“Aku mau nikah, mam.”
Ucapan Astro di tengah-tengah makan malam itu, membuat Aster tidak jadi menyuapkan nasi goreng seafood kesukaan sang anak, kemulutnya sendiri. Aster khusus membuatkan makanan favorit Astro, ketika pria itu menelepon akan pulang dan makan malam di rumah.
“Mama gak pernah dengar kamu punya pacar, tahu-tahu ngomong mau nikah?” Aster menarik kursinya mendekat pada Astro. “Siapa?”
“Temen kantor dulu, tapi sekarang udah gak sekantor.” Jawab Astro santai sambil menyantap makan malamnya dengan lahap.
“Iya siapa? dan udah berapa lama pacarannya?” sebagai seorang ibu, jelas saja Aster sangat penasaran dengan calon menantunya nanti.
“Namanya Zetta,”
“Kok gak asing? mama kayak pernah dengar di manaaa gitu.” Sahut Aster sembari mengingat-ingat, namun tidak kunjung mendapat petunjuk.
“Anaknya tante Melati.” Astro tekekeh pelan sendiri. Sebenarnya, dirinya sudah pernah bertemu dengan Zetta, saat pernikahan Melati ketika Astro masih SMP kala itu. Tapi keduanya masihlah belia, dan belum mengenal arti cinta. Dan, dipertemukan kembali oleh takdir saat bekerja di firma hukum milik Pras.
Aster membuka mulutnya dengan lebar, sekaligus menarik napas dalam-dalam. Mulutnya terlihat megap-megap. Banyak yang hendak diucapkan namun tidak sanggup untuk memuntahkannya.
“Aku, sudah hampir sepuluh tahun pacaran sama dia.” Kerlingan Astro disambut sebuah pukulan kesal pada lengannya dari sang ibu.
“Hampir sepuluh tahun! Dan mama gak kamu kasih tahu sama sekali?”
Astro sempat mengaduh sebentar sambil mengusap lengan panasnya. Namun setelahnya ia tertawa. “Bukannya gak mau ngomong, tapi kalau nikah aja belum pasti, ngapain diumbar-umbar.”
“Jadi, sekarang sudah pasti?”
Anggukan kepala pria berusia 32 tahun itu, begitu pasti. “Akhirnya, dia sudah gak punya alasan lagi buat nolak. Aku udah ngelamar dia, tadi pagi. And she said, yes!”
Aster sontak mengalungkan tangan pada leher Astro. Memeluk sang anak dengan binar bahagia. “Papa kamu pasti seneng dengarnya, biar mama—”
“Jangan!” cegah Astro mencekal tangan Aster ketika wanita itu mengurai pelukannya. “Maksudku, jangan bilang sama papa dulu, atau sama siapapun. Biar aku yang ngomong sendiri. Nanti.” Nada bicara Astro sangat datar, hampir tidak berekspresi sama sekali.
Aster kembali duduk, menatap tanya. Menunggu Astro memberi penjelasan.
“Aku mau pastiin semua jadwal dulu sama Zetta. Tanggal lamaran resmi, dan tanggal pernikahan. Baru bicara sama papa. Aku gak mau ngerepotin beliau.”
“Papamu itu, gak akan pernah ngerasa kamu repotin, dia pasti seneng banget kalau tahu kamu mau nikah.
Astro kembali menyuapkan makanan favoritnya. Memberi senyuman simpul pada Aster dan mengalihkan topik pembicaraan.
--
“Jadi kesimpulannya, invest your time before invest your money. Cari tahu semua keuntungan beserta kerugiannya. Jangan asal invest, mentang-mentang gainnya tinggi, langsung invest dana sekian, eh ternyata zonk alias investasi bodong. Perusahaannya bahkan gak terdaftar di OJK*.”
