Share

Titik Balik

   Selama di rawat di rumah sakit, kulalui hari-hari tenangku dengan David, Airin dan Dave. Mereka benar-benar berubah, terutama David. Dia sekarang tidak terlalu sering marah-marah. Belakangan dia sering menceritakan kisah-kisah peperangan. Walau kadang aku tidak mengerti apa yang dia maksud, tapi mendengarnya bercerita membuatku senang.

   Berbeda dengan cerita David yang penuh kisah heroik, cerita dari Airin terdengar sedikit membosankan. Itu karena Airin sibuk bercerita tentang pesta dansa, acara minum teh dan perhiasan. Di zaman sekarang siapa yang datang ke acara minum teh? Korea Selatan kan bukan negara kerajaan.

   Berbeda dengan David dan Airin, cerita dari Dave lebih menjurus pada pelajaran ekonomi. Ya dia sibuk bercerita tentang cara mengelola bisnis. Mungkin dave akan suka jika berbincang dengan ayah pikirku.

   padahal sudah seminggu aku di rawat di rumah sakit, tapi sekali pun ayah belum pernah datang. Pengasuhku juga tidak datang. Apa saat ini mereka semua tengah menikmati waktu tanpaku?

"jangan sedih. Kami kan ada disini. Bersamamu selalu!", Ucap David.

   Mendengar perkataan David aku jadi sedikit terhibur. Dulu aku juga pernah berharap memiliki saudara atau teman untuk bercerita. Apa mereka sebenarnya jawaban untuk harapanku?

"kalian kan sering bercerita tentang keseharian kalian. Tapi jujur saja aku kurang paham. Apa kalian dari masa lalu? karena sekarang sepertinya sudah tidak ada orang yang berperang dengan menaiki kuda", ucapku penasaran.

"bisa di bilang kami dari masa lalu atau juga bisa saja kami dari tempat lain", jawab Airin.

"tempat lain? apa maksudnya dimensi lain?", sambungku segera. Rasa penasaranku akan asal usul mereka sudah mencapai puncaknya.

"kalau kau sudah sembuh dan stabil akan kami ceritakan. Sekarang lebih baik kami bercerita hal yang menyenangkan agar kau lepas sembuh", kali ini Dave yang menjawab. Karena merasa tak akan dijawab jadi aku memulai bertanya hal lain.

   Begitulah keseharianku bersama teman baruku. Tak terasa ini adalah hari ke sepuluh, tepatnya hari aku keluar dari rumah sakit dan kembali ke rumah. Membayangkan wajah ayah dan para pekerja di rumah membuatku tidak bersemangat.

"kenapa aku keluarnya harus di hari minggu? ayah pasti di rumah", keluhku.

"tenang saja, kami kan selalu bersamamu", ucap David. Energiku terasa terisi mendengarnya

.

.

.

   Dalam perjalanan ke rumah aku asik memandangi pemandangan jalan. Padahal tidak ada juga yang bisa aku lihat. Kebanyakan hanya rumah-rumah dengan kebun kecil di halamannya. Saat mulai bosan tiba-tiba aku melihat sesosok pria yang memakai baju jirah lengkap dengan pedang di tangannya.

   Apa sedang ada pertunjukan atau acara ya? pikirku. Tak ambil pusing aku segera menutup mataku. Aku harus menguatkan hatiku. Kuharap ayah pura-pura tidak tau saja aku ke rumah hari ini.

   Saat memasuki gerbang rumah, aku melihat keadaan sekitar karena mengingat kalau ayah sempat berkata akan mengubah suasan rumah untukku. Tapi tak ada perubahan yang berarti. Ya tidak mungkin juga ayah mau repot-repot melakukan itu semuakan pikirku.

   Ketika aku turun dari mobil, pengasuhku menghampiriku dengan muka sendu dan mata merah. Ada apa ini, jangan bilang dia terharu karena aku pulang. Aneh. Kupercepat langkahku menujudalam rumah, tapi ada hal yang aneh.

