London, 2 Februari 2019
Semburat matahari mulai nampak membuat seorang gadis terbangun dari tidur nyenyaknya. Gadis itu menguap, sepertinya belum menyadari sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya.
"Mimpi yang sangat menakutkan" gadis itu bergidik ketika mengingat kembali mimpi yang muncul dalam tidurnya. Ia berusaha untuk melupakan mimpi aneh sekaligus menyeramkan yang terus tertancap di sela-sela sel otaknya.
Sekitar sepuluh menit ia habiskan untuk meregangkan badan sebelum menuju ke kamar mandi untuk bersiap memulai harinya dan sesampainya disana tepatnya setelah melihat cermin gadis itu berteriak kencang.
"Ap-apa ini?!" gadis itu tertegun sebab melihat baju yang ia kenakan 3x lebih besar dari tubuhnya. Tak hanya itu, bekas luka yang ada diwajahnya juga turut menghilang. Bayangan dicermin persis seperti apa yang ia lihat dalam mimpinya. Semua tidak masuk akal, ia mencoba berpikir dan berusaha untuk menelaah semuanya dengan logika yang ia miliki, hingga akhirnya sesuatu menarik perhatiannya, bekas jerat tali di lehernya.
"Mimpi itu? Nyata?"
Gadis itu terdiam sejenak.
"Hahaha ... ini nyata? Aku secantik ini?" gadis itu melompat kegirangan sebab wajah, lekuk tubuh, bahkan sampai gaya rambut semua sama seperti yang ia idamkan sejak dulu.
Gadis itu kemudian berlari mencari baju yang sesuai dengan ukuran tubuhnya saat ini, namun alih-alih menemukannya ia justru tertimpa sebuah kalender yang menunjukkan tanggal 2 Februari tahun 2019.
Awalnya gadis itu tak menghiraukannya, sampai ia menemukan kembali seragam yang ia dapatkan ketika bekerja part time di cafe dekat terminal pada Januari 2019. Ia sudah membuang baju itu, seingatnya.
Gadis itu akhirnya benar-benar menyadari bahwa dirinya kembali ke masa lalu, tepatnya dua tahun yang lalu ketika gadis itu tak bisa menemukan semua foto mantan tunangannya, foto Albert Galvin yang ia simpan disebuah laci dilemari pakaiannya.
Seluruh peristiwa tak masuk akal ini membuat rasa penasarannya kian memuncak, hingga gadis itu memutuskan keluar dari kostnya untuk mencari tahu kondisi sebenarnya.
***
"Hey, apakah kau tidak merasa beku dengan pakaian setipis itu di cuaca dingin seperti ini?" ucap seorang wanita pemilik butik setelah melihat gadis dengan pakaian tipis yang lebih besar dari tubuhnya berjalan melewatinya.
Gadis yang wanita itu maksud menoleh kearahnya.
"Ya?"
"Apakah kau tak mempunyai pakaian yang lebih tebal?" wanita itu kembali bertanya, namun ia hanya mendapatkan gelengan kepala dari gadis yang ia panggil itu.
Wanita pemilik butik akhirnya menarik lengan gadis itu dan memberikan sejumlah pakaian tebal dengan model kekinian yang sesuai dengannya.
"Pakailah pakaian ini, sepertinya sangat cocok untukmu" wanita pemilik butik itu tersenyum.
"Ta-tapi saya tidak mempunyai ua-"
"Tak apa, ambillah" wanita itu memotong perkataan gadis dihadapannya.
"Kau sangat cantik seperti anak perempuanku yang bekerja di luar kota. Melihatmu, aku jadi teringat padanya. London sedang berada di suhu 2° celcius saat ini, jangan berkeliaran seperti itu dengan pakaian tipis" pemilik butik itu mengambil beberapa pakaian lagi dan memberikannya secara cuma-cuma kepada gadis dihadapannya yang tak merasa sungkan untuk menerimanya.
"Siapa namamu?"
Gadis itu menjawab dengan ragu-ragu, "Audrey. Audrey Dianne"
Ya, kalian tak salah dengar. Gadis cantik itu adalah Audrey. Lantas, kemana perginya Audrey malang yang berisi dan memiliki bekas luka bakar di wajah kirinya? Entahlah, tak ada satupun yang mengetahui kemana perginya Audrey yang lama, bahkan dirinya sendiri.
Penampilannya kini berubah drastis. Audrey bahkan membayangkan seandainya saja ia memiliki 'keistimewaan penampilan' sejak dulu pasti Audrey tak akan merasa kesulitan dalam menjalani hidupnya, atau mungkin Alberth Galvin takkan berpaling darinya.
