Share

8. Arya

Happy reading 

*** 

["Kali ini apa lagi alasanmu ikut tauran, Arya?!"] Suara bentakan dari sebrang sana dibalas hening. 

["Jangan malu-maluin keluarga ya kamu!! Kamu saya sekolahkan bukan untuk jadi seorang pembuat onar, mengerti kamu?!"] Lagi, suara bentakan terdengar. 

["Arjuna Narayan Bagaskara, kamu dengar atau tidak, hah?!!" ] 

Dengusan terdengar. "Udah?" tanyanya datar, suara dengusan kasar di sebrang sana membuat kekehan hambar meluncur dari bibirnya. "Kalau udah, saya tutup." 

["HEH, ANAK KUR---"] 

klik! 

"Berisik," dengusnya memasukan ponsel ke dalam saku celana abu-abunya. 

Seperti yang kalian dengar, namanya Arjuna Narayan Bagaskara. Entah dari mana nama itu di ambil dan apa alasannya, Arya tidak tahu. Setahunya dua nama di depan nama kebesaran ayahnya adalah nama pemain film india. Mungkin ayah atau ibunya adalah penikmat film tersebut, atau entahlah, pikirnya. 

Berbicara tentang ibu. Arya jelas menolak ide tersebut. Hal terakhir yang ingin dia bahas adalah perihal wanita yang melahirkannya. Entah bagaimana rasanya belaian tangan seorang ibu. 

Senyum miris Arya tercipta. 

Dia punya segalanya; uang, kekuasaan yang dia peroleh dengan kerja kerasnya sendiri. Namun, siapa yang menyangka bahwa ketidak-adaannya hanya satu, tidak memiliki keluarga lengkap dan kasih sayang yang berlimpah. 

Arya adalah anak yang tidak diinginkan semenjak--- lupakan saja, Arya tidak ingin membahasnya. 

"Di sini ternyata." 

Arya menoleh, hanya satu detik, setelahnya kembali menatap lebatnya dedaunan di atasnya. Dia tengah berbaring dengan posisi telentang ketika sosok yang menemukannya mulai duduk di sampingnya dengan satu plastik berisi makanan. 

"Ke mana aja lu satu minggu ini enggak masuk? Gue denger lu ikut tauran, bener?" 

Dengusan kembali terdengar, Arya melirik jengah sosok cowok yang sialnya adalah sahabatnya itu, Lingga. 

"Berisik lu,"cetusnya memejamkan mata. 

Lingga merotasikan matanya. "Makan lu njir, si Kenzo udah kek cewek tau enggak nyuruh-nyuruh gua buat beliin lu makanan. Curiga gua kalau lu berdua ada main di belakang." 

Arya bangun dari berbaringnya, meraih plastik yang dibawa Lingga lalu mulai menyantap makanannya. 

Kenzo adalah salah satu sahabatnya juga, mungkin juga lebih. 

"Tuh kan, bener. Lu ada hubungan ya sama Kenzo?" tuduh Lingga bertanya,  menatap penuh selidik cowok di depannya. 

Arya hanya mengabaikan Lingga, membuat Lingga berdecak dan ngomel-ngomel. 

"Minumnya?" tanya Arya menatap datar Lingga yang datang tanpa membawa minuman. 

Lingga yang sadar bahwa dirinya tak membawa air, menyengir. "Lupa," katanya. 

"Sana beliin!" titah Arya. Melempar dompet hitamnya pada Lingga. 

"Wihh anak sultan mah beda, ya," ujar Lingga reflek ketika melihat tebalnya dompet ditangannya. 

"Sana," usir Arya. Tidak tahukah Lingga bahwa makan tanpa minum itu meresahkan. 

"Siap bos," jawab Lingga dan berdiri kemudian melangkah untuk menjauh. 

Setelah kepergian Lingga, Arya kembali memakan nasi goreng di depannya. Keheningan menemani cowok itu, sudah biasa. 

Drrttt! 

Getaran di saku celana menghentikan acara makannya, Arya berdecak namun tak urung meronggoh benda pipih tersebut dan membuka satu pesan dari teman satu gengnya, Deon. 

Selesai membalas pesan singkat itu, Arya kembali mamasukan ponselnya. Kembali melanjutkan makannya. 

Tak lama, Lingga datang membawa air mineral dan satu plasik hitam berisi makanan ringan untuk dirinya sendiri dan tentu saja di bayar menggunakan uang Arya. 

"Nih," kata Lingga menyodorkan air mineral yang dia beli. 

Arya menerima air tersebut, meneguknya. 

