"Maafkan, Aini. Aku capek. Lain kali saja," tolak Afwan perlahan, merenggangkan pelukan Aini di tubuhnya. Wajah tampannya sedikit ditarik saat Aini berusaha mengecupnya.
"Terus kapan, Mas? Aku rindu." Aini bangkit dari tempat tidur dan menggigit bibir dengan rasa kecewa yang dalam. Aini menyibak rambut yang menutupi kening dan separuh matanya. Sebelum tidur