“Ikut Tante! Kamu harus tanggung jawab karena udah kabur semalem!” Suara lantang Lia sungguh mengejutkan Ara.
Adik mendiang mama Ara itu sudah menunggu di depan sekolah yang tentu saja membuat Ara panik. Harus kepada siapa dia meminta tolong seandainya perempuan itu hendak membawanya secara paksa?
“Enggak! Aku enggak mau ikut Tante! Aku udah ada kerja part time dan seharusnya Tante hargai itu. Aku juga udah usaha cari kerja part time lain tapi belum ada, seenggaknya Tante bisa nunggu, kan?” Ara mencoba membela diri supaya Lia tidak seenaknya memperlakukan dirinya.
Lagi pula, bagaimana bisa Lia mencoba menjual Ara kepada lelaki hidung belang? Bagi Ara, hal itu sudah sangat keterlaluan.
“Nunggu? Sampai berapa lama? Waktu terus berputar, dan kebutuhan Tante juga semakin banyak! Apalagi ditambah kebutuhan adik kamu itu!” sentak Lia yang nada bicaranya mendadak naik satu oktaf, mengundang perhatian beberapa siswa dari sekolah Ara yang melintas di dekatnya.
Ara benar-benar pusing dibuatnya. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri.
Aku enggak bisa kayak gini terus. Aku harus cari Papa dan minta Bion tinggal sama Papa secepatnya. Kalau enggak, Tante Lia pasti bakal semakin menjadi.
“Biar Bion tinggal sama aku dulu sebelum aku tahu di mana Papa. Itu bisa meringankan beban Tante, kan?” Ara sudah mencoba mencari berbagai solusi, hingga itu satu-satunya kalimat yang bisa lolos dari bibirnya.
Lia terkekeh sembari menggeleng, menatap Ara dengan tatapan remeh. “Kamu pikir Tante bodoh? Kamu mau coba-coba kabur tanpa ganti semua uang Tante yang udah kepakai buat biaya hidup kamu sama Bion?”
Ara menunduk dalam, menyembunyikan matanya yang mulai berembun. Gadis yang belum lama menginjak usia tujuh belas tahun itu sudah harus merasakan pahitnya hidup karena mengalami broken home. Mendiang Mama yang tadinya juga menumpang hidup di rumah Lia pasca bercerai dengan papanya, menjadi sakit-sakitan hingga akhirnya tutup usia, sementara papanya menikah lagi dan Ara tidak tahu bagaimana kabarnya.
“Aku pasti ganti semua, Tante. Tapi Tante tahu sendiri kalau aku juga masih harus sekolah. Jadi aku mohon, Tante sedikit pengertian dengan kondisi aku sekarang.”
Usai mengerjap guna menjaga pertahanan supaya bulir hangat tidak luruh, Ara mendongak perlahan dan memberanikan diri menatap kedua netra Lia.
Lia melipat kedua tangan di depan dada, ciri khasnya yang selalu begitu setiap kali mulai jengah menghadapi Ara. “Kamu itu sama aja kayak Mama kamu! Sama-sama nyusahin, nyebelin!” desisnya dengan tatap semakin tajam.
“Tante enggak usah bawa-bawa Mama. Kalau dari awal Mama tahu bakal dapetin laki-laki enggak tanggung jawab kayak Papa, pasti Mama enggak bakal nikah sama Papa.” Ara berucap pelan, tetapi penuh penekanan.
Suara klakson mengalihkan perhatian Lia. Dilihatnya sebuah mobil sport hitam berhenti di belakang Ara, disusul dengan seorang siswa yang keluar dari sana dan mendekati Ara.
“Maaf, Ara harus ikut aku. Ada urusan penting yang enggak bisa ditinggal dan Ara harus tanggung jawab!” Saga menarik pergelangan tangan Ara menuju mobil, kemudian membukakan pintu untuk Ara. “Masuk!” titahnya yang tidak bisa ditolak.
