Gelas di tangannya terjatuh, sigap Risa memundurkan kakinya sebelum diguyur air.
"Siapa yang mengatakannya?" Suara Dilger memang terdengar tenang. Namun, gelas jatuh di tangannya membuktikan jika dia terkejut bukan main.
"Itu tak penting. Jawab aku!"
Dilger menyugar kasar rambutnya, ia berbalik duduk di sofa. Tatapan matanya berubah meredup. Lalu, dia mengangkat kepala melihat wajah tegang istrinya. Dia menyunggingkan senyum. Sinis.
"Apa yang remaja tua itu katakan?"
Risa mendapatkan pengendalian dirinya. Dia melangkah mendekati Dilger, bertekuk lutut dihadapan pria itu, lalu jemarinya meraih kedua tangan kekar Dilger.
"Banyak, tapi aku ingin mendengarnya darimu kali ini." Suara Risa memelan, tersirat nada kecewa dan kehancuran di dalamnya.
Helaan napas berat lolos dari bibir Dilger, tatapannya sayu menatap Risa. Dia melihat selaput bening dalam manik istrinya.
"Apa kau percaya jika kukatakan aku tak pernah melakukan hal keji itu dengannya walau benar aku menyukainya?"
Selaput tipis di manik mata Risa kini kian menggenang, satu dua tetes lolos keluar dari matanya. Risa menunduk menadahkan kepalanya di lutut Dilger.
Dilger hanya diam di tempatnya. Dia tahu, Risa tak butuh kalimat penenang, wanita itu hanya butuh tempat mencurahkan tangis.
Risa mengangkat kepala, terangkai jelas wajah kecewanya. Dia menarik ujung kaus Dilger, lalu mengelap tangis di pipinya dan membuang ingus di sana.
Dilger memalingkan wajah ke samping. Ujung kausnya kini basah berlendir, dan dia melihat belum ada tanda-tanda Risa menghentikan aksi kotornya di bajunya.
"Dia bilang kau sering mencuri ciuman dan pelukan padanya."
Dilger tercengang. "Dia berkata begitu?"
Dilger mendengus melihat wajah datar Risa. "Dasar remaja tua!"
"Aku pernah menciumnya–"
Kalimat Dilger terpotong dengan tamparan keras di pipinya. Dia menoleh melihat Risa yang kini bernapas semrawut.
"–sekali, di pipinya." Dilger melanjutkan kalimat terpotongnya. Sebenarnya dia marah. Namun, jika dia berada di posisi Risa, barangkali dia akan melakukan hal yang sama.
"Selebihnya, dia yang memancingku. Memaksaku tidur bersamanya, mencuri ciumanku, dan kau tahu hal bodoh apa yang pernah dia lakukan? Dia pernah melepas seluruh pakaiannya ... depan mataku. Apa aku terpancing?" Dilger beralih menatap Risa yang membatu, diangkatnya tubuh berisi Risa berpindah di pangkuannya.
Wanita itu terdiam, tak bereaksi sedikitpun saat Dilger mengecup keningnya.
"Kuakui tubuhnya memang memukau. Namun, aku tak tertarik. Kau tahu kenapa?"
Manik abu-abu Risa bergerak-gerak menyelisik masuk manik Dilger. Penglihatannya kembali mengabur seiring bening air menyelimuti. Risa berhambur dalam pelukan pria dihadapannya.
"Aku takut dengan istriku," bisik Dilger, lalu membalas pelukan istrinya tak kalah erat.
Risa cekikikan kecil di tengah tangisnya, ada perasaan lega menyergap dadanya.
"Maafkan aku. Harusnya aku mendengarmu dulu sebelum menamparmu. Aku kejam, ya?"
Dilger menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Risa, menghirup dalam aroma bunga disana.
"Ya, istriku memang kejam hingga aku harus berpikir dua kali untuk selingkuh." Dilger memejamkan mata, mencari ketenangan dalam pelukan istrinya. "Maafkan aku!"
Risa melepas pelukannya berganti menatap Dilger. "Aku juga minta maaf telah berpikiran negatif tentangmu. Ku kira Dilger-ku sudah berubah."
"Tapi ... sejak kapan Vai begitu?"
"Aku tak tahu, tapi aku baru menyadarinya sekarang dan entah bagaimana rasa itu ada. Namun, jangan salah sangka, aku hanya mencintaimu, cintaku untuknya tak lebih dari sekedar kagum semata."