Benar, anggap saja keanehan ini merupakan hadiah dari sang pencipta untuknya karena telah menjalani kehidupan suram yang penuh dengan ketidakadilan. Mungkin ini semua bisa dijadikan kesempatan untuk menjalani hidup sesuai dengan keinginannya.
Audrey berjalan menyusuri jalanan London disertai tatapan mata semua orang disepanjang perjalanan. Tatapan mata itu sangat berbeda dengan tatapan yang ia dapatkan dahulu, ini adalah tatapan terpukau. Apakah begini rasanya menjadi cantik?
"Ehm, permisi" seorang pria yang menatap Audrey sejak tadi kini memanggil gadis itu. Namun, Audrey tak menghiraukannya sama sekali.
"Apakah aku bisa meminta nomormu? Kau adalah tipeku, siapa tahu kita akan cocok" Audrey yang terkejut akhirnya memberhentikan langkah kakinya. Ia melihat pria itu dari ujung kaki sampai ujung rambut, setelah itu tanpa berkata apapun Audrey pergi begitu saja meninggalkan pria itu. Pria asing ini tak setampan mantan tunangannya.
"Gila untuk pertama kalinya seorang pria asing bahkan meminta nomor ku" Audrey semakin meyakini bahwa ini bukanlah sekedar haluannya saja sebab parasnya sudah benar berubah bahkan di mata orang-orang sekalipun.
Setelah beberapa menit berjalan kaki, Audrey akhirnya menemukan kembali tempat yang tak asing baginya, tempat yang selalu ia kenang, sebuah restaurant ayam yang dulu pernah menolak lamaran kerjanya. Namun bukan itu alasannya, melainkan karena restaurant ayam itu menjadi saksi bisu Audrey ketika jatuh cinta kepada Alberth Galvin. Cinta pertama sekaligus terakhir sebelum ia mengakhiri hidupnya.
Ia bertemu Alberth tepat setelah lamaran pekerjaannya ditolak. Alberth yang melihat Audrey menangis setelah keluar dari restaurant ayam favoritnya kemudian bertanya dan menenangkan Audrey. Perhatian pertama yang ia dapatkan dari orang lain setelah insiden kebakaran yang merusak wajahnya itu. Maka tak heran jika dalam waktu singkat Audrey begitu jatuh kepada pria itu.
"Apakah, aku bisa bertemu kembali dengannya jika aku mencoba untuk melamar pekerjaan disana?" batin Audrey.
Gadis cantik ini terdiam begitu lama memandangi restaurant ayam itu karena terjadi perang batin dalam dirinya. Disatu sisi Audrey masih sangat menyayangi dan mencintai mantan tunangannya itu, namun disatu sisi ia juga membencinya karena telah mengkhianatinya.
"Ini merupakan awal baru. Sepertinya aku harus mencoba kembali semuanya dari awal. Aku akan melupakan semua kebencianku pada lelaki itu dan akan mendapatkan kembali hatinya" Audrey meyakinkan dirinya sendiri walaupun hati mengatakan sebaliknya.
Audrey mulai melangkah masuk ke dalam restaurant ayam itu dan ia hanya menemukan seorang pria setengah baya duduk di meja kasir, lantas ia pun mengulangi tindakannya dua tahun yang lalu, yaitu melamar pekerjaan.
"Permisi, apakah anda mencari pekerja paruh waktu?"
Mata pria setengah baya yang sedang menyapu lembaran koran kini beralih menatap dirinya.
"Apakah kau yang mau melamar pekerjaan disini?"
Audrey mengangguk tanda setuju.
"Baiklah kau bisa mulai bekerja esok" pria setengah baya itu langsung menyetujuinya.
"Kau tak bertanya apapun tentangku?" ucap Audrey penuh tanda tanya, sebab dua tahun lalu begitu banyak pertanyaan yang ditanyakan pria ini saat Audrey melamar pekerjaan ditempatnya.
"Ah, siapa namamu dan berapa umurmu?"
"Audrey Dianne, panggil saja Audrey. Umurku 25, ah maaf maksudku 23" ucap Audrey ketika teringat bahwa dirinya berada di tahun 2019.
"Baiklah Audrey, besok datang kembali kesini pukul sepuluh pagi. Kau akan bekerja sebagai kasir dan untuk gaji aku memberikan sesuai upah wajar karyawan di London"
Audrey kembali mengiyakan perkataan pria setengah baya yang kini telah menjadi bosnya itu.