"Kenapa ada banyak koper disini?", tanyaku ketika melihat ada beberapa tumpukan koper di ruang tamu. Apa ada tamu yang datang? atau jangan-jangan ini koper pengasuhku? apa dia berhenti? sontak aku kaget.

   Apa pengasuhku menangis karena akan pergi dari sini? tapi tunggu sepertinya koper ini bukan miliknya karena dua tahun yang lalu kan dia sudah tinggal di rumah sendiri, tidak lagi di rumah ini. Jadi siapa pemilik koper ini?

"itu milikmu", terdengar suara datar yang berasal dari mulut ayahku. Kenapa barang=barangku dikemas lalu di taruh disini? apa aku akan diusir?

"dokter bilang kau sakit karena tekanan emosionalmu tidak stabil dan menyarankan untuk mengubah suasana rumah. Tapi kau tau masalah bukan disini, tapi di dirimu sendiri. Jadi aku memutuskan untuk mengirimu ke asrama di tempat yang tenang dan asri. Tolong kendalikan dirimu disana. Jangan membuat kekacauan yang idak berarti", ucap ayahku lalu tanpa ekspresi yang berubah sedikit pun dia melangkah pergi dari ruang tamu dan menuju ruang kerjanya.

   Apa itu kalimat perpisahan? hahaha, tanpa kusadari air mataku mulai mengalir. Aku benar-benar diusir. Apa aku benar-benar tak layak sebagai anak?

"tuan muda..", itu suara pengasuhku. Dia mendekatiku dengan air mata yang terus mengalir. Air matanya lebih banyak dari pada air mataku.

"anda harus kuat. Saya mohon saat di tempat itu anda harus menjaga kesehatan anda. Tolong makan dan tidur tepat waktu", Kepalaku benar-benar pusing mendengar perkataan pengasuhku. Jadi ini benar-benar kenyataan.

   Kubuka mulutku untuk menjawab perkataan pengasuhku, belum sempat mengucapkan apapun, aku terkejut mendengar langkah kaki dari pintu masuk. Itu para ajudan ayahku. Apa aku bahkan akan diseret keluar? 

Tidak! aku tidak mau diperlakukan seperti ini!

   Kulangkah kakiku dengan cepat menuju ruang kerja ayah. Kubuka pintu ruangan itu dengan cepat dan kasar membuat ayahku yang tengah duduk di meja kerja kaget. Ekspresinya seperti mengatakan, ada apa dengan anak ini sekarang?

"ayah anda tidak boleh berbuat seperti ini pada anakmu. Kenapa aku diusir?", ucapku setengah berteriak pada ayahku. Namun ekspresi ayahku tidak berubah sama sekali. Apa yang salah pikirku.

"bukankah aku anakmu satu-satunya? jadi kenapa ayah tega berbuat seperti ini? dokter bilang untuk mengubah suasana bukan? bukan mengusirku.", ucapku sembari menahan tangis.

"anak ya...", tiba-tiba raut wajah ayahku menjadi sendu. Apa sekarang dia sadar? ya aku anakmu satu-satunya, apakah kau tega mengusirku? aku ingat mendiang nenek dari keluarga ayahku pernah bilang kalau ayah dan ibuku membutuhkan waktu sepuluh tahun untuk dikaruniai anak. Beliau heran kenapa setelah ibuku melahirkanku hubungan mereka malah semakin renggang.

"apa di luar sana tidak ada orang? cepat bawa Taevin ke tempat seharusnya", teriak ayahku sembari memukul meja. Wajah sendunya kini hilang dan berubah menjadi warna merah. Dia benar-benar marah. Tapi di mana letak kesalahanku?

"tuan muda tolong ikuti kami", ucap salah seorang ajudan ayahku. Kini aku dikelilingi ajudan ayahku layaknya orang yang akan melukai ayahku. Tiap gerikku diawasi. Bukannya kelewatan menahanku dengan lima orang ajudan,

"Ayah, kumohon. Aku janji tidak akan menimbulkan kesalahan lagi. Aku akan hidup tenang seolah tak ada seperti yang selalu kau katakan", jeritku sembari berusaha menerobos ajudan-ajudan ayahku. Namun sia-sia, tenagaku benar-benar tidak ada apa-apanya dibanding dengan mereka.

