Share

Pulang

"Bagaimana kondisinya Nak?" ucap ibu yang sudah masuk ke dalam ruangan. 

"Alhamdulillah baik Bu, Ibu sama siapa kesini?"

"Ibu sama Bulek Wati, tetapi baru jenguk anak temannya dulu,"

"Iya Bu,"

"Eh, mana cucuku.. Ibu gendong ya Nak, MasyaAllah cantiknya cucu mbah uti," ucap ibu yang mengambil putriku ke gendongannya. Terlihat binar bahagia yang terpancar dari senyum hangatnya. 

Ibu memang tidak mempermasalahkan jumlah anak kami. Bahkan yang kurasakan ibu akan berada di garda terdepan untuk membelaku. 

"Merah banget kulitnya ya Nak, mirip banget sama Adam ini," ucap ibu yang masih tersenyum sumringah. 

"Iya Bu,"

"Besok harus makin sabar, rumah bakal lebih banyak kerjaan lagi." nasehatnya. 

"Iya Bu, doakan kami ya bu,"

Ibu sering menasihati yang membangun. Aku bersyukur meski ibu mertua, tetapi sangat bijak dalam bersikap. Ibu tidak membedakan anak dan menantu. Apabila aku salah maka ibu akan menegurku dengan lembut, begitu pula anak yang lain. Belum pernah terdengar cacian atau bentakan selama ini. 

"Kamu ini melahirkan terus, kayak kucing saja," tiba-tiba dari arah pintu sudah terdengar suara Bulek Wati. 

"Kamu ngomong sama siapa? Datang-datang sudah bicara jelek." ucap ibu tidak terima dengan muka yang mulai merah. 

"Ya sama siapa lagi to mbakyu kalau bukan menantu kesayangan mbakyu ini," cerocosnya tidak mau mengalah. 

Rasa sedih tiba-tiba hadir menusuk hatiku. Ucapan bulek yang tanpa basa-basi sungguh menyakitkan. Ada rasa sakit yang dalam, aku berusaha meredam emosi agar tetap terlihat biasa meskipun di dalam sudah runtuh pertahanan. 

"Orang hamil itu ya kuasa Allah Ta'ala, kok kamu protes saja sukanya. Lha itu Marni yang sudah sepuluh tahun belum juga dikaruniai anak kamu bilang mandul, ini anakku malah kamu bilang kucing. Hidup itu sudah ditentukan sama Allah. Kita yang hidup ini harus bisa bersyukur dengan menjalani takdir yang sudah ditentukan. Jangan asal bicara kamu." jawab ibu dengan ketus. 

Aku hanya diam mendengar perseteruan mereka. Rasa tidak nyaman yang hinggap membuatku menunduk tanpa berkata apa-apa. Diam yang kulakukan agar tidak ada sesuatu yang tumpah dari pelupuk mata, karena sekali saja berkedip akan meloloskan cairan bening yang sudah mengumpul. 

"Nak, sepertinya cah ayu (anak cantik) haus. Iya sayang, sudah haus ya." ucap ibu yang membuyarkan lamunanku. 

Ibu menyerahkan putriku ke pangkuan, segera mungkin bersikap biasa agar tidak ada perdebatan di antara mereka. 

"Bagaimana mau tambah mengurus bayi, kerjaannya cuma melamun." ucap bulek dengan lirih tapi masih dapat kudengar dengan jelas. Bulek memang terbiasa asal bicara tanpa memikirkan perasaan orang lain. Meskipun aku sudah biasa mendapatkan perlakuan seperti ini, tetapi kali ini terasa sangat sakit. Benar kata emak, setiap menjenguk orang yang habis melahirkan harus berkata yang baik-baik saja. Mungkin inilah alasan orang tua menasihati kita demikian agar tidak menyakiti perasaan si ibu. 

Ibu terlihat melotot kepada Bulek yang memonyongkan bibir sehingga sangat terlihat bibirnya yang memakai lipstik merah menyala. 

"Aku itu ngomong apa adanya mbakyu, malah melotot gitu," ucapnya lagi sambil melangkah keluar kamar. 

"Jangan di ambil hati omongan bulek ya Nak. Dia memang sukanya begitu," ucap ibu menenangkanku. 

Kebahagiaan yang aku rasakan tadi mendadak sirna. Berganti rasa sedih yang mulai tumbuh dalam hati. Mencoba menata kembali hati, tetapi tidak mampu menguasai diri, sehingga tangis yang sedari tadi tertahan seketika lolos membasahi pipi kecil putriku. Wajah polosnya sangat damai semoga dapat memberikan kekuatan baru. 

***

Alhamdulillah sehari setelah melahirkan kami sudah diperbolehkan untuk pulang. Rasa rindu kepada empat buah hatiku yang lain sungguh menyiksa. Meskipun ibu dan bapak menjaga mereka, tetapi baru kali ini aku tidak menemani. Mas Adam sudah selesai mrmbereskan barang-barang beserta mengurus biaya administrasi sehingga kami hanya menunggu jemputan saja. 

"Sudah tidak sabar rasanya bertemu anak-anak," ucapku. 

"Anak-anak juga sudah tidak sabar menunggu kedatangan ibu dan adik baru." cengirnya sambil mencium lembut pipi bayi kami. 

"Mas, siapa nama adik nanti?"

