Share

Chapter 7

Author: Setya Ai Widi
last update Last Updated: 2021-10-24 12:30:00

"Di mana dia? Kenapa tiba-tiba ngilang?" seru salah seorang lelaki yang mengejar Ara.

"Dia pasti sembunyi di sekitar sini. Enggak mungkin dia ngilang gitu aja," timpal laki-laki yang lain.

Ara yang mendengar suara itu menjadi gusar. Dia takut persembunyiannya akan diketahui para laki-laki hidung belang yang mengejarnya.

"Enggak usah takut. Lo aman sama gue," bisik Saga santai sembari melepas hoodie-nya.

"Kamu mau ngapain?" Raut Ara mendadak tegang.

"Lo pakai aja. Mereka pasti udah hafal warna baju lo." Tanpa aba-aba Saga memakaikan hoodie-nya ke badan Ara.

Ara yang panik hanya diam menurut. Sesaat kemudian, Ara terkesiap ketika tangan Saga menariknya ke dalam dekapan, membelakangi tirai yang disibak dengan paksa.

"Eh, sorry. Lihat cewek pakai kaus warna biru muda? Rambut panjang, diikat ekor kuda. Dia ngilang di sekitar sini," tanya seorang laki-laki yang suaranya Ara kenal. Laki-laki yang sejak tadi mengikuti ke mana saja Lia melangkah.

"Enggak. Dari tadi cuma berdua sama pacar gue," jawab Saga tegas. "Can you go? You're disturbing us."

Melihat laki-laki itu menatap curiga, Saga bergerak cepat. Diraihnya dagu Ara dan mengecup bibir gadis itu dengan lembut.

"Oh, sorry," ujar laki-laki itu merasa tidak enak hati. Dia pun pergi meninggalkan Saga dan Ara.

Merasa situasi sudah aman, Ara mendorong dada bidang Saga. Dia tidak menyangka Saga akan memanfaatkan kesempatan itu untuk mengambil first kiss-nya.

Ara dengan cepat melepas hoodie dan mengembalikannya kepada Saga. "Thank's for your help. But you shouldn't have to kiss my lips," ucapnya, lalu mulai menjauh tanpa berani menatap rupa Saga karena dadanya mendadak bergemuruh.

"Hei, tunggu! Lo bisa ketahuan kalau lepas hoodie!" Saga dengan cepat menangkap pergelangan tangan Ara.

"Kalau aku pakai hoodie kamu, enggak tahu harus gimana balikinnya nanti," aku Ara. Sungguh, dia tidak ingin Saga tahu tentang latar belakang kehidupannya di luar sekolah.

"It's okay. Hoodie gue banyak," balas Saga sambil menyampirkan hoodie-nya di bahu Ara. "Daripada lo ketahuan," sambungnya.

Tanpa pikir panjang, Ara yang masih membelakangi Saga menerima begitu saja saran dari laki-laki itu. Dipakainya hoodie Saga dan tidak lupa menutup kepala.

"Makasih. Aku pasti kembaliin hoodie kamu," ucap Ara sebelum pergi.

Ara keluar dari persembunyian dengan rasa cemas. Dia tidak bisa menghentikan debar aneh dalam dadanya terhitung sejak bibir Saga menyentuh bibirnya. Ara berlari menuju tempat kos secepat mungkin tanpa menghiraukan rasa lelah yang mulai menjalar di kaki.

Yang jelas, Ara tidak akan melupakan kejadian malam ini. Malam yang membuatnya merasa risi dan bergidik ngeri ketika melihat tatapan-tatapan aneh dari para lelaki hidung belang karena kelakuan Lia, juga malam yang membuatnya tidak akan lupa pada Saga yang tiba-tiba mengecup bibirnya.

🤍🤍🤍

"Heh, Ra! Kenapa ngelamun aja? Lo kesambet?" Erick dengan semangat mengguncangkan bahu Ara begitu bel istirahat berbunyi, membuat gadis itu terganggu dan mencubit lengan Erick dengan gemas.

"Aduh, duh, duh ... demi Demian Adit yang gantengnya selangit, gue enggak nyangka kalau demit bisa nyubit. Dan Demi Tuhan Yang Maha Esa, rasanya sakit bingit!" gerutu Erick sambil mengelus-elus kulitnya yang terasa panas akibat cubitan Ara.

"Biar kamu tahu, kalau aku sama sekali enggak lagi kesambet," balas Ara enteng sambil membenarkan posisi duduknya. Dia memang tidak kesambet, tapi sedang kepikiran first kiss-nya dengan Saga semalam. Benar-benar di luar dugaan.

"Ya tapi enggak usah pakai cubit-cubit maut begitu kali," geram Erick yang masih terduduk di sebelah Ara, sambil memanyunkan bibirnya.

Ara menggeleng perlahan mendengar ucapan Erick yang gayanya selalu saja kemayu. Benar-benar tidak sinkron dengan postur badannya yang lumayan tinggi dan sedikit gempal.

"Kalau gitu aku ke perpus dulu, deh. Daripada di sini denger celotehan kamu yang enggak jelas. Bisa-bisa panas ini telinga." Ara terkekeh. "Mau ikut?" tawarnya pada Erick.

"Enggak, enggak. Makasih. Gue enggak suka baca, enggak mau mata gue minus juga. Jadi cukup lo aja yang jadi kutu buku, bermata empat. Jangan bawa-bawa gue!" jawab Erick dengan gaya bicaranya yang khas.

Mita manggut-manggut. "It's okay. Kalau gitu aku ke perpus dulu. Sekalian mau ngerjain PR dari Bu Risa tadi, jadi nanti malem udah enggak rempong lagi kerjain PR," gumam Ara tanpa sadar. Ups, untung saja dia tidak keceplosan membahas tentang pekerjaan. Buru-buru Ara menutup mulut dengan tangan.

