Beranda / Rumah Tangga / My Cassanova Husband / 1. Pertemuan Tak Disadari

Share

My Cassanova Husband
My Cassanova Husband
Penulis: Rosa Uchiyamana

1. Pertemuan Tak Disadari

Penulis: Rosa Uchiyamana
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-25 18:26:04

Lavina berhenti berlari, napasnya ngos-ngosan, matanya yang bulat melihat ke sekeliling sembari berkacak pinggang. Ada banyak orang di terminal tiga keberangkatan internasional itu, tapi Lavina tidak menemukan pria yang sedang ia cari.

Yasa Gunawan, ialah nama pria tersebut. Kakak tirinya yang sedang menjadi buronan Lavina. Tadi pagi, sebelum Lavina bangun, Yasa membawa kabur perhiasan 30 gram milik Mawar–ibu tiri Lavina dan ibu kandung Yasa. Mawar menitipkan perhiasan itu kepada Lavina selama pergi ke luar kota.

Lavina bisa membayangkan akan semurka apa Mawar kepadanya jika tahu perhiasan itu hilang. Meski dicuri anak kandungnya sendiri, tapi yang akan menjadi pelampiasan kemarahan Mawar adalah Lavina. Seperti yang lalu-lalu. Lavina selalu disalahkan meski yang membuat ulah adalah anak kandungnya sendiri.

Di bandara itu, Lavina kembali berlari sambil melihat ke sekeliling. Ia menelepon Yasa, tapi nomornya tidak aktif.

Yasa akan pergi ke Hongkong untuk bekerja menjadi buruh di sana. Jadi Lavina tahu kapan pesawat yang ditumpangi Yasa akan take off.

Punya dosa apa di masa lalu sampai punya kakak kayak dia, batin Lavina sembari terduduk lemas di salah satu kursi.

Punggung tangannya mengelap keringat yang bercucuran di dahi.

Lavina mengesah panjang. Ia sudah pasrah akan dimarahi Mawar habis-habisan gara-gara kalung itu. Perhiasan tersebutamat berharga bagi Mawar karena hanya kalung itu perhiasan yang dia miliki.

“Daddy, ayo kita pergi ke cafe. Di sini berisik dan ramai, aku nggak suka,” rengek seorang anak perempuan, yang membuat Lavina menoleh ke barisan kursi di sebelahnya. Ada sedikit ruang di antara kedua barisan kursi yang saling berdampingan itu.

Di sana, Lavina melihat anak kecil yang dia perkirakan masih berusia lima tahun, anak itu memeluk boneka beruang putih sambil bersembunyi di belakang tubuh seorang pria dewasa, sambil memeluk sebelah kakinya.

Kening Lavina mengernyit, wajah anak itu tampak tak nyaman saat menatap orang-orang dengan waspada. Seolah mereka akan berbuat jahat kepadanya.

Sementara si anak terus merengek, Lavina melihat pria yang ia yakini sebagai ayah anak itu, tampak sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon. Mimik mukanya serius sekali seakan sedang membicarakan urusan negara yang amat penting.

Selain mereka berdua, ada wanita paruh baya yang sedang membujuk anak itu. Dilihat dari penampilannya yang sederhana, Lavina mengira wanita itu adalah baby sitter si anak.

“Non Aurora, kita ke cafe duluan sama Bibik ya? Nanti Daddy Non Aurora nyusul ke sana. Ya?”

Oh, namanya Aurora,’ batin Lavina.

“Nggak mau! Aku mau pergi bareng Daddy,” rengek anak berambut sedikit ikal itu dengan mata berkaca-kaca.

“Oke, kita pergi ke cafe dua menit lagi. Sekarang beri waktu Daddy untuk menyelesaikan urusan Daddy dulu. Hem?” Si pria bertubuh tinggi dan tegap itu menunduk menatap Aurora sembari menjauhkan ponsel dari telinga.

Pria itu mengenakan celana denim, kaos putih dan dilapisi jaket denim. Rahangnya dihiasi cambang tipis. Tampan, tapi wajah blasteran seperti itu bukan tipe laki-laki idaman Lavina.

Eh?!

Lavina seketika menegakkan punggung dan berpaling ke arah lain saat pria itu tiba-tiba menatapnya sekilas. Sepertinya pria itu sadar sedang diperhatikan Lavina.

