Di tengah ranjang berukuran King size, seorang wanita tanpa busana dengan begitu semangat memacu bagian tubuh sensitif kasihnya. Suara derit ranjang turut mengimbangi setiap gerakan mereka, beradu dengan suara lenguhan yang lolos dari bibir keduanya."Kau tahu Emily, sisi agresifmu inilah yang membuatku mudah berpaling dari Luna," ucap Adrian dengan gigi beradu, jepitan liang kenikmatan Emily membuatnya sulit untuk berkata-kata, tetapi dia tidak ingin membiarkan Emily yang terus berusaha memuaskannya tanpa memberikan pujian dan apresiasi. "Huh, sungguh? Apa kau yakin tidak akan menyesal telah memilihku, Adrian?" tanya Emily, tanpa menghentikan gerak panggulnya untuk terus memacu kejantanan Adrian. "Tentu tidak, Honey," jawab Adrian sembari meringis, menahan sesuatu yang mendesak untuk keluar dari bagian tubuh paling sensitif miliknya. Perlahan pria itu menurunkan Emily dari atas tubuhnya, yang tentu saja membuat gadis itu melempar tatapan bertanya. "Berbaringlah, Emily. Sudah saat
Sulit untuk melupakan segala kenangan tentang cinta pertama. Tetapi, bagaimana jika cinta pertama yang telah usai dan sangat ingin kau lupakan, justru selalu muncul di hadapan dan menyiksamu dengan kedekatan yang dia jalin dengan saudaramu? Bukankah itu sangat menyakitkan?Nafas Luna seketika tercekat saat dihadapkan dengan Emily dan Adrian yang baru saja datang ke ruang pertemuan. Emily yang saat itu menggait lengan Adrian seketika melepaskan kaitan tangannya dari lengan Adrian begitu menyadari kebaradaan Luna. Apakah sikap yang Emily tunjukan merupakan bentuk dari rasa bersalah karena telah menjalin hubungan dengan mantan tunangan Luna? Tentu saja tidak. Emily hanya sedang bersandiwara saat ini.Posisi kerja Luna sebagai menejer pemasaran menjadikan gadis itu terpaksa bertemu dengan para klien yang mengajak Magnolia Spring Resort bekerja sama. Tetapi sangat berat rasanya jika dia harus berhadapan dengan mantan tunangannya. Haruskah Luna mundur dari pekerjaan itu? Rasanya sangat m
Emily berjalan cepat mengikuti Adrian yang mengejar Luna begitu rapat pembahasan kerjasama usai. Wanita berambut brunet itu tahu, bahwa Adrian ingin membahas tentang sikap Matteo yang tadi mempermalukan Adrian di depan atasan divisi pemasaran Magnolia spring Resort. Suara tumit sepatu heels yang Luna pakai terdengar lantang mengetuk lantai. Gadis itu sedang terburu-buru, dia tidak sanggup untuk melihat Adrian dan Emily berlama-lama, dia merasa dikhianati dengan dua orang yang dulu sangat dekat dengannya. Salah satu tangan Adrian meraihnya, membuat langkah Luna yang nyaris tiba di depan ruang kerjanya terhenti, sehingga gadis itu pun dengan terpaksa menoleh ke arah pria yang baru saja meraih tangannya. Luna tahu siapa pelakunya. "Rapat telah selesai, tidak ada yang perlu kita bahas lagi, tuan Adrian?" tanya Luna dengan penekanan di kata terakhir. Gadis itu terang-terangan mengangkat dagunya, menunjukkan gestur menantang yang sangat jelas, membuat Adrian dan Emily menatap Luna tidak s
Luna bergegas menuju lobby begitu jam kerja usai. Dia baru saja mendapatkan pesan bahwa Matteo menunggunya di lobby. Ingin rasanya gadis itu cepat-cepat sampai ke apartemen dan menangis sejadi-jadinya atas kenyataan perih yang dia terima hari ini. Sesampainya di lobby Magnolia spring Resort, Luna dibuat terkejut dengan pemandangan di mana Matteo sedang duduk di sofa dengan secangkir kopi berada di depannya. Beberapa staf perusahaan tersebut terlihat akrab saat berbincang dengan Matteo. Hal itu tentu saja membuat dahi Luna mengernyit dalam. Memangnya siapa Matteo itu? Mengapa semua orang di Magnolia spring Resort tampak segan terhadapnya? Untuk sesaat Luna terpaku menatap Matteo yang terlihat begitu karismatik dan berwibawa saat berbincang dengan para staf yang duduk bersamanya. Luna pun berjalan pelan mendekati segrombolan pria itu lalu menyapa mereka dengan sopan. "Miss Winterbourne sudah datang. Saya permisi, pasti beliau sangat lelah dan ingin segera beristirahat." ucap Matteo d
Apa yang akan kau lakukan jika seseorang yang kau cintai belum bisa melupakan masa lalunya? Kau selalu berada di sisinya setiap waktu dan berusaha menjadi penopangnya saat dia rapuh. Sinyal-sinyal cinta berusaha kau kirimkan, namun dia bahkan tidak dapat menangkapnya, dan tetap melihatmu sebagai seorang teman! Ya, hanya sebatas teman!Dalam situasi seperti itu mungkin sebagian orang akan pergi dan mencari perempuan lain, mengingat tidak hanya ada satu wanita saja di bumi ini. Tetapi tidak demikian dengan Matteo. Pria itu memilih untuk tetap bertahan. Dia tahu bahwa Luna membutuhkan penyembuhan atas luka masalalunya. Dan dia ingin menjadi penyembuh atas luka yang Luna rasakan."Ada apa denganmu? Apakah ada ucapanku menyinggung perasaanmu?" tanya Luna sembari memegang lengan Matteo. Mata Matteo melihat ke arah pegangan Luna pada lengannya. Debaran kembali ia rasakan saat permukaan tangan lembut gadis itu menyentuhnya. Namun dalam sekejap, debaran itu berubah menyakitkan, saat Matteo me
Tidak banyak pembicaraan antara Luna dengan teman serumahnya itu setelah kesepakatan yang terjadi tadi malam. Pun saat perjalanan menuju Magnolia spring Resort. Entah nengapa diamnya Matteo membuat Luna merasa kesal. Dia rindu saat-saat pria itu memberikannya perhatian dan menatapanya dengan tatapan teduh. Luna masih tidak bisa mengerti, kepribadian seperti apa yang dimiliki Matteo. Sikap pria itu bisa mudah sekali berubah; tiba-tiba Matteo akan menjadi pria yang penuh perhatian dan hangat, sehangat nafas. Namun dalam sekejap bisa berubah dingin, sedingin es di kutub. Keduanya tiba di pelataran Magnolia spring Resort. Dan secara mengejutkan, Matteo melepaskan seat belt Luna begitu mematikan mesin mobil. "Kau tidak perlu melakukannya, aku bisa melakukan itu sendiri," pekik Luna saat tiba-tiba Matteo mendekatkan tubuhnya dan melepas seat belt yang melekat pada tubuh Luna. Desiran hangat menjalari dada Matteo saat tidak sengaja menyentuh bukit kembar Luna yang begitu subur."Maaf, aku
Alex duduk termenung di sebuah sofa ruang bersantai. Tatapannya tidak terlepas dari figura foto yang ada ditangan. Potret masa kecil Luna bersama mendiang istrinya, Chiara. Dimana dalam foto tersebut Chiara duduk di sebuah kursi dan memangku Luna kecil, mereka menggunakan gaun putih dengan model yang sama. Jemari Alex mengelus wajah Chiara, senyum kegetiran terukir di wajahnya. Dalam hati pria itu mengucap maaf, atas kegagalannya dalam menjaga putri sematawayang mereka. Apa yang dilakukan Alex tidak terlepas dari perhatian seorang perempuan paruh baya yang akhir-akhir ini sering mengintai segala yang dia lakukan. Ambisi perempuan itu untuk membuat Alex mewariskan usahanya untuk Emily tak kunjung surut, justru semakin kuat setelah pengusiran Luna dari rumah itu. Rosaline berjalan mendekati Alexander dan duduk di sebelah pria tersebut. Mata wanita itu berkilat amarah saat melihat foto siapa yang Alex pegang. Bibir berpoles lipstik merah darah Rosaline sedikit mengerucut. Sepertinya k
Matteo mendekati Luna yang masih berdiri di ambang pintu dengan gestur gelisah. Kedua alis pria itu bertaut dan manik gelapnya menatap Luna lekat-lekat. Perubahan rona kulit wajah Luna membuat Matteo bertanya-tanya. "Ada apa denganmu?" tanya Matteo dengan salah satu alis naik mendekati dahi. "Dan apa maksud ucapanmu tentang apakah aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku?" Luna terlihat semakin gelisah dan memilin jemarinya di depan tubuh. Gadis itu memalingkan wajah, tak kuasa menatap manik gelap Matteo yang hanya akan membuatnya semakin gugup. "Luna?" panggil Metteo dengan suara lembut. Pria itu meraih tangan Luna dan alisnya kembali bertaut saat permukaan tangan Luna terasa sangat dingin. "Tanganmu dingin? Ini cukup aneh. Udara di luar sedang panas." Luna yang semakin salah tingkah segera menarik tangannya. Hal itu membuat Matteo melempar tatapan bertanya. "Abaikan. Ini bukan apa-apa." Ucap Luna, masih menatap ke arah lain. Kini gadis itu memeluk tubuh dengan kedua tangannya, g
"Tutup mulutmu, Rosaline!" bentak Alexander yang seketika membungkam mulut Rosaline. Membuat wanita paruh baya itu kembali tersadar dengan kemarahan Alex yang diakibatkan oleh ulah Emily. Wanita paruh baya itu pun bersikap lebih tahu diri untuk saat ini. Melihat keberanian dan kewibawaan yang terpancar nyata pada diri Matteo membuat Alex ingin mendengar lebih banyak apa yang hendak Matteo sampaikan. "Lanjutkan," pinta Alex. "Begini, Tuan. Dalam satu pekan ke depan, saya dan putri Anda akan melangsungkan pernikahan. Kiranya Tuan bersedia menghadiri acara pernikahan kami." Matteo berucap lugas. Luna menatap kagum pada Matteo yang dengan tenang mengatakan maksud kedatangannya ke rumah itu. Dadanya dipenuhi rasa hangat mendengar suara menenangkan Matteo, sehingga muncul keberanian Luna untuk berbicara kepada Alex. "Benar. Kami akan segera menikah. Kami harap Ayah merestui dan sudi untuk datang ke acara pernikahan kami." Rosaline yang berpikir bahwa Luna terlalu naif tertawa ker
Seketika ucapan yang keluar dari bibir Adrian memantik amarah Rosaline dan Alexander. "Apa maksudmu tidak mungkin?" tanya Alex dengan rahang mengetat. Pria paruh baya itu yakin bahwa Adeia adalah satu-satunya pemuda yang menjalin kedekatan dengan anak tirinya. Adrian tertawa hambar. Tampak sekali dia sedang mentertawakan semua orang yang ada di ruang tamu itu. "Bagaimana mungkin dia hamil anakku, sedangkan aku selalu membuang sepermaku di wajah dan mulutnya. Itu semua aku lakukan semata-mata agar dia tidak hamil. Aku bahkan tidak mencintai Emily, Tuan Alex yang terhormat," jawab Adrian sembari tersenyum miring. Seketika ulu hati Emily terasa sakit, rasa sesak memenuhi dadanya. Sesaat dia lupa bagaimana cara bernapas. "Adrian ..." lirih Emily dengan suara parau, air mata menggenangi kedua matanya. "Jadi selama ini kau ..." Adrian menoleh ke arah Emily dan menatap gadis itu dengan sorot mata penuh amarah. "Aku apa? Hanya menjadikanmu pelampiasan nafsuku? Harusnya kau ingat
Seperti pagi-pagi sebelumnya. Matteo yang baru saja selesai menyiapkan menu sarapan langsung melempar senyuman kepada Luna yang baru saja selesai berdandan dan berjalan mendekati meja makan. "Cepatlah makan selagi makanan masih hangat," ucap Matteo sambil menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Luna duduk. "Hmm." Luna duduk dan tersenyum simpul. Gadis itu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tetapi kali ini dengan gerak ragu, tidak seperti biasanya. Raut kegelisahan di wajah Luna tentu saja tak luput dari perhatian Matteo. Pria itu pun mereguk air dalam gelasnya, sebelum akhirnya bertanya kepada Luna. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kau sedang merasa tidak enak badan?" Luna menarik napas dalam. "Aku ragu. Apakah Ayahku akan menerima kehadiran kita nanti?" Pertanyaan Luna melemparkan ingatan Matteo pada kejadian beberapa bulan yang lalu, saat Alexander mengusir Luna dan dirinya yang menjenguk Alexander di rumah sakit. Matteo mengatupkan rahangnya. Dia begitu benc
Malam itu Luna dan Matteo kembali ke apartemen mengendarai sedan tua yang selama ini Matteo pakai. Di sepanjang perjalanan Luna terus menatap Matteo yang fokus mengemudi. Jalanan yang mereka lalui cukup ramai, tetapi perhatian Luna hanya terfokus pada entitas pria berbadan gagah yang sedang fokus mengemudi. Matteo yang menyadari bahwa ia sedang diperhatikan lantas menoleh sekilas. "Mengapa kau menatapku seperti itu?" "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan selama ini? Siapa kau sebenarnya?" Kali ini Luna ingin mendengar penjelasan Matteo. Apa yang dia lihat hari itu bagaikan mimpi. Mendengar pertanyaan Luna yang tidak bisa dia anggap sebagai pertanyaan ringan, Matteo pun menepikan kendaraannya. Sudah saatnya dia mengakui siapa dia sebenarnya. Matteo mematikan mesin mobil, lalu menghela napas setelahnya. "Baiklah, aku mengakui. Aku adalah CEO Magnolia Spring Resort. Dan aku juga yang meminta Stefano untuk menerimamu bekerja di sana," ungkap Matteo, melempar ingatan Luna pada set
Pertanyaan mengejutkan yang keluar dari mulut Alessia membuat Luna terbatuk. Gadis itu sampai kesulitan bernapas dan berulang kali menepuk dadanya. "Luna? Are you okay, Dear?" tanya Matteo. Raut wajah pria rupawan itu terlihat cemas melihat wajah Luna yang memerah. "Aku baik-baik saja," jawab Luna, sembari berdeham, kembali mengatur ekspresi. "Ibu, kami baru saja datang, mengapa Ibu langsung menanyakan itu?" tanya Matteo dengan nada protes yang berhasil membuat Alessia mengernyitkan dahinya. "Kau tahu bagaimana watak ibumu ini, Matt. Ibu tidak suka berbasa-basi," Alesaia mengedikkan bahu. "Tapi, Bu," "Apanya yang tapi? Gadis ini menerimamu saat kau menyamar sebagai pria biasa. Bukankah tipe wanita tulus yang tak gila harta seperti dia yang kau cari?" Salah satu alis Alessia naik mendekati dahi. Dia tidak ingin kalah dari perdebatan itu. Luna yang berada di antara Matteo dan Alessia berulang kali mengerjapkan mata lentiknya. 'Matteo bahkan menyamar menjadi pria bias
Hari itu menjadi hari paling bahagia bagi sepasang kekasih yang baru saja keluar dari gedung The Battle Ring sambil bergandengan tangan, bersama Stefano yang berjalan mendahului mereka dan membukakan pintu untuk Luna dan Matteo di kursi penumpang belakang. "Kemana kita akan pergi, Tuan?" tanya Stefano sembari melihat penumpang di kursi belakang melalui kaca sepion atas. "Pulang ke rumah orang tuaku," jawab Matteo yang kali ini terang-terangan bersikap wajar layaknya seorang atasan kepada bawahannya. Di tempatnya duduk saat ini, Luna masih tidak mengerti. Selama ini dia mengenal Stefano sebagai CEO di hotel tempatnya bekerja dulu, dan dari cerita Matteo, dia mengenal Stefano dan mereka menjadi teman, sehingga Matteo diberikan hak untuk leluasa keluar masuk Magnolia Spring Resort. Tetapi apa yang dia lihat saat ini membuatnya bertanya-tanya. Jelas sekali Stefano bersikap layaknya bawahan Matteo, dan dari sisi Matteo aura kepemimpinan sangat dominan. Gadis itu hanya menggigit
Di sebuah apartemen yang disewakan Adrian untuk tempat tinggal Luna. Gadis itu menatap ke luar jendela yang menampilkan lalu lalang kendaraan yang cukup ramai. Situasi jalanan itu seolah menggambarkan pikirannya yang saat ini sangat penuh dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi hari itu; Matteo kalah dari Adrian, dan dia menepati janjinya untuk melepas Luna. Gadis itu sudah melihat betapa gigihnya Adrian berlatih untuk mempersiapkan diri melawan Matteo. Gadis itu menyentuh liontin dari kalung yang dia pakai. Hadiah ulang tahun dari Matteo, pemberian yang sangat berharga dari pria yang sangat dia cintai. Bayangan makan malam romantis di hari ulang tahunnya kembali berkelibat di dalam kepalanya. Saat itu, Matteo adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulang tahun Luna. Akankah romantisme di antara keduanya hanya akan menjadi kenangan dan menyisakan Luna yang akan menerima kenyataan pahit, bahwa Matteo benar-benar melepasnya dan keduanya mencari jalan hidup masing-masin
Alaram di ponsel berbunyi yang membuat Matteo terbangun. Segera ia mematikan alaram agar ponselnya berhenti berdering, khawatir mengusik Luna yang masih terlelap. Mata pria tersebut terbuka lebar saat mendapati Luna tidak berada di sampingnya. Segera Matteo bangkit dari ranjang dan mencari keberadaan Luna. Dia tidak ingin kekasihnya yang sedang hamil kelelahan karena menyiapkan sarapan di dapur. Tetapi saat tiba di dapur, hanya kesunyian yang ia dapati. Semua peralatan dapur masih berada pada tempatnya. Pun saat dia menoleh ke arah kamar mandi. Pintu ruangan tersebut terbuka, tidak ada siapa-siapa di sana. Seketika Matteo menyugar rambut hitamnya dan mulai berpikir di mana keberadaan Luna. "Tidak biasanya dia keluar tanpa memberi tahuku," gumam Matteo sembari menggeleng. Perasaannya mendadak kalut. Seolah kepergian Luna kali itu merupakan sesuatu yang tidak wajar. Pria berbadan tinggi besar itu kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya. Segera ia melakukan panggilan tetep
Luna memejamkan kedua matanya dengan paksa saat mendengar pintu apartemen terbuka. Dia memilih untuk berpura-pura tidur daripada meluapkan amarahnya malam itu. Jantung Luna berdenyut nyeri saat pria yang ia tunggu kepulangannya berjalan mendekatinya. Matteo mengelus rambut Luna, mengecup kening perempuan itu cukup lama dan menghirup aroma harum rambut perempuan itu untuk mengisi paru-parunya. Aroma harum rambut Luna sedikit membuat Matteo merasa tenang, setelah malam itu dia menemui mantan kekasihnya tanpa sepengetahuan Luna. Tangan Matteo membelai wajah rupawan perempuan itu. Seketika dahi pria itu mengernyit, dia baru menyadari kelopak mata Luna menghitam, mascaranya luntur karena ia menangis. Matteo tersenyum. Dia berpikir bahwa Luna sengaja berdandan malam itu untuk menyambutnya. Pun bibirnya yang terpoles lipstik merah muda yang membuat Matteo gemas. Pria itu mengecup singkat bibir Luna dan berucap; "Maaf telah membuatmu terlalu lama menunggu malam ini", sebelum akhirnya berbar