"Gitu, ya? Bolehlah, gue ikut ke perpus. Biar lo kasih contekan." Erick mengedipkan matanya dengan jahil.

"Yee, nyontek. Enggak, enggak! Kita bisa kerjain bareng kalau kamu mau. Tapi kalau buat nyontek, sorry aja. Aku enggak mau bikin kamu bodoh," aku Ara yang lagi-lagi membuat bibir Erick manyun lima senti.

"Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, kata-kata lo ada benernya. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue emang udah bodoh, sih. Iya, bodoh. Mengsedih banget gue, yak?" ujar Erick sembari mengangguk-angguk.

Ara menggeleng-geleng melihat tingkah Erick. "Jadi, kalau kamu merasa bodoh, ya udah. Kenapa harus males ngikut aku ke perpus? Kita bisa belajar di sana. Kenapa kamu selalu anti sama perpus? Di sana itu asyik. Aku selalu belajar di satu meja yang paling asyik buat ditempati di sana. Nanti aku tunjukin," kata Ara dengan semangat sambil membenarkan letak kacamata tebalnya.

"Sebenernya gue males banget ke perpus. Gue pusing lihat buku banyak. Tapi, karna lo maksa ... gue ikut deh!" seru Erick dengan semangat. Semangat hendak menyontek.

"Ya udah, yuk!" Ara membawa buku-buku mata pelajaran yang diajarkan Bu Risa, buku latihan matematika dan beberapa lembar kerja yang tadi diberikan.

Baru saja Ara berdiri hendak berjalan, buku-bukunya terjatuh akibat Naura yang tiba-tiba menyenggol lengannya.

"Ups, sorry. Gue enggak sengaja. Lagian lo mendadak banget berdiri dari situ," seru Naura dengan rupa tanpa dosa.

Erick mencebik. "Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, lo mah biasa. Dan demi Tuhan yang Maha Esa, udah jadi rahasia umum kalau hobby lo tuh rese sama orang," ujarnya.

"Lah, siapa juga yang rese? Gue kan enggak sengaja dan gue udah minta maaf juga sama Kara," protes Naura.

"Ara, bukan Kara," ralat Ara sembari menghela napas panjang. "Ya udah, Rick, enggak apa-apa. Ayo, jadi ikutan ke perpus apa enggak?"

"Jadi, dong." Erick menjawab cepat lalu mengikuti Ara yang sudah melangkah lebih dulu, meninggalkan Naura yang masih bergeming di tempatnya.

"Amit-amit, deh, Ra. Jangan sampai kita berurusan sama nenek lampir tukang gosip satu itu. Bisa-bisa kita jadi terkenal, melebihi Lolly Kundang yang belakangan viral." Erick berjalan sambil bersungut-sungut.

Ya, tentu saja. Ara tidak ingin berurusan dengan si ratu gosip macam Naura. karena itu, dia lebih memilih untuk menghindar setiap kali berpapasan dengan Naura.

"Jadi lo suka duduk di mana? Gue jadi penasaran, mana ada tempat yang enak di perpus? Yang ada, di sini tuh udah kayak lautan. Jujur, gue suka takut tenggelam kalo lama-lama di perpus. Mending gue pakai waktu istirahat buat jajan, isi perut biar kenyang," celoteh Erick ketika memasuki ruang perpustakaan sekolah yang lumayan luas.

"Ngikut aja, nanti juga tahu sendiri." Ara membalas ucapan Erick dengan santai tanpa menoleh pada lawan bicaranya yang berjalan di belakang.

Beberapa hari tidak memasuki ruang perpustakaan, Ara tidak menyangka tempat duduk favoritnya di sana ternyata sudah diambil alih. Dia pun hanya berdiri mematung sebelum sampai di meja yang dimaksud.

"Kenapa berhenti, sih? Lo enggak lagi lihat hantu, kan? Lagian, mana mungkin perpus di sekolah ini berhantu? Orang suasananya nyaman banget gini, terang juga." Erick mulai berkelakar.

"Bukan gitu. Tapi, tempat duduk favorit aku udah diambil alih," sesal Ara dengan mimik mendung.

"Emang meja favorit lo yang mana?" tanya Erick yang memang belum mengetahui tempat favorit Ara.

"Itu," jawab Ara sembari menunjuk ke sebuah meja.

"Alamak! Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, itu bukannya Saga? Dan demi Tuhan Yang maha Esa, gue enggak nyangka kalau dia suka ke perpus juga."

Ara menurunkan tangan begitu Saga melihat ke arahnya. "Duh, gawat! Cabut, Rick! Kita bisa cari tempat lain yang enggak kalah enak daripada di situ," gumamnya tanpa didengar Saga.

"Lah, kenapa? Lo sungkan sama Saga? Jangan-jangan lo naksir sama dia, ya?" bisik Erick.

"Enggak!" sergah Ara sembari membalikkan badan dengan cepat.

"Heh, Karaya!"

Langkah Ara terhenti seketika. Kenapa Saga memanggilnya? Apa jangan-jangan laki-laki itu menyadari kalau gadis yang semalam dia tolong adalah dirinya? Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benak Ara. Dia enggan menoleh, karena khawatir Saga akan bertanya macam-macam tentang kejadian semalam.

‘Aduh, gimana, nih?’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Misunderstanding   Chapter 23

    “Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud

  • Misunderstanding   Chapter 22

    “Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p

  • Misunderstanding   Chapter 21

    Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan

  • Misunderstanding   Chapter 20

    “Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia

  • Misunderstanding   Chapter 19

    “Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera

  • Misunderstanding   Chapter 18

    Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status