Jangan-jangan dia tahu isi kepalaku?

Lavina menggaruk pelipis yang tak gatal sama sekali. Tersenyum kikuk, membuang muka.

Tiba-tiba Lavina mendengar Aurora menangis dengan suara lirih. Lavina langsung menoleh dan merasa iba ketika anak itu masih tampak ketakutan melihat orang lain yang hilir mudik.

Namun, tangisan anak itu seketika terhenti saat matanya dan mata Lavina bertemu.

Lavina mengerjap.

Aurora pun mengerjap.

Lavina merasa salah tingkah ditatap dengan intens seperti itu. Lavina berpaling lagi ke arah lain dan berdehem pelan.

Beberapa saat kemudian Lavina merasa masih diawasi, dengan perlahan Lavina menelengkan kepala, menatap anak itu lagi yang ternyata masih menatapnya dengan lekat.

Hallo! sapa Lavina tanpa suara sembari melambaikan tangan.

Tanpa diduga-duga, anak itu membalas lambaian tangannya dengan hal serupa.

Entah perasaan Lavina saja atau bukan, tapi Lavina merasa ketakutan di wajah anak itu seketika lenyap.

“Kita pergi sekarang.”

Pria berjaket denim itu tiba-tiba berkata setelah memasukkan ponsel ke saku celana. Dia menggendong putrinya,kemudian pergi.

Disusul wanita paruh baya yang tampak kerepotan mendorong troli berisi dua koper besar dan satu koper kabin, punggungnya menggendong tas anak kecil.

Lavina menghela napas panjang, memperhatikan ketiga orang itu sampai sosok mereka menjauh. Lavina mengeluarkan ponsel dan mengecek pesan yang ia kirimkan kepada Yasa. Masih ceklis satu. Nomor pria itu belum aktif.

Lavina berdiri dengan lesu dan hendak mencari kakak tirinya lagi, tapi keningnya mengernyit kala melihat ransel hitam kecil di atas kursi yang tadi diduduki baby sitter-nya Aurora.

Tas mereka ketinggalan!

Tanpa berpikir panjang, Lavina mengambil tas itu dan berlari ke arah perginya rombongan kecil pria tadi.

Namun, mereka sudah tidak terlihat dari pandangan Lavina.

Lavina tidak menyerah, ia harus mengembalikan tas ini ke pemiliknya.

“Kak Yasa!” pekik Lavina tiba-tiba, saat tak sengaja ia melihat kakak tirinya sedang mengantre di salah satu restoran cepat saji.

Lavina mengetatkan rahang dan mengepalkan tangan. Ia bergegas menghampiri Yasa dan menepuk pundaknya keras-keras, membuat pria berpenampilan urakan itu mengaduh, lalu menoleh dan terkejut melihat Lavina.

“La-Lavina? Ke-kenapa kamu ada di… sini?” Yasa tergagap sembari memegang bahu Lavina, tapi dengan cepat Lavina menepis tangannya.

“Kembaliin kalung Mama!” tegas Lavina sambil menengadahkan telapak tangan.

Yasa melihat ke sekeliling yang ramai, lalu ia menarik tangan Lavina dan membawanya ke tempat yang cukup sepi. “Kalung? Kalung apa?”

“Jangan pura-pura nggak tahu. Cepat kembaliin!” Mata Lavina menatap Yasa dengan tatapan tajam.

Yasa mendengus pelan. Jari telunjuknya menoyor kening Lavina seenaknya. “Kamu nuduh aku ngambil kalung Mama?”

“Memang Kakak yang nyuri, ‘kan?!”

“Jangan sembarangan memfitnah aku, Lavina.”

“Cuma Kakak dan aku yang ada di rumah!” Emosi Lavina makin tersulut.

“Bisa aja kamu yang nyuri kan? Terus fitnah aku yang mau pergi supaya Mama nggak marah ke kamu! Iya, ‘kan?!”

Napas Lavina terasa memburu dan masih menatap Yasa dengan tajam. Ia merogoh saku hoodie kuningnya dan menunjukkan sebuah kunci.

