Share

Chapter 2: Ajakan Tidak Terduga

Jantung Eleanor menggebu-gebu mendengar suara pria yang berhasil mengejutkannya dari lamunan. Apalagi ini merupakan pertemuan pertama mereka, apakah pertemuan ini sungguh kebetulan?

Penampilan gagah pemuda itu membuat mata Eleanor sampai tidak berkedip memandanginya. Bahkan dengan tangan lincah Eleanor langsung merapikan penampilannya yang terlihat kusut menjadi sempurna. Ia tetap berusaha menahan godaan tampan pemuda itu, mengingat prinsipnya selalu selektif dalam hal memilih pasangan hidup. Apalagi kalau bertemu dengan pria di hotel secara acak, pasti pria itu kerjaannya mempermainkan wanita di kamar hotel. 

Namun, Eleanor tetap menyambutnya dengan ramah. Ia tidak ingin dikenal sebagai model sombong di mata orang lain. “Tentu saja boleh.”

Dengan cepat pemuda itu langsung menduduki bangku di sebelah Eleanor dan memesan sebotol wine yang kadar alkoholnya paling rendah. Senyuman gagah terpampang pada wajah pemuda itu membuat pipi Eleanor memerah dalam sekejap. Jantungnya mulai berdebar dan setengah hatinya juga merasa malu. Karena ini pertama kalinya jantungnya berdebar hanya karena berhadapan dengan pria tampan. 

“Wanita cantik seperti kamu kenapa sendirian di bar saat hari Valentine?”

Bola mata Eleanor membulat sempurna. Pertanyaan itu membuatnya hampir serangan jantung, menganggap pemuda ini seperti sedang menggodanya sekarang. Apalagi nada bicaranya terdengar sangat manis. 

Tentunya ia juga penasaran dengan pemuda ini yang juga sendirian saat hari Valentine. Mustahil seorang pemuda tampan sendirian di hari Valentine baginya. “Sedangkan kamu ngapain sendirian juga?”

“Karena memang selama ini aku sendirian.” 

Tetap saja masih ada rasa curiga dari sisi Eleanor. “Benarkah? Tapi barusan kamu seperti sedang menggodaku. Apakah hobimu itu menggoda wanita sexy?”

Pemuda itu tertawa lepas, menuangkan segelas wine untuk Eleanor lalu menyerahkannya. “Kamu salah besar. Hobiku itu bukan menggoda wanita sexy.”

“Lalu, kenapa kamu mendekatiku tiba-tiba? Kalau kamu ingin menggoda wanita sexy, kamu salah pilih orang.” Dengan cepat Eleanor meneguk segelas wine dan membuang muka. 

“Aku mendekatimu karena aku kesepian. Aku tahu sebenarnya kamu juga kesepian sepertiku dari tadi.”

Netra hitam Eleanor langsung lesu mengingat apa yang dipikirkannya dari tadi sebelum pemuda ini mendatanginya. 

Pemuda tampan itu menampakkan senyuman ramah mengulurkan tangan kanannya. “Aku Cedric Lewis. Senang berkenalan denganmu.”

“Aku Eleanor Winter.” Eleanor tersenyum tipis berjabat tangan dengan Cedric. 

“Tunggu sebentar! Kamu Eleanor yang biasanya ramai diperbincangkan orang?” Reaksi Cedric mulai berlebihan hingga mulutnya menganga. 

“Iya, benar. Kenapa kamu bereaksi berlebihan?”

“Karena kamu adalah seorang model terkenal. Aku sering melihatmu iklan produk kecantikan.”

“Lalu, memangnya kenapa? Kamu adalah penggemarku?”

“Bukan. Tapi, aku merasa aneh saja melihat seorang model terkenal sendirian di bar hotel saat hari Valentine. Seharusnya kamu sedang berkencan dengan seseorang sekarang.”

Raut wajah Eleanor kembali lesu. Tangan kanannya sibuk memutar gelas wine. Membuat Cedric sedikit bersalah karena omongannya baru saja. 

“Apa aku salah bicara?” Cedric bertanya dengan suara gemetar. 