Aya hanya manggut-manggut, mendengar Zetta menjawab semua pertanyaannya dalam sesi wawancara informal dengan wanita berusia 29 tahun itu. Kemarin, Zetta membatalkan janji wawancara sepihak dengan Aya. Zetta beralasan masih lelah dan ingin beristirahat. Dan wanita itu menjajikan pertemuan keesokan harinya, di jam yang sama.
“Ada lagi yang mau ditanyain?”
Aya menggeleng sembari mengerucutkan bibirnya. “Gak ada, Cuma ya banyak aja tuh sekarang, orang-orang pengennya hasil gede tapi gak mau kerja. Ditawari ‘sales obat’ untuk investasi, langsung tancap gas tanpa mikir ini itu.”
“Emm iya itu.” Zetta menelan teh hangatnya sejenak. “Satu lagi, kalau mau invest usahain pake uang dingin alias uang nganggur. Bukan pake dana darurat atau dana pendidikan buat anak dan semacamnya.”
Pandangan Aya terhenti pada cincin di jari manis Zetta. “Cincinnya bagus.”
Zetta melempar senyum simpul sembari memutar-mutar cincin di jari manisnya dengan jari tangan kanannya.
“Bukan cincin biasa kayaknya, ya mbak?” lanjut Aya dengan mengerling.
“Tau aja, aku habis dilamar kemarin?”
“Aissh, pantas aja wawancaraku kemarin di batalin ternyata—”
“Ehh bukan.” Zetta menyela dengan cepat, ingin meralat prasangka Aya. “Aku dilamarnya malam kok. Siangnya aku cuma di rumah seharian. Capek!”
Separuh pernyataan yang dilontarkan Zetta benar adanya. Gadis itu memang hanya di rumah seharian. Bergelung dalam erangan panas, bersama sang kekasih di setiap sudut rumahnya.
“Akhirnya, sold out juga.”
Aya terkekeh dengan manik yang mengedar rata ke penjuru restoran. Pandangannya terhenti pada pria paruh baya yang baru saja melewati pintu kaca. Aya lalu berdiri, tanpa berpamitan pada Zetta, kakinya berlari kecil menghampiri pria tersebut.
“Papa!”
Tanpa menaruh rasa sungkan dengan pengunjung lain, Aya menghambur memeluk sang papa. Gadis itu memang sangat manja, tidak pernah peduli bahwa sebentar lagi ia akan berusia 23 tahun. Bukan hanya pada Bintang, Aya bersikap seperti itu, kepada Pras dan Elo pun, gadis itu akan selalu bergelayut manja. Tidak peduli di manapun mereka bertemu.
“Kamu di sini juga? Sama siapa?” Bintang mengusap puncak kepala Aya, lalu merangkulnya.
“Sama Mbak Zetta, ada wawancara dikit.” Aya sedikit mendongak. “Papa sendirian?”
“Sudah selesai?” Aya mengangguk diikuti anggukan paham dari Bintang. “Papa sama Astro, tapi dia masih terima telepon di luar.”
“Kak Astro? Di sini juga.” Aya mengurai pelukannya, menatap pintu kaca yang baru saja terbuka. Astro masuk dengan wajah ramahnya dan langsung di sambut juga dengan pelukan manja oleh Aya.
“Kamu di sini juga, Ay?” tanya Astro yang membiarkan Aya bergelayut manja di lengannya.
Bintang tidak heran melihat itu semua. Karena sedari Aya kecil, pemandangan seperti itu sudah biasa dilihat olehnya.
“Hmm, aku janjian sama Mbak Zetta.”
Bibir Astro membentuk bulatan singkat. Lalu segera mengajak Bintang dan Aya untuk makan siang bersama. Yang pada akhirnya, mereka berempat duduk mengitari meja persegi yang sama untuk makan siang.
Astro dan Zetta duduk bersebrangan dengan kedua ayah dan anak yang selalu terlihat hangat itu. Membicarakan beberapa hal kecil mengenai pekerjaan dan berbagai macam hal lainnya, sambil menunggu pesanan mereka tiba.
