Share

Bab 2. Mr. Perfect

Seharusnya Andy bisa menikmati secangkir espresso dengan nikmat, tapi kelakuan gadis tadi benar-benar membuatnya sangat jengkel. Jas yang dikenakannya pun kini harus diganti, karena tumpahan kopi membuat jas itu menjadi jelek dan bau.

Andy membuka pintu apartemen miliknya dengan kasar, perasaan kesal itu membuatnya bad mood. Hari ini harusnya perkenalan di universitas tempatnya mengajar, tapi lagi-lagi semua rencananya buyar!

“Gadis tadi benar-benar membuatku jengkel, pakaianku kotor, dan aku jadi tidak bisa ke kampus untuk perkenalan diri di hari pertama!”

Menjadi seorang perfeksionis seperti Andy, tentu akan membuatnya sulit mendapatkan perempuan yang bisa mengimbangi dirinya. Itu sudah dirasakan Andy bertahun-tahun, sehingga Andy sulit mendapatkan perempuan yang sesuai dengan keinginannya.

Andy membersihkan diri, baru saja selesai keluar dari kamar mandi, ponselnya berbunyi, seperti biasa melihat nama yang tertera pada layar handphone, Andy mendengus.

“Ya?”

“Andy, cucuku sayang. Bagaimana hari pertamu di New Hampshire setelah bertahun-tahun lamanya kau tak kembali?”

Andy mengacak rambutnya, wajahnya terlihat jauh lebih tampan dengan tampilan acak-acakan.

“Menyebalkan, katakan saja apa yang nenek mau?”

“Kau tahu Andy, dokter memintaku melakukan operasi untuk penyakitku. Aku mengatakan pada mereka, aku tak akan mau dioperasi jika belum bertemu dengan cucuku,” jawab Elena—nenek Andy.

“Hah? Apa aku harus menemui nenek baru nenek mau dioperasi?”

“Tentu saja, kalau kau tak mau menemuiku, aku lebih bahagia jika Tuhan menjemput ajalku lebih awal, dan—“

“Ok. Jangan mengancam, aku akan menemui nenek di rumah sakit. Puas?”

“Kurang sempurna jika kau pergi sendirian,” jawab Elena dengan senyum licik di wajahnya.

“Lalu?”

“Kau sudah kepala tiga, kapan kau akan membawa seorang perempuan untuk menemuiku?”

“Aku paham maksud nenek, nanti akan kuperkenalkan jika sudah waktunya, bagaimana?”

Mengenalkan seorang perempuan?

Sedangkan dia saja tak pernah dekat dengan perempuan manapun, lalu mau membawa perempuan darimana? Permintaan Elena terkadang membuatnya sakit kepala, apa tidak bisa memberikannya kelonggaran tanpa harus bertanya mengenai calon pasangan hidup?

“Ok, nenek tunggu berita baik darimu!”

Seketika dirasakan sakit kepalanya semakin menyakitkan, karena permintaan tak masuk akal dari Elena.

Di tempat lain, Sharon baru saja mendapat kabar dari ibunya jika ayahnya—Tuan George—baru saja masuk rumah sakit karena tadi pagi ayahnya terus saja mengeluh mengenai perutnya yang sakit. Kemudian saat dia makan, dia mengeluarkan seluruh isi perutnya tanpa bersisa.

“Bu, di mana ayah dirawat?” tanya Sharon melalui sambungan telepon.

Di seberang, Nyonya George—ibunya—menangis tersedu-sedu, sesekali mengelap kasar ingus yang keluar dari hidungnya dengan selimut rumah sakit.

“Di Rumah Sakit New Hampshire, kau tahu ayahmu, dia membuatku khawatir. Dia mau kau menjenguknya hari ini, dan—“

“Bu, aku masih ada mata kuliah, belum lagi—“

“Jangan potong kalimatku, kau sudah satu kali gagal menyelesaikan sidangmu, jadi tak perlu memaksakan diri, jenguk dulu ayahmu, lagi pula belum tentu tahun ini kau bisa menyelesaikan sidangmu juga, kan?”

Sharon menggaruk kepalanya. Sepertinya ibunya benar-benar tak pernah menginginkan keberhasilannya. Tahun lalu dia memang gagal dengan sidang pertama, karena saat harus menyerahkan bahan presentasi dia justru datang terlambat karena lupa menyetel alarm, sehingga dia harus bangun kesiangan.

Saat itu dia ingat, belum sempat dia naik ke depan podium, dia langsung mendapatkan penolakan dengan alasan; telat karena tidak disiplin waktu! Saat itu juga dia harus menerima, jika dia akan melalui satu tahun lagi untuk menyelesaikan sidangnya di tahun berikut.

Terkadang dia merasa bintang keberuntungan tak pernah berpihak padanya. Shanon—kakaknya—lebih beruntung darinya. Shanon lebih pintar, cantik, banyak pria tergila-gila padanya. Shanon pun lulus dengan cumlaude, bagaimana tidak bisa bangga mempunya kakak sepintar itu?

Sesekali dia berharap, Tuhan menukar jiwanya dengan Shanon, sehingga dia bisa menyelesaikan sidang dengan hasil yang sangat baik.

“Bu, apakah aku benar-benar sebodoh itu di matamu?” tanya Sharon seraya merengutkan wajahnya.

“Eh, aku tidak bilang kau bodoh, hanya sedikit lamban. Tapi tak apa, kau dan Shanon adalah puteriku, mungkin nasib  baik belum berpihak saja,” jawab Nyonya George berkelit agar Sharon tak semakin sedih.

“Ok. Aku akan katakan pada Lilia, jika aku harus pergi ke rumah sakit, mungkin aku bisa menitip absen padanya,” ucap Sharon pasrah.

Sharon pun bergegas kembali ke asrama dan mengganti pakaiannya. Perintah ibunya adalah sebuah titah yang tak terbantahkan!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status