Share

Bab 3. Kehangatan Sharon

Sharon berlari kecil menuju ke arah sebuah halte bus yang tak jauh dari kampus. Dia harus segera sampai ke rumah sakit, karena ibunya berkali-kali menerornya melalui sambungan telepon, seperti seorang penagih hutang!

“Bu, sudah kukatakan, aku sedang menunggu bus, aku mau ke arah rumah sakit!” omel Sharon pada ibunya.

Hanya dalam waktu dua puluh menit, Sharon telah tiba di rumah sakit. Tergesa dia berjalan menyusuri halaman rumah sakit yang begitu luas.

Tanpa sengaja dia menabrak sesuatu dan terjatuh. Sharon mengusap bokongnya ketika menyadari dia menabrak sebuah kursi roda. Saat itu juga dia melihat seorang perempuan tua berusia sekitar 70-an sedang jatuh terduduk di tanah. Dengan perasaan bersalah Sharon mendekati perempuan tua itu.

“Ma-maaf, aku tak sengaja menabrak Anda,” ujar Sharon gugup. Dia tak ingin perempuan tua itu terluka karena kecerobohannya.

Perempuan tua itu tertawa kecil, lalu menatap Sharon dengan hangat. Kedua matanya yang bulat terlhat penuh kasih.

Wanita tua itu menggoyangkan tangannya di udara, lalu berkata, “Aku sudah terjatuh sejak tadi, bukan karena kau yang menabrakku. Justru aku bersyukur ada seseorang yang lewat di sini, kau mau membantuku kembali ke kursi rodaku?”

“Eh, ya, ya, aku akan membantu Anda.” Tergesa Sharon langsung mendekati wanita tua itu dan membantunya berdiri.

“Anda tidak apa-apa?” tanya Sharon sedikit cemas, namun kecemasan itu sedikit berkurang melihat wanita tua itu mengganggukkan kepalanya.

“Kau mau menemaniku sebentar?”

Menemani perempuan tua itu?

Tapi, dia sedang tergesa-gesa harus menjenguk ayahnya, karena ibunya sudah membombardir melalui WeChat berkali-kali. Setelah berpikir beberapa kali, Sharon kemudian melepaskan senyuman termanis yang dimilikinya.

“Aku akan menemani Anda berbincang-bincang, tapi aku tak bisa lama, karena aku harus mengunjungi ayahku, bagaimana?”

Wanita tua itu menggangguk, kedua matanya terlihat berbinar-binar begitu mengetahui Sharon bersedia menemaninya. Sebenarnya ada rasa kesepian di dalam hatinya, karena selama berada di rumah sakit dia selalu merasa sendirian, terkadang hanya perawat yang menemaninya berbincang-bincang.

Sharon duduk di sebuah bangku batu, di sampingnya wanita tua itu duduk seraya menatapnya dari kursi roda.

“Panggil aku nenek. Maaf jika aku harus merepotkanmu dengan permintaanku barusan,” jawab wanita tua itu.

“Tidak apa-apa, aku senang bisa menemani nenek. Aku sendiri sudah tak punya nenek, karena beliau meninggal saat aku masih sangat kecil.”

“Ayahmu sakit apa?” tanya wanita tua itu.

“Ayah selalu mengeluh mengenai perutnya yang sakit, tadi pagi dia muntah cukup banyak. Kalau nenek?”

“Dokter memvonisku tumor otak dan harus segera dilakukan pengangkatan tumor tersebut, jika tidak dilakukan maka aku hanya bisa bertahan selama tiga bulan ke depan. Tapi, aku sudah memasrahkan segalanya, anakku sudah lama meninggal berikut mantuku, hanya tersisa cucu semata wayang yang kumiliki, jadi kurasa mati pun tak menjadi masalah besar.”

Ada perasaan sedih begitu melihat perubahan dari waut wajah wanita tua yang sedang berbicara dengannya. Seandainya saja Sharon bisa membantu menyembuhkan wanita tua itu, tapi dia bukan siapa-siapa, dia bukan Tuhan yang bisa menyembuhkannya.

“Oh ya, namaku Sharon,” ucap Sharon seraya mengulurkan tangannya.

