LOGIN"Ayo kita putus."
Selene terpaku, ponsel dengan case berwarna lilac masih menempel di telinga, suara kafe berdengung samar di sekitarnya.
Kalimat itu datang tanpa peringatan, membuat nafas Selene tercekat.
"Semua tentang kamu, kamu, kamu! Aku capek dengernya!"
Lanjut suara di seberang, yang sampai pagi tadi masih ia sebut pacar.
"Terus terang... kamu gak nganggap aku pacar kan?"
Detik itu, Selene terpaku, mata hazel-nya memanas dan pandangannya sedikit mengabur. Padahal lima menit sebelumnya, gadis itu masih tersenyum dengan penuh kebahagiaan.
Gadis itu baru saja menerima email bahwa karya ilmiahnya terpilih untuk ajang kompetisi nasional, suatu hal yang ia kejar berbulan-bulan tanpa tidur yang cukup.
"Apa... maksudmu?"
Padahal ia hanya ingin berbagi berita baik dengan orang yang seharusnya menjadi sandaran dan orang terdekatnya, Matteo Hickins, pacar yang sudah setahun lebih bersamanya.
Sayang, dunia nyata tak seindah bayangannya.
"Kamu bahkan nggak sadar kalau kamu itu egois" ujar pria itu.
"Aku butuh cewek yang bisa mengerti aku. Gak cuma aku yang ngertiin kamu terus." lanjutnya.
Selene menelan saliva-nya, memaksakan suaranya agar tak terdengar bergetar.
"Aku gak lagi mau ngeluh kok... Aku cuma... Aku baru saja lolos seleksi lomba karya tulis yang pernah aku ceritain."
Ia bicara pelan, hampir tak terdengar. Selene mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan.
"Kamu tahu kan aku akhir akhir ini-"
Di ujung telepon, tarikan napas panjang terdengar tak sabar.
"Nah, kau mulai lagi. Kau pikir di dunia ini yang sibuk hanya kau?"
Terdengar decakan yang cukup keras.
"Lagipula kau itu cewek kan? Ngapain ikut lomba begituan sih? lebih baik kau belajar hal hal yang lebih feminim, memasak contohnya kaya Rosetta."
Kalimat terakhir itu jatuh seperti batu yang meretakkan hatinya.
"..."
Mendengar nama itu membuat Selene terdiam, lidahnya sesaat kelu, seperti ada menahannya mengucapkan sepatah kata-pun. Nyatanya Selene sebenarnya bisa memasak, hanya saja akhir-akhir ini ia sibuk mempersiapkan paper ilmiahnya.
"Sudahlah, tak usah hubungi aku lagi"
Panggilan terputus.
Selene mendongak kearah langit-langit cafe. Awalnya ia ingin mengajak tunangan- tidak, mantannya itu untuk berkencan.
Mengajaknya untuk merayakan hal kecil di cafe favoritnya sambil memakan kue.
Setelah tenang gadis itu menghela nafas. Di depannya sepiring cheesecake favoritnya, di kafe kecil yang terletak tidak terlalu jauh dari kampus.
Tangan gadis itu mengusap matanya yang mulai menjatuhkan bulir bulir air.
Gadis itu menangis tanpa suara sampai...
Ting.
Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya.
Nama yang muncul membuat seluruh tubuhnya makin kaku.
[Papa]
> Pulang hari ini.
> Makan malam keluarga inti.
> Jangan terlambat.
Sebuah pesan singkat yang dikirim bukan sebagai permintaan namun perintah.
Selene menghela napas, memijat keningnya.
"Makan malam keluarga inti..."
Selene tertawa getir.
"Timing-nya jahat banget..."
Ia harus duduk satu meja dengan orang-orang yang bahkan tak layak disebut keluarga.
Selene tertawa getir.
"Keluarga..."
Apakah bisa disebut Keluarga? Oliver Cromwell, Ayah Selene menikah tiga kali. Dan Selene sendiri mempunyai 4 saudara yang keempatnya berbeda ibu dengannya.
Di tempat yang seharusnya menjadi rumah... Selene sebenarnya sendiri.
Ia berdiri dari kursi cafe, mengusap sudut mata yang panas, menelan emosi yang mengendap. Tak lupa ia membayar cheesecake yang ia pesan, meski tak tersentuh sedikitpun.
Gadis itu lalu melangkah keluar ke sore yang mulai mendung dan menaiki mobilnya.
Saat menyalakan mobilnya ia mengingat pesan sang ibu.
"Selene... apa pun yang terjadi kau harus sekolah yang tinggi, jangan pernah menurunkan harga dirimu, kau harus bisa berdiri sendiri"
Itulah kata-kata terakhirnya sebelum jantung wanita cantik itu terbaring tak bernyawa di atas rumah sakit.
Dan sampai saat ini Selene selalu mengikuti perkataan itu, ia belajar dan belajar membangun reputasi dan prestasinya sendiri tanpa dukungan siapapun.
Lampu merah menyala tepat ketika Selene berhenti di depan persimpangan dekat pusat kota.
Dia menyandarkan dahi ke kaca jendela sambil menunggu.
Kepalanya masih berat oleh percakapan siang tadi, pemutusan sepihak yang terasa seperti silet.
"Terus terang... kamu tidak menganggapku pacar kan?"
Kata itu masih bergema.
Ia menghela napas, memejamkan mata.
"tidak menganggap dari mana sih? aku selalu ngabarin, setiap di call selalu aku jawab, aku juga kan gak tiap hari mengeluh!"
Selene kembali membuka matanya lagi. Jantungnya berhenti sepersekian detik.
Tepat di jalur seberang, sebuah motor sport berwarna merah berhenti di garis zebra cross. Dan tepat di atasnya...
Mantan pacarnya.
Helm terbuka, satu tangan memegang stang, wajahnya terlihat jelas.
Bahkan tanpa melihat wajahnya pun Selene sangat mengenali motor kesayangan mantan pacarnya itu, tentu saja karena Selene yang membelikannya.
Betapa bodohnya Selene saat itu.
Dan yang makin membuat dada Selene semakin sesak, di belakangnya duduk satu orang yang terlihat terlalu familiar.
Adik tirinya. Anak perempuan dari istri kedua ayahnya.
Yang selalu menatapnya dengan tatapan tajam, selalu mencoba bersaing dengannya, selalu menginginkan apa yang dimiliki Selene.
Mereka berdua tampak terlalu dekat, bukan sekadar boncengan biasa.
Selene lalu tersenyum getir
"Ah... Bajingan itu yang selingkuh rupanya"
Rosetta Cromwell, adik tirinya tertawa kecil lalu menempelkan tangan ke jaket Matteo, pria yang kini telah menjadi mantan gadis berambut ash brown itu.
Wajah si pria ikut tersenyum. Senyum yang seharusnya hanya ditujukan padanya seorang kini ia tujukan pada adik tirinya.
"Pantas saja akhir akhir ini Matteo nyebut-nyebut nama Rosetta."
Entah mengapa Selene sudah tidak kaget lagi.
"Sekarang aku malu hampir menangisi bajingan itu."
Benar-benar air mata yang tak berarti. Tatapan Selene tanpa sengaja bertemu dengan mantan pacarnya. Ekspresi pria itu langsung berubah. Panik kecil terpancar jelas.
Selene tidak memalingkan wajah. Hanya menatapnya dengan tenang, walau tangannya yang berada di setir mengencang menahan ledakan dari hatinya yang seperti tertusuk oleh jarum-jarum yang tak kenal ampun.
Adik tirinya terlihat bingung sejenak melihat reaksi aneh Matteo lalu mengikuti arah pandang pria itu. Saat sadar akar dari perilaku pria itu senyumnya melebar. Tidak terpaku atau salah tingkah, gadis itu justru mendekatkan diri ke arah Matteo, menempelkan tubuhnya dengan senyum yang begitu manis, seakan berkata
"Lihat? aku menang lagi."
Melihat itu Selene hanya mendengus.
Ia menutup mata sebentar dan menarik nafas. Mencoba menahan diri untak tak menginjak gas dan menabrak kedua manusia sampah yang ada di sebrang jalan.
'Wow... Dulu aku mikir apa sih suka dengan si Matteo itu?'
Untung saja tak lama setelah itu, lampu jalan kembali berubah hijau. Selene dengan cepat bergerak menekan gas mobilnya untuk kembali melaju menuju kediaman keluarga Cromwell sebelum intrusive thoughtsnya menang dan ia benar-benar menabrak dua manusia tak tahu diri itu.
“Sel.”“Selene.”“SELENE!”Panggilan terakhir itu membuat Selene sedikit tersentak.“Hah! Selene akhirnya menatap Fiona yang sedari tadi sudah memanggilnya beberapa kali semenjak dosen sudah keluar kelas. Saat ini kelas yang tadinya dipenuhi mahasiswa cuma tertinggal Selene, Fiona dan beberapa anak yang terlihat ingin melanjutkan tugas kelompok.“Are you okay? Kamu dari tadi kelihatan banyak pikiran”Selene menghela nafas sejenak. Memang benar, sejak makan malam semalam pikiran Selene langsung kemana-mana. Memang benar makan malam itu awalnya ditujukan untuk Leonard Romano agar bisa menemukan calon istrinya. Tapi tetap saja, Selene tidak menyangka di antara dirinya dan Rosetta, dirinya lah yang akan dipilih. Selene menggelengkan kepalanya untuk menjernihkan pikiran lalu menatap Fiona yang sedari tadi hanya terdiam menatap Selene dengan tatapan aneh.“Sel, what’s wrong?”‘What’s wrong? A lot!’Itu yang dipikirkan Selene tapi sekali lagi gadis itu hanya menghela nafas. “Ayo pergi du
“Fyuhhh katanya 30 menit malah lanjut hampir sejam-an”“Kau telat sih!”“Lah? Orang Prof. Adrian yang buat janji dadakan!”“Jangan berantem di depan sini…” Ucap Selene sambil menatap tiga teman setim-nya Pintu ruang dosen tertutup pelan di belakang Selene. Koridor kampus sudah sepi. “Kita ke resto ramen yang di simpang tiga depan yuk?” Ajak Fiona.“Boleh” kali ini Hana nyeletuk, dan Alex mengangguk.“Maaf guys… aku skip dulu ya? Aku ada janji” Jawab Selene dengan sedikit rasa bersalah.Untung saja teman temannya ini mengerti.“Kalau acaranya bagi-bagi warisan, aku minta jatah ya?” Celetuk Fiona dengan nada bercanda.Selene hanya terkekeh sambil melambaikan tangannya ke arah tim karya ilmiahnya, karena pamit terlebih dahulu karena ada janji penting. Gadis itu masih memegang catatan revisi saat langkahnya berhenti mendadak. Karena refleks melihat jam tangan.18:41.Makan malam Romano dijadwalkan jam 19:00. Dari kampus ke restoran saja sudah 20 menit dan itupun jika normal traffic, kal
Jendela kaca setinggi langit-langit membentang memenuhi satu sisi ruang kerja. Dari jendela yang membentang itu, pelabuhan utama kota terlihat seutuhnya. Dari atas situ, terlihat kesibukan pekerja serta peralatan peralatan berat dari Romano engineering corp.Kontainer satu persatu ditarik seperti bidak catur, pekerja berhelm tampak serupa titik-titik putih, serta percikan api las berkedip seperti kunang-kunang.Seorang pria dengan setelan hitam melekat sangat pas pada tubuh tinggi ramping. Mata biru itu menyapu pemandangan dari atas tower Romano, satu tangannya menggenggam mug berisi kopi.Pria itu, Leonard Romano CEO of Romano Engineering Corp.“Pak,” Robert, sekretaris pribadi Leonard membuka suara, “Para eksekutif masih mempertanyakan keputusan anda untuk melakukan pernikahan politik dengan Blackwood Corporation.”Leonard dengan tenang meminum kopinya.“Saya yang nikah kenapa mereka yang nolak?” Mendengar itu Robert berkata jujur.“Mereka ingin mendorong putri mereka untuk menjadi
Selene terdiam sejenak di depan beberapa potret yang terpampang di tembok kediaman keluarga Cromwell saat memasuki rumah mewah tersebut.Ada banyak potret di situ, dan hampir di setiap potret terdapat wajah Oliver Cromwell, kepala keluarga Cromwell dan CEO Cromwell corp saat ini.Selene berjalan menyusuri lorong tersebut dan melirik sebuah potret baru seorang wanita dengan riasan dan perhiasan yang terkesan mewah.Rietta Cromwell, Istri kedua Oliver.Disebelah potret itu terdapat potret seorang laki-laki berambut hitam, Ronan Cromwell. Anak pertama Rietta. Dibawahnya terdapat potret keluarga yang membuat Selene mendengus. karena potret itu hanya terdapat Oliver, Rietta, Ronan dan juga Rosetta, Adik tiri Selene.Adik tiri yang baru saja memungut sampah miliknya. Yah memang sama-sama sampah sih jadi cocok.Selene kembali berjalan dengan lebih cepat, tak sudi melihat potret keluar bahagia itu. seluruh tembok galeri itu dipenuhi oleh potret mereka.Namun dari sudut matanya, Selene melihat
"Ayo kita putus."Selene terpaku, ponsel dengan case berwarna lilac masih menempel di telinga, suara kafe berdengung samar di sekitarnya.Kalimat itu datang tanpa peringatan, membuat nafas Selene tercekat."Semua tentang kamu, kamu, kamu! Aku capek dengernya!"Lanjut suara di seberang, yang sampai pagi tadi masih ia sebut pacar."Terus terang... kamu gak nganggap aku pacar kan?"Detik itu, Selene terpaku, mata hazel-nya memanas dan pandangannya sedikit mengabur. Padahal lima menit sebelumnya, gadis itu masih tersenyum dengan penuh kebahagiaan.Gadis itu baru saja menerima email bahwa karya ilmiahnya terpilih untuk ajang kompetisi nasional, suatu hal yang ia kejar berbulan-bulan tanpa tidur yang cukup."Apa... maksudmu?"Padahal ia hanya ingin berbagi berita baik dengan orang yang seharusnya menjadi sandaran dan orang terdekatnya, Matteo Hickins, pacar yang sudah setahun lebih bersamanya.Sayang, dunia nyata tak seindah bayangannya."Kamu bahkan nggak sadar kalau kamu itu egois" ujar pr
Saat awal bertemu dulu, Selene mengira ia akan menikahi pria yang berbahaya dan harus diwaspadai. Pria dengan rambut pirang dan bermata biru itu terkenal dingin, to the point dan tidak suka basa-basi.. Orang-orang mengenal Leonard Romano sebagai pria yang hidup sesuai dengan nama yang diberikan padanya sejak lahir. Leonard, yang memiliki arti singa, dan juga simbol kekuatan, keberanian, dan kepemimpinan. Tidak salah... Tapi apakah kalian tahu jika singa itu masih satu keluarga dengan kucing? . . . Malam itu, dari dalam sebuah penthouse luas yang bernuansa monochrome seorang wanita berambut ash brown bergelombang sedang duduk santai di atas sofa berwarna abu-abu. Pendingin udara berdengung lembut, bercampur dengan aroma kopi yang baru saja diseduh gadis itu. Selene Romano dengan santai mengotak atik tablet yang berada di tangannya, sibuk menyelesaikan laporan penelitian yang belum ia selesaikan. Beberapa menit berlalu sampai pria yang katanya “berbahaya” itu muncul dari ar







