Share

Hujan Dimata Adelia

Adelia lari sekencang-kencangnya ke kamar kakek, dia berharap apa yang barusan di sampaikan Albert hanyalah bualan belaka, “Tidak, kakek tidak akan pernah meninggalkanku,” kata Adelia dalam hati, dia terus berlari tapa memandang orang-orang di depannya.

  Adelia menerobos masuk ke dalam kamar kakeknya, dia melihat tubuh kakeknya terbujur kaku, Adelia mencoba membangunkannya, menyentuh pipinya, namun kakeknya terasa dingin di tangannya.

  “Kek, kakek, tolong jangan bercanda seperti ini,” kata Adelia memanggil kakeknya dan menggoyangkan tubuh itu perlahan.

  “Kek, ayolah, buka matamu,” tetap tak ada respon dari tubuh kakeknya, air mata Adelia mulai jatuh, suaranya tercekat di tenggorokan, dia memeluk tubuh kakeknya dan mengguncangkannya perlahan.

  “Kek, jangan tinggalkan Adelia sendiri, tolong bangunlah,” kata Adelia sambil terisak.

   Tangan Albert mencoba menangkan Adelia, menariknya perlahan menjauhi tubuh kakeknya.

  “Kenapa ini tiba-tiba,” kata Adelia sambil menatap Albert.

  “Dokter sudah memeriksanya nona, serangan jantung,” jawab Albert.

  Adelia tidak percaya, semalam mereka masih mengobrol, kakeknya tampak sehat-sehat saja seperti orang yang akan hidup puluhan tahun lagi, tapi kenapa pagi ini tubuh itu hanya diam membisu.

   Adelia masih terisak, namun kali ini dia mencoba tenang, kamar kakeknya masih dipenuhi orang-orang, dia melihat ke sekeliling, semua mengeluarkan air mata atas kepergian kakeknya, Paman, Bibi dan cucu-cucu kakek yang lain.

  “Mana yang palsu, kalian pasti menunggu momen-momen ini datang kan,” kata Adelia dalam hati sambil menatap orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.

   Adelia tahu persis, keluarga Paman dan Bibinya sangat menginginkan semua harta dan kekuasaan yang di miliki kakeknya, satu-satunya yang disayangi oleh kakeknya adalah ayahnya yang kini sudah tiada, kecelakaan lalu lintas yang merenggut orang tuanya adalah kesempatan pamannya untuk menjadi satu-satunya ahli waris Go Top Ltd.

   Adelia masih ingat perkataan Paman dan Bibinya saat pemakaman orang tuanya, mereka menyayangkan mengapa dirinya bisa selamat dari kecelakaan lalu lintas itu, di saat Adelia mengharapkan bahwa Paman dan Bibinya dapat menerimanya saat tidak mempunyai orang tua lagi, bukankan mereka keluarga.

  Satu-satunya yang menenagkan dan merangkul pundah Adelia hanyalah kakeknya, meskipun mereka semua keluarga, namun selalu ada niat tersembunyi di balik senyum dan air mata mereka, karena itulah Adelia tumbuh menjadi seseorang yang dingin dan tangguh, meskipun terkadang dia merasa kesepian.

   Kakeknya selalu menjodohkannya dengan anak-anak keluarga konglomerat, “Agar kau tak sendirian saat kakek sudah tidak ada,” selalu itu yang dibicarakan kakeknya saat Adelia bertanya alasan perjodohan yang selalu diatur kakeknya.

   Adelia bukan tidak mau menikah atau menjalin hubungan dengan orang lain, dia tidak siap untuk kehilangan orang yang dicintai dan disayangi olehnya, seperti kedua orang tuanya, Adelia tidak siap untuk patah hati berkali-kali.

   Semua pria yang dijodohkan Adelia selalu berakhir tanpa berita, sikap dingin Adelia membuat dirinya terkenal di kalangan konglomerat dengan julukan putri es, sulit ditaklukan, meskipun dia wanita yang cantik dan cerdas namun pria mana yang sanggup dan tahan berhubungan dengan gunung salju.