“Elena,” ujar wanita tua yang langsung menyambut hangat uluran tangan Sharon padanya. Tangan itu begitu hangat saat berada di dalam genggaman tangan Sharon

“Nenek, apakah kau ingin aku mengantarmu ke dalam?” Sharon menawarkan diri.

“Kau tak keberatan?”

“Tidak sama sekali.”

Sharon bangkit berdiri, kemudian mendorong kursi roda memasuki gedung rumah sakit yang sangat besar itu. Sambil mendorong kursi roda, sesekali Elena melirik ke belakang, diperhatikannya wajah Sharon yang begitu manis, rambut panjangnya yang berwarna hitam pekat pun terlihat begitu indah di mata ELena, senyumannya tadi saat berbicara dengannya telah menimbulkan kesan tersendiri di dalam hati Elena.

“Ruanganku ada di ujung sana,” ujar Elena seraya menunjuk ke arah ujung dengan jari telunjuknya.

Sharon tak berkata apa pun, dia terus mendorong kursi roda Elena, kemudian mengantarnya sampai ke dalam ruangan. Ruangan VIP itu begitu besar dan lengkap, membuat Sharon tak bisa mempercayai penglihatannya.

Sekali lagi Sharon membantu Elena untuk naik ke atas ranjang, lalu meminta ijin untuk segera berlalu dari hadapan Elena, karena dia harus segera ke ruangan ayahnya. Sebelum pergi Elena menahan satu tangan Sharon.

“Apakah kau nanti akan menemuiku lagi?” tanya Elena berharap gadis itu akan mengatakan ‘ya’ padanya.

“Tentu saja jika nenek mengijinkannya,” jawab Sharon dengan lembut, suaranya terdengar sepi alunan lagu di musim semi, terdengar begitu renyah, dan menjeyukkan.

Setelah itu Elena langsung menuju ke tempat ayahnya dirawat.

Ketika itu, seorang laki-laki muda pun tiba di ruangan Elena. Laki-laki muda yang sangat tampan, tapi wajahnya terlihat begitu dingin, tak ada senyuman di wajahnya. Dia berjalan mendekati Elena yang sedang tidur menyamping.

Laki-laki itu menarik sebuah kursi kemudian duduk samping ranjang, seraya mengamati wajah Elena.

“Nek?”

Perlahan ... Elena membuka kedua matanya, ketika dia mendengar suara yang sudah tak asing lagi di telinganya. Elena tersenyum begitu mengetahui Andy—cucunya—sudah berada di hadapannya.

“Andy, kau sudah datang rupanya.”

“Ke mana selang infusmu?” tanya Andy tanpa menjawab pertanyaan Elena.

“Aku meminta perawat untuk melepaskannya sebentar, aku merasa kurang nyaman dengan adanya benda itu pada tanganku,” jawab Elena sekenanya.

“Lalu?”

Tiba-tiba Elena teringat sesuatu. “Andy, mana calonmu? Kau bilang kau akan membawa dan mengenalkannya padaku.”

“Hm, aku—“

“Kalau kau belum memiliki calon, tak perlu berbohong. Lagi pula, aku tadi bertemu dengan seorang gadis yang sangat cantik, dan baik, aku bisa mengenalkanmu padanya, kau mau?” tanya Elena disertai senyuman tersirat yang tak bisa ditebak oleh Andy sama sekali.

“Tak perlu menjodohkanku dengan siapa pun. Aku akan membawa gadisku, nanti aku akan mengenalkannya padamu, jadi tak perlu repot-repot menyodorkan seorang gadis padaku, Nek,” jawab Andy setengah jengkel.

Membawa seorang gadis ya?

Elena benar-benar menyudutkannya. Darimana dia bisa mendapatkan gadis secepat ini? Di mana bisa menemukan gadis yang dia harus bawa menemui neneknya?

Jika dia mengatakan yang sejujurnya tak memiliki kekasih, apa itu artinya dia akan memperburuk kesehatan Elena?

Rasanya Andy benar-benar ingin memecahkan kepalanya sendiri ke tembok. Kenapa harus begitu mendadak!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status