"Tentu saja kau harus menikah lagi, mau sampai kapan kau akan bertahan dengan status dudamu. Apa kau tidak ingin memiliki pendamping hidup?" Ibu Megantata mencoba membujuk anaknya.
"Bu, menikah itu bukan sebuah keputusan yang mudah," Megantara menunduk.
"Ibu tau. Kau masih menyimpan penyesalan dan rasa bersalah pada mendiang istrimu bukan?" Ibu duduk di sebelah Megantara.
"Ibu sudah tau, tapi masih saja memaksaku menikah lagi," Megantara tertawa miris.
"Ibu dan ayah yang bersalah. Seandainya dahulu ibu dan ayah tidak bersikeras menjodohkanmu. Kau tidak akan menjalani pernikahan dengan setengah hati. Lalu menyia-nyiakan istri yang begitu tulus dan perhatian padamu," sesal ibu.
"Aku tidak menyalahkan ayah dan ibu. Memang sudah jalan takdirku. Jika ayah dan ibu menyesal, itu artinya kalian juga menyesali keberadaan Sivia," tutur Megantara.
"Tentu saja tidak. Sivia adalah cucu yang sangat kami sayangi,"
"Dia hadiah terindah dari istriku," Megantara mengenang kembali wajah cantik sang istri.
"Maka dari itu, ketika kau merasa bersalah dan menyesal lebih baik kau ingat lagi kondisi Sivia. Apa kau tega membiarkan dia tumbuh tanpa perhatian seorang ibu?"
"Apa perhatianku saja tidak cukup?"
"Kau tidak sadar, perhatianmu itu lebih bersifat kekangan,"
Megantara terkekeh, "Ya, aku seorang ayah yang over protektif."
"Jika kau takut Sivia mendapatkan ibu tiri seperti di film-film, singkirkan pikiran itu. Jika ada gadis yang mencintaimu. Pasti dia juga akan mencintai Sivia,"
"Ibu,"
"Tidak usah terlalu banyak mengelak, perdebatan kita tidak ada habisnya. Intinya adalah. Kau harus mulai membuka hatimu. Kau paham?"
Megantara masih terdiam. Tak menjawab dan tak lagi protes. Sang ibu berjalan meninggalkan Megantara yang akhirnya terhanyut dalam pikirannya.
***
"Waaah. Cantik sekali donatnya," Nalini memuji hasil karya dari salah satu murid di TK. Hari ini dia mulai bekerja sampingan di TK Lentera Ilmu. Tempat dimana sahabatnya juga bekerja di sana. Karena perlengkapan memasak di TK masih terbilang terbatas, maka dii hari pertamanya menjadi guru di kelas memasak Nalini mengajarkan membuat cemilan yang simpel. Dia memperagakan proses pembuatan donat goreng. Dan meminta para murid untuk menghiasnya dengan coklat glaze dan beberapa toping sesuai dengan kreativitas murid. Anak-anak yang berusia lima tahun itu terlihat sangat antusias mengikuti arahan dari Nalini, termasuk Sivia. Sedari tadi dia asyik memperhatikan Nalini, lalu menghias donatnya sedemikian rupa.
Nalini berulang kali mengecek jam di tangannya. Dia tiba-tiba gelisah karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, dia harus segera pergi ke suatu tempat jika ia tidak ingin terlambat.
"Lin, cooking class hari ini sukses besar. Anak-anak terlihat sangat senang" puji Sandra saat mengamati suasana kelas.
"San, bolehkah aku meminta bantuanmu? Aku buru-buru karena harus pergi ke suatu tempat. Maukah kau membantuku membereskan semuanya dan melanjutkan kelas sampai semua pulang?" Nalini merasa bersyukud dengan kemunculan Sandra.
"Mau kemana kau? Ini hari pertamamu. Kau tidak takut dimarahi oleh ibu kepala? Kesan pertamamu kemarin saja tergolong buruk,"
"Bagaimana ini? Aku bingung. Tapi ini kesempatan emas. Tadi malam aku mendapatkan info lowongan pekerjaan koki di hotel. Aku langsung mengirimkan cv melalui email dan ternyata seleksinya hari ini, aku mohon bantu aku," Nalini terdengar gugup.
"Mendadak sekali. Tapi baiklah. Kau cepatlah pergi," Sandra selalu tak tega dengan sahabatnya satu itu.
"Terima kasih, Sandra. Aku pasti akan membalas kebaikanmu," Nalini langsung melepas apron di tubuhnya lalu menyambar tas dan segera berlari meninggalkan kelas. Sandra mencoba menyunggingkan senyum ke arah anak-anak yang menatap kepergian Nalini dengan bingung.
Nalini mempercepat langkahnya. Dia baru saja turun dari taksi. Perjalanan dari TK menuju hotel memakan waktu yang cukup lama. Dan kini jam menunjukkan pukul setengah dua belas. Dia sudah terlambat setengah jam. Apakah dia akan diterima untuk sekedar mengikuti seleksi?