    Adelia duduk di pojok kamarnya, pakaian untuk pemakaman sudah disiapkan pelayan dan di gantung di pintu lemari, Adelia masih meratapi kepergian kakeknya, dia duduk sambil memeluk kakinya, dua kali dia memakai pakaian duka yang sangat dibencinya, dan itu membuat suasana hatinya memburuk.

  “Nona, semua sudah menunggu di bawah untuk pergi ke pemakaman,” tiba-tiba Arisa sudah masuk ke kamarnya dan berdiri tak jauh darinya terduduk.

  “Kapan kau masuk kamarku, aku tak mendengar kau mengetuk pintu,” jawab Adelia.

  “Saya sudah mengetuk berkali-kali dan anda tidak menjawab, saya takut terjadi apa-apa pada anda, jadi saya memutuskan untuk masuk,” kata Arisa dengan nada datar.

  “Aku tidak ingin pergi ke pemakaman kakek,” kata Adelia lagi, dia menundukan kepalanya.

  “Pemakaman tidak akan berlangsung kalau anda tidak menghadirinya,” kata Arisa lagi, berharap nona mudanya mengerti.

  Adelia mengangkat kepalanya, menatap Arisa dan Deva yang berdiri di belakang Arisa, “Apa kalian juga akan pergi seperti kakek bila berada disampingku,” tanya Adelia tiba-tiba membuat Arisa dan Deva merasa iba melihatnya.

  Baru kali ini dua sisten pribadi itu melihat wajah Adelia yang polos, mungkin ini adalah wajah Adelia yang benar-benar jujur, disamping setiap hari nona mudanya harus memasang wajah ketus, dingin dan belagu, namun kali ini Adelia terlihat tulus, setidaknya itu terlihat dari sorot matanya.

   “Nona, kami tidka akan pergi kemana-mana, bersiaplah, kami akan menunggu di luar,” kata Arisa lagi sambil berbalik badan dan menutup pintu.

  Adelia menyenderkan kepalanya, “Aku tidak bisa berjalan dan mengantarkanmu kakek, aku tidak bisa,” kata Adelia berbisik sambil menangis.

   Adelia mengambil baju duka yang digantung di pintu lemari, dia memakainya, dia menjepit rambut panjangnya dengan jepit rambut yang dibelikan oleh kakeknya, jepit rambut dari mutiara, dengan hiasan bunga daisy warna putih, Adelia melihat dirinya di cermin, melihat wajah sembabnya.

   “Sekarang kamu sendirian,” kata Adelia dalam hati.

  “Kamu sendirian Adelia, sendiri di kandang serigala,” kata Adelia lagi, lalu berjalan kearah pintu, dia membuka pintu dan keluar dari kamar, Adelia menuju ruang tengah tempat dimana kakeknya disemayamkan dan siap diberangkatkan ke pemakaman keluarga Hermawan.

   Dibelakangnya Arisa dan Deva mengikuti Adelia, dan tak lupa dua pengawal yang dipekerjakan oleh kakeknya untuk menjaga Adelia, saat Adelia menuruni tangga, semua orang tertuju kepada Adelia, dia tahu tidak semua orang yang ada disana menyukainya, bahakan keluarganya sendiri menganggapnya sebagai musuh, kadang Adelia geli sendiri, betapa uang membuat keluarga terpecah belah.

   “Lihatlah, cucu kesayangan kakek, benar-benar kurang ajar, bisa-bisanya dia membuat kita menunggunya seperti ini,” kata anak kedua paman Andrew, Lion.

   Adelia melirik sekilas, dia mendengar perkataan Lion, seolah-olah memang sengaja agar Adelia mendengarnya, namun Adelia tidak menggubrisnya, bila ini bukan pemakaman kakek, laki-laki cupu itu sudah habis Adelia damprat.

  “Semua sudah berkumpul, kita akan mengantar Presdir Gito Hermawan ke tempat peristirahatannya yang terakhir, dan setelah pemakaman selesai, saya harap kita kembali berkumpul disini untuk membacakan surat wasiat dari almarhum,” kata Albert yang diamini oleh pengacara pribadi keluarga Hermawan.

