Share

#8 Risa

"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya."

"Apa yang kamu katakan, Risa?" Dilger mencoba meraih bahu Risa, tapi ditepis lagi.

Risa mendongak. Sebenarnya, Risa lemah, rasanya ingin mati saja. 

"Bukankah itu keinginanmu?"

"Tidak, Risa. Aku tak pernah menginginkan itu. Kumohon jangan mengatakan hal konyol—"

"Konyol katamu?" Rintik air mata Risa mengalir.

"Aku benci melihatmu menangis." Dilger menatap sayu wajah sembab Risa.

"Tapi kamu selalu membuatku menangis. Atau, kamu tidak sadar?"

Dilger memeluk Risa meskipun wanita itu berontak.

"Apa lagi yang wanita itu katakan?"

"Aku mendengar obrolan kalian hari itu."

Dilger melepas pelukannya, menatap Risa penuh tanya.

"Kamu pura-pura pikun atau memang bodoh?"

"Risa—"

"Sebelumnya, aku memercayaimu, tapi ... sekarang, aku berpikir dua kali lagi. Kamu beralih, Dilger. Kamu tak memihakku lagi, kamu tahu itu?"

"Apa maksudmu, Risa?"

Risa memalingkan wajah. "Sepertinya ucapan Samara layak untukmu. Kamu begitu lihai berakting, lihai berbohong."

"Atau, kamu belajar dari wanita itu?" Risa mendengus, lalu tertawa kecil memikirkan nasib hidupnya.

"Kamu tak pandai berbohong, Dilger, tapi ... hari ini aku sudah tertipu dengan tampangmu. Atau, jangan-jangan selama ini, semuanya hanya bohong semata? Janji-janji pernikahan kamu anggap apa? Ah, benar, hari ini aku tahu, cinta tak ada artinya bagimu. Cinta hanya omong kosong—"

"Risa!" Dilger mengguncang Risa seolah wanita itu sudah gila, mengigau hal tak guna.

"Kamu menganggapku gila? Ya, aku memang sudah gila, Dilger, bahkan sedari dulu. Entah kenapa aku menyesal. Harusnya aku menerima lamaran Dion daripada mengejarmu. Kamu tahu, Dion melamarku di taman, kerlap-kerlip lampu yang indah, itu impianku, tapi aku memilihmu. Lucunya, kamu pria bodoh atau entahlah. Kekuatan cinta memang luar biasa. Lucunya, aku melamarmu lebih dahulu."

Dilger terdiam sesaat. Meskipun kejadian lawas, tapi bukan mudah bagi Dilger. Dia memang tidak seperti mantan-mantan kekasih Risa yang berlagak romantis, tapi mengatasnamakan fisik sebagai cinta. Dilger tahu, pria yang dicintai Risa dahulu tak lebih dari sekadar buaya keparat.

"Aku mencintaimu, Risa, tapi cinta tak melulu disuarakan langsung. Terkadang aksi lebih baik dari sekedar kata-kata."

"Aku tak memercayaimu, Dilger. Satu-satunya orang tempatku mencurahkan segalanya kini berpaling dariku. Aku tahu, aku tipe emosional. Aku takut kehilanganmu. Terkadang cinta membuat manusia bodoh, seperti aku. Aku terlalu takut kehilanganmu, tapi tanpa kusadari tingkah bodohku nyaris membuatku kehilanganmu." 

Tatapan keduanya saling beradu. Risa tak menangkap arti tatapan sendu Dilger. Risa mengklaim semuanya dusta belaka.

"Aku menyerah," kata Risa sambil mengangkat tangannya di udara. "Kalau kamu ingin menceraikanku dan menikahi Vai, aku rela. Aku tak tahu harus berbuat apa, Dilger. Aku lelah—"

"Sadarkan dirimu, Risa! Bagaimanapun aku tidak akan menceraikanmu. Jangan termakan tipuan wanita itu."

Tawa Risa berderai. "Termakan tipuan? Aku mendengarnya langsung, Dilger. Kamu tahu bagaimana aku menghilang malam itu? Aku di dalam lemari, Dilger. Dalam lemari pakaian Vai!" 

"Ka-kamu ...."

Dengusan Risa lolos di bibirnya. Dilger mematung di tempatnya, matanya bergerak-gerak entah mencari apa di wajah Risa.

"Terkejut? Aku mendengarnya. Semuanya. Kamu muak dengan istrimu yang pemarah. Memancing amarah Samara agar memudahkanmu menceraikanku."

Risa menepuk dada Dilger menyadarkannya dari keterpakuan. "Kamu membuatnya ribet, Dilger. Apa susahnya mengatakan langsung padaku? Aku ingin menceraikanmu, Risa. Kamu pemarah, suka menangis, suka mengatur, suka menampar."

Dilger menangkap tangan Risa. "Andai kamu mengerti—"

"Aku selalu mengerti keadaanmu.""

"Dengarkan aku dulu!" Suara Dilger mengeras. "Andai kamu mendengar seluruh obrolan itu. Kamu tentunya tak mengatakan hal bodoh itu." 