Saga segera menjalankan mobilnya menjauh dari area sekolah. Sementara Ara, dia memperhatikan Lia yang jelas kesal melihatnya dibawa pergi tanpa persetujuan.
“Makasih tumpangannya, Saga. Tolong turunin aku di depan aja,” pinta Ara ketika mobil sudah berada jauh dari sekolah.
Tidak ada balasan dari Saga. Siswa baru di sekolah Ara tersebut tetap melajukan mobilnya hingga berhenti di pinggir jalan, tepat di bawah pohon, di area yang cukup sepi.
“Siapa lo sebenernya?”
“Hah?” Refleks, Ara menoleh ke arah Saga yang tatapannya masih fokus ke depan. “Apa maksud kamu?”
Saga mengubah posisi menghadap Ara, kemudian melepas kacamata gadis itu tanpa permisi.
“Saga—“
“Lo pikir gue enggak tahu kalau gadis semalem itu lo?” potongnya sembari meletakkan kacamata Ara di dasbor.
Ara mendadak speechless. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana Saga bisa mengenalinya semalam.
“Masih mau diem? Enggak ada inisiatif buat jelasin?”
Dari nada bicara Saga, Ara tahu lelaki itu sedang dalam mode serius.
“Tapi itu bukan urusan kamu. Jadi buat apa kamu tahu?” Alih-alih menjawab, Ara justru mencari alasan.
“Jangan lupa, kalau enggak ada gue, lo enggak bisa selamat semalem. Jadi gue berhak tahu masalah apa yang bawa lo sampai ke klub. Pasti ada hubungannya sama tante-tante yang ngintimidasi lo tadi, kan?”
Saga terlalu peka atau bagaimana? Ara bahkan tidak paham bagaimana tebakan lelaki itu bisa seratus persen benar.
Ara tidak lekas menjawab. Gadis itu mengambil kontak lensa dari dalam tas dan segera memakainya. Jika tidak, dia tidak akan bisa melihat jelas tanpa kacamata. Ara juga mengikat rambutnya ala ekor kuda, lalu menyambar kacamata tebalnya dari dasbor dan dimasukkan ke dalam tas.
“Lo suhu yang lagi nyamar jadi cupu?”
“Saga ....”
Kalimat Saga berhasil mengundang perhatian Ara hingga gadis itu menoleh kepadanya.
“Ceritanya panjang, tapi aku harus buru-buru kerja dan enggak mau telat,” tegas Ara saat melihat tatapan Saga yang cukup dalam.
“Jelasin dulu, nanti gue anter. Santai aja enggak akan telat.”
Ara mencoba menghindar. Dia hendak membuka pintu mobil, tetapi Saga dengan sengaja tidak membuka kunci. Gadis itu hanya bisa mendesah lelah tanpa bisa protes.
“Kita bakal tetap di dalem mobil sampai lo cerita.”
“Saga ... aku harus kerja biar bisa bayar utang ke Tante aku, karna kalau enggak ... aku bisa dijual paksa sama dia,” katanya tanpa mendongak sedikit pun.
Dada Ara naik turun seiring dengan napas yang tidak beraturan. Sedih, iya. Kecewa? Tentu saja. Selama ini tidak ada teman sekolah tahu tentang kehidupan pribadinya. Sementara Saga, siswa yang belum genap seminggu memasuki sekolah Ara, entah kenapa bisa lebih peka dan bisa mengenali Ara semalam meski penampilannya jauh berbeda.
Saga melihat jemari Ara yang saling bertaut, tampak jelas raut khawatir menggelayut manja menghiasi wajah cantik Ara.
Wait, cantik? Bahkan Saga baru menyadari, Ara memang cantik. Meski kacamata tebal selalu menempel di wajahnya, Ara memang terlihat berbeda dan Saga tidak bisa membohongi diri sendiri akan ketertarikannya dengan gadis tersebut sejak awal mereka bertemu.