"Ar, si Nadira nyari lu noh, " ucapnya setelah duduk di samping Arya. Dia baru saja dari kantin dan hendak ke kelas untuk mengambil buku komiknya ketika dia melihat Nadira bertanya dan mencari Arya. 

Nadira? Oh, gadis yang memanggilnya mafia itu ya?-- pikir Arya. 

"Hmm," balasnya tak tertarik. 

Lingga menatap sekilas Arya di sampingnya sebelum akhirnya mengangkat bahu acuh. Terserahlah, bukan urusan gue, pikirnya masa bodoh. 

** 

Siang itu Arya kembali tak masuk kelas, kembali membuat guru yang mengajar di kelasnya, berdecak. Mengeluh pada kepala sekolah atas ketidak hadiran Arya. 

Sedangkan Arya tengah berdiri memimpin sekumpulan remaja yang saling berhadapan dengan sekelompok geng motor lain, salah satu geng motor yang dikenal berbahaya di ibu kota. 

Wajah datar serta tatapan dinginnya terarah pada satu cowok tinggi yang memegang tongkat besi di depan sana. Arya bukan tipe orang yang akan menerima alasan tidak berguna untuk sekedar mengeluarkan tenaganya. 

"Ada apa?" tanya Arya membuka suara, keheningan yang sadari tadi tercipta buyar kala suara dingin darinya meluncur di udara. 

"Lu semua pasti udah tau alasannya." Samson, ketua geng Alderman menatap bengis pada salah satu anggota geng di depannya. 

Geng Hillbillies, dia jelas tahu geng tersebut, geng berkuasa di jalanan, jangankan untuk mengetahui cara mereka membunuh yang kejam, hanya melihat tatapan tajam dari ketua geng tersebut sudah membuat persendian melemah. 

Namun, Samson tidak takut, begitupun para anggotanya. Aldarmen bukan geng abal-abalan yang dia buat dua tahun lalu, bukan juga geng biasa, orang-orangnya juga bukan orang-orang biasa, dan Samsom yakin mereka akan imbang. 

Namun, bukan karena pertumpahan darah yang dia inginkan, Samson menginginkan kepuasan untuk balas dendam. 

Di tempatnya, Arya melirik tajam wakilnya, Deon. Meminta penjelasan, kerena dia benar-benar tidak tahu apa-apa selain pesan singkat yang di kirim Deon tadi pagi. 

Deon 

[Geng Aldarmen ngajak tauran besar-besaran.] 

"Gue juga baru tau sekarang, Ar. Kalau  beberapa anggota kita ngeroyok salah satu anggota Aldarmen sampe koma." Deon berucap ragu, mundur selangkah saat tangan dan udara di sekitarnya berubah. 

Menoleh dengan tatapan tak terbaca, Arya mendesis. 

Sialan. 

Selama ini Arya tak pernah menyuruh anggotanya untuk mencari alasan tanpa sebab, tapi beberapa hari ini dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi? Sial. 

"Terus mau lu apa?" tanya itu mengalun dalam, memberi efek pada udara di sekitarnya. 

Sekarang Arya harus mengurus lawan di depannya, persetan. Untuk anggotanya yang membuat masalah, nanti akan dia urus, mereka harus mendapat ganjaran yang setimpal dengan apa yang mereka lakukan. 

"Nyawa harus dibayar dengan nyawa," ucapan Samsom terdengar menggelegar. Jelas terdengar emosi, siapa yang tidak akan marah jika satu anggotamu di kroyok tanpa alasan yang kalian tahu? 

"Ya, nyawa harus dibayar nyawa." 

"Dendam harus terbalaskan." 

"Tak ada ampun." 

Arya menelisik gerombolan musuh di depannya, kata Aldarmen yang artinya anjing gila memang pantas di sematkan pada mereka. Emosi yang Arya lihat di depannya menunjukan dengan jelas apa yang mereka rasakan. Senyum miringnya tertarik, adrenalinnya memacu lebih laju, memberi efek yang luar biasa. Arya tiba-tiba menginginkan darah. 

"Sesuai perintah." seusai ucapan Arya, udara memadat, langit seakan mendukung suasana yang mencekam dengan mendung yang menyelimuti. 

Samsom mangangguk dengan seringai di wajahnya, hari ini balas dendamnya akan terbalaskan. 

"SERANG!!" 

Dua kubu itu akhirnya saling menerjang, perkelahian luar biasa sengit terjadi di bawah gelapnya warna langit. Hari itu adalah hari yang akan di ingat oleh masing-masing anggota, hari di mana dua geng paling berbahaya bersiteru. 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status