Aku beralih menatap Rio setelah Ares pergi. Tampaknya cowok itu juga tidak nyaman dengan apa yang baru saja terjadi.
"Maaf, gue nggak kepikiran bakal jadi kayak gini," sesalnya."Aku mau sendiri dulu. Bisa kamu tinggalin aku?" pintaku padanya."Iya. Gue balik, ya." Rio beranjak pergi dan menutup pintu.Aku mencoba menyusun ulang adegan demi adegan yang baru saja terjadi. Tak percaya Ares akan menyerah begitu saja. Lalu rasa sesak itu kembali muncul. Meski selama ini hubunganku dengan Ares hanya sebatas sahabat, aku cukup tenang berada di sisinya. Dia seolah melengkapi sesuatu yang kurang dalam hidupku."Beb ... Lo tidur?" Tiba-tiba Tania melongok ke kamar. Dia langsung masuk begitu mendapatiku meringkuk di kasur."Tadi gue papasan sama Ares di jalan depan, terus ketemu Rio pas mau masuk. Wajah mereka pada nggak ngenakin semua. Lo udah koTidak ada perasaan berbunga-bunga, tidak ada rasa deg-degan saat mendengar dan menjawab pernyataan Rio. Semua mengalir begitu saja seolah tanpa makna. Aku menerima Rio hanya karena takut menjalani hariku sendirian.Rio langsung mengantarku kembali ke tempat kos begitu kami selesai makan. Wajah tegang yang sedari tadi menggantung di wajahnya telah sirna. Digantikan senyum simpul yang tak lepas dari bibirnya. Meski jalanan yang kami lalui diserang macet, tak mempengaruhi suasana hatinya."Besok kuliah pukul berapa?" Dia menoleh padaku. Menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok, dan menatapku lekat. Lekuk garis wajahnya terlihat tegas diantara keremangan lampu jalanan."Pukul delapan," sahutku membalas tatapannya. Berharap akan ada setitik rasa yang sama seperti kurasakan pada Ares ketika menatap manik matanya. Namun, tetap saja tak ada rasa apa pun yang hadir."Aku jemput, ya?"
[By, hari ini kerja, nggak?] Satu pesan dari Rio kuterima ketika keluar dari kelas terakhir, siang ini.Akhir-akhir ini Rio memanggilku 'Baby'. Meski beberapa kali kuprotes, ia tak menggubrisnya. Lelah berdebat hanya masalah panggilan, aku memilih membiarkan sesuka hatinya hendak memanggilku apa. Bagiku tak ada bedanya.[Nggak, kenapa?] Aku membalas segera.[Aku masih ada rapat untuk persiapan Bunkasai*. Kamu tunggu, ya.] [Aku pulang sendiri aja. Takut kamu lama.][Kamu tunggu bentar. Aku nggak lama.] lagi-lagi Rio tak mengizinkanku pulang sendiri.Semenjak pacaran dengannya, waktuku makin banyak habis bersamanya. Lebih parah dibanding sebelum bersama Ares. Sedikit demi sedikit, aku mulai merasa ketergantungan padanya. Setiap kali hendak pergi ke suatu tempat, seperti sebuah keharusan untuk melapor. L
Pikiranku tak lepas dari bayangan Ares. Berkali-kali kuperiksa ponsel. Menunggu balasan dari Aldo, tapi hingga keluar dari tempat billiard, tak ada pesan yang kuterima."Kamu tidak senang dengan surprise tadi, By?" Rio terlihat kecewa. "Apa karena tempatnya nggak tepat?" tanyanya kembali."Aku senang, kok. Baru kali ini aku mendapat kejutan seperti ini. Makasih, ya!" Aku berusaha mengembalikan fokus pada cowok yang sedang menyetir di sampingku. Sebuah boneka beruang yang cukup besar hadiah dari Rio, kini berada di pelukanku. Membantu meredam rasa dingin dari pendingin udara di dalam mobil."Tapi wajahmu menunjukkan sebaliknya," ujarnya menoleh sekilas padaku."Aku lagi khawatir. Aldo mengabarkan kalau Ares masuk rumah sakit." Akhirnya kuutarakan apa yang menyebabkanku gundah.Kulihat rahang Rio mengeras, "Kamu masih mikirin dia, ternyata," ucapn
Memasuki bangunan rumah sakit, perasaanku makin tak menentu. Tiba-tiba saja ragu menyerang. Langkahku terhenti di depan pintu kamar tempat Ares dirawat. Bau menusuk khas rumah sakit membuatku mual.Jika bukan karena Ares, aku tidak akan melangkahkan kakiku memasuki gedung ini. Rumah sakit selalu mengingatkanku pada kedua orangtuaku. Mengingatkanku akan rasa kecewa atas harapan mereka yang tak pernah mampu kuwujudkan. Membuatku merasa jadi manusia gagal.Aku mengurungkan niat untuk menarik kenop pintu. Menatap ragu pintu kayu yang membatasi jarak antara aku dan Ares. Tiba-tiba saja pintu itu terbuka, dan wajah Aldo muncul dari sana."Eh, udah datang? Sana masuk." Aldo membukakan pintu lebih lebar untukku. Wajahnya terlihat sedikit lelah. Mungkin karena semalam begadang menemani Ares."Aku takut, Do," sahutku lirih, masih tak bergerak dari tempatku berdiri."Memangnya mau masu