"apa kalian sudah tidak mau mendengarkan aku lagi?!", ayahku berteriak! Bukan cuma aku bahkan kelima ajudannya juga kaget. Ajudan ayahku pun membawa paksaku ke dalam mobil. Di mobil aku diminta untuk tenang karena ayahku bisa saja melakukan hal yang lebih kejam lainnya.

   Aku pun duduk diam di dalam mobil. Mau tidak mau menuruti perintah ayahku untuk pergi ke tempat yang diinginkannya.

"kenapa kalian diam saja dari tadi? kaliankan biasanya sangat berisik", ucapku dalam hati. berharap teman-temanku akan menjawab. Aku benar-benar merasa ditinggalkan karena keputusan kejam ayahku dan berharap mereka bisa menghiburku.

"Taevin, tak peduli kemana pun kau akan pergi kami akan selalu bersamamu", ucap David. Suaranya terdengar pilu. Apa dia merasa kasihan padaku? dia kan sudah menikah atau jangan-jangan dia juga pernah punya anak.

"kau tidak salah, yang salah ayahmu. Kuharap di tempat baru itu kau bisa menemukan kebahagianmu", ucap Airin. Suaranya terdengar bergetar.

"padahal umurmu baru dua belas tahun, tapi kenapa ayahmu melampiaskan seluruh amarahnya padamu?", timpal Dave.

"terima kasih, aku benar-benar berterima kasih pada kalian. Sekarang tampaknya aku benar-benar hanya memiliki kalian disisiku. Kuharap kalian bisa terus bersamaku", ucapku dalam hati sembari menangis.

   Tangisanku pun seakan mengering ketika koper terakhir sudah selesai dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Ku alihkan pandanganku menatap sekeliling rumah. Rumah yang sudah menjadi tempat tinggalku sedari lahir. Ada banyak kenangan buruk disini, tapi tentu saja kenangan baik juga banyak.

   Kuharap pikiran ayah segera berubah dan mengizinkanku segera kembali pulang ke rumah ini. Terlintas di benakku bagaimana dengan sekolahku. Padahal bulan depankan ada ujian kenaikan kelas. Apa bisa akupergi disaat seperti ini.

Ceklek

   Suara pintu mobil yang terbuka menyadarkanku dari lamunanku. Seorang ajudan ayahku duduk di kursi pengemudi. Seorang lagi duduk di samping meja kemudi. Tanpa basa basi mobil yang kutumpangi melaju ke luar dari rumah.

   Tapi kecemasanku tentang sekolahku tak kunjung reda. Aku harus bertanya pada mereka.

"paman, apa kalian tau sampai kapan aku harus di tempat itu?", tanyaku pada mereka. Tapi tidak ada respon sama sekali. Bahkan tatapan mereka tidak bergerak sedikit pun.

"apa kalian tau apa yang akan terjadi dengan sekolah ku? bulan depan ada ujian kenaikan kelas, jadi apa benar aku bisa pergi jauh seperti ini disaat ini?", tanyaku cemas.

   mereka tetap diam tak bergerak. hei apa kalian benar-benar manusia? setidaknya jawab kalau kalian tidak tau. Kenapa kalian mengabaikanku.

"anda tidak perlu khawatir soal itu tuan muda. Kami akan mengurusnya. Untuk dua bulan ke depannya anda akan tinggal di salah satu villa milik keluarga anda. Setelah itu anda akan masuk ke sekolah di daerah sana. Anda akan tinggal di asrama", jawab ajudan yang duduk di samping kursi pengemudi.

"apa? asrama? tidak aku tidak mau tinggal di asrama. Disana pasti banyak anak-anak jahat yang akan menggangguku. Cepat putar balik mobilnya aku akan menemui ayahku dan memohon padanya", bentakku pada ajudan ayahku. Bayangan bagaimana hidup di asrama bersama-sama dengan orang asing membuat bulu kudukku naik.

