Share

7. Hujan Abu di Kamar CEO

"Pulanglah! Siapkan kamar penuh parfum untukku!" titah Reon setelah kopi pahit itu ada di mejanya. 

"Hah?! Maksudnya bagaimana?" heran Zara mendelik. Nampan masih digenggam jemarinya.

Reon mendesah lelah. Mata sayunya membuat Zara melengkungkan bibir ke bawah.

"Aku akan pulang nanti sore. Pelayanku, kau jangan kabur! Siapkan saja kamar yang harum nan cantik sepertimu," ujarnya mendayu sendu.

Napas Zara tercekat di tenggorokan. 

'Ada apa lagi dengannya?!' teriak dalam hati. 

Rumah besar Reon yang dihuni banyak pelayan. Saat ini Zara menjadi salah satunya. 

Dia menguap sambil mengucek matanya dan berjalan menuju kamar. Mengerjap-ngerjap menyesuaikan pandangan.

"Huft! Aku lelah sekali! Dia benar-benar Raja Iblis! Tidak membiarkanku tidur, tapi menyuruh ini dan itu. Pasti enak kalau berbaring di kasur," gumamnya dengan bibir mengerucut. 

"Ahahaha! Ternyata ini pelayan baru yang konon gadis tercantik di kota? Hah? Yang benar saja? Apa mata Tuan kita sudah rabun?" 

Zara merasa diinterupsi. Dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke sumber suara, yaitu dapur. Memicing karena pandangannya kurang jelas akibat mengantuk. 

"Hmm? Siapa itu? Nenek tua?" katanya asal. 

Orang itu tersentak. 

"Hei, sembarangan! Beraninya mengataiku nenek tua! Aku Kepala Pelayan di sini. Azuma Rechal yang selalu sempurna. Kau dinilai lancang telah menunjukkan wajah lusuhmu itu, Pelayan baru!" orang bernama Azuma itu menunjuk Zara. 

"Eh?" Zara diam dari kejauhan. 

Mendekati wanita paruh baya sombong itu yang dikelilingi beberapa pelayan. Zara mendapatkan kesadarannya sehingga matanya melebar. 

"Apa?! Kepala Pelayan?!" kagetnya mengerjap dua kali, "Hahaha, Kepala Pelayan dia bilang? Memangnya ini dunia fantasi di mana ada kerajaan yang punya Kepala Pelayan? Aduh, gelinya! Hahaha!" sambungnya sambil memegang perut.

Gelak tawa Zara menggema. Para pelayan membuat ekspresi buruk sampai menggeleng berkali-kali. 

Ternyata Azuma sedang marah. Dia berkacak pinggang, tetapi Zara tetap tertawa. 

"Diam!!!" Azuma berteriak. 

Tawa Zara langsung berhenti. 

"Kau tidak tau di mana posisimu dan bisa-bisanya lancang padaku?! Nona Zara, aku bisa merusak wajah cantik dan mata lebarmu itu sekarang juga jika aku mau! Jadi hormat dan patuhi aku! Stratamu lebih rendah dariku!" Azuma menunjukkan sisi gelapnya. 

Apa yang dilakukan Zara? Dia berekspresi malas. 

"Heh? Jadi kau ketua gengster, ya?" ujar Zara tanpa minat dan mengundang tawa para pelayan. 

Azuma salah tingkah.

"Keren sekali! Kalau begitu terima kasih informasinya, tapi aku tidak butuh. Aku mau tidur. Sangat mengantuk!"

Zara melambaikan tangan dan kembali menguap sambil berjalan mencari kamarnya. Di waktu yang bersamaan, Azuma mengerahkan para pelayan untuk menyergap Zara.

"Eh, eh? Apa-apaan ini? Kenapa kalian menangkapku?" Zara meronta.

"Hahaha! Karena kemarin aku tidak menyambutmu dengan baik, maka izinkan aku memberi sambutan yang meriah. Nikmatilah!!" Azuma tertawa jahat. 

Mulut dan mata Zara melebar.

"Lepaskan aku, Nenek sialan! Apa yang akan kau lakukan padaku?!" teriaknya tak didengar. 

Para pelayan itu akan membawanya paksa ke kamar mandi. Kepala Zara sudah penuh dengan adegan buruk. Namun, seseorang datang merubah euforia.

"Siapa yang berani menyentuhnya?" 

Gelegar suara bariton Reon menggema di lantai utama. Sontak Zara menoleh, Azuma terkejut, dan para pelayan melepaskan Zara. 

Zara kehilangan keseimbangan. Bingung menatap Reon yang dengan gagahnya menuju ke arahnya.

"Reon?" Zara memanggil lirih nan heran.

Hingga Reon berada di sampingnya, binar matanya masih bertanya-tanya. Berbeda dengan Azuma dan pelayan lain yang sudah berkeringat dingin.

Mereka menunduk tak berani memandang Reon. Hanya bisa mencuri pandang dan takut. 

"Jangan ada yang berani menyentuhnya!" kelakar Reon tegas sekaligus tetap tenang. 

Azuma memantapkan diri untuk membantah.

"Tapi kenapa, Tuan?" kening Azuma berkerut tebal.

