Pria itu menghampiri dua orang polisi yang berdiri di depan pintu ruang gawat darurat. "Bagaimana, Sir? Apa anda sudah menemukan identitasnya?"
"Belum. Kami kesulitan mencari latar belakangnya. Sepertinya dia bukan berasal dari daerah sini," jawab salah seorang polisi.
"Andakah yang membantu gadis itu tadi?" tanya polisi lainnya.
Pria itu mengangguk dan mengulurkan tangannya, "I'm Brandon! Brandon Abraham Gallagher."
Kedua polisi itu membalas jabatan tangan si pria sambil saling berpandangan, kemudian berpaling menatap Brandon lekat.
"You are Brandon Gallagher? The Brandon Gallagher?"
(Brandon Gallagher yang itu?)
Pria itu terkekeh, menampakkan lesung pipit di pipi kanannya, "Yes, it's me."
Salah satu mata polisi itu membola. Ia kembali menyalami Brandon. "Whooaa, I can't believe we can meet here!" ujarnya antusias.
"Terima kasih atas sumbangan anda yang tak terkira pada komunitas penegak hukum," sahut polisi lainnya sembari menepuk lengan Brandon.
"Don't mention it," timpal Brandon malu-malu.
Tak berapa lama pintu ruang ICU terbuka. Seorang dokter jaga berseragam biru menyembulkan kepalanya dan berseru, "Officers, pasien sudah sadar!"
Mereka bertiga bergegas memasuki ruangan, tak terkecuali Brandon. Entah kenapa laki-laki itu merasa bertanggung jawab terhadap keadaan gadis asing itu.
Di atas ranjang, gadis itu terduduk dengan sorot cemas bercampur takut. Perban putih melilit kepalanya. Tangannya mencengkeram erat selimut dan menempelkannya di dada.
"Saya sudah menanyakan nama dan tempat tinggalnya, tapi dia tak mampu mengingat. Sepertinya dia mengalami amnesia. Kemungkinan karena trauma di kepala, tapi kami akan mengobservasinya lebih lanjut. Siapa yang bersedia menemani nona muda ini?" tutur dokter itu. Matanya menelusuri wajah-wajah di depannya satu persatu.
Kedua polisi kompak menoleh ke arah Brandon. Sementara pria itu hanya tergagap dan mengangguk terpaksa. "Well, karena aku yang menemukannya, maka sepertinya aku yang harus mendampinginya," ujarnya sembari menggaruk tengkuk.
Gadis itu diam-diam memperhatikan pria yang sudah menyelamatkannya. Cara dia berbicara, gesturnya dan senyumnya, membuat gadis itu terpesona. Laki-laki itu terlihat begitu tampan. Dengan rambut coklat dan mata birunya, rahangnya yang kokoh dan dagu belahnya, laki-laki ini terlihat luar biasa, walaupun bajunya terlihat basah kuyup.
"Thank you," gadis itu membuka suara, begitu merdu terdengar di telinga David.
"You're welcome," jawabnya gugup. Jantungnya berdebar sedikit kencang melihat senyum yang terukir di bibir gadis itu.
"Baiklah, kalau begitu, Tuan?" Dokter itu menatapnya menuntut jawaban.
"Brandon! It's Brandon!"
"Tuan Brandon, ikuti kami," pinta sang dokter, seraya memberikan isyarat pada para perawat untuk membantu gadis itu pindah ke kursi roda yang sudah disiapkan.
"Terus kabarkan perkembangannya pada kami, ya! Kami harus segera kembali ke markas," pamit kedua polisi itu pada Brandon, lalu melangkah pergi.
Mau tak mau Brandon mengangguk dan mengikuti kemanapun gadis itu akan dibawa oleh tim medis. Satu tangannya ia gunakan untuk menyugar rambutnya yang basah, sementara tangan yang lain merogoh saku celana dan meraih ponsel. Ada satu nama yang ia tuju. Terdengar nada sambung, berkali-kali, tak jua diangkat. Hingga empat kali panggilan, nama tersebut masih saja tak mengangkat teleponnya. Akhirnya Brandon mengirim pesan teks padanya.
"I'm in the city hospital, right now. Bring me my clothes! Aku sangat kedinginan."
***
Wanita cantik berambut coklat dan bermata biru itu berlari-lari kecil menyusuri lobby sambil menenteng paper bag besar berwarna coklat. Suara high heelsnya menggema saat beradu dengan lantai marmer. Dia terlihat begitu cemas setelah mendapatkan pesan singkat dari adik satu-satunya, sampai-sampai dia harus membuat ijin mendadak pada atasannya di sebuah firma hukum terkenal di London, meninggalkan tumpukan file setinggi Big Ben yang seharusnya sudah ia baca.
"Apa lagi ulahnya sekarang?" desah wanita itu. Rautnya tampak cemas. Mata indahnya jeli mengamati satu persatu nomor yang terpampang di tiap pintu kamar rawat dan berhenti pada nomor yang sempat disebutkan oleh adiknya melalui panggilan telepon beberapa saat tadi.
Dia membuka pintu perlahan dan melihat adiknya duduk di kursi di samping ranjang, mengobrol bersama gadis asing yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Brandon dan gadis itu menoleh ke arahnya. "Jean! Cepat sekali kau datang!"
Wanita itu mendengus kesal, namun masih memaksakan senyumnya saat menyalami si gadis. Mata pengacaranya memperhatikan detail wajah gadis itu. Kulitnya kuning langsat, berambut hitam legam dan bermata coklat tua. Gadis itu jelas bukan dari ras Kaukasia (kulit putih) seperti dirinya. Dia menebak bahwa gadis itu berasal dari Asia.
"Aku menemukannya terhanyut di sungai, saat aku hendak memancing. Tanpa identitas. Dia juga amnesia. Tidak tahu siapa dirinya dan darimana asalnya," Brandon menjelaskan tanpa diminta.
Wanita yang dipanggil dengan nama Jean itu menghela napas panjang. "Lalu bagaimana?" tanyanya.
"Polisi memintaku mendampinginya sampai identitas dirinya diketahui," jawab Brandon ragu.
Jean terbelalak, "This is ridiculous, Brandon!"
"What should I do, then? I have no choice! (Lalu apa yang harus kulakukan? Aku tidak punya pilihan!) Aku tidak bisa meninggalkannya di sini sendirian!" Brandon menatap kakaknya dengan pandangan menghiba. Dia tahu kakaknya selalu luluh dengan mode pandangan memelas seperti itu.
"Look, sis! Kau selalu mengatakan bahwa tidak ada kebetulan yang terjadi di dunia ini, kan? Tuhan selalu bekerja dengan caranya yang luar biasa, selalu tepat, selalu presisi. Jadi aku merasa, Tuhanlah yang mengirimkanku ke sungai itu, Tuhan yang membuatku menemukan dan menyelamatkan gadis ini. And, somehow, aku merasa berkewajiban menjaganya. Jadi biarlah seperti ini."
Jean tidak bisa menimpali kata-kata Brandon. Memang apa yang dikatakannya adalah benar. "Baiklah," ucap Jean setelah terdiam cukup lama. "Dia akan tinggal di rumah Mum dan Dad, sampai polisi menemukan identitasnya atau keluarganya!"
Brandon langsung berdiri dan memeluk kakaknya, "Thanks, sis!"
"Namun, sebelum itu, kami harap anda hadir ke kantor untuk memberikan sedikit kesaksian," sela salah seorang polisi yang berdiri di samping Hendra."Iya, tentu," Zivanna mengangguk. Meskipun matanya lembab dan pipinya basah oleh air mata. Akan tetapi, dia merasa sangat lega saat itu."Bagaimana, Daisy? Apakah kau bersedia pulang ke London bersamaku? Ataukah Raja ...."Zivanna langsung menghentikan kalimat Brandon dengan menempelkan telunjuknya di bibir tipis kemerahan pria asli Inggris tersebut. "Aku tidak akan kembali pada Raja, Brandon. Sedari awal, aku sudah jatuh cinta padamu," tutur Zivanna."Benarkah?" Brandon menatap paras cantik itu lekat-lekat. "Katakan sekali lagi," pintanya."Aku mencintaimu, Brandon. Aku sangat mencintai dan merindukanmu," ucap Zivanna penuh keyakinan."Apakah itu artinya ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Brandon lagi dengan sorot tak percaya.Zivanna mengangguk kuat-kuat."Ya, Tuhan. Ini seperti mimpi," Brandon mengangkat tubuh Zivanna tinggi-ting
"Tidak," wajah Zivanna memucat. Dia mundur perlahan sampai punggungnya menabrak sandaran kursi makan. Dia berniat untuk melarikan diri. Namun, sebelum hal itu terjadi, para pengawal Wiyasa sudah lebih dulu menangkap dan mencekal tubuh rampingnya."Menyerah saja, Nak. Tak ada gunanya kamu melawan. Kita akan mati bersama-sama di rumah tua ini," Atmariani memiringkan kepala. Dia memperhatikan kecantikan paras Zivanna yang berada di atas rata-rata. "Sebenarnya aku merasa sayang jika gadis secantik kamu harus berakhir mengenaskan. namun, ini adalah harga yang wajib kamu bayar karena telah menghancurkan kehidupan kedua putri kami.""Aku cucumu, Nek," Zivanna mulai terisak. Dia tak dapat menerima kegilaan ini. Tak pernah Zivanna sangka bahwa dia akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya menyayangi dan menjaganya setulus hati."Tidak," Wiyasa menggeleng. "Dari awal, kami tidak pernah mengakui kebodohan Rosanna yang memilih untuk kawin lari ke luar negeri. Dia bahkan hamil dan melahirkan
Zivanna terbangun ketika cahaya matahari menerobos masuk melalui lubang kecil di jendela kamar yang berlubang. Sudah tiga malam dia tidur di rumah tua yang terkesan aneh tersebut. Selama rentang waktu itu, dia tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Entah bagaimana kabar Raja beserta keluarganya.Zivanna menguap, lalu bangkit perlahan seraya mengamati daun jendela yang berlubang di sana-sini. Penasaran, Zivanna beringsut turun dari ranjang dan mendekat ke daun jendela. Lubang-lubang kecil itu membentuk lingkaran sempurna. "Jendela itu terkena peluru," ujar seseorang secara tiba-tiba. Sontak Zivanna berjingkat saking terkejutnya, lalu membalikkan badan. Tampak Atmariani tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan semangkuk bubur ayam."Sarapan dulu," ujarnya datar. Atmariani melangkah masuk dengan gayanya yang selalu terlihat anggun. Dia meletakkan nampan tadi ke atas nakas. "Setelah itu, bersiap-siaplah. Kami akan membawamu berjalan-jalan keluar.""K
Hendra tersenyum puas karena berhasil mengajak ayah kandung Zivanna untuk bertemu di London. Sekarang giliran Brandon yang dia tuju. Brandon Gallagher memiliki kekuatan dan pengaruh yang cukup besar untuk membantu Hendra menjemput Zivanna. Dengan langkah terburu-buru, Hendra berjalan menuju apartemen mewah Brandon. Sayangnya, pria yang hendak ditemuinya itu sedang mengadakan pertemuan di sebuah restoran dengan mantan kekasih yang kini menjadi saingan bisnisnya, yaitu Camilla."Katakan apa keperluanmu. Aku tidak punya banyak waktu," ujar Brandon dingin dan datar."Aku hanya ingin mengajukan kerja sama. Kudengar, kau kembali aktif dalam perusahaanmu," tutur Camilla, masih dengan gayanya yang tampak selalu percaya diri."Aku tidak tertarik untuk bekerja sama dengan siapapun. Aku hanya berfokus pada memperbaiki sistem dan rencana bisnis ke depannya," tolak Brandon tanpa basa-basi."Selama ini perusahaanmu dalam posisi autopilot dan dikendalikan sesekali oleh Liam. Kau pasti mengetahui ji
"Apa cuma ini barang-barangmu?" tanya Atmariani dingin. Zivanna menjawabnya dengan anggukan pelan."Ya, sudah. Kebetulan, di rumah nanti, kamu akan mendapat barang-barang dan pakaian baru. Ditinggal di sini juga tidak apa-apa," saran Wiyasa. Raut ramah yang senantiasa ditampakkan di hadapan keluarga Atmaja, seolah sirna. Ekspresinya saat menghadapi Zivanna, terlihat begitu dingin dan datar."Ayo, jangan buang-buang waktu," Atmariani menyodorkan koper Zivanna pada salah seorang anak buahnya sambil memberikan isyarat pada anak buahnya yang lain untuk mengapit Zivanna agar tak melarikan diri.Zivanna sendiri sudah pasrah atas semua yang akan dilakukan oleh Atmariani dan suaminya. Dia juga tak mengucapkan sepatah katapun sampai dia memasuki mobil SUV keluaran lama.Di dalam kendaraan, Zivanna hanya terdiam, sampai mobil itu berhenti di sebuah rumah tua di pinggiran kota Jakarta."Rumah siapa ini?" tanya Zivanna pelan.Wiyasa tak segera menjawab. Dia malah membantu Atmariani untuk turun da
"Apa mereka menyakitimu, Nak?" Hana mulai was-was dengan keadaan Zivanna. "Tidak, Tante. Hanya saja saya kecewa ketika Tuan dan Nyonya Gumilar mengatakan bahwa Raja tidak akan datang kemari. Dia juga membatalkan rencana pernikahan kami," jawab Zivanna lesu. "Itu yang terbaik untuk kalian, Zi," sahut Hana dengan segera. "Bolehkah tante menanyakan sesuatu padamu?" "Silakan, Tante." "Apakah kamu mencintai Raja ataukah hanya merasa berutang budi padanya?" tanya Hana lugas. "Saya ...." Hening sejenak. Zivanna tak melanjutkan kata-katanya. Hana hanya dapat mendengar desah napas gadis cantik itu. "Raja melakukan segalanya demi saya. Sekarang saatnya saya membalas semua kebaikan Raja. Apapun yang dia inginkan, akan saya lakukan," lanjut Zivanna pada akhirnya. "Jadi, apakah kamu mencintai Raja?" Hana mengulang pertanyaannya. Zivanna kembali terdiam, sampai-sampai Hana harus menunggu beberapa saat lamanya. "Cinta bisa tumbuh seiring waktu. Tidaklah sulit untuk mencintai Raja, Tante," jaw