"tuan muda anda tidak perlu cemas, sekolah dan asrama yang nantinya akan anda masuki adalah milik Simoon Grup, milik ayah anda. Anak-anak disana memang cukup kasar. Tapi mereka tidak akan berani mengganggu anda. Guru-guru disana pun pasti akan mendukung anda. Jadi anda benar-benar bisa bersantai disana", ucap ajutan itu lagi.

"bahkan jika anda berbuat onar disana, tidak akan ada yang akan memarahi anda", timpal ajudan yang duduk di kursi kemudi.

"jadi kalian semua dan ayahku sepakat bahwa aku pembuat onar dan sudah sudah selayaknya aku dikirim ke daerah terpencil agar perbuatanku bisa ditutup-tutupi agar reputasi ayah tidak terganggu?", tanyaku pada mereka dengan nada kesal. Mereka berdua kembali hanyut dalam diam

   Benar-benar menyebalkan. Aku memang benar membuat masalah, tapi aku melakukannya bukan atas dasar kehendakku. Kepalaku. Kepalu benar-benar sakit sehinnga aku mencari pelampiasan. Tapi tidak seorang pun yang sudi bertanya kenapa aku melakukan semua itu.

.

.

.

   Setelah berkendara selama delapan jam kami berhenti di salah satu penginapan. Aku diberi tau kalau hari ini perjalanan akan dijeda dulu karena bisa saja kesehatanku memburuk. Rasanya aku ingin membalas perkataan mereka. Tapi tenagaku benar-benar habis. Aku merasa sangat lelah sehingga kuputuskan untuk langsung tidur.

   Malam itu aku kembali bermimpi bertemu ibuku. Dia masi saja menagis. Saat hidup pun aku selalu mendapati ibuku tengah menangis. Bahkan dalam mimpiku sekali pun, tangisan itu tampaknya tak dapat berhenti begitu saja.

"tuan muda, mohon cepat bangun agar kita bisa melanjutkan perjalanan kita.", aku terbangun karena suara itu. Kubuka mataku dan melihat kedua ajudan ayahku sudah berada di kamarku dengan setelan jas lengkap.

"Apakah anda mau mandi dulu atau langsung sarapan?", tanyanya lagi.

"aku mau mandi dulu. Untuk sarapan siapkan saja roti lapis untuk kumakan di mobil", ucapku tak bersemangat. Siapa yang bisa makan dengan lahap ditengah kenyataan bahwa kau akan di kirim ke tempat terpencil karena membuat beberapa masalah kecil.

   selepas mandi dan memakai pakaianku lengkap, kami segera menuju mobil dan perjalanan hari itu dimulai. Perutku benar-benar terasa lapar. Benar juga kapan terakhir kali aku makan? ah itu saat makan siang di rumah sakit.

   Bahkan sekarang aku merindukan rumah sakit. Setidaknya disana orang-orang akan memperlakukanku dengan ramah karena tau aku anak siapa. Tapi disini ajudan ayahku memperlakukanku dengan dingin. Ya itu mungkin karena mereka sudah melihat perlakuan ayah padaku yang seperti orang asing.

   Perlahan kumakan roti lapis yang memang disediakan untukku. Tidak ada selada dan tomatnya! setidaknya ajudan ini tau kalau aku paling benci kedua sayuran itu.

   Setelah melaju kurang lebih lima jam lamanya, mobil kami berhenti di depan sebuah gerbang tinggi. Pintu gerbang itu kemudian di bukakan oleh seorang bapak dari sebelah dalam. Bapak itu tersenyum kearahku. Senyumannya membuatku kesal.

   Mobil kembali melaju melewati gerbang. Jadi ini villanya. Villa itu dikelilingi dengan taman bunga. gedung villa itu berwarna kecoklatan. Jujur saja villa bertema klasik ini sangat cantik dan menari perhatianku.

   Tapi itu semua tidak bisa menghapus fakta bahwa aku dibuang kesini oleh ayahku sendiri. Setelah turun dari mobil aku pun melihat sekeliling villa sedangkan kedua ajudan ayahku sibuk mengeluarkan barang dari mobil dan memindahkannya ke dalam villa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status