Mila mendatangi sosok Radit yang sedang duduk termenung di teras. Wanita muda ini membawakan kopi hitam dan singkong goreng untuknya."Silakan Pak," kata Mila kemudian meletakkan di meja teras.Radit yang sedang duduk termenung pun menoleh ke arah Mila yang tiba-tiba datang dan sedikit terkejut."Kamu buat ini?" tanya Radit."Iya, Pak, dimakan ya!"Radit mengangguk, kemudian kembali merenung. Mengingat apa yang terjadi belakangan ini.Meskipun sebenarnya ia sudah melepaskan Naura, tapi sepertinya masih belum bisa melupakan wanita yang pernah berbagi cinta dengannya. Wajar saja, hubungan yang mereka bina sudah berlangsung sangat lama.Ia hanya tak mengira kalau pernikahannya kalah oleh sebuah pengkhianatan. Namun Radit tak bisa sepenuhnya menyalahkan Naura. Sebagai suami ia sudah gagal dalam mendidik dan membahagiakan sang istri.Kondisi mani encer yang dialaminya membuat Radit merasa rendah diri. Bahkan ia merasa takut untuk berumah tangga lagi. Takut tak bisa membahagiakan pasangannya
“Ini saja Bu yang mau dibeli?” tanya Mila sambil memperhatikan catatan yang diberikan oleh Bu Wuri. Barusan ibunya Radit mengatakan pada Mila kalau hari ini adalah ulang tahun Radit, dan beliau bermaksud untuk membuat masakan kesuakaan Radit.“Iya itu aja, ini uangnya buat belanja dan ongkos kamu. Pasarnya lumayan jauh, kamu naik becak atau ojek pangkalan aja, manggilnya dari depan gang situ!” ucap Bu Wuri sambil menyerahkan tiga lembar uang seratus ribu dan dua lembar 20 puluh ribuan.“Iya Bu, saya berangkat dulu. Assalamualaikum,” pamitnya kemudian berjalan menuju pangkalan ojek.“Perlu ditunggu nggak Neng?” sapa tukang ojek pada Mila begitu ia turun dan menyerahkan uang pada laki-laki itu.Mila menggeleng, “Nggak usah, nanti saya biar panggil dari sini saja.” Beruntung Mila mendapatkan tukang ojek paruh baya sehingga sikapnya masih lebih sopan dan profesional, tidak mencuri-curi pandang ke arahnya sama sekali.Mila menatap lurus ke depan dan mencoba untuk membelah kerumunan yang pe
Seketika suasana yang ricuh pun berubah hening saat mendengar seseorang meminta mereka berhenti. Tentu saja semuanya ingin tahu siapa yang berani menghentikan kesenangan mereaka saat ini.Mila masih saja duduk di posisinya, ia seperti membeku dan air mata mengalir di wajahnya. Sekarang ia pun terkejut saat melihat kehadiran Pak Radit yang tiba-tiba datang seperti sorang ksatria yang mengenakan pakaian zirah. Bibirnya pun bergetar mengucapkan nama Radit, dan ini membuatnya tahu kalau saat ini hanya Pak Radit saja yang peduli kepadanya.“Ada apa ini?” tanya Radit tiba-tiba sambil melangkah mendekati Mila. Namun tak seorang pun bersedia untuk menjawab. Sampai akhirnya Jihan pun mulai angkat suara, “Oh jadi ini laki-laki yang kamu rebut dari istrinya. Wah hebat banget kamu Mila, sampai bikin laki-laki ini datang menyusul kamu!” seru Jihan, dan saat itulah kerumunan mulai terprovokasi dan nyaris untuk membuat keributan.“Ini laki-laki yang tidak bisa setia pada istri!”“Eh kamu malah senan
Jihan dan Ismi duduk di atas motor bebeknya, mereka berdua tampak kesal kali ini gara-gara kejadian barusan. “Coba aja nggak ada laki-laki itu, udah aku pites si Mila,” omel Jihan sambil memukul setang motornya.Ismi yang ada di belakangnya pun tak kalah kesal, “Aku heran itu anak kenapa sih selalu saja selamat. Dia itu belagu banget tahu nggak, bisa-bisanya merebut perhatian para customer dan juga pak Bos. Mentang-mentang cantik, putih mulus gampang banget cari muka!”Jihan menoleh ke arah temannya dan berkata, “Kecantikannya dijadiin kedok, sikapnya aja sok polos padahal sebenarnya dia itu brengsek. Kita nggak bisa tinggal diam, dia harus tahu pernah berurusan dengan siapa sekarang.”Sesaat kemudian Jihan dan Ismi sama-sama saling pandang, seperti menemukan sebuah ide secara tiba-tiba. “Kita harus mengikuti mereka supaya tahu dimana Mila tinggal!” mereka berdua mengatakan hal itu secara bersamaan.Tanpa menunggu lama, keduanya pun langsung mengambil helm dan memasangnya. Baru saja m