Dilger mengatupkan bibir Risa dengan telunjuknya. "Jangan memotong ucapanku."

"Aku tak pernah ingin menghancurkan pernikahan kita, tak pernah sekalipun. Masih banyak yang ingin kulalui bersamamu, Risa. Kamu satu-satunya yang kupercayai dari dulu. Saat semua orang mengiraku sombong sebab menyandang nama Wiston, tapi kamu tidak. Kamu selalu berada di sisiku, tak peduli sikap acuh tak acuhku." Dilger meraih wajah Risa.

"Aku memang tak pernah berkata-kata manis padamu. Aku kesulitan mengatakannya, tapi aku ingin memilikimu, hanya denganmu. Menimang bayi denganmu, menua bersamamu, dan mati bersamamu."

Manik Risa berselaput bening. Kaca-kaca di matanya akan meluruh lagi. Risa terenyuh, Dilger baru saja mengatakan kalimat panjang nan manis. Kalimat-kalimat romantis yang paling ditunggunya.

Pertahanan Risa goyah, sebentar lagi runtuh. Dia dibuat bingung lagi, tapi dia sudah memutuskan untuk tak terjerat dalam kata-kata lagi. Dilger mengatakan hal yang sama padanya sebelumnya, tapi Dilger justru membohonginya.

Terkadang perasaan cinta harus ditepis, sesekali membiarkan ego bertindak. Risa mengabaikan kata hatinya walau menyiksanya, mengabaikan Dilger sama saja menciptakan luka.

"Aku tak memintamu untuk mempercayaiku lagi, Risa. Ini semua akal bulusnya dan aku akan membuktikannya. Kumohon jangan memintaku untuk menceraikanmu jika sampai di telinga Ibu ... ini akan lebih rumit. Aku tak kuat melihatmu dikatai Ibu, tapi aku pun tak mampu melawannya. Kuharap kamu paham walau kamu sudah lelah untuk mengerti, tapi aku memercayaimu, Risa. Meskipun Ibu atau dunia sekalipun mengataimu jahat, aku tak peduli."

Giliran Risa yang membatu, dia tak tahu harus mengatakan apa, tapi ucapan Dilger menenangkannya, memberinya harapan.

Kamu akan membalasnya, Vai! Geram Risa dalam hati.

Dilger menggenggam tangan Risa yang mengepal. "Terkadang apa yang kita lihat belum tentu begitu kejadiannya. Aku bukan bermaksud sedang membela diri. Aku minta maaf, aku suami yang tak becus. Kamu dikurung semalaman di lemari."

"Kalau begitu, katakan padaku apa keseluruhan pembicaraan kalian?"

"Aku tak bisa mengatakannya, Risa."

Risa mendengus. "Benar. Ucapan orang jahat kadang layak didengar ketimbang seseorang yang mengaku baik, tapi busuk."

Helaan napas pelan lolos di bibir Dilger. Istrinya sepenuhnya membencinya. Dilger tak menyalahinya, bagaimanapun dia juga merasa ikut andil atas kemarahan Risa.

"Kamu tak perlu memercayaiku lagi."

Hening. Keduanya sibuk beradu dalam pikiran masing-masing.

Samara muncul, wajahnya garang menatap pasangan yang terduduk di lantai.

"Kenapa kalian ribut-ribut di tengah malam begini?" Tapi Samara menatap Risa seolah menyalahkan wanita itu.

"Ibu jadi tidak bisa tidur gara-gara kalian? Apa lagi yang kalian debatkan?" Pertanyaan Samara diabaikan. Ibu sepuh itu berkacak pinggang memasuki kamar.

"Enak sekali kamu menghancurkan kamar ini. Kamu pikir barang-barang itu dibeli gratis? Mentang-mentang dinaungi orang kaya. Ibu tak habis pikir dengan menantuku ini!"

"Ibu ... sudah!" Dilger menurunkan acungan tangan Samara. Matanya berkilah amarah menatap Risa.

"Kenapa kalian ribut-ribut di tengah malam, huh?!" todong Samara. "Lalu, kenapa pula wajahmu, Risa, sembab begitu?"

"Ibu, kumohon kembalilah ke kamar."

"Kamu masih membela istri pelacurmu itu? Ibu sudah tidak bisa tidur. Jika Ibu tumbang besok, kuanggap ulah kamu." 

Samara mengatakannya pada Dilger, tapi Risa menyadari ucapan Samara terlontar untuknya.

Samara memijit pelipisnya. "Kalian berdua bisa membuat geger keluarga Wiston. Ibu benci ditodong publik." Samara menghela napas. "Apa kalian berdua memang ingin menghancurkan keluarga Wiston? Dan kamu juga, Dilger. Kenapa kamu menjadi pria bodoh. Ingat, martabat keluarga ini jauh lebih penting."

Samara melengos. Menatap bantal yang berserakan, ranjang yang acak-acakan. "Anak jaman sekarang memang tukang ulah. Bukankah lebih baik kalian bercerai saja?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status