“Papa sama Kak Astro, kenapa gak bilang-bilang kalau mau makan siang bareng? Aku seperti dikhianati di sini?”
“Gak janjian, Ay.” Astro meralat, dengan tangan kiri berada di atas paha Zetta. Menyentuh kulit hangat nan mulus dari balik dress selutut gadis itu. “Gak sengaja ketemu tadi di kantor pajak, jadi sekalian aja makan siang.”
“Papa dengar, Asa mau ke Singapur?” Bintang mengalihkan topik, agar putri kesayangannya itu tidak melanjutkan protesnya.
“Asa mau ke Singapur?” Celetuk Astro memastikan.
“Emang jadwalnya udah pasti? Kan baru wacana.” timpal Aya mengingat-ingat pembicaraannya minggu lalu dengan Asa. Akan ada sebuah photo exhibition yang akan diadakan di Negeri Singa itu dua minggu lagi. “Apa … dia sudah dapat undangan?”
Bintang mengangguk. “Baru dapat pagi ini.”
Sementara kedua ayah dan anak itu sedikit melakukan perdebatan tentang Asa. Astro meneruskan tangannya bergerilya di bawah meja, membuat Zetta hanya bisa menelan ludahnya. Menahan gejolak yang tidak akan pernah usai jika sudah berurusan dengan Astro.
--
OJK : Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di dalam sektor jasa keuangan.Yasa meraup separuh wajahnya, menatap bocah lima tahun yang kini tengah merengek untuk ikut pergi dengannya, ke dokter kandungan. “Papi sama mami gak lama, mainlah sama Aga. Nanti, Papi beliin burger.” “NO BURGER.” Aya yang baru muncul dari dalam dan mendengar percakapan suaminya dan putra sulungnya itu sontak memasang wajah galak. Berhenti diantara kedua lelakinya itu lalu melipat tangan di atas perut yang sudah membuncit. Kehamilan ketiganya saat ini memasuki usia 5 bulan, dan hari ini, adalah jadwal untuk memeriksakan kandungannya. Mereka juga tidak sabar dan sangat penasaran untuk mengetahui jenis kelaminnya. Karena anak kedua mereka lagi-lagi berjenis kelamin laki-laki, dan diberi nama Telaga Dananjaya. Maka, keduanya berharap kalau yang ketiga ini, akan berjenis kelamin perempuan. “Why not?” protes Gara ikut melipat kedua tangannya di depan dada dengan bibir mungil yang mengerucut kecil. Mengikuti sikap sang mami yang ditunjukkan kepadanya.
Yasa terhenyak dan bangkit seketika. Terduduk sebentar lalu berlari ke kamar mandi. Terlihat sang istri yang tengah berlutut, menunduk seraya membuang semua isi perutnya ke dalam kloset duduk. Yasa yakin sekali kalau hari masih subuh, meskipun ia belum melihat jarum jam sama sekali.Bergegas menghampir Aya dan membantu untuk menyingkap rambut lalu memijat tengkuk sang istri. “Ke dokter ajalah, Mi. Udah dua hari begini terus.”Aya hanya bisa mengangguk pasrah kali ini. Menurut pada saran sang suami. Padahal dari kemarin, Aya sudah berencana akan mengunjungi Pras, tapi karena tubuhnya tiba-tiba drop, maka Aya membatalkannya.“Coba diinget-inget lagi, dua hari yang lalu habis makan apaan bisa sampai begini.”Tubuh Aya menegak, menyudahi kegiatan yang membuat tubuhnya lemas selama dua hari ini. Lalu bersandar pada sisi dinding kamar mandi untuk menetralkan napasnya. Seraya mengusap bibir dengan punggung tangan. Merasa tidak sanggup, un