"Sialan, padahal dulu pria tua itu menolakku mentah-mentah" Audrey menggerutu kemudian tersenyum. Sepertinya kini ia menyadari bahwa menjadi cantik adalah kunci dari kemudahan hidup.
Tahun 2013, Eaton Square Senior High School, LondonSuara derap langkah kaki memenuhi koridor sekolah, semua siswa dan siswi berlomba untuk memperebutkan antrian di kantin terkecuali seorang gadis yang terlihat menahan tangis berjalan lunglai menuju ke ruang guru.Ruangan itu sangatlah ramai di jam istirahat seperti sekarang ini. Beberapa guru terlihat sedang menggosip, ada yang sibuk mengerjakan sesuatu, dan ada pula yang sedang berbincang dengan murid yang menemuinya.Audrey dengan tampang sedih disertai perasaan takut yang menyelimuti dirinya mencoba untuk memberanikan diri menghampiri meja milik guru wali kelasnya, Mrs Camelia."Apa lagi?" katanya ketus begitu melihat Audrey berjalan mendekat."Ibu, apakah benar beasiswa ku dicabut?" gadis itu bertanya dengan baik, tetapi balasan yang ia dapatkan tak seperti apa yang ia lakukan."Kau t*li?! Bukankah sudah kubilang sejak kemarin?! Tenyata selain wajahmu yang rusak indera pendenga
Puluhan manusia berbaris rapi menunggu giliran untuk memesan sesuatu di sebuah restaurant ayam. Tempat itu terlihat sangat ramai hari ini dari pagi hingga malam ruangan itu dipenuhi barisan pembeli. Audrey Dianne seorang pekerja paruh waktu yang bekerja sebagai kasir di restaurant ayam itu bahkan dengan sukarela bekerja lembur untuk membantu karyawan lain yang sedang berusaha menyelesaikan tumpukan pesanan yang menggunung."Satu box buffalo wings original dan dua box buffalo wings crispy, selamat menikmati makanan kami" begitulah cara Audrey memperlakukan pelanggan dengan ramah dan penuh sopan santun disertai seulas senyum yang sejak tadi terpasang diwajah manisnya.Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, puluhan pelanggan yang sejak tadi memenuhi tempat ini kini mulai pergi satu persatu sebab keinginan mereka sudah terpenuhi dengan baik."Hari yang sungguh melelahkan" Audrey meregangkan badannya yang terasa pegal karena harus berdiri sejak tadi untuk menerima pe
Rintik hujan perlahan turun membasahi London. Gemerlap cahaya perkotaan berhasil menyelamatkan kota dari kegelapan yang pekat. Angin berhembus kencang menciptakan udara malam yang semakin dingin. Terlihat seorang gadis duduk meringkuk di depan sebuah restaurant ayam yang hampir tutup. Titik-titik air yang turun membasahi tanah seketika berubah semakin ganas diiringi tangis gadis itu. Sepertinya bumi mengerti betul bagaimana perasaannya saat ini.Seorang pria berpayung hitam mendatangi gadis yang meringkuk itu, ia menekuk kedua lutut tepat dihadapannya guna melindungi sang gadis dari derasnya hujan yang menghantam tubuhnya."Ini bukan salahmu, tenangkan dirimu" ia mengelus pundak gadis itu bermaksud untuk meredakan suara tangis yang terdengar semakin keras."A-ku tidak mau kehilangan pekerjaanku" gadis itu kini mengangkat wajahnya yang penuh dengan air mata, suaranya begitu lirih.Perasaan iba kini muncul di hati pria itu. Melihat seorang perempuan yang me
Suasana sebuah restaurant ayam masih sama seperti hari lalu, begitu ramai dan sesak karena dikerumuni oleh para pelanggan. Hari ini sesuai dengan perjanjian pagi tadi Audrey Dianne tidak diperkenankan lembur dan harus pulang tepat waktu tak peduli seberapa ramai tempat itu. Mr. David benar-benar merupakan bos idaman para pegawai.Jam di dinding kini telah menunjukkan pukul lima sore, itu artinya satu jam kemudian Audrey akan kembali ke rumah dikarenakan waktu kerjanya telah usai. Tetapi pria yang sedang ia tunggu sedari tadi tak kunjung datang sampai saat ini.Tatapan Audrey menyapu setiap sudut ruangan di restauran ayam itu, berharap ia bisa menemukan seseorang yang ia tunggu namun alih-alih menemukannya Audrey justru dikejutkan dengan kedatangan beberapa orang yang membawa sejumlah kamera."Permisi apakah saya bisa mewawancarai anda sebentar saja? Kami dari program acara televisi nasional ingin mewawancarai pemilik restauran ini" ucap seorang wanita yang diket