“Gue bayarin utang lo, tapi dengan satu syarat.”
Ara terkesiap dan sontak menoleh ke arah Saga.
“Jadi pacar gue!”
“Apa?”
“Demi Demian Adit yang gantengnya selangit, belakangan ini gue jadi kepikiran, sahabat macam apa, sih, gue, sampai enggak pernah tahu gimana beratnya lo ngadepin masa sulit sendiri. Dan demi Tuhan Yang Maha Esa, gue ngerasa bersalah banget sama lo, Ara.” Erick menyampaikan penyesalan terdalamnya sambil menatap kecantikan Ara melalui pantulan cermin yang terletak dalam kamar di sebuah kediaman mewah milik keluarga Saga.Karaisa Naraya yang baru genap menginjak usia delapan belas tahun, tampil cantik dengan balutan kebaya putih yang terlihat simpel, tetapi elegan. Beberapa menit lalu, Ara baru saja melangsungkan pernikahan dengan Saga secara tertutup yang hanya dihadiri anggota keluarga inti. Atas bujukan dari Rey dan Anggun, akhirnya Ara menyetujui permintaan Saga untuk mempertanggungjawabkan apa yang sudah diperbuat akibat kesalahpahaman.“Kamu tetep sahabat terbaik aku, Erick. Jadi, kamu harus selalu ada buat aku. Kayak biasa. Awas kalau enggak,” ancam Ara.“Ya gimana bisa? Lo kan ud
“Mau apa lagi kamu ke sini? Kurang puas, udah diusir sama Papa kamu sendiri?”Matahari baru keluar dari persembunyian, tetapi Ara sudah harus menerima omelan dari wanita yang sudah mengambil papanya.“Tante, maaf ... tapi tolong sekali ini aja, aku mau ketemu Papa,” pinta Ara dengan sungguh-sungguh.Wanita yang tidak lain adalah sahabat lama mama Ara, mendekat dan berbisik. “Papa kamu itu, udah punya kehidupan sendiri di sini. Lagian kamu juga sama Bion udah bisa mandiri, kan? Jadi buat apa kamu ganggu-ganggu Papa kamu lagi?”Seketika, air mata Ara merebak. Dia yang harus menguatkan diri karena baru saja mengetahui kehamilannya, harus menerima perlakuan buruk dari Widya, wanita yang sudah merebut papanya dari sang Mama. Padahal, kedatangannya di tempat itu hanyalah untuk bisa menemui papanya supaya Ara bisa lebih ikhlas dalam menjalani hari-hari yang berat tanpa sang Papa. Ara ingin bisa memeluk papanya seperti dulu sebelum Widya mengusik kebahagiaan keluarganya.“Aku tahu Papa udah p
Sudah satu bulan Ara menjalani home schooling. Dia sengaja menghindari Saga, karena masih tidak terima atas apa yang dilakukan laki-laki itu terhadapnya. Meski sudah mengatakan kepada Saga bahwa kesalahannya sudah dimaafkan, tetapi kenyataannya, kata-kata itu hanya berasal dari bibir saja dan bukan dari hati.Demi bisa menghindar dari Saga, bahkan Ara menyewa tempat kos di mana tidak ada siapa pun mengetahui keberadaannya termasuk Rey dan Bion sekalipun. Ara juga tidak memberi tahu Bion di mana dia berada, karena tidak ingin sang adik memberitahukan keberadaannya kepada siapa pun.Ara melakukan berbagai cara supaya keberadaannya tetap menjadi rahasia meski dia masih harus bekerja sama dengan Rey dalam membantu papa Saga editing sebuah desain, demi kelangsungan hidupnya dengan sang adik, Bion.Hari masih pagi dan matahari belum keluar dari peraduan. Ara merasakan lapar yang teramat sangat, sampai gadis itu tidak tahan dan terpaksa harus keluar mencari makanan. Beruntung, Ara menemukan
