Rainer membaca pesan-pesan di grup Whatsapp, akhir-akhir ini grup itu sangat ramai sekali dengan berbagai banyak pesan masuk mengenai keseharian mereka dengan si kecil Alba. Entah Janu ataupun Yuwa, mereka seakan berlomba-lomba untuk menghabiskan waktu dengan bocah itu. Bukannya Rainer tidak menyukai Alba, bukan juga tidak menyukai kehadiran bocah itu tetapi grup hanya membahas bagaimana keseharian Alba. Alba inilah, Alba itulah, semuanya tentang bocah itu. Sebenarnya cukup bagus, karena sesungguhnya grup itu biasanya sangat sepi, beberapa kali hanya Janu yang membagikan jadwal tur artis di agensinya atau membagikan tiket gratis untuk konser. Terkadang Magani juga mengirimkan foto tato yang baru saja dia buat dan yang lainnya hanya menanggapi sekedarnya saja, tidak ada yang lebih, tapi akhir-akhir ini semuanya bahkan mengecek bagaimana keadaan masing-masing.
Mengejutkan, tapi ke arah yang baik dan itu bagus.
Menyimpan ponselnya ke dalam saku, Rainer menatap jalanan di
Matahari sangat terik hari ini, ketika pria tinggi itu keluar dari mobil dia bisa merasakan sengatan yang membuat seluruh kulitnya nyeri, kembali masuk ke dalam mobil dia mencari sesuatu di belakang mobilnya. Ketemu. Ruang tunggu di sekolah Alba tampak penuh hari ini, mungkin karena ini adalah hari terakhir sekolah sebelum akhir pekan jadi hampir semua orangtua hadir untuk menjemput anak-anaknya, semua mata sedang tertuju pada satu orang sekarang, seorang pria dengan celana bahan berwarna hitam, sendal jepit hitam, dan kaos V neck putih tangan panjang serta payung hitam lengkap dengan kacamata hitam plus masker berwarna putih yang menutup wajahnya. Penampilan aneh yang super mencolok itu berhasil membuat semua orang yang berada disana penasaran siapakah dirinya, apakah dia adalah salah satu orangtua murid? Sadam berdehem, merasa apa yang dia kenakan sudah cukup untuk membuatnya terlihat normal dan tidak menarik perhatian. Dia mencari tempat duduk kosong namun tidak m
Alba keluar dari ruang kelasnya, matanya berkeliling mencari sosok seseorang di tengah banyaknya orang yang berlalu lalang, keningnya berkerut karena dia tidak menemukan sosok itu diantara para orang dewasa.“Hey,” Seseorang kemudian mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan Alba tahu siapa itu, hanya satu orang yang sering menggendongnye ketika bertemu.“Paman Yuwa!” Pekiknya, mendapati wajah tampan Yuwa tepat di hadapannya. “Kok paman Yuwa yang ada disini? Kata Dad paman Sadam jemput Alba?” Alba memegang wajah Yuwa dengan kedua tangannya, dia senang dengan wangi yang dikeluarkan dari tubuh pamannya yang satu ini.“Paman Sadam ada syuting hari ini, dan dia lupa.” Yuwa menjawab pertanyaan si kecil sambil berjalan sesekali dia sedikit membungkuk karena beberapa orangtua murid atau para pengasuh mereka mengenalnya. Ya, Yuwa sering mengantar, menunggui dan menjemput Alba sama seperti Magani dia cukup dikenal.Alba
Janu masih berada di kantornya, headphone masih terpasang, matanya masih tertuju ke layar komputer sambil sesekali dia bergerak mengikuti irama lagu yang masuk ke dalam telinganya, sampai kacamatanya melorot sedikit setiap kali dia mengangguk-anggukkan kepala, kakinya naik turun, dan tangan kirinya sibuk memencet-mencet tombol keyboard yang berada di sebelah meja sedangkan tangan kanannya memainkan mouse.Dia sudah berada di kantor selama 3 hari, mengerjakan project millik Kiyoko. Project ini begitu penting untuk si penyanyi karena setelah dua tahun akhirnya dia memiliki lagu baru, para penggemarnya sudah menunggu, dan di waktu istirahatnya selama dua bulan ini Kiyoko masih sering datang ke kantor untuk membahas lagu dan rekaman. Meskipun si penyanyi hanya datang beberapa kali, untuk Janu sendiri dia tidak bisa pulang pergi begitu saja, terkadang kalau dia sedang punya banyak inspirasi dia bisa terlalu asyik sampai-sampai lupa waktu.Selama tiga hari ini Alba
Kafe sore ini terlihat cukup ramai, beberapa orang keluar masuk hanya untuk memesan, menunggu dan kemudian pergi membawa pesanan mereka, sama seperti segelintir abang ojek online yang tengah menunggu pesanan, ada juga yang duduk di depan kafe hanya untuk menunggu hujan berhenti. Iya, hujan turun beberapa menit lalu, langsung deras, tidak ada peringatan di prakiraan cuaca. Well, prakiraan cuaca Indonesia kadang gak bisa dijadikan patokan karena memang gak begitu akurat. Hujan dan panas datang tanpa bisa prediksi.Seorang wanita dengan rambut digelung, berpakaian kasual, kaos hitam pas tubuh, celana jeans pas pinggang, sling bag dan masker putih yang menutupi setengah wajahnya mengedarkan seluruh pandangan keluar kafe, kepalanya kesana kemari mencoba melihat jalanan yang tertutup hujan, menunggu seseorang. Dia melirik lagi kearah jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul 8. Dia mau pulang duluan tapi tahu benar, seseorang yang sedang ditunggunya ini nanti kesal, mereka
“Javis Nirankara Ishara.”“Maaf?”“Javis mbak, J A V I S. Javis Nirankara Ishara.”Perempuan berkerudung di depannya mengerenyit, berusaha mengeja nama belakang Javis dengan benar. Akhirnya si pria muda dengan banyak tato ditubuhnya itu memberikan KTP kepada petugas Rumah Sakit, tidak ada lima menit si petugas mengembalikan KTP miliknya. Sudah sering kali Javis sedikit bermasalah ketika dia menyebutkan namanya kepada orang-orang, entah di kafe, atau tempat makan apalagi di Bank. Orang-orang sering salah mengeja namanya, Japis, Jafis, atau Isyara, Isara, Ihsara. Tidak ada yang bisa menebak sekali dengan benar ejaan namanya.Dia duduk kembali ke tempatnya, menunggu gilirannya untuk melakukan MCU.Setiap setahun sekali Javis pasti melakukan MCU, ini sudah prosedur dari sanggar yang menaunginya. Kesehatan para petinju adalah yang utama. Terlebih lagi Javis tengah melakukan latihan untuk kembali bertarung di kejuaraan
Magani melambaikan tangannya sekali lagi, berpamitan kepada kedua orangtua dan adik serta pacar adiknya. Dia baru saja selesai makan malam dengan mereka, makan malam yang cukup dramatis karena ibunya meminta untuknya datang untuk bicara pada adiknya, Javis. Kedua orangtuanya menentang keputusan bocah itu untuk beralih menjadi seorang atlit MMA, ya, sejujurnya Magani juga khawatir. Bagaimanapun, atlit MMA memiliki resiko sangat tinggi. Kedua orantuanya menyayangi Javis, begitu juga dirinya. Untungnya semua berjalan lancar, mereka makan malam dan pulang.Melirik ke belakang mobil dan melihat tumpukan kresek hitam dia hanya tersenyum, ibunya membagi bahan makanan di parkiran. Untuknya dan untuk Tara, pacar adiknya. Selalu seperti itu, ibunya tidak pernah berubah. Dia selalu membagikan semua orang rezekinya tanpa terkecuali.Ibu seorang dosen di Universitas ternama di kotanya, sedangkan ayahnya juga seorang dosen di Universitas ternama di kota lain yang jaraknya 1,5 jam da
Janu memakirkan mobil ke dalam garasi, mengepak beberapa barang yang berserakan di dalam mobil ke dalam tas dia keluar, menutup garasinya masuk ke gerbang menuju pintu utama rumahnya. Dia berjalan, melewati kebun kecil yang tanamannya dia tanam sendiri, bunga-bunga itu mulai bermekaran dengan indah. Sampai di depan pintu utama dia mengeluarkan kunci cadangan. Hari ini, kak Yuwa dan Rainer menjaga Alba selagi dia sibuk di kantor.“Hei, udah pulang?” Sebuah suara yang tentu saja sangat familiar di telinga Janu membuat pria itu mengangguk pelan, melihat seorang pria dengan rambut hitam sedikit acak-acakan, memakai pajamas berwarna ungu dengan kacamata bertengger di hidungnya muncul dari balik sofa dengan buku tebal di tangan.Melirik ke jam dinding yang menempel, waktu sudah menunjukkan pukul setengah satu malam.“Kak Yuwa gak tidur?” Tanya Janu, dia menyimpan tasnya di atas meja makan dan berjalan kearah kulkas, membukanya dan meng
Magani, Javis, dan Theo buru-buru datang ke tempat Sadam. Mereka mendapat pesan pribadi dari Rainer yang mengatakan kalau Yuwa dan Janu cekcok semalam. Ketiganya terburu-buru pergi setelah tahu Alba berada disana juga. Javis dan Theo tentu sama terkejutnya seperti Sadam dan Rainer ketika pertama kali tahu kalau Yuwa mengetahui keberadaan Alba, dialah juga yang merencanakan setelah kematian Millie, Alba harus pergi kemana.“Sebenernya gak ada yang salah, yang dilakukan kak Yuwa udah bener kok.” Theo buka suara, memainkan topi di tangannya. Kelima temennya yang lain duduk di depannya, mendengarkan. “Hanya saja sudah terlalu terlambat, maksudku, kalau kak Yuwa seenggaknya ngasih tahu Janu setelah Aba lahir itu bakalan jauh lebih baik.”“Well, yang jelas sekarang Aba kan sudah disini, Janu berhak marah tapi kayaknya itu juga sudah terlalu terlambat.” Magani menambahkan, membuka masker yang menutupi wajahnya.“Tapi k