"Mmm... Kalau nama yang sudah kita persiapkan bagaimana?"

"Iya Mas, Khodijah merupakan nama yang baik. Mengingatkan kita tentang perjuangan Rosullulloh yang selalu di dampingi Bunda Khodijah. Kesabaran dan budi pekerti yang baik semoga dapat diteladani oleh putri kita."

"Aamiin, insyaAllah Dik,"

Handphone Mas Adam bergetar, kemudian mengangkat telepon. Aku menggendong bayi kami dengan hati-hati. Wajahnya sangat menggemaskan sungguh karunia Allah sangat besar. 

Memberikan kami kesempatan untuk kembali mendapatkan malaikat kecil. Mendengarkan tangisnya, senyuman, dan wangi bayi yang khas. 

 "Ayo Dik, Paklek Karto sudah ada di parkiran. Katanya langsung kesana saja karena barang bawaan juga cuma sedikit." ucap Mas Adam sambil membawa barang-barang kami. 

Kami pun melangkah keluar dengan Mas Adam yang membawa seluruh barang. Aku menggendong bayi mungil yang sedang terlelap. Kami segera bergegas agar Paklek tidak lama menunggu. 

***

"Ibu.... Adik..."

Sudah terdengar teriakan dari balik pintu rumah saat mobil Paklik memasuki halaman rumah. Rasa rindu yang membuncah membuat diri tidak sabar untuk segera memeluk mereka. Terlihat anak-anak berhamburan menyambut kedatangan kami. Saat pintu mobil terbuka mereka langsung berebut naik ke mobil. 

Rasa haru tidak terbendung lagi hingga tidak terasa meneteskan air mata bahagia. 

"Biarkan ibu dan adik keluar dulu, kasihan adik nanti." suara Mas Adam menyuruh anak-anak ke luar dari dalam mobil. 

Aku pun segera turun diiringi keempat anak yang sudah berebut ingin mencium adiknya. Kugandeng Isa untuk memasuki rumah. Rasa haru menyelimuti kami, rindu telah terobati dengan melihat keceriaan mereka.

"Assalamualaikum," ucapku saat memasuki rumah. 

"Wa'alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh," ucap bapak dan ibu mertua serempak. 

Kulangkahkan kaki menuju dua orang yang kuhormati, kemudian salim takzim kepada keduanya. Mereka menyuruhku untuk beristirahat terlebih dahulu dengan meletakkan bayi kami ke kasur. Ruangan yang beberapa hari ini kutinggalkan telah di ganti tata letaknya. 

"Bu, aku mau gendong adik ya," ucap Aisyah sambil menarik-narik jilbab yang kukenakan. 

"Biar ibu dan adik istirahat dulu, ayo semua bermain lagi," interupsi ibu mertua agar mereka bisa lebih tenang. 

Anak-anakku tidak bergerak meskipun neneknya mengajak berulang kali. Kasih sayang mereka kepada adik bayi sudah terasa sejak dalam kandungan. 

"tidak mengapa Bu, biarkan mereka disini," ucapku kemudian. Ruangan ini sudah ditata sedemikian rupa karena bertambah anggota keluarga baru. 

"Bu, nanti malam Koyya tidur disini ya sama ibu dan adik."

"Gak boleh, aku yang bobok disini," protes Aisyah. 

"Sudah... Sudah.. Bukannya kata bapak kita tidur menemani adik secara bergantian." ucap Yahya dengan bijak. Sulungku ini memang sangat dipatuhi oleh ketiga adiknya. 

"Iya tapi nanti Aisyah dulu ya," Aisyah segera mengusulkan diri. 

"Gak bisa Ais, mbak dulu dong yang menemani adik. Iya kan bu," Koyya yang tidak  mau mengalah meminta dukungan.

"Mulai malam ini yang tidur dengan adik di mulai dari yang kecil ya, karena yang sudah besar pasti punya kesabaran yang jauh besar. Anak-anak ibu semua pinter dan baik." terangku mencoba menengahi. 

"Koyya masih dua hari lagi bisa tidur sama adik," memonyongkan bibir mungilnya sungguh menggemaskan. 

"Bu, adik siapa namanya?" tanya Yahya yang tidak mau kalah.

"Siapa ya?"

"Aisyah saja Bu, biar sama denganku nanti aku mbak Aisyah dan adik lucu ini Dik Aisyah... Mau ya... Mau.. cantik..." seloroh Aisyah yang membuat kami semua tertawa dengan gaya lucunya sungguh menggemaskan. 

"Wah aku kira ada pasar pindah, ternyata anak-anak kucing sudah bertemu induknya," ucap sebuah suara yang sudah kukenal dari ruang tamu. Jarak antara kamar dengan ruang tamu memang dekat jadi setiap pembicaraan yang ada akan terdengar jelas. 

"Jangan ngomong sembarangan lagi kamu Wati," suara ibu kemudian. 

Perseteruan antara ibu dan bulik kembali terdengar. Rasa sedih datang menghampiri hati yang kembali tersayat. Rasa sedih yang akhir-akhir ini muncul membuatku lebih sensitif bila mendengar orang lain yang bahasanya kurang baik. 

"Ibu kenapa nangis?" ucap Isa sambil mengusap lembut pipiku yang mulai basah. 

"Ibu hanya capek," balasku dengan memaksakan diri untuk tersenyum. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status