I should counting on the blessing I have. So I have no time for complaining about my life. I have thousands reasons to smile, when I stop looking for something that I never have.*****"By, kerjaan kamu masih lama nggak kelarnya? Kita jadi nonton?"Aku mengalihkan perhatian dari layar laptop. Baru sadar kalau Rio masih ada di kamar. Sedari tadi sibuk menguak-atik desain yang akan diserahkan ke Kang Dadan membuatku lupa akan keberadaan cowok itu."Masih agak lama, sih ... tapi ayo aja kalau mau nonton, aku butuh penyegaran biar dapat ide baru." Aku memutar tubuh menghadap Rio yang tengah berbaring sambil memainkan game consol di belakangku.Rio bangkit ke posisi duduk, menatapku heran. Selama ini aku lebih sering menolak jika Rio mengajak kencan. Kalau pun aku setuju, biasanya setelah dia berusaha mengajakku berkali-kali."Bentar, aku siap-siap dulu.
Warna jingga telah memenuhi langit ketika kami memasuki area mall. Gugusan awan tipis kelabu membuat jingganya terlihat lebih berwarna. Sebenarnya aku tak begitu menyukai senja. Karena ia mengingatkanku akan sebuah kepasrahan. Tak peduli betapa kuatnya sang mentari membakar siang, pada akhirnya dia pasrah untuk takluk pada malam yang menenggelamkan cahayanya. Sama seperti diriku, tak peduli seberapa kuatnya keinginanku untuk terus menggambar, pada akhirnya aku harus pasrah menjadi anak yang disisihkan karena tak dapat mewujudkan harapan kedua orangtuaku."Damn! Keduluan lagi!" Suara Rio menyentakkanku. Meninggalkan kilasan kekecewaan di balik lembayung senja.Sore ini pengunjung mall sepertinya cukup ramai. Terlihat dari tempat parkir yang hampir semuanya terisi penuh. Kulirik wajah Rio, ia terlihat sedikit gusar. Entah putaran keberapa kali yang dia lakukan, masih saja belum ada lahan parkir yang kosong.
Aku mengerjap tak percaya menatap isi dus pemberian Rio. Seperangkat pen tablet seri terbaru. Gadget yang berfungsi sebagai alat untuk menggambar ilustrasi yang nantinya dihubungkan pada komputer. Memang alat yang kuidam-idamkan semenjak beberapa bulan terakhir, untuk menunjang pekerjaanku membuat desain."Halo, By? Kenapa? Kangen, ya?" Terdengar suara Rio terkekeh menyahut dari ujung sambungan telepon setelah tiga kali aku mencoba menghubunginya."Uhm ... ini nggak salah kamu kasih aku hadiah barang mahal gini?" tanyaku mengabaikan candaannya."Itu yang kamu pengen dari kemaren, kan? Apa aku salah beli?" Dia balik bertanya."Iya, tapi ini terlalu berlebihan.""Nggak, kok, By. Itu cuma ....""Maksud aku, kamu masih belum kerja. Beliin aku barang mahal kayak gini, nggak enak sama orangtua kamu.
Menjelang sore, kosan mulai sepi. Tania pergi bersama Bayu—pacarnya. Beberapa penghuni kos yang lain juga tampaknya menghabiskan minggu sore mereka di luar kos. Sepertinya hanya aku penghuni yang tersisa.Rio tadi mengabarkan bahwa dia akan datang ke tempatku sore, karena masih ada rapat koordinasi untuk pelaksanaan Bunkasai yang tinggal dua minggu lagi. Maka aku bebas menggunakan waktu tanpa kehadirannya.Seharian aku berkutat di depan laptop, mencoba pen tablet pemberian Rio. Sambil mendengarkan musik dan turut bernyanyi sesekali. Bahagia yang kurasa tak dapat kuungkapkan dengan kata-kata. Benda yang telah kuidam-idamkan semenjak lama kini ada di dalam genggaman.Alat ini memang sangat memudahkanku dalam membuat desain. Rasanya seperti menggambar langsung pada kertas. Bedanya, hasil goresan tanganku langsung bisa muncul di layar laptop. Menghemat waktu dan tenaga, dan hasilnya ju