Risa mengangguk-angguk mengerti. Kini dia paham apa yang terjadi antara dua manusia itu. Namun, tiba-tiba wajah Risa mendadak lesu.
"Apa aku terlalu memanjakannya hingga dia menjadi wanita nakal?"
Dilger bungkam. Tentang hal itu, dia masih mencari jawabannya.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kau jaga jarak darinya. Aku tak ingin kejadian itu berulang lagi atau ...." Risa tersenyum manis, kedua tangannya berpindah mengalun di leher Dilger, wajahnya beringsut maju menipis jarak.
"Aku ingin bayi," bisiknya.
Dilger membuka mata, menatap Risa yang kini menatapnya redup. Tersemat rasa bersalah dalam dadanya, itu permintaan Risa yang paling sering terlontar dan paling susah dia kabulkan. Selama tujuh tahun pernikahan keduanya, Dilger belum mengharapkan kehadiran orang lain di hidupnya walau dia tahu anak itu hasil cinta keduanya.
"Maaf."
"Kenapa?"
"Aku belum siap menjadi ayah. Menjagamu saja aku belum becus terlebih seorang anak ... entah kenapa aku takut." Dilger melengos tak berani menatap wajah Risa.
Risa menarik wajah Dilger menghadapnya. "Kenapa?"
Dilger menghela napas. "Vai. Entah kenapa gadis itu kini tampak mengerikan dan hal itu membuatku takut memiliki anak. Aku masih bertanya-tanya, didikan apa yang salah dari kami untuknya hingga dia kini–"
Kalimat Dilger terpotong, keduanya saling memandang dan berganti menatap pintu yang diketuk, digedor tepatnya.
"Biar aku saja." Dilger bangkit dari duduknya membuka pintu, mendapati Samara Wiston—ibunya—yang berkacak pinggang.
Samara menyelonong masuk tanpa bertanya izin pada Dilger. Dia melangkah cepat menghampiri Risa yang menyungging senyum untuknya.
Plak
"Ibu!" teriak Dilger berlari menghampiri Samara.
Satu tamparan mendarat di pipi Risa, sudut bibirnya terasa berdenyut. Benar saja, cairan merah tercetak di sudut bibirnya. Dia mengangkat kepala menatap wajah ibu mertuanya.
"Apa yang Ibu lakukan?" Dilger menangkup wajah Risa yang tampak pucat, tubuh wanita itu bergetar.
"Kau kini ingin bermain-main dengan Wiston, huh? Dasar jalang!" Wanita yang sudah berambut setengah memutih itu menatap melotot wajah Risa.
"Dia menantumu, Ibu!" sergah Dilger menangkap tangan Samara yang ingin memukuli Risa kembali.
"Diam kamu. Ibu tidak berbicara denganmu!"
Risa yang terdiam kini memberanikan mendongak menatap wajah beringas ibu mertuanya.
"Apa yang aku lakukan hingga Ibu marah padaku?"
Samara mendengus. "Sepertinya ibu mertuamu ini sudah termakan lagak manismu!"
Dilger dan Risa saling bertukar pandang.
"Ma-maksud Ibu?"
Samara mendecih. "Kalau kau sudah bosan dengan suamimu, jangan gilir dia ke anak angkatmu!"
Risa bangkit berdiri, kedua alisnya bertautan menatap bingung mertuanya.
"Aku tak mengerti maksud Ibu?"
Samara menggelar tawa. "Rupanya istrimu pandai berakting." Dia menoleh melirik Dilger.
Samara berlalu membuka pintu balkon, tatapannya mengarah di kamar Vai yang terdengar pantulan bas musik rock. Wanita itu berbalik, senyum sinisnya terbit lagi melihat wajah bingung Risa. Derap sandal sepatunya mengisi hening hingga berhenti tepat depan Risa.
"Kau memaksa Vai menikahi Dilger. Kau anggap apa keluarga Wiston selama ini? Ingat, posisi tinggimu sekarang berkat keluarga ini!"
Dada Risa kembali terombang-ambing. Pertanyaan menumpuk dalam kepalanya, ada apa dengan hidupnya yang dulunya tenang kini mulai kacau balau?
Samara dan Risa beradu dalam satu garis pandangan. Tanpa mereka ketahui, seorang remaja tua berdiri di luar pintu, senyum sinisnya terlukis.
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku
Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.
Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber