Kegelisahan yang melanda hati begitu mudah dimengerti. Azuma merasakannya. "Kau sangat mengkhawatirkan Tuan, ya?" tanya Kepala Pelayan itu mengejutkan Zara. "Astaga! Sejak kapan kau di sini?" Zara terjingkat. "Ck, menyebalkan! Jangan bilang kau jatuh cinta sungguhan pada Tuan kami. Aku tetap tidak akan membiarkamu." Azuma memicing. Zara justru mengusap hidungnya, "Waspada sekali! Jika aku benar-benar merebutnya bagaimana?" "Kau!" Azuma kesal karena Zara menggodanya. Zara tertawa pelan. Mendadak sinar di matanya meredup kembali menatap gerbang yang jauh.Azuma sampai tersentak dalam hati. "Bibi, aku tidak tau dunia apa yang menghampiriku, tapi kedatangan Reon terasa berharga bagiku. Sepertinya aku memiliki wajah baru. Bastian benar, aku tidak bisa memasuki kawasan rumah yang dulu. Aku telah kehilangan jati diri dan semua itu belum diketahui penyebabnya. Karena itu aku harus membuat ulang hidupku. Hanya Reon yang menjadi tumpuanku sekarang. Jika aku tidak mendapat kepercayaannya,
Mengelilingi pusat kota di mana panggung ajang kecantikan pernah diadakan. Rasanya mereka bernostalgia. "Haha, bagaimana, Tuan? Apa kau sudah puas? Aku hampir menabrakmu tadi!"Zara melepas helm. Tepat di depan gerbang tempat itu mereka berhenti. Sepi, hanya kerlap-kerlip bintang dan lampu yang menyinari. "Tidak buruk! Pada akhirnya aku yang menang." Reon menyeka rambutnya. "Oh? Begitukah? Aku tidak sedih walau kalah, yang penting aku hampir bisa mengimbangimu. Sshh, kau itu bukan tandinganku. Aku ratunya jalan raya dulu." Zara menepuk dadanya bangga. "Maksudmu ratu curang?" Reon menumpukan sikunya ke kepala motor. "Heh? Dari mana kau tau?" Zara mendelik kaget."Ah, pasti Alexa," sambungnya. Reon mengangguk tanpa memudarkan senyumannya. "Aku mengetahui semua tentang dirimu. Betapa menyebalkannya memiliki pelayan multitalenta." Reon memutar pandangan. Suara berat itu membuat Zara turun dari motor dan menghampirinya kesal. "Apa? Kalian benar-benar stalker! Sepatutnya kau senang
Kelincahan kaki berhasil menembus pertahanan. Mereka tumbang tanpa Zara sentuh, karena dia berlari secepat kilat. Sampailah mengejar Reon ke restoran. Ruang VIP tanpa makanan di meja. Suasana terasa hampa. 'Eee, bagaimana mendeskripsikannya? Aku tidak dianggap atau sengaja dibiarkan?' batinnya suram. Reon membiarkan Zara menemaninya tanpa menoleh dan berucap kata. Pada akhirnya seorang lelaki pebisnis di depan mereka berbicara."Ah, Pak Reon. Memiliki gadis cantik membuatku iri sekali. Pasti menyenangkan bisa bermain bersama setiap hari." orang itu tersenyum dengan mata terpejam. Ucapannya sangat tertata.Merasakan serangan mental, Zara tidak menyukai orang itu. 'Apa-apaan tadi? Dia orang jahat? Dari nadanya kurasa berencana memegang perasaan Reon dan membuatnya terbakar?' pikir Zara.Tak urung dia menajamkan pandangannya. Namun, Reon membalas dengan tenang. "Bisakah kita kembali pada pekerjaan?"Tawaran Reon membuat orang itu tertawa pelan. Zara terus mengamati.'Memang hebat! R
"Jadi, aku bebas dari hukuman dan denda?" tanya Zara mengalihkan pembicaraan. Dia tidak bisa terjerumus dalam rasa malu terus-menerus.Semua ini berawal dari Alexa yang menyuruhnya ganti rugi. Reon menepuk dahi, "Kurasa aku memang tidak bisa menahanmu. Zara, selesaikan sampahnya. Aku tidak tahan lagi." Dia pun memasuki mobil.Zara semangat memberi hormat. "Aaa, senangnya! Baik, Tuan! Terima kasih sudah dimaafkan!"Seulas senyum manis terbit seiring atasannya semakin jauh di jalan raya.'Dengan begini usai sudah perkara jendela juga kecemburuannya pada Bastian. Sekarang tinggal membuatnya berkata setuju,' batinnya. "Ck, sulit sekali menaklukkan Reon. Sampah yang dia maksud tidak lain adalah orang yang gemetar di sana, bukan?" gumamnya sembari berjalan perlahan mendekati orang itu. Lalu-lalang kendaraan membawa polusi dan debu, disertai angin panas yang terus bertiup menerbangkan dedaunan kering layaknya film. Zara membuat perisai tangan untuk matanya. "Bahkan debu memberiku hadi
"Dengar! Bos itu dingin di luar, tapi lembut di dalam. Perubahan sikapnya pasti sudah kau rasakan, tapi masih perlu memperhatikan hatinya." Zack menjelaskan dengan netra cerah. Zara semakin tersipu, "A-apa maksudmu? Kalau itu aku sudah tau." dia berpaling. Zack tertawa sembari mematikan musiknya. "Oh, ya, di mana Alexa? Aku tidak melihatnya lagi." celingukan mencari Alexa. "Gadis robot itu? Aku menjadwalkannya ke laboratorium sekaligus mengatur keluhan para desainer. Nanti malam semua problem-nya pasti selesai. Bertepatan sekali dengan Bos yang disibukkan orang sialan tadi," jawab Zack santai seolah bukan masalah besar.Zara mendesah panjang. "Kalian sungguh luar biasa!" menunduk luruh. "Zara, aku ingin bicara serius denganmu." tiba-tiba Zack memandangnya tanpa ragu. "Hmm?" Zara menoleh waspada. Bagaimanapun, Zack sekretaris yang handal. Dia pandai memanipulasi emosi."Katakanlah!""Tujuanmu kemari untuk membalas dendam, 'kan? Kuminta pergilah sebelum melibatkan Bos kami," uja
Trotoar yang terang menghidupkan jiwa Zara. Tidak seperti istana Reon yang gelap gulita bagai sumber kegelapan. "Kucing Vanilla, di mana kau?" Teriak Zara lantang. Tangannya membentuk corong layaknya speaker mulut. 'Dasar mereka! Begini saja bahasanya seperti penjajahan. Kerahkan pasukan? Maaf, sekarang kucing dan manusia sedang gencatan senjata. Andai saja bisa kukatakan seperti itu pada Alexa agar dia bungkam,' batin Zara meledek. Sudah jauh dari kawasan rumah Reon, Zara tetap tidak menemukan kucingnya. "Hah, di mana dia?" Cemas mulai melanda. Memandang cahaya lampu jalan membuatnya mendesah. Lalu, terdengar suara kucing mengeong dari salah satu toko yang terbuka. Tanpa menunggu, segera menuju sumber suara. "Jelas-jelas aku mendengarnya di sini tadi. Apa mungkin kucing lain?" lirihnya teliti mencari di sekitar toko. Alhasil dia menjadi sorotan banyak orang. Suara kucing itu terdengar lagi, tetapi lebih lembut. Zara berbalik dengan harapan besar. Namun, yang dia dapatkan ju
Koleksi drama kehidupan berputar dalam imajinasi. Zara agak sedih Ryo meratapinya. Namun, hanya itu yang Zara pikirkan dan tertulis dalam surat. "Aku tidak percaya! Justru kau yang berbuat seenaknya." Ryo membuang gumpalan surat itu. Alis Zara bertaut. "Mengancam Forin, apa kau sengaja ingin menghancurkanku? Ditambah dengan surat ini, sangat jelas kau menyatakan perang, Zara." Ryo murka. Wajah putihnya semerah darah. Zara tersentak tatkala berdecak."Jauh-jauh datang hanya ingin mendebatku? Sudah kuduga kau diracuni model itu." Zara sebisa mungkin mengontrol emosinya. Ryo menggeleng tak kuasa, "Kupikir kau pintar, tapi menanggapi Forin saja sampai menganiayanya. Dia menangis tersedu-sedu setelah pulang pemotretan dari taman." "Oh? Begitukah? Jadi dia menangis, ya? Pasti menyenangkan melihat wajah manisnya menangis tanpa henti." Zara melayangkan senyum tanpa beban. "Gadis ini!" Ryo mengepalkan tangannya.Bastian ingin melerai dengan menunjukan bukti rekamannya pada Ryo, tetapi Z
Kepergian Reon membubarkan para pelayan, kecuali Azuma yang masih berdiri dengan sisa syok yang mendalam."Ci-cinta sepihak memang menyakitkan," Azuma tergagap. Merinding, Zara berbalik menatapnya. "Aku tidak mencintainya, Bibi! Ryo hanyalah mantanku!" "Huaaa, Tuan, Zara marah!" Azuma langsung bebas dari rasa kaku. Dia lari mencari Reon untuk mengadu. "Astaga, orang itu selalu saja!" Zara menepuk keningnya.Bastian sedari tadi berpikir, "Jadi, jurnalis yang bekerja sama dengan Forin adalah para saudara Ryo? Lalu, yang mengawasiku juga mereka? Kurasa itu tidak benar. Kalau benar mengapa Ryo memintanya mengawasiku, padahal dia saja tidak tau?" Zara menjambak anak rambutnya lemah dan menatap halaman luas. "Kau tau? Forin yang menyuruhnya, bukan Ryo," balas Zara lirih. "Apa?!" Bastian kaget. Zara mengangguk pelan."Aku sudah meramalnya usai bertemu Forin di taman. Pertama, keempat kakak Ryo terhubung dengan media, bukan berarti mereka bekerja di media. Hanya perantara yang memilik