Wanita paruh baya itu menerima kiriman surat untuk Naura siang tadi. Logo pengadilan agama terpampang jelas dan juga nama putrinya. Tanpa ragu, Wanita itu pun langsung membuka amplop, tak peduli kalau surat itu bukanlah untuknya.Alangkah terkejutnya wanita ini saat mendapati putusan perceraian putrinya secara vertex. Wajah wanita bertubuh tambun itu pun mulai memerah, tak terima anaknya diperlakukan secara tidak adil."Awas kamu Radit!" batinnya sambil melemparkan surat putusan perceraian untuk putrinya. Kemudian menunggu sampai Naura pulang ke rumah dan membahas rencana selanjutnya.Suaminya, Pak Rustam muncul dari depan rumah, setelah asyik mengurus tanaman hias di halamannya. Kegiatan yang biasa dilakukan oleh para pensiunan.Mendapati wanita yang telah dinikahi selama puluhan tahun tengah bermuram durja, beliau pun datang mendekat. Sudah pasti, ingin memberikan dukungan ataupun menjadi teman bicara."Kenapa Ma, kok kelihatan sedih begitu?" tanyanya sambil mengambil tempat di sisi
Bayi Kinanthi tak henti-hentinya menangis. Membuat sang Ibu tampak panik, sampai-sampai tak ada kesempatan baginya untuk mengerjakan tugas menemani Bu Wuri."Sayang, kenapa sayang, Bunda nggak akan pergi lagi kok," bisiknya sambil mengayun-ayunkan bayi mungilnya dalam gendongan.Bu Wuri yang mendengar tangisan si kecil pun mengetuk kamar yang ditempati Mila. Kamar yang memang disiapkan untuk tamu yang menginap."Kinan nangis terus to Nduk*?" tanya Bu Wuri setelah membuka pintu kamar Mila."Iya ini Bu, nggak tahu kenapa kok nangis terus, padahal bajunya sudah saya ganti, sudah saya kasih susu tapi kok masih nangis," jawab Mila masih menggendong bayinya."Sini coba sama Ibu," jawab Bu Wuri kemudian menggendong Kinanthi.Bayi itu masih terus menangis, kemudian wanita lansia itu meminta Mila mengambil termometer untuk memeriksa suhu tubuh Kinanthi. Segera saja wanita itu membaringkan Kinanthi di atas ranjang, meraba dahinya dan meletakkan termometer dalam ketiak. Membiarkan pengukur suh
Permintaan yang diungkapkan oleh Ibu terasa mengganggu Radit. Tak hentinya, pria bertubuh tinggi itu memikirkan apa yang diminta oleh sang Ibu untuk menikah dengan Mila. Rumah tangganya baru saja gagal, dan untuk menikah lagi sepertinya ia masih trauma. Bahkan hingga saat ini, ia belum juga memutuskan akan menikah lagi atau tidak.Melihat kegundahan Radit, ibu pun tersenyum lalu berkata, "Mila itu anak baik, Ibu percaya dia bisa menghargai dan menghormati kamu sebagai seorang suami.”Radit hanya menghembuskan napas dan tak menjawab pertanyaan Ibunya. Membiarkan wanita yang telah melahirkannya ini mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran, lagipula sampai sekarang ia masih malas memikirkan perihal pernikahan.Namun jika melawan ibu, tentu ia takut dicap durhaka. Sudahlah lebih baik dengarkan saja, toh ibu hanya mengungkapkan pendapatnya."Ibu sudah lama memperhatikan kalian. Dia itu sangat sabar dan bertanggung jawab. Bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan buat kita sehingga kamu nggak pe
Pagi ini seperti biasa Mila tengah menata piring begitu Radit keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi. Pria itu terlihat tergesa-gesa, seperti ada yang harus segera diselesaikan.Hari ini akan datang tamu dari dinas pariwisata ke restorannya. Mereka akan melakukan penilaian terhadap restoran milik Radit. Tentu saja sebagai pemilik harus menyiapkan segala sesuatunya.Aroma kopi hitam buatan Mila sepertinya susah untuk ditolak. Membuat Radit yang rencananya langsung berangkat ke restoran terpaksa mampir untuk memanjakan lidahnya sebelum akhirnya berangkat."Bapak nggak sarapan dulu?" tegur Mila yang mengetahui Radit hanya menyeruput sedikit kopi kemudian bersiap berangkat."Saya ada urusan pagi ini Mil, nggak bisa ditunda,” jawabnya dingin."Kalau begitu biar saya bungkuskan rotinya ya Pak,” tawar Mila.Tanpa diminta, Ibu muda itu pun melangkah ke dapur dan mengambil kotak bekal. Kemudian dengan cekatan Mila menyiapkan roti lapis dengan isian daging asap, keju dan juga selada.Radit