Share

My Cassanova Husband
My Cassanova Husband
Penulis: Rosa Uchiyamana

1. Pertemuan Tak Disadari

Lavina berhenti berlari, napasnya ngos-ngosan, matanya yang bulat melihat ke sekeliling sembari berkacak pinggang. Ada banyak orang di terminal tiga keberangkatan internasional itu, tapi Lavina tidak menemukan pria yang sedang ia cari.

Yasa Gunawan, ialah nama pria tersebut. Kakak tirinya yang sedang menjadi buronan Lavina. Tadi pagi, sebelum Lavina bangun, Yasa membawa kabur perhiasan 30 gram milik Mawar–ibu tiri Lavina dan ibu kandung Yasa. Mawar menitipkan perhiasan itu kepada Lavina selama pergi ke luar kota.

Lavina bisa membayangkan akan semurka apa Mawar kepadanya jika tahu perhiasan itu hilang. Meski dicuri anak kandungnya sendiri, tapi yang akan menjadi pelampiasan kemarahan Mawar adalah Lavina. Seperti yang lalu-lalu. Lavina selalu disalahkan meski yang membuat ulah adalah anak kandungnya sendiri.

Di bandara itu, Lavina kembali berlari sambil melihat ke sekeliling. Ia menelepon Yasa, tapi nomornya tidak aktif.

Yasa akan pergi ke Hongkong untuk bekerja menjadi buruh di sana. Jadi Lavina tahu kapan pesawat yang ditumpangi Yasa akan take off.

Punya dosa apa di masa lalu sampai punya kakak kayak dia, batin Lavina sembari terduduk lemas di salah satu kursi.

Punggung tangannya mengelap keringat yang bercucuran di dahi.

Lavina mengesah panjang. Ia sudah pasrah akan dimarahi Mawar habis-habisan gara-gara kalung itu. Perhiasan tersebutamat berharga bagi Mawar karena hanya kalung itu perhiasan yang dia miliki.

“Daddy, ayo kita pergi ke cafe. Di sini berisik dan ramai, aku nggak suka,” rengek seorang anak perempuan, yang membuat Lavina menoleh ke barisan kursi di sebelahnya. Ada sedikit ruang di antara kedua barisan kursi yang saling berdampingan itu.

Di sana, Lavina melihat anak kecil yang dia perkirakan masih berusia lima tahun, anak itu memeluk boneka beruang putih sambil bersembunyi di belakang tubuh seorang pria dewasa, sambil memeluk sebelah kakinya.

Kening Lavina mengernyit, wajah anak itu tampak tak nyaman saat menatap orang-orang dengan waspada. Seolah mereka akan berbuat jahat kepadanya.

Sementara si anak terus merengek, Lavina melihat pria yang ia yakini sebagai ayah anak itu, tampak sibuk berbicara dengan seseorang melalui telepon. Mimik mukanya serius sekali seakan sedang membicarakan urusan negara yang amat penting.

Selain mereka berdua, ada wanita paruh baya yang sedang membujuk anak itu. Dilihat dari penampilannya yang sederhana, Lavina mengira wanita itu adalah baby sitter si anak.

“Non Aurora, kita ke cafe duluan sama Bibik ya? Nanti Daddy Non Aurora nyusul ke sana. Ya?”

Oh, namanya Aurora,’ batin Lavina.

“Nggak mau! Aku mau pergi bareng Daddy,” rengek anak berambut sedikit ikal itu dengan mata berkaca-kaca.

“Oke, kita pergi ke cafe dua menit lagi. Sekarang beri waktu Daddy untuk menyelesaikan urusan Daddy dulu. Hem?” Si pria bertubuh tinggi dan tegap itu menunduk menatap Aurora sembari menjauhkan ponsel dari telinga.

Pria itu mengenakan celana denim, kaos putih dan dilapisi jaket denim. Rahangnya dihiasi cambang tipis. Tampan, tapi wajah blasteran seperti itu bukan tipe laki-laki idaman Lavina.

Eh?!

Lavina seketika menegakkan punggung dan berpaling ke arah lain saat pria itu tiba-tiba menatapnya sekilas. Sepertinya pria itu sadar sedang diperhatikan Lavina.

