Gladys merasa perasaannya tidak enak. Sejak kedatangan Giselle ke kantornya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Feeling-nya mengatakan bahwa wanita paruh baya itu ada maksud lain ke sini, bukan sekedar menyapa anaknya.
Tak lama kemudian, wanita yang mengenakan blazer abu-abu itu keluar dari ruang kerja Keenan. Raut wajahnya terlihat sangat marah. Ketika wanita itu melirik sinis ke arah Gladys, gadis itu langsung menganggukkan kepalanya.
“Terima kasih, sudah datang, Bu,” ucap Gladys yang tiba-tiba merasa terintimidasi. Tatapan itu sama seperti tatapan Keenan jika sedang marah. Sebenarnya ada apa ini?
Giselle tak menggubris Gladys sama sekali. Wanita itu langsung berlalu begitu saja. Sungguh Gladys merasa merinding ketika mendapati tatapan seperti itu. Masalahnya tatapan itu lebih membunuh dari pada tatapan Keenan.
“Ah, kenapa Bu Giselle terlihat marah seperti itu? Dan … ternyata ibu dan anak sama saja,” gumam Gladys yan
Harap bijak dalam membaca~Happy reading, kak~***“Argh!” Keenan menggeram lantas memukul kemudinya, saat mobilnya baru saja terparkir di garasi rumahnya. “Sial! Aku malah menginggat perempuan jahanam itu!” berang Keenan.Mengungkit kejadian lima belas tahun lalu, membuat Keenan mengingat kembali kejadian mengerikan itu. “Argh!” erangnnya lagi sambil menjambak rambutnya sendiri. Dia kembali mengingat perempuan muda berumur awal tiga puluhan, yang tak segan menyiksanya kala itu.“Ah, Shit!” teriaknya frustarasi. Ah, niat Keenan mengungkit kejadian itu untuk menggretak pamannya. Tapi sebaliknya, dia yang terjebak dengan masa lalunya sendiri. Sial, ternyata senjata makan tuan.Keenan segera keluar dari mobil dengan hati yang masih bergejolak. Karena emosinya terpancing, membuat Keenan ingin menyalurkan emosinya. Tapi … dia sudah berjanji pada Gl
Harap bijak dalam membaca~ Happy reading~ *** Rasa perih dan sakit kini dirasakan oleh Gladys. Dia juga bisa merasakan bokongnya sedikit panas. Apa-apaan ini? Kenapa Keenan dengan tiba-tiba melakukan spanking pada Gladys. Ya! Dia menampar bokong Gladys dengan tiba-tiba. Plak! “Eugh!” Gladys tersentak ketika tamparan itu melayang untuk ketiga kalinya. “Ah … Keenan,” desah Gladys ketika tangan Keenan yang satunya memilin puncak kecokelatan pada salah satu aset kembar Gladys. Lagi-lagi Keenan melakukan hal itu beberapa kali. Sampai … entahlah, tiba-tiba ada perasaan aneh yang menjalar di dalam tubuh Gladys. Dia merasa hasratnya naik. Awalnya dia hanya merasakan sakit dan perih. Namun, sekarang dia merasakan perasaan senang dan ketagihan. Gladys selalu mendesah saat Keenan melakukan spanking. Benar, ada sensasi yang berbeda. Dia enggan mengakui hal ini, tapi … jujur saja Gladys menyukainya. Dari segala
“Aku juga harus ikut?” Gladys bertanya disela-sela makan malam antara dirinya dengan Keenan. Pasca malam itu hubungan mereka semakin dekat. Tanpa disadari Gladys sudah menaruh hati pada laki-laki itu. Begitu pun sebaliknya, sepertinya Keenan juga menaruh hati pada Gladys.Keenan hanya mengangguk sambil menyantap hidangan makan malamnya.“Kenapa harus aku? Kenapa nggak Mas Erza?” tanya Gladys bingung.“Sudahlah, aku penginnya kamu. Jadi menurut saja.” Jawaban Keenan tidak memecahkan masalah bagi Gladys.Memang, Gladys sering menemani Keenan untuk tugas perjalanan dinas keluar kota. Tapi kali ini rasanya berbeda. Tadi Keenan mengatakan, bahwa akan menyusun proyek baru dan hanya orang-orang terpilih saja yang bisa menemaninya. Entah siapa saja orang-orang terpilih itu, tapi Gladys adalah salah satunya.“Jangan beritahu apa pun pada Erza. Kamu diam saja dan ikuti perintahku,” tandasnya.Gladys pun
Gladys merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran king size. Dia menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Pikirannya kini mulai berkelana, memikirkan banyak hal. Dia menarik napas dalam. Ternyata keluarga Keenan menyimpan banyak misteri.Pasca Keenan menceritakan sedikit tentang keluarganya, diam-diam Gladys mencari informasi tentang Wardhana Grup. Walau pun tak banyak yang dia dapatkan. Tapi dia bisa menyimpulkan satu hal. Kemungkinan besar Andrean —ayah Keenan— meninggal karena mempertahankan file yang ada di dalam hard disk itu.“Ternyata file itu benar-benar penting. Wajar saja Keenan mengerjakan ini sendirian.” Gladys memijit keningnya, dia merasa sedikit pusing. “Tapi apa benar Pak Adrian lah yang mengincar file tersebut? Rasanya tidak mungkin,” imbuhnya.“Ah ….” Gladys mendesah. Dirinya semakin penasaran dan ingin mencari tahu lebih dalam mengenai kejadian lima belas tahun lalu