“Terus ini apa? Aku nemu ini di dekat lemari tempat nyimpan kalung Mama. Ini kunci kamar Kak Yasa. Pasti jatuh waktu Kakak ngambil kalung itu, karena semalam aku nggak lihat kunci ini di sana!”

“Aku nggak tahu apa-apa masalah kunci itu!” Wajah Yasa memerah. “Udah deh! Jangan nyari-nyari kambing hitam, Lavina. Ngaku aja kalau kamu yang nyuri terus dijual buat biaya kuliah!”

Yasa yang terus mengelak membuat emosi Lavina semakin tak terbendung. Dadanya bergemuruh penuh amarah. Ia menatap Yasa dengan tatapan marah dan terluka.

Lavina yakin sekali kakaknya yang mencuri kalung itu, sebab sudah berulang kali Yasa kedapatan mencuri barang-barang milik Mawar atau Risa–kakak tiri Lavina, sekaligus adik kandung Yasa. Namun ujung-ujungnya selalu Lavina yang dijadikan kambing hitam.

“Kenapa kamu selalu nyusahin aku?!” teriak Lavina sembari memukul Yasa menggunakan ransel hitam di tangannya.

“Hey! Sakit!”

“Apa keberadaan aku di rumah sudah ganggu kalian?! Kenapa selalu aku yang disalahin padahal kamu dan Risa yang selalu berbuat salah!” Teriakan Lavina semakin menjadi-jadi.

“Berisik! Kamu nggak malu dilihat orang?”

“Aku nggak peduli!” pekik Lavina lagi yang terus memukuli Yasa dengan ransel.

Yasa berdecak lidah, wajahnya sama sekali terlihat tak bersalah. Dia merampas tas di tangan Lavina. “Wow! Tas siapa ini? Sejak kapan kamu punya tas bermerek kayak gini?”

“Jangan banyak ngomong! Kembaliin aja kalung Mama!”

Yasa tampak tak peduli, ia malah membuka ransel tersebut dan melihat isinya. Matanya seketika melebar, bibirnya tersenyum senang. Lavina tak mengerti kenapa Yasa tiba-tiba bereaksi seperti itu.

“Kembaliin tasnya! Itu punya orang lain, aku mau ngembaliin tas itu ke orangnya!” pinta Lavina sembari berusaha merebut tas itu, tapi Yasa tidak melepaskannya.

“Biar aku yang kembaliin ke petugas. Aku pergi dulu. Selamat tinggal,” ucap Yasa, lalu detik itu juga ia melesat pergi dari hadapan Lavina.

Lavina segera mengejar Yasa. “Hey! Jangan mencuri tas itu! Kembaliin!” teriaknya, tapi langkahnya yang kecil kalah oleh langkah Yasa yang lebar dan berlari sangat cepat.

Lavina tidak mampu mengejar Yasa. Ia kehilangan jejak pria urakan itu.

Napas Lavina tersengal-sengal. Ia merasa kelelahan, lalu istirahat sejenak sambil mengatur napas. Lavina mengepalkan tangan dan bersumpah tidak akan pernah memaafkan kakak tirinya.

Saat Lavina akan kembali berlari mengejar Yasa, kakinya tiba-tiba terasa sulit digerakkan, terasa berat seolah pergelangan kedua kakinya diikat bola besi. Tubuhnya membeku kaku. Kerongkongannya tercekat seperti ada duri yang menghalangi. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahi. Wajahnya memucat. Matanya terus terpaku pada pesawat yang terparkir, terlihat dari dinding kaca tembus pandang di salah satu restoran. 

“Dek!”

Lavina tersentak saat seseorang menepuk pundaknya. Ia mengatur napas, memejamkan mata sejenak, lalu berbalik dan mendapati dua pria petugas keamanan bandara sedang berdiri di hadapannya.

“Bapak manggil saya? Ada apa ya?” tanya Lavina.

“Kamu yang menemukan ransel hitam di kursi di gate 3?”

Lavina mengangguk setelah berpikir sesaat.

“Kalau begitu ikut kami ke kantor.”

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
kesini setelah dr fi**o...
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
halo Kak Uci aku ngikutnya di goodnovel ya, cerita auriga sama Lavina nya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 9

    Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 8

    Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 7

    5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 6

    Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 5

    “Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 4

    Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status