Jangan-jangan dia tahu isi kepalaku?

Lavina menggaruk pelipis yang tak gatal sama sekali. Tersenyum kikuk, membuang muka.

Tiba-tiba Lavina mendengar Aurora menangis dengan suara lirih. Lavina langsung menoleh dan merasa iba ketika anak itu masih tampak ketakutan melihat orang lain yang hilir mudik.

Namun, tangisan anak itu seketika terhenti saat matanya dan mata Lavina bertemu.

Lavina mengerjap.

Aurora pun mengerjap.

Lavina merasa salah tingkah ditatap dengan intens seperti itu. Lavina berpaling lagi ke arah lain dan berdehem pelan.

Beberapa saat kemudian Lavina merasa masih diawasi, dengan perlahan Lavina menelengkan kepala, menatap anak itu lagi yang ternyata masih menatapnya dengan lekat.

Hallo! sapa Lavina tanpa suara sembari melambaikan tangan.

Tanpa diduga-duga, anak itu membalas lambaian tangannya dengan hal serupa.

Entah perasaan Lavina saja atau bukan, tapi Lavina merasa ketakutan di wajah anak itu seketika lenyap.

“Kita pergi sekarang.”

Pria berjaket denim itu tiba-tiba berkata setelah memasukkan ponsel ke saku celana. Dia menggendong putrinya,kemudian pergi.

Disusul wanita paruh baya yang tampak kerepotan mendorong troli berisi dua koper besar dan satu koper kabin, punggungnya menggendong tas anak kecil.

Lavina menghela napas panjang, memperhatikan ketiga orang itu sampai sosok mereka menjauh. Lavina mengeluarkan ponsel dan mengecek pesan yang ia kirimkan kepada Yasa. Masih ceklis satu. Nomor pria itu belum aktif.

Lavina berdiri dengan lesu dan hendak mencari kakak tirinya lagi, tapi keningnya mengernyit kala melihat ransel hitam kecil di atas kursi yang tadi diduduki baby sitter-nya Aurora.

Tas mereka ketinggalan!

Tanpa berpikir panjang, Lavina mengambil tas itu dan berlari ke arah perginya rombongan kecil pria tadi.

Namun, mereka sudah tidak terlihat dari pandangan Lavina.

Lavina tidak menyerah, ia harus mengembalikan tas ini ke pemiliknya.

“Kak Yasa!” pekik Lavina tiba-tiba, saat tak sengaja ia melihat kakak tirinya sedang mengantre di salah satu restoran cepat saji.

Lavina mengetatkan rahang dan mengepalkan tangan. Ia bergegas menghampiri Yasa dan menepuk pundaknya keras-keras, membuat pria berpenampilan urakan itu mengaduh, lalu menoleh dan terkejut melihat Lavina.

“La-Lavina? Ke-kenapa kamu ada di… sini?” Yasa tergagap sembari memegang bahu Lavina, tapi dengan cepat Lavina menepis tangannya.

“Kembaliin kalung Mama!” tegas Lavina sambil menengadahkan telapak tangan.

Yasa melihat ke sekeliling yang ramai, lalu ia menarik tangan Lavina dan membawanya ke tempat yang cukup sepi. “Kalung? Kalung apa?”

“Jangan pura-pura nggak tahu. Cepat kembaliin!” Mata Lavina menatap Yasa dengan tatapan tajam.

Yasa mendengus pelan. Jari telunjuknya menoyor kening Lavina seenaknya. “Kamu nuduh aku ngambil kalung Mama?”

“Memang Kakak yang nyuri, ‘kan?!”

“Jangan sembarangan memfitnah aku, Lavina.”

“Cuma Kakak dan aku yang ada di rumah!” Emosi Lavina makin tersulut.

“Bisa aja kamu yang nyuri kan? Terus fitnah aku yang mau pergi supaya Mama nggak marah ke kamu! Iya, ‘kan?!”

Napas Lavina terasa memburu dan masih menatap Yasa dengan tajam. Ia merogoh saku hoodie kuningnya dan menunjukkan sebuah kunci.