“Entah kenapa hari ini banyak orang mengira aku sudah berpacaran. Padahal kenyataannya, aku tidak pernah berpacaran.”

Sekarang giliran reaksi Cedric terkejut. “Benarkah? Kamu tidak bercanda?”

“Kalau aku bercanda, kenapa wajahku lesu begini?” celetuk Eleanor mengerucutkan bibir. 

“Aku juga sama sepertimu. Aku belum berpacaran dengan siapa pun.”

Pandangan mata mereka saling bertemu satu sama lain dalam jarak dekat. Pipi Eleanor memerah kembali seketika mendengar pernyataan singkat itu. Padahal ia tidak bermaksud penasaran dengan kehidupan pemuda tampan ini, tapi entah kenapa ia bahagia mendengarnya. 

“Omong-omong, kenapa kamu memberitahukan padaku? Padahal aku tidak bertanya apa pun.”

“Karena aku anggap saat kita berkenalan tadi, kita sudah berteman.”

Eleanor menatap tajam, terutama ia merupakan wanita paling sensitif dalam hal berhubungan dekat padahal baru berkenalan. “Apakah kamu bisa dipercaya?” 

“Tentu saja. Meski aku seorang direktur di perusahaan ayahku, aku bukan tipe pria nakal yang suka menghancurkan kehidupan wanita baru kukenal.”

Eleanor tertawa kikuk. “Rupanya kamu seorang direktur. Baru kali ini temanku adalah seorang direktur baik.” 

“Omong-omong, karena kita sudah berteman sekarang. Bagaimana kalau kita saling bercerita di saat seperti ini? Seperti alasan kenapa kamu tidak pernah berpacaran.”

Embusan napas lesu sejenak dikeluarkan dari rongga mulutnya. Sejenak Eleanor merenung sambil meneguk segelas wine dan menuangkan untuk Cedric. “Alasan aku tidak pernah berpacaran karena aku trauma.”

“Trauma?” Dahi Cedric mengernyit. 

“Sebenarnya … aku diincar seseorang sejak dulu. Tapi, orang itu mengerikan.”

Cedric terdiam. Mendengar perkataan Eleanor, ia jadi teringat dengan dirinya sendiri. Ketakutan yang dialaminya semenjak dulu juga tidak ada bedanya dengan Eleanor hingga wajahnya mulai memucat sekarang. 

Eleanor tampak bingung dengan reaksi Cedric yang awalnya penasaran dengannya, sekarang jadi terlihat seperti orang berbeda. Ia jadi semakin penasaran dengan kehidupan Cedric sebenarnya seperti apa. 

“Bagaimana denganmu?” Eleanor bertanya balik. 

“Aku sama sepertimu. Sebenarnya aku juga mengalami trauma.”

“Kamu trauma karena dipermainkan wanita terus?” Eleanor tertawa ledek, meski sebenarnya ia bermaksud bercanda untuk menghibur Cedric. 

“Kenapa kamu selalu beranggapan aku dipermainkan atau mempermainkan wanita?” Cedric mendengkus kesal rasanya ingin mencubit pipi lembut di hadapannya. 

“Aku hanya bercanda tadi. Jadi, sebenarnya alasanmu kenapa?”

“Karena aku juga sama sepertimu. Selama ini aku diincar seorang penguntit.”

Keduanya hening sejenak. Sebenarnya dalam lubuk hati mereka juga terkejut. Karena tidak disangka nasib mereka berdua sama atau ini hanyalah kebetulan. 

“Sebenarnya selama ini aku masih penasaran. Siapa penguntit itu? Kenapa dia selalu mengincarku selama ini? Apakah dia menaruh dendam padaku?” Cedric menggenggam gelas kaca sangat erat seperti ingin melempar ke lantai melampiaskan amarahnya sudah terpendam sejak lama. 

“Aku juga sebenarnya masih penasaran. Apakah aku pernah berbuat kesalahan sebelumnya? Bahkan aku sampai sekarang tidak tahu penguntit itu wanita atau pria. Maka dari itu, aku tidak mudah memercayai seseorang. Mungkin bisa juga kekasihku adalah penguntit sesungguhnya. Aku tidak ingin hal itu sungguh terjadi.”