Memasuki hotel megah membuat Nalini gugup. Dia membulatkan tekadnya, di sini tidak ada yang tau mengenai masalalu dan skandalnya. Jadi dia harus percaya diri dan percaya pada kemampuannya. Dia bertanya pada resepsionis terkait tempat seleksi chef yang ternyata terletak pada lantai paling atas hotel dimana restoran hotel berada. Dia langsung menuju ke lift dan jantungnya berdetak semakin kencang.
Nasib baik masih berpihak padanya, kepala koki yang menjadi salah satu juri tetap memberikan kesempatan pada Nalini untuk ikut serta dalam seleksi. Meskipun tak ada tambahan waktu dalam mengerjakan misi dan juga sudah mendapatkan nilai minus karena kedisiplinan juga dinilai.
"Misi untuk seleksi kali ini adalah membuat 3 menu yang meliputi appetizer dengan berbahan dasar keju, main course dengan bahan dasar seafood dan dessert dengan bahan dasar buah. Kau tidak mempunyai tambahan waktu. Jika yang lain mendapatkan waktu 2 jam untuk mengerjakannya. Kau sudah kehilangan 30 menit pertama,"
"Siap Chef," jawab Nalini dengan lantang.
Tanpa berpikir panjang Nalini segera menjalankan misinya. Dia harus berpikir cepat. Menu apa yang paling efisien dan mudah pembuatannya tapi tetap spesial baik rasa maupun penyajiannya.
Dia segera mengambil bahan-bahan makanan yang ada di pikirannya dan mulai mengerahkan segenap kemampuan dan ketrampilan tangannya dalam menyajikan makanan dengan cepat. Tiga menu berhasil dia selesaikan tepat waktu. Mozarella crispy stick sebagai makanan pembuka, spagetty marinara atau spagetty seafood sebagai menu utama dan strawberry mousse sebagai hidangan penutup. Dia tidak tau apakah hasil karyanya bisa memuaskan para juri karena jujur persiapannya begitu mendadak. Jadi dia tidak menciptakan menu baru melainkan menghasilkan menu yang sudah ada namun dengan citarasanya.
"Penilaian sebetulnya akan dilakukan secara transparan saat ini juga. Namun dikarenakan salah satu juri belum juga hadir. Maka hasil dari penilaian tidak bisa kami sampaikan hari ini. Pengumuman tentang siapa yang menjadi pemenang dan sekaligus diterima bekerja di sini akan kami kirimkan lewat email. Cek email kalian setiap pagi,"
Dua juri sudah selesai mencicipi seluruh masakan dari 30 peserta yang hadir. Setelah itu para peserta di persilakan untuk pulang dan menunggu keputusan. Nalini berdoa dalam hati semoga Tuhan menggerakkan hati para juri untuk memilihnya. Meskipun hasil makanan dari peserta lainpun sangat menakjubkan dan tidak bisa dianggap remeh.
***
Megantara baru saja duduk di kursi kerjanya. Dia mengendorkan ikatan dasinya dan menghela nafas lelah. Dia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya dan memejamkan mata. Belum ada lima menit, sudah ada suara ketukan pintu.
"Masuklah," perintah Megantara.
Seseorang dengan pakaian koki masuk ke ruangan Megantara dan berjalan mendekat.
"Pak, seleksi hari ini sudah selesai. Saya harap Anda bersedia untuk memberikan penilaian meskipun terlambat,"
"Baiklah, tapi jangan semuanya. Berikan aku tiga kandidat yang menurut juri lain memiliki nilai teratas. Aku akan menentukan pilihanku dari ketiga kandidat itu,"
Sang chef tersenyum, "Saya sudah mengira-ngiranya dan ternyata perkiraan saya tepat. Saya hanya membawakan 3 paket menu makanan yang menurut kami pantas untuk Anda coba".
Megantara memandang tampilan makanan yang ada di depannya. Dia pesimis bisa menilai secara objektif. Selama beberapa tahun ketika pemilihan chef, dia hanya menilai dengan melihat tampilan makanannya saja. Baginya semua makanan di mulutnya memiliki rasa yang sama saja alias hambar. Sudah sejak lama dia kehilangan selera makannya. Dia hanya makan karena memenuhi kebutuhan saja, bukan karena dia ingin dan bernafsu.
Tapi untuk menghormati kerja keras para koki, dia mulai memasukkan satu persatu makanan itu ke dalam mulutnya. Dan ketika dia mencicipi salah satu makanan yang tersaji, tubuhnya mematung. Pandangannya kabur karena bulir air menggenangi matanya. Dia mengunyah makanan itu dan menelannya perlahan.
"Pak, apakah Anda baik-baik saja?" tanya sang chef cemas melihat kondisi bosnya.
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N