mama masih belum yakin kalau apa yang Mama dan Papa lakukan dulu ada hubungannya dengan semua mimpi kamu.""Memangnya dulu Mama dengan Papa melakukan apa di sana?"Kembali helaan napas panjang itu kudengar. "Dulu, Mama hampir disuruh cerai oleh Oma kamu.""Oma, ibunya Papa?""Iya. Karena pernikahan sudah hampir lima tahun tapi tak juga kunjung hamil. Beberapa kali ikut program hamil pun selalu gagal, bahkan kamu adalah bayi tabung kedua yang berhasil.""Iya, Mama sudah pernah cerita itu. Terus apa hubungannya dengan masalah Mama pergi ke Batu Seribu?""Karena Mama kalut, Mama menerima ide dari Papa kamu yang memang tak mau pisah dari Mama.""Ide? Ide apa?""Papa kamu dapat cerita dari temannya