Kedua orang yang dulunya pernah saling menyayangi dan berbagi segalanya itu, kini masih terdiam. Bintang memilih untuk masuk ke dalam dan duduk di ruang tengah. Memutuskan untuk memberi kedua anaknya itu kebebasan, untuk mengeluarkan semua yang ada di dalam kepala. Dan, ia hanya mengawasi jikalau ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun tetap berharap semua akan baik-baik saja.Bintang sudah percaya penuh dengan keduanya. Mereka sudah tahu batasan mereka. Dan untuk Astro, Bintang tahu pasti, kalau pada dasarnya, pria itu sangat baik. Aster hanya salah dalam mendoktrin otaknya sedari kecil, hingga rasa benci itu tumbuh tanpa mengetahui semua alasan yang ada di baliknya.“Kata papa, Kak Astro mau jual rumah?” Akhirnya, Aya jugalah yang membuka topik pembicaraan. Tidak nyaman dengan perasaan canggung, yang kali ini mendera keduanya.Aya tidak mau mengungkit tentang kepindahan Astro ke Surabaya. Karena yang telah direncanakan kakak sepupunya itu, sud
Hanya senyum datar dan kekehan garing yang sedari tadi dilontarkan oleh Yasa, sepanjang ia menanggapi ocehan Lex serta Elo. Setelah diberi waktu untuk berpikir selama 24 jam oleh Sinar, dan juga demi Gara, akhirnya Yasa menandatangani surat perjanjian yang telah disodorkan kepadanya. Ada tiga buah salinan asli yang harus ditandatangani. Yang nantinya, surat tersebut akan pegang oleh Yasa, Sinar dan juga Lex, orang kepercayaan Pras. Entah kenapa Yasa tiba-tiba yakin, kalau keseluruhan ini, adalah rencana pria yang masih saat ini masih mendekam di penjara. Setelah semua selesai, Sinar menyunggingkan senyum kecilnya. Memandang puas pada berkas yang sudah berada di tangan. Untung saja, kan, ia menceritakan semuanya kepada Pras, hingga terciptalah sebuah perjanjian yang jika dipikirkan lagi, secara keseluruhan semua terlihat hanya menguntungkan pihak Sinar. Dengan adanya perjanjian tersebut, Pras bisa menilai, sejauh mana kesungguhan Yasa terhadap pernikahannya de
Pump heel setinggi 3 senti itu, berjalan mundur beberapa langkah dengan pelan. Menoleh, pada pria yang asik duduk di sofa lobi sembari menunduk. Ibu jari pria itu sibuk bergerak pada ponsel yang dipegang secara horisontal. Fix! Lagi-lagi pria itu pasti tengah sibuk dengan gamenya.“Nando!” panggil Sinar yang berdiri tidak jauh dari ponakannya itu. Tadinya, setelah keluar dari ruangan Elo, Sinar hendak pergi ruangannya. Namun diurungkan, hatinya yang memanas karana bertemu Yasa, membuat Sinar ingin pergi ke rooftop bar yang berada di gedung perkantoran. Menyesap sesuatu yang dingin, untuk mendamaikan kepala sekaligus hatinya.“Eh, Bunda di sini?” tanya Nando terlihat salah tingkah. Pria itu mengusap tengkuknya sebentar sembari menghampiri Sinar. Meraih tangan wanita dan mencium punggung tangannya. “Lagi ngapain, Bund? Asa mana?”“Ya kerja, lah kamu ngapain di sini?”“Aku … aku mau ketemu Asa.&rdq
Aya tersenyum canggung. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada selama ini ketika bertemu dengan Tara, kini muncul. Rasa tidak nyaman karena mungkin, yang akan dikatakannya bisa menyakiti hati Tara. Selama ini, pria itu sudah terlalu baik untuknya. Meskipun terkadang sedikit sarkas, tapi Aya tahu, kalau di dalam sudut hati Tara, pria itu sangat menyayangi Aya juga Gara.“Tara …” Aya menggantung kalimatnya sejenak untuk menarik napas. Di kamar, ia sudah mengemasi pakaian yang selama ini diperolehnya dari Tara. Juga ada box bayi, pakaian Gara, dan segala keperluan Aya yang kesemuanya disediakan oleh pria itu ketika masih tinggal di vila. Sungguh, Aya berutang banyak pada Tara, dan pada akhirnya, ia belum mampu membalasnya. Justru malah hanya meninggalkan luka.Selama ini, Aya belum menyadari sepenuhnya kalau hatinya sudah tertambat pada Yasa. Aya pikir, kehidupan cintanya masih berpusat pada Astro, namun ia salah. Rasa sakit yang begitu menusuk ketika be
