Share

Tiga

Gelas di tangannya terjatuh, sigap Risa memundurkan kakinya sebelum diguyur air.

"Siapa yang mengatakannya?" Suara Dilger memang terdengar tenang. Namun, gelas jatuh di tangannya membuktikan jika dia terkejut bukan main.

"Itu tak penting. Jawab aku!"

Dilger menyugar kasar rambutnya, ia berbalik duduk di sofa. Tatapan matanya berubah meredup. Lalu, dia mengangkat kepala melihat wajah tegang istrinya. Dia menyunggingkan senyum. Sinis.

"Apa yang remaja tua itu katakan?"

Risa mendapatkan pengendalian dirinya. Dia melangkah mendekati Dilger, bertekuk lutut dihadapan pria itu, lalu jemarinya meraih kedua tangan kekar Dilger.

"Banyak, tapi aku ingin mendengarnya darimu kali ini." Suara Risa memelan, tersirat nada kecewa dan kehancuran di dalamnya.

Helaan napas berat lolos dari bibir Dilger, tatapannya sayu menatap Risa. Dia melihat selaput bening dalam manik istrinya.

"Apa kau percaya jika kukatakan aku tak pernah melakukan hal keji itu dengannya walau benar aku menyukainya?"

Selaput tipis di manik mata Risa kini kian menggenang, satu dua tetes lolos keluar dari matanya. Risa menunduk menadahkan kepalanya di lutut Dilger.

Dilger hanya diam di tempatnya. Dia tahu, Risa tak butuh kalimat penenang, wanita itu hanya butuh tempat mencurahkan tangis.

Risa mengangkat kepala, terangkai jelas wajah kecewanya. Dia menarik ujung kaus Dilger, lalu mengelap tangis di pipinya dan membuang ingus di sana.

Dilger memalingkan wajah ke samping. Ujung kausnya kini basah berlendir, dan dia melihat belum ada tanda-tanda Risa menghentikan aksi kotornya di bajunya.

"Dia bilang kau sering mencuri ciuman dan pelukan padanya."

Dilger tercengang. "Dia berkata begitu?"

Dilger mendengus melihat wajah datar Risa. "Dasar remaja tua!"

"Aku pernah menciumnya–"

Kalimat Dilger terpotong dengan tamparan keras di pipinya. Dia menoleh melihat Risa yang kini bernapas semrawut.

"–sekali, di pipinya." Dilger melanjutkan kalimat terpotongnya. Sebenarnya dia marah. Namun, jika dia berada di posisi Risa, barangkali dia akan melakukan hal yang sama.

"Selebihnya, dia yang memancingku. Memaksaku tidur bersamanya, mencuri ciumanku, dan kau tahu hal bodoh apa yang pernah dia lakukan? Dia pernah melepas seluruh pakaiannya ... depan mataku. Apa aku terpancing?" Dilger beralih menatap Risa yang membatu, diangkatnya tubuh berisi Risa berpindah di pangkuannya.

Wanita itu terdiam, tak bereaksi sedikitpun saat Dilger mengecup keningnya.

"Kuakui tubuhnya memang memukau. Namun, aku tak tertarik. Kau tahu kenapa?"

Manik abu-abu Risa bergerak-gerak menyelisik masuk manik Dilger. Penglihatannya kembali mengabur seiring bening air menyelimuti. Risa berhambur dalam pelukan pria dihadapannya.

"Aku takut dengan istriku," bisik Dilger, lalu membalas pelukan istrinya tak kalah erat.

Risa cekikikan kecil di tengah tangisnya, ada perasaan lega menyergap dadanya.

"Maafkan aku. Harusnya aku mendengarmu dulu sebelum menamparmu. Aku kejam, ya?"

Dilger menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Risa, menghirup dalam aroma bunga disana.

"Ya, istriku memang kejam hingga aku harus berpikir dua kali untuk selingkuh." Dilger memejamkan mata, mencari ketenangan dalam pelukan istrinya. "Maafkan aku!"

Risa melepas pelukannya berganti menatap Dilger. "Aku juga minta maaf telah berpikiran negatif tentangmu. Ku kira Dilger-ku sudah berubah."

"Tapi ... sejak kapan Vai begitu?"

"Aku tak tahu, tapi aku baru menyadarinya sekarang dan entah bagaimana rasa itu ada. Namun, jangan salah sangka, aku hanya mencintaimu, cintaku untuknya tak lebih dari sekedar kagum semata."