    Suara riuh di belakang Adelia saat pengumuman wasiat akan di bacakan membuat Adelia geli dan geram, bahkan jenazah kakeknya masih berada tepat di hadapannya, tapi mereka sibuk menerka-nerka wasiat kakeknya.

    Pemakaman selesai tidak terlalu lama, Adelia masih berdiri di pusara kakeknya, angin meniup rambutnya, menyapu wajahnya yang bahkan tak mampu untuk meneteskan air matanya lagi.

“Nona, tinggal anda sendiri disini, awan sudah mulai mendung, lebih baik kita pulang sekarang,” kata Arisa yang diiringi oleh anggukan Adelia

   “Kakek, aku pulang, aku akan sering-sering ke sini, menyapamu,” kata Adelia berpamitan kepada kakeknya sambil mengusap batu nisan kakeknya.

  Mobil melaju cepat, Adelia masih menatap keluar jendela, dia masih tidak percaya bahwa hari ini akan datang, hari dimana dia akhirnya hanya sendirian, tanpa ayahnya, tanpa ibunya dan sekarang tanpa kakeknya.

   “Nona, aku sudah mengosongkan dan mereschedule jadwal anda seminggu ke depan, karena anda masih dalam keadaan berduka,” kata Arisa membuyarkan lamunan Adelia.

   “Hmm,” jawab Adelia singkat dengan anggukan kepala.

  “Apakah anda ingin memesan sesuatu untuk malam nanti, maaf karena anda tadi berpesan tidak akan makan bersama keluarga, mungkin anda butuh sesuatu untuk menemani anda di kamar,” kata Deva lagi.

  “Belum terpikirkan, lihat saja nanti,” jawab Adelia.

  Deva hanya mengangguk, “Tidak ada bedanya saat berduka ataupun tidak, tetap saja ketus,” kata Deva dalam hati.

   Mobil sudah masuk ke pekarangan rumah keluarga Hermawan, semua orang sudah berkumpul, termasuk para jajaran manajemen GoTop Ltd yang sedang tersenyum dan sibuk menyalami pamannya sebagai ahli waris pengganti kakeknya.

   Adelia yang tahu bahwa kakeknya sudah membicarakan tentang ahli waris itu kepadanya kemarin, hanya tersenyum tipis nelihat orang-orang penjilat itu bersikap kepada pamannya.

   “Baiklah, bila semuanya sudah hadir disini, saya akan mambacaran surat wasiat presdir Gito Hermawan,” kata pengacara keluarga yang bernama Tuan Bernard.

  “Saya akan memutar video Tuan Gito, beliau sendiri yang akan membacakan isi wasiatnya,” kata Tuan Bernard lagi sambil siap-siap memasang video yang sudah dipasang di layar besar di ruang tengah.

   “Saya Gito Hermawan, pemilik GoTop Ltd, apabila kalian sudah melihat video ini, itu artinya saya sudah tidak berada di antara kalian lagi,” kata tuan Gito di dalam video itu.

   “Saya sudah menyiapkan beberapa amplop dan didalamnya saya sudah menuliskan satu persatu pesan dan wasiat saya, dan saya juga sudah menamai ampolop tersebut untuk di berikan kepada yang bersangkutan,” lanjut Video it uterus berputar.

  “Dengan ini saya menyatakan, bahwa penerus saya sebagai presdir GoTop Ltd dan beserta saham dan asset yang akan di serahkan oleh pengacara saya kepada cucu saya Adelia Cantara Hermawan,” kata tuan Gito di dalam video.

   Semua orang terdengar panik, seketika ruangan ramai, Adelia bisa melihat wajah Paman dan Bibinya pucat pasi mendengar apa yang kakeknya katakan di dalam video, sepupu-sepupunya melihat sinis ke arah Adelia, saat ini Adelia adalah sasaran empuk mereka, sasaran empuk sebagai pewaris keluarga konglomerat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status