Share

7. My Mafia

Happy reading 

*** 

Hari senin menjadi hari yang paling dibenci Nadira, bangun pagi dan tentu saja ikut upacara bendera. 

Sekalipun malas, gadis yang hanya memakai topi tanpa dasi tersebut tetap dengan percaya diri berdiri di barisan kedua paling depan, lolos dari rajiah lengkap berseragam. 

Upacara tengah berlangsung, setiap sesi sudah di mulai ketika Nadira merasa kakinya terasa lelah, sesekali gadis itu akan menghentak-hentakkan kakinya kesal, menggerutu saat kepala sekolah di depan sana tak kunjung menyelesaikan pidatonya. 

"Sebagai generasi bangsa, sudah selayaknya kalian mempertahankan sikap-sikap teladan, baik sikap di sekolah, di rumah atau di masyarakat. Apa saja salah satu contohnya? misalnya di sekolah, mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan." 

"Nyenyenye," lirih Nadira kesal. 

"Dan masalah prestasi ...." 

Nadira sudah muak, kesal mendengar hal yang sama. 

"Tuh kepala sekolah engga capek kali ya? Perasaan itu mulu yang dibahas," decaknya tidak suka. 

"Diem, Dir!" Nindia menegur di sampingnya, di balas bibir manyun oleh Nadira. 

Menunduk, gadis itu membuat pola pada lantai di bawah kakinya, menggunakan ujung sepatu, menggerutu bertubi-tubi hingga ekor matanya melihat siluet seorang guru berjalan ke depan barisan bersama satu orang murid laki-laki. 

Nadira mendongak, menyipit untuk memastikan siapa cowok yang terlihat familliar itu. 

Matanya berbinar ketika tahu siapa cowok itu. 

"My mafia?!" pekiknya tanpa bisa dicegah. Semua mata lantas menoleh ke arahnya tajam. Tengah khusuh mendenger pidato kepala sekolah dengan tidak iklas, gadis itu malah dengan berani mengganggu. 

"Suara siapa itu?" suara kepala sekolah terdengar, menatap tajam ribuan anak muridnya. 

Di tempatnya, Nadira meronta, Nindia tengah membekap mulutnya dengan mata yang melotot. 

"Hmmpptt." 

"Diem, Dir. Lu mau digantung?" bisik Nindia, rasanya Nindia ingin membuang Nadira ke dunia lain. 

"Hmmmppppttt." Nadira menatap Nindia kesal, dia tidak suka di sentuh, tapi Nindia itu baik, tidak mungkin menyakitinya, tapi dia ingin gadis itu melepaskan dirinya. 

"Siapa yang tadi berteriak? Cepat mengaku!" di depan sana kepala sekolah kembali bersuara, pria itu terlihat sekali sangat kesal, bagaimana tidak kesal, dia baru saja melupakan bait terakhir pidatonya. 

"Hmmmppp." Nadira menatap tajam, kesal sekali, ingin berbicara malah terdengar tidak jelas. 

"Gua lepas, tapi diem!" tawar Nindia yang langsung diangguki cepat oleh Nadira. 

Namanya juga Nadira suka melanggar peraturan, sedetik kemudian tanganya terangkat penuh semangat. 

"Pak, saya, di sini," teriaknya penuh semangat. 

Semua orang berdecak dan tak habis  pikir akan jalan pikiran gadis itu, bagaimana mungkin ada manusia jenis Nadira, bukannya memilih diam agar tak dapat pidato tambahan dan hukuman, gadis itu malah menambah masalah untuk dirinya sendiri. 

"Coba maju sini, saya mau lihat muka kamu," titah kepala sekolah di depan sana. 

Nadira tentu saja dengan ceria dan sepenuh hati melaksanakan perintah kepala sekolah, Nindia di sampingnya menggeleng ketika Nadira berbalik ke arahnya hanya untuk sekedar memberi ciuman jarak jauh. 

Si anjir. 

Berlari kecil, gadis itu berdiri tepat di samping cowok yang membuatnya berteriak. Matanya berbinar-binar, andai ini dunia komik, maka kalian akan melihat lope-lope dikedua mata Nadira. 

"Siapa namamu?" tanya kepala sekolah, menarik atensi Nadira. 

"Nadira, Pak." 

"Nama lengkap?" 

"Nadira Anjani Armaleo." 

Kepala sekolah diam untuk waktu yang lama, semua murid dan guru melongo dan menatap Nadira tidak percaya. 

Siapa yang tidak mengenal nama Armaleo, nama perusahaan terkenal di seluruh indonesia, perusahaan yang berkerja di berbagai bidang, dunia menyebutnya, siserakah yang menguntungkan. 

"Yakin kamu dari keluarga Armaleo?" kepala sekolah bertanya ragu, pasalnya dia tidak tahu, yang mengurus semua data siswa adalah wakilnya dan tata usaha, sayangnya kedua orang itu hari ini sedang tidak hadir. 

Nadira yang mendengar itu menyebik, matanya menatap terluka kepala sekolah. 

"Bapak meragukan identitas saya?" tanyanya dramatis. 

"Bukan begitu ...." 

"Huaaa bapak jahat, adek tuh enggak bisa diginiin, adek bakal bilang ke ayah Arga," putusnya sengaja. 

Kepala sekolah gelagapan, berita lainnya, sekolah ini sepenuhnya ada di bawah naungan perusahan Armaleo. 

Pak Arga memang pernah berkata salah satu penerus keluarganya bersekolah di sini, tapi tidak pernah berkata kalau penerusnya itu adalah seorang gadis dan tidak pernah memberitahukan namanya. 

Dan ajaibnya nama murid yang setiap hari dia dengar pembuat masalah, adalah putri keluarga Armaleo? Wah, mati dah saya, pekik kepala sekolah tersebut dalam hati. 

"Lupakan soal itu, berdiri di situ dan nanti ikut saya ke ruangan saya, dan kamu, Arjuna Narayan Bagaskara? Kamu tidak capek membuat ulah? Sudah berapa kali kamu melanggar peraturan?" 

"Alay." 

"Apa katamu, Arya?" 

"Ck, alay pak, alay." 

Di tempatnya Nadira melongo, antara kagum dan kaget bahwa cowok yang dia yakini mafia itu sangat berani menyahuti kepala sekolah. 

Murid lain juga melakukan hal yang sama, melongo di tempat. Pasalnya mereka baru melihat cowok itu hari ini, dan dengan beraninya berkata seperti itu. 

Wah, gila! 

"Ck dasar kamu ... berdiri di situ." setelahnya kepala sekolah melanjutkan sesi terakhir pidatonya ketika mendengar suara-suara semua murid yang mulai merasa jengah. 

*** 

Di rungan kepala sekolah. Layaknya perangko yang dilem, Nadira dengan semangat dan tidak tahu malunya mengikuti setiap gerak Arya. Gadis itu bahkan tidak memperdulikan bagaimana wajah datar dan tidak sukanya cowok itu ketika menatap dirinya. 

"Kalian ini kenapa sih? Kalian berdua anak orang berpengaruh di tanah air, seharusnya kalian menjaga nama baik keluarga kalian, bukan malah begini," pak Ridwan, selaku kepala sekolah tengah memulai sesi pidato tambahannya. 

Nadira tentu saja tidak mendengarkan, gadis itu asik berbisik di samping Arya. 

"My mafia, jadi nama lu Arya? Coba kasih tau gua, lu dari mafia bagian mana? Siapa aja anak buah lu, kapan-kapan bawa gua ke markas lu, dong," rengeknya berbisik, senyumnya lebar, berbanding terbalik dengan Arya yang yang melirik tajam dirinya di sela mendengar kalimat membosangkan pak Ridwan. 

"Nadira!" sentak pak Ridwan tidak suka, tenggorokannya sudah kering tapi gadis itu justru tidak mendengarkan dirinya? Sangat tidak sopan. 

"Eh, iya pak, saya di sini," jawab Nadira dengan senyum yang makin lebar. Pak Ridwan bahkan meringis, takut bibir itu akan robek tiba-tiba. 

"Kamu dengar apa yang saya katakan?" 

"Eumm, emang bapak ada ngomong?" tanya Nadira balik. Tanggannya menggaruk kecil bawa dagunya, matanya menatap polos dan bingung pada pak Ridwan. 

"Saya sepertinya harus memanggil ayah kamu," ucap pak Ridwan. Bukannya takut, Nadira justru mengangguk setuju, tanganya dengan cekatan mengambil ponsel di saku rok. 

"Nih pak, telpon pake hp saya aja, soalnya sesibuk apapun ayah kalau anak-anaknya yang nelpon bakal langsung diangkat," tuturnya membuat pak Ridwan sakit kepala tiba-tiba. Niat ingin mengancam gadis itu, malah seperti ini. 

"Simpen aja hpmu." 

"Loh kenapa, Pak?" 

"Enggak jadi aja." 

"Kok enggak jadi?" 

"Lupakan." 

Arya hanya duduk tenang, matanya menatap jengah perdebatan tidak bermutu di depannya. Sesekali dia akan menerka-nerka bagaimana tabiat gadis bernama Nadira itu. 

My mafia? Ck, apa-apaan nama itu? Sejak kapan dia jadi mafia?-- pikirnya tidak habis pikir. 

"Dan kamu, Arya?" tanya pak Ridwan. Arya melongos, berdiri dari duduknya. 

"Berisik," katanya lalu keluar bagitu saja, tidak peduli dengan namanya yang dipanggil. 

"Kamu mau ke mana?" Nadira yang hendak ikut keluar kembali duduk dan menatap pak Ridwan kesal. 

"Mau ngejalanin misi rahasia pak, ada banyak pertanyaan yang harus saya tanyakan pada tuh cowok," jelasnya dengan sumringah. 

"Si Arya?" 

"Betul, Pak." 

"Misi apa?" 

"Kepo." 

Pak Ridwan tiba-tiba memikirkan perasaan guru lain yang mengeluh dengan sikap Nadira. 

Jadi begini rasanya, keluhnya dalam hati. 

"Pak, tadi si Arya itu kelas berapa? Murid di sini 'kan?" tanyanya dengan tangan yang dilipat di atas meja, matanya menatap penuh harap pak Ridwan, layaknya anak kucing yang meminta untuk dielus kepalanya. 

Pak Ridwan menggeleng lalu menggaguk. "Iya, dia murid di sekolah ini, kelas sebelas ips 3, kenapa?" tanya kepala sekolah tersebut usai menjelaskan. 

Mata Nadira berbinar, semangat dalam dirinya berkobar. Lantas dengan tidak sopannya menggebrak meja. 

"Uhuuuyyy, makaseh bapak ganteng tapi lebih ganteng ayah Arga, saya keluar dulu, assalamulaikum," katanya pamit, mencium tangan kepala sekolah lalu pergi begitu saja. 

Pak Ridwan yang baru sadar setelah lima detik kepergian Nadira mengusap dada sabar, tidak habis pikir dengan pola pikir keturunan Armaleo tersebut. 

"Semoga saya tidak mati karena serangan jantung dalam waktu dekat ini, ya tuhan," doanya meneguk air putih di atas mejanya. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status