Yasa meneguk ludah hingga berulang kali. Melihat putranya menyesap ASI langsung dari tempatnya, membuat Yasa hanya bisa menggigit jari. Berbulan-bulan tidak melihat dan menikmati tubuh sang istri, membuat pusat dirinya memberontak. Dan, Yasa tidak mau tahu, setelah Gara selesai, maka dirinya juga harus mendapatkan giliran. “Apa, Gara kalau minum ASI …” Yasa kembali menelan ludah, maniknya sedari tadi hanya terfokus pada bibir sang putra yang bergerak lahap menyesap penuh puncak dada istrinya. “Gara kenapa?” tanya Aya memecah lamunan Yasa dalam sekejab. “Oh, itu, kalau minum ASI, apa selalu lama seperti ini?” “Tergantung, gak tentu juga sih. Suka-suka dia aja.” Wajah Yasa terlihat semringah ketika melihat Gara melepaskan bibirnya mungilnya. Namun sejurus kemudian, wajahnya kembali tertekuk ketika Aya hanya memindahkan posisi tubuh Gara untuk menyesap di tempat satunya. “Apa harus dua-duanya gitu dia minum?” decak Yasa sedikit sewot. Bel
Lidahnya benar-benar kelu, tidak mampu menjawab pertanyaan Yasa. Aya membuang wajah tidak punya keberanian untuk menatap Yasa. Tidak juga mampu untuk beranjak dari duduknya, karena Yasa memegang erat kunci sabuk pengaman yang menyilang pada tubuh bagian depannya.“Di mana dia, Ay?”Jantung Yasa berdegub membingungkan. Tidak mampu menjelaskan, seperti apa perasaannya saat ini. Ada rasa takut, gembira, cemas, dan juga kesal yang bercampur jadi satu. Sudut hatinya mengatakan bahwa anak itu ada, dan terlahir ke dunia. Tapi, kenapa Aya justru tidak mengatakan hal apapun pada dirinya.“Cahaya …” Yasa meraih dagu runcing Aya agar menghadap ke arahnya. Berusaha mengeluarkan kata selunak mungkin, meskipun ada lonjakan emosi yang ingin menuntut sang istri agar segera memberi penjelasan kepadanya. “Apa dia di dalam?”Bibir Aya terkatup. Seharusnya, ia bisa mencegah tangan Yasa agar tidak menjelajahi tubuhnya. Tapi di lain s
Aster menghampiri putranya yang baru saja menghempaskan tubuh di atas ranjang, setelah pulang dari kantor. Pria itu sudah tidak pernah lagi, menjejakkan kaki di unit apartemennya. Selalu pulang ke rumah sang mama dan menjadikan Aster sebagai tempat bercerita tentang kegiatannya, setiap hari.Aster menepuk paha putranya yang berbaring di ranjang. Kedua kakinya masih menjuntai ke bawah dan raut wajahnya sangat lelah.“Apa, tawaran kemarin sudah kamu terima?”“Belum,” Astro meletakkan kedua tangan di balik kepalanya sebagai bantal, menerawang kosong menatap langit-langit kamarnya. “Kalau aku terima, Mama pasti kesepian, aku gak bisa datang sewaktu-waktu ke Jakarta.”Aster menggeser sedikit bokongnya, agar bisa melihat wajah Astro. “Kalau Mama ikut kamu, gimana? apa kamu keberatan?”“Mama serius?” Astro bangkit dan keduanya kini duduk saling berhadapan. “Yakin mau ikut ke Surabaya? dan &