“Kamu yakin, mau ambil home schooling? Saya cuma khawatir, ini akan mempengaruhi beasiswa kamu, Karaisa. Sayang sekali, loh. Sebentar lagi kan ujian kelulusan.”Nana, wali kelas Ara menyayangkan ketika gadis itu meminta untuk home schooling. Meski dengan alasan yang cukup logis, guru itu tetap menyarankan supaya Ara memikirkan ulang keinginannya.“Kalaupun beasiswa saya harus jadi taruhan, enggak apa-apa, Bu. Yang penting saya bisa tenang belajar dari rumah.”“Apa ada yang bully kamu? Sampai kamu memutuskan untuk home schooling?” Nana bertanya dengan sungguh-sungguh, tetapi hanya gelengan kepala yang didapat. “Ya sudah, kalau memang seperti itu yang buat kamu nyaman, enggak apa-apa. Nanti saya akan bicarakan ini dengan kepala sekolah, ya?”Ara lega dan mengangguk begitu saja. “Terima kasih banyak, Bu.”“Tetap rajin belajarnya, ya? Karena saya punya rencana bagus untuk bahan pertimbangan kamu nanti. Ada beberapa beasiswa kuliah di luar negeri yang menurut saya bisa kamu coba ikuti. Sia
“Kak, Kakak enggak sekolah?” Bion mengetuk pintu kamar Ara saat mengetahui sepatu yang biasa dikenakan sang kakak masih tertata rapi di tempatnya.“Kakak enggak enak badan, Bi.” Ara menjawab pertanyaan sang adik dengan lirih. Dia sengaja mengunci diri dalam kamar sejak kejadian semalam.“Aku telepon Om Rey apa gimana? Kakak harus periksa, kan?”Ara menahan isak tangis. Dia tahu akan kekhawatiran adiknya, tetapi dia tidak mungkin bisa menemui dan bertatap muka dengan Rey dalam kondisi seperti sekarang. Gadis itu merasa dunianya hancur. Belum lama dia merasakan indahnya jatuh cinta saat pertama melihat kedatangan Saga di sekolah, tetapi ternyata, laki-laki itu mengambil satu-satunya mahkota paling berharga dalam hidup Ara tanpa diduga.“Jangan, Bi. Kita enggak bisa terus-terusan repotin Om Rey. Nanti kakak periksa sendiri aja naik taksi.”“Kak, apa aku enggak usah sekolah? Aku anter Kakak aja buat periksa.”“Enggak, Bi. Kakak bisa sendiri.”Berbagai alasan Ara katakan sampai Bion menyera
Tidak terasa, sudah satu bulan Ara menempati apartemen yang kata Rey, adalah apartemen yang pernah dihuni mamanya. Rey memberi kemudahan bagi Ara dan Bion dalam belajar juga bekerja. Kepada Bion, Rey bahkan memfasilitasi adik Ara tersebut dengan berbagai les privat untuk menunjang soft skill-nya.Ara merasa sangat beruntung setelah bertemu dengan Rey, atau yang dikenal Lia dengan nama Reza. Sempat terlintas dalam benak Ara, haruskah dia menemui Sita dan berterima kasih kepada adik papanya tersebut? Karena pasalnya, Rey memperlakukan dirinya dan sang adik jauh lebih baik jika dibanding dengan Papa kandung mereka sendiri.“Om berterima kasih banyak, ya, atas bantuan kamu. Desain kamu menarik. Penjualan dari perusahaan Om meningkat pesat. Ini, gaji pertama kamu, semua Om simpan di sini. Untuk memudahkan transaksi, kamu bisa mengurus mobile banking-nya nanti.” Rey mengangsurkan sebuah amplop cokelat yang setelah dibuka, Ara menemukan cek berisi nominal yang membuat kedua bola matanya memb