“Terus ini apa? Aku nemu ini di dekat lemari tempat nyimpan kalung Mama. Ini kunci kamar Kak Yasa. Pasti jatuh waktu Kakak ngambil kalung itu, karena semalam aku nggak lihat kunci ini di sana!”

“Aku nggak tahu apa-apa masalah kunci itu!” Wajah Yasa memerah. “Udah deh! Jangan nyari-nyari kambing hitam, Lavina. Ngaku aja kalau kamu yang nyuri terus dijual buat biaya kuliah!”

Yasa yang terus mengelak membuat emosi Lavina semakin tak terbendung. Dadanya bergemuruh penuh amarah. Ia menatap Yasa dengan tatapan marah dan terluka.

Lavina yakin sekali kakaknya yang mencuri kalung itu, sebab sudah berulang kali Yasa kedapatan mencuri barang-barang milik Mawar atau Risa–kakak tiri Lavina, sekaligus adik kandung Yasa. Namun ujung-ujungnya selalu Lavina yang dijadikan kambing hitam.

“Kenapa kamu selalu nyusahin aku?!” teriak Lavina sembari memukul Yasa menggunakan ransel hitam di tangannya.

“Hey! Sakit!”

“Apa keberadaan aku di rumah sudah ganggu kalian?! Kenapa selalu aku yang disalahin padahal kamu dan Risa yang selalu berbuat salah!” Teriakan Lavina semakin menjadi-jadi.

“Berisik! Kamu nggak malu dilihat orang?”

“Aku nggak peduli!” pekik Lavina lagi yang terus memukuli Yasa dengan ransel.

Yasa berdecak lidah, wajahnya sama sekali terlihat tak bersalah. Dia merampas tas di tangan Lavina. “Wow! Tas siapa ini? Sejak kapan kamu punya tas bermerek kayak gini?”

“Jangan banyak ngomong! Kembaliin aja kalung Mama!”

Yasa tampak tak peduli, ia malah membuka ransel tersebut dan melihat isinya. Matanya seketika melebar, bibirnya tersenyum senang. Lavina tak mengerti kenapa Yasa tiba-tiba bereaksi seperti itu.

“Kembaliin tasnya! Itu punya orang lain, aku mau ngembaliin tas itu ke orangnya!” pinta Lavina sembari berusaha merebut tas itu, tapi Yasa tidak melepaskannya.

“Biar aku yang kembaliin ke petugas. Aku pergi dulu. Selamat tinggal,” ucap Yasa, lalu detik itu juga ia melesat pergi dari hadapan Lavina.

Lavina segera mengejar Yasa. “Hey! Jangan mencuri tas itu! Kembaliin!” teriaknya, tapi langkahnya yang kecil kalah oleh langkah Yasa yang lebar dan berlari sangat cepat.

Lavina tidak mampu mengejar Yasa. Ia kehilangan jejak pria urakan itu.

Napas Lavina tersengal-sengal. Ia merasa kelelahan, lalu istirahat sejenak sambil mengatur napas. Lavina mengepalkan tangan dan bersumpah tidak akan pernah memaafkan kakak tirinya.

Saat Lavina akan kembali berlari mengejar Yasa, kakinya tiba-tiba terasa sulit digerakkan, terasa berat seolah pergelangan kedua kakinya diikat bola besi. Tubuhnya membeku kaku. Kerongkongannya tercekat seperti ada duri yang menghalangi. Keringat dingin mulai bercucuran dari dahi. Wajahnya memucat. Matanya terus terpaku pada pesawat yang terparkir, terlihat dari dinding kaca tembus pandang di salah satu restoran. 

“Dek!”

Lavina tersentak saat seseorang menepuk pundaknya. Ia mengatur napas, memejamkan mata sejenak, lalu berbalik dan mendapati dua pria petugas keamanan bandara sedang berdiri di hadapannya.

“Bapak manggil saya? Ada apa ya?” tanya Lavina.

“Kamu yang menemukan ransel hitam di kursi di gate 3?”

Lavina mengangguk setelah berpikir sesaat.

“Kalau begitu ikut kami ke kantor.”

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
kesini setelah dr fi**o...
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
halo Kak Uci aku ngikutnya di goodnovel ya, cerita auriga sama Lavina nya......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status