Risa mengangguk-angguk mengerti. Kini dia paham apa yang terjadi antara dua manusia itu. Namun, tiba-tiba wajah Risa mendadak lesu.

"Apa aku terlalu memanjakannya hingga dia menjadi wanita nakal?"

Dilger bungkam. Tentang hal itu, dia masih mencari jawabannya.

"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Sebaiknya kau jaga jarak darinya. Aku tak ingin kejadian itu berulang lagi atau ...." Risa tersenyum manis, kedua tangannya berpindah mengalun di leher Dilger, wajahnya beringsut maju menipis jarak.

"Aku ingin bayi," bisiknya.

Dilger membuka mata, menatap Risa yang kini menatapnya redup. Tersemat rasa bersalah dalam dadanya, itu permintaan Risa yang paling sering terlontar dan paling susah dia kabulkan. Selama tujuh tahun pernikahan keduanya, Dilger belum mengharapkan kehadiran orang lain di hidupnya walau dia tahu anak itu hasil cinta keduanya.

"Maaf."

"Kenapa?"

"Aku belum siap menjadi ayah. Menjagamu saja aku belum becus terlebih seorang anak ... entah kenapa aku takut." Dilger melengos tak berani menatap wajah Risa.

Risa menarik wajah Dilger menghadapnya. "Kenapa?"

Dilger menghela napas. "Vai. Entah kenapa gadis itu kini tampak mengerikan dan hal itu membuatku takut memiliki anak. Aku masih bertanya-tanya, didikan apa yang salah dari kami untuknya hingga dia kini–"

Kalimat Dilger terpotong, keduanya saling memandang dan berganti menatap pintu yang diketuk, digedor tepatnya.

"Biar aku saja." Dilger bangkit dari duduknya membuka pintu, mendapati Samara Wiston—ibunya—yang berkacak pinggang.

Samara menyelonong masuk tanpa bertanya izin pada Dilger. Dia melangkah cepat menghampiri Risa yang menyungging senyum untuknya.

Plak

"Ibu!" teriak Dilger berlari menghampiri Samara.

Satu tamparan mendarat di pipi Risa, sudut bibirnya terasa berdenyut. Benar saja, cairan merah tercetak di sudut bibirnya. Dia mengangkat kepala menatap wajah ibu mertuanya.

"Apa yang Ibu lakukan?" Dilger menangkup wajah Risa yang tampak pucat, tubuh wanita itu bergetar.

"Kau kini ingin bermain-main dengan Wiston, huh? Dasar jalang!" Wanita yang sudah berambut setengah memutih itu menatap melotot wajah Risa.

"Dia menantumu, Ibu!" sergah Dilger menangkap tangan Samara yang ingin memukuli Risa kembali.

"Diam kamu. Ibu tidak berbicara denganmu!"

Risa yang terdiam kini memberanikan mendongak menatap wajah beringas ibu mertuanya.

"Apa yang aku lakukan hingga Ibu marah padaku?"

Samara mendengus. "Sepertinya ibu mertuamu ini sudah termakan lagak manismu!"

Dilger dan Risa saling bertukar pandang.

"Ma-maksud Ibu?"

Samara mendecih. "Kalau kau sudah bosan dengan suamimu, jangan gilir dia ke anak angkatmu!"

Risa bangkit berdiri, kedua alisnya bertautan menatap bingung mertuanya.

"Aku tak mengerti maksud Ibu?"

Samara menggelar tawa. "Rupanya istrimu pandai berakting." Dia menoleh melirik Dilger.

Samara berlalu membuka pintu balkon, tatapannya mengarah di kamar Vai yang terdengar pantulan bas musik rock. Wanita itu berbalik, senyum sinisnya terbit lagi melihat wajah bingung Risa. Derap sandal sepatunya mengisi hening hingga berhenti tepat depan Risa.

"Kau memaksa Vai menikahi Dilger. Kau anggap apa keluarga Wiston selama ini? Ingat, posisi tinggimu sekarang berkat keluarga ini!"

Dada Risa kembali terombang-ambing. Pertanyaan menumpuk dalam kepalanya, ada apa dengan hidupnya yang dulunya tenang kini mulai kacau balau?

Samara dan Risa beradu dalam satu garis pandangan. Tanpa mereka ketahui, seorang remaja tua berdiri di luar pintu, senyum sinisnya terlukis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status