Saat ini baik Keenan atau pun Gladys, sedang sama-sama penasaran dengan masa lalu diantara mereka. Lima belas tahun lalu ternyata mereka memiliki masa-masa yang sulit. Tapi kenapa Gladys bisa sesantai itu sekarang? Apa karena dia kehilangan ingatannya? Ah, Keenan merasa iri pada gadis itu. Sepertinya lebih baik dia juga hilang ingatan. Agar dia tidak merasakan luka dari masa lalunya, yang masih membekas dengan jelas di hati dan juga ingatannya.“Kamu kenapa lihat aku begitu?” tanya Gladys yang merasa sedang diawasi oleh Keenan.Iya, sedari tadi memang Keenan menatap Gladys.“Oh … nggak. Ngomong-omong, Gladys,” panggil Keenan dan Gladys hanya menarik sudut bibirnya, menyahut panggilan dari Keenan. “Kamu yakin tidak memiliki trauma?” tanya Keenan lagi. Dia ingin mencoba memancing Gladys. Baginya, mana mungkin sebuah trauma bisa dilupakan begitu saja.“Kenapa bertanya itu lagi? Trauma apa, sih? Aku nggak punya
Gladys melangkahkan kakinya menuju lantai dua rumah Keenan. Dia memutuskan untuk pulang selepas bertemu dengan Giselle. Dia enggan untuk kembali ke kantornya. Biarlah Keenan marah padanya, lagipula Gladys tak peduli dengan laki-laki yang sudah berani mengusik privasinya.Sesampai di kamarnya, Gladys langsung melempar tas sembarang lantas menghempaskan tubuhnya ke kasur. Sambil memejamkan matanya dia mencoba menenangkan pikirannya.Hari ini sungguh melelahkan bagi Gladys. Kepalanya terasa akan pecah karena sedari tadi berdenyut kencang. Gadis itu kembali mengingat masa lalunya. Dia tidak lupa dengan trauma yang dia derita, tapi dia berusaha melupakannya. Sampai akhirnya dia bisa hidup dengan tenang.Ya, Gladys memang memiliki trauma dengan seorang laki-laki. Tapi … ia tak tahu apa penyebabnya. Saat kecil dia mendapatkan pengobatan dari seorang psikolog di kotanya, sampai akhirnya dia benar-benar sembuh tiga tahun kemudian.Sempat Gladys bertanya pad
“Tidak usah kasar padanya, Keenan!” Suara itu sontak membuat Keenan menoleh dan menghentikkan aksinya. Sedangkan Gladys yang tadi sedang terpejam, langsung membuka matanya perlahan.Laki-laki itu menarik tangan Keenan ,agar Keenan beranjak dari posisinya yang sedang berada di atas Gladys. “Seharusnya aku tidak menuruti perintahmu, jika akhirnya Gladys jadi korbanmu lagi!” Ternyata laki-laki itu adalah Erza. Dia datang di waktu yang tepat.Gladys memandangi dua laki-laki itu secara bergantian. Ada apa ini? Keenan merencanakan apa padanya?“Ngapain kamu ke sini?” tanya Keenan sambil menyentak. Beraninya Erza menghalangi dirinya.“Menyelamatkan Gladys. Aku yakin, kamu akan marah padanya!” timpal Erza.“Hah? Menyelamatkannya? Kamu mau jadi pahlawan kesiangan lagi untuknya? Cih!” Keenan meludah sembarang di depan Erza.Erza tak memedulikan Keenan, dia langsung menghampiri Gladys yang nam
“Shit! Kenapa semua orang selalu ikut campur urusanku?” geram Keenan frustrasi. Dia memikirkan motif Erza yang tiba-tiba mengadukannya pada ibu tirinya itu. “Berengsek! Awas saja kalau kamu punya motif tersembunyi, Erza!” Dan malam ini Keenan lewati dengan perasaan marah yang menjalar hampir di sekujur tubuhnya. Keesokan harinya dia berangkat ke kantor diantar oleh Pak Toni, supir pribadinya. Kemarin malam Giselle mengirimkan pesan, bahwa Gladys tak bisa untuk masuk kantor. Itu salah satu alasan Keenan memberang. Padahal urusan dengan gadis itu belum selesai, tapi dia tak bisa bertemu dengannya. Sialan! Memang ini gara-gara Erza. Sesampainya di tempat kerjanya, Keenan langsung menuju ruang kerjanya. Dia melihat sosok Erza yang sudah stand by di posnya. Laki-laki itu nampak sibuk membaca berkas. “Erza,” panggil Keenan. Sontak laki-laki itu mendongak ke arah laki-laki yang berdiri tepat di depan meja kerjanya. “Ya?” Buru-buru Erza berdiri dan memberikan