Melihat wajah Eleanor semakin terlihat lesu. Cedric ingin memberanikan diri menunjukkan rasa empatinya. Namun, ia sendiri juga butuh hiburan karena trauma masa lalu dialaminya. Tapi, tanpa ia sadari, tangannya menyentuh tangan lembut Eleanor hingga membuat dirinya terkejut juga melakukan suatu hal yang tidak pernah dilakukan sepanjang hidupnya. 

Begitu juga Eleanor tersentak karena pertama kali mendapatkan perlakuan manis dari seorang pria, meski baru pertama kali bertemu. Kepalanya langsung terangkat ringan dan menatap senyuman Cedric terlihat manis, tapi ia tahu senyuman itu juga senyuman palsu untuk menutupi rasa takut. 

Giliran Eleanor yang ingin menghibur hati Cedric. Dengan menampakkan senyuman terindahnya dan membalas sentuhan tangan lembut itu. “Kamu satu-satunya pria yang bisa menghiburku, Cedric. Terima kasih sudah menghiburku, sebagai gantinya aku ingin menghiburmu juga.”

“Syukurlah, melihatmu bisa tersenyum sudah cukup membuatku lega. Aku tidak meminta apa pun lagi.” Perlahan tangan Cedric menyelipkan helaian rambut panjang menghalangi wajah cantik di hadapannya ke belakang telinga. 

“Sudahlah, untuk menghibur suasana hati kita dan juga kita sendirian saat hari Valentine, bagaimana kalau kita menikmati wine bersama? Merayakan hubungan pertemanan kita.” Eleanor sengaja mengalihkan perbincangan terkesan canggung, apalagi ditambah debaran jantungnya semakin sulit dikendalikan. 

“Tapi, ingat! Besok aku harus kembali bekerja. Aku tidak boleh minum terlalu banyak.”

“Aku tahu.”

Seketika Cedric bermaksud ingin menuangkan segelas wine lagi, tanpa sengaja ia menyenggol gelasnya hingga terjatuh pecah ke lantai. Akibatnya gaun yang dipakai Eleanor dan juga kemeja dikenakannya jadi kotor.

Cedric menunduk bersalah lalu berinisiatif mengambil sapu tangan dari sakunya membersihkan gaun yang dipakai Eleanor dipenuhi bercak wine. “Maaf aku tidak sengaja menumpahkannya.”

“Padahal gaun ini adalah gaun favoritku!” Eleanor protes dengan nada kecewa, mengamati gaunnya pasrah sambil menggosok-gosok bagian terkena noda wine. 

“Aku akan belikan gaun baru untukmu.”

“Tidak perlu. Aku pulang saja sekarang. Lagi pula ini sudah malam. Toko pakaian pasti sudah tutup.”

Dengan cepat Eleanor mengambil sling bag miliknya, tapi langsung ditahan Cedric. “Kamu akan bepergian dengan penampilan seperti ini? Bagaimana kalau ada seseorang melihat penampilanmu kusut?”

“Tidak apa-apa. Kalau seandainya mereka menanyakanku. Aku tinggal menjawab ini akibat kecerobohanku karena terlalu menikmati winenya.”

“Bagaimana kalau kamu nginap di hotel dulu?”

Ini gila! Bagaimana bisa Cedric mengusulkan menginap di hotel? Apalagi isi pikiran Eleanor langsung negatif dan membayangkan aksi panas yang biasa dilakukan wanita lain di kamar hotel. Apakah ini sikap asli Cedric sesungguhnya? Berpura-pura manis di hadapan wanita, lalu menodai para wanita di kamar hotel sepanjang malam?

“Kamu bercanda? Bahkan aku tidak booking kamar hotel.”

“Nginap di kamarku!”

Tatapan Eleanor semakin melotot. “Apa kamu gila? Kamu ingin menodai tubuhku?” 

Dengan cepat Cedric membungkam mulut Eleanor rapat dengan telapak tangannya sambil mengamati sekelilingnya. Takut ada orang lain yang mendengar perbincangan aneh mereka, terutama suara Eleanor cukup lantang yang membuatnya malu sebenarnya. 

“Sudahlah, kamu turuti aku saja. Aku tidak mungkin menodaimu sedangkan kita baru saja berteman. Aku tidak ingin merusak hubungan pertemanan kita karena kesalahan fatal,” bisiknya. 

Eleanor menyipitkan mata. “Kamu sungguh bisa dipercaya?”

“Haruskah aku menyeretmu paksa ke kamar hotel seperti pria lain?”

Eleanor menggeleng cepat. “Tidak perlu. Aku bisa jalan sendiri.”

“Kalau begitu, kamu tidak boleh protes.”

Cedric sengaja berjalan menutupi tubuh Eleanor supaya tidak dilihat pengunjung hotel. Lagi pula, ia merasa sangat bersalah karena kecerobohannya yang membuat suasana hubungan mereka sangat canggung. 

Seketika Cedric dan Eleanor sedang menunggu lift, sebenarnya di balik tembok ada seseorang yang mengintai mereka, lalu memotret setiap pergerakan mereka diam-diam. 

Cedric dan Eleanor tidak menyadari hal itu. Yang terpenting tujuan mereka adalah membersihkan diri dari noda wine yang sangat mengganggu pemandangan penampilan mereka. 

Di kamar hotel, Eleanor melangkah dengan canggung melepas stiletto putih berserakan dan langsung mengambil sebuah bathrobe yang sudah tersedia di ranjang. 

Cedric sebenarnya tahu sikap Eleanor dari tadi terkesan kaku karena adegan yang sekarang mereka lakukan seperti sepasang pengantin baru ingin bercumbu sepanjang malam, meski tidak terjadi apa pun. Namun, ia juga tidak ingin suasana canggung ini terus berlangsung. 

“Aku … mandi dulu, ya.” Akhirnya Eleanor membuka suara. 

“Aku akan tunggu di sini.”

Tidak seperti pria lain langsung melakukan sesuatu tidak pantas dilakukan terhadap wanita, justru Cedric adalah pria paling berbeda. Cedric terus menampakkan sisi kecemasannya berjalan mondar-mandir meluapkan rasa bersalahnya seiring waktu berjalan sambil menunggu teman barunya selesai membersihkan diri. 

Beberapa menit telah berlalu, Eleanor melangkah dari kamar mandi dengan penampilan sexy hanya dibaluti bathrobe sambil mengeringkan rambut indahnya, membuat Cedric langsung memukau dan menelan salivanya gugup. Gugup bukan karena ingin melakukan sesuatu panas. Tapi, kecantikan Eleanor satu-satunya berhasil menyihir tubuhnya menjadi kaku. 

“Kamu tidak mandi?” 

“Aku … ingin mandi sekarang.” Cedric berlari memasuki kamar mandi dengan gugup. Reaksi Eleanor tampak bingung sambil melanjutkan mengeringkan rambutnya. 

Di dalam kamar mandi, Cedric berjalan mondar-mandir sambil memukuli dahi berkali-kali, menyadarkan sepasang mata belum apa-apa sudah memikirkan hal aneh, padahal baru pertama kali bertemu dengan model cantik sekaligus teman barunya.

“Ayolah! Buang pikiran kotormu jauh-jauh! Prinsipku tidak akan sembarangan menyentuh wanita yang baru kukenal.”

Tubuhnya sekarang kembali menyegarkan. Hanya dengan balutan bathrobe melangkah keluar dari kamar mandi, mendatangi teman barunya sibuk mengeringkan rambut dengan hair dryer. Melihat pesona kecantikan teman barunya, pikirannya sudah melayang entah ke mana.

Sepasang mata saling bertemu satu sama lain. Tubuh mereka hanya dibaluti bathrobe sudah terlihat seperti sepasang kekasih ingin melakukan hubungan satu malam. Apakah mereka sungguh akan melakukannya malam ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status