"Karena dia ... Pelayan Khususku." Reon tersenyum miring dan menarik kepala Zara untuk bersandar di bahunya.

Dalam imajinasi kepala Zara mendongak lemas tak sanggup. Semua orang tersentak dan tersipu.

'Hiyaaaa! Kenapa aku ada di pelukannya?!' teriak otak dan hati Zara. 

Dia menurut begitu saja kala Reon membawanya naik ke lantai dua. 

Di balik itu, Azuma mengepalkan tangan. Sebenarnya dia kesal karena Zara diperlakukan dengan istimewa. 

"Tunggu! Kenapa kau pulang? Seharusnya nanti sore, 'kan?" 

Refleks Zara mendorong Reon dan menjauhkan diri.

"Apa kamarku sudah penuh parfum?" tanya Reon santai. 

Zara menghela napas berat. "Belum, Tuan. Mana sempat aku mengaturnya? Kepala Pelayanmu itu ...," perkataannya menggantung. 

'Tidak, aku tidak boleh menjelekkan Bibi Azuma. Siapa tau dia bisa berguna nanti, hehe,' pikir Zara licik. 

"Eee, maksudku Bibi Azuma sangat baik. Dia sibuk menyapaku sampai aku lupa tugasku. Aku minta maaf." ringis Zara bodoh. 

"Baiklah!" 

Jawaban Reon membuat Zara menghela napas panjang.

'Tidak kusangka akan bertemu Kepala Pelayan seperti Bibi Azuma. Kurasa dia seperti karakter penjilat. Pasti sering mencari muka di depan Reon,' pikir Zara. 

Setibanya di kamar Reon, Zara diberi setumpuk kardus penuh kertas. 

"Heh?! Apa ini?!" 

"Jawaban dari pertanyaan di otakmu," jawab Reon dingin. 

Guntur menggelegar tepat di atas kepala Zara. 

'Bagaimana dia tau isi kepalaku? Apa dia berbakat jadi penyihir otak manusia?' pikir Zara kelam. 

"CCTV, Bodoh! Kau menguping saat aku sedang bicara dengan Alexa secara terang-terangan. Tentu saja kamera pengintai mengawasimu," terang Reon mengejutkan Zara sampai mundur selangkah. 

"Apa?!" teriaknya tak berguna. 

Reon mendesah dan duduk di tepi ranjang. 

"Sekarang, itulah jawabannya. Aku ingin kau membuangnya dan tidak terlihat lagi di bumi walau sebutir debu sekalipun." tatapan Reon beralih ke jendela.

"Ha-hah?! Tapi kenapa? Memangnya apa ini?!" 

"Berisik! Buang saja dulu!" lirik Reon tajam. 

'Hiyaaa, menakutkan!' teriak Zara dalam hati.

Walau wajahnya kesal, Zara tetap pergi ke tempat sampah belakang. Dia membakar semua kertas beserta kardus itu dan memastikan mereka habis menjadi debu. 

Kemudian, kembali pada Reon dengan senyuman. 

"Sudah selesai, Tuan!" 

'Dengan begini apa kau senang?' geramnya tertahan. 

"Ah, aku juga membawa abu mereka. Apa perlu aku tebar sebagai parfum pengganti ruanganmu?" senyum Zara semakin manis. 

Dia menunjukkan sekantung plastik abu.

Reon terkejut.

Tanpa menunggu apapun, Zara menebar abu itu dan dalam sekejap kamar Reon dipenuhi hujan abu. Senyum manis hilang berganti sungutan amarah. 

"Seenaknya saja kau memerintah tanpa mengasihani jiwa dan raga pelayan cantikmu ini! Tuan CEO yang kejam!" bentak Zara mengeluarkan isi hatinya. 

Sebelah tangannya menepuk dada dan yang satunya masih memegang kantung plastik sisa abu. Namun, di tengah hujan abu dan ketajaman matanya, Zara bisa melihat Reon yang melongo terpesona. 

"Indahnya!" gumam Reon jelas. 

Seketika Zara membekap mulutnya. 

"Mustahil! Dia ini orang macam apa?! Tidak bisa dihadapi dengan menurut atau memberontak! Bukannya marah, matanya justru berseri-seri!" oceh Zara yang hanya bisa dia dengar sendiri. 

"Parfum busuk dari orang di Bandung semalam. Aromanya ... luar biasa!" Reon masih terhanyut dalam kilauan abu di udara. 

Zara tersentak, "Apa maksudmu?" matanya masih menajam. 

"Semua kertas itu adalah dokumen penting perjanjian antara perusahaanku dengan perusahaan orang yang menyuruhmu duduk di pangkuanku." terang Reon seraya sedikit tersenyum. 

Zara jauh lebih tersentak, "Apa?"

"Benar, aku memutuskan perjanjian kerja samanya. Orang yang tidak bisa menghargai pelayanku walau serendah apapun dirimu tidak pantas menjadi mitra kerja seorang Reon Varezan Dailendra!" seru Reon menggema. 

Jantung Zara bergemuruh hebat dan hangat. 

"Eh, tunggu. Aku harus senang atau merasa terhina?" ucapnya heran setelah berpikir. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status