Seorang gadis cantik yang masih menggunakan seragam kerjanya terlihat begitu menawan, tubuhnya tinggi semampai dengan rambut panjangnya yang diurai begitu saja. Tiap langkahnya disambut oleh segenap tatapan mata ketika memasuki sebuah kedai kopi. Untuk beberapa saat, gadis itu berdiri di dekat pintu masuk sibuk mencari seseorang yang akan ia temui di tengah sekumpulan orang yang sedang menikmati sajian minuman yang mereka pesan. Gadis itu tersenyum ketika akhirnya menemukan orang yang ia cari."Kau menungguku lama, Alberth Galvin?" gadis itu menyapa Alberth."Kau sudah datang? Sebentar, aku akan mengambilkan kursi untukmu" Alberth berinisiatif untuk mengambil kursi tambahan ketika menyadari bahwa ia duduk di meja untuk dua orang saja. Alberth kemudian meletakkan kursi kosong itu persis di sebelahnya.Gadis itu kemudian mengucapkan terima kasih dan duduk berdampingan dengan Alberth dihadapan Audrey. Audrey Dianne menatap gadis di sebelah Alberth dengan tata
Hari sudah berganti baru dan seperti biasa Audrey kembali melakukan rutinitasnya setiap waktu akan menunjukkan pukul sepuluh pagi yaitu berangkat bekerja. Dari kejauhan Audrey melihat teman-teman rekan kerjanya berkumpul dalam satu meja dengan mata berbinar-binar.Suasana akhirnya menjadi benar-benar heboh ketika Audrey memasuki restauran tersebut. Beberapa mengucapkan selamat padanya dan yang lain memuji-muji kecantikan dirinya. Audrey yang terkejut melihat tingkah laku semua pegawai disini hanya memandang dengan tatapan bingung."Kau tak tau Audrey?" salah satu rekan kerjanya bertanya pada Audrey sebab melihat tatapan gadis itu yang seolah bingung dengan semua ini."Wawancara Mr. David kemarin, kau melihatnya di televisi? Ah tidak-tidak, youtube? Instagram? Twitter?" yang lain menimpali, namun pertanyaan runtut tersebut hanya dibalas dengan kata tidak oleh Audrey."Wawancara itu menduduki rating nomer satu dan yang lebih mengejutkan lagi bukan nama Mr.
Angin berhembus pelan menyibak rambut yang menutupi kedua wajah cantik yang kini duduk berdampingan di sebuah kursi taman dekat dengan dengan pusat kota London.Terlihat berbagai pepohonan yang mengitari taman itu mulai menumbuhkan dedaunan pertanda bahwa musim semi akan tiba sebentar lagi. Cuaca London yang biasanya begitu dingin kini terasa kian menghangat entah dikarenakan oleh pergantian musim atau disebabkan oleh wanita menyebalkan yang berada di samping Audrey sekarang.Masing-masing dari mereka membawa segelas coklat hangat ditangan, pengelihatan mereka menyapu pemandangan taman kota yang terlihat begitu sepi sebab musim dingin yang tak kunjung usai."Jika kau tidak jadi membicarakan apapun, aku akan pergi sekarang" Audrey meluruskan lututnya menapak tanah.Melihat gadis disampingnya hendak beranjak pergi, Zoya menarik lengan gadis itu dan menyuruhnya untuk duduk kembali. Pasti Audrey merasa kesal karena sejak tadi Zoya belum berbicara apapun
Sebuah lampu tidur menerangi ruangan sempit yang terlihat begitu sederhana. Seorang gadis duduk diatas kasurnya yang tak terlalu empuk sembari memandangi ponsel yang berada di hadapannya. Ia menunggu kabar dari seseorang yang tak kunjung mengabarinya.Satu jam, dua jam, bahkan sampai tiga jam lamanya pesan yang gadis itu kirim tak kunjung dibaca maupun dibalas. Beberapa menit sekali, gadis itu mengecek ponsel untuk memastikan pesan yang ia kirim barangkali pesan itu tak terkirim karena buruknya jaringan internet, namun berulang kali mau dipastikan bagaimanapun juga tanda yang menunjukkan pesan itu sudah terkirim tak berubah sekalipun.Tak ada pilihan, gadis itu akhirnya membuka satu aplikasi rahasia di ponselnya yang terlihat seperti sebuah peta yang menggambarkan berbagai daerah di Kota London, tetapi ada satu hal yang menarik perhatian, nama Alberth Galvin terpasang di sana. Itu bukanlah aplikasi peta biasa melainkan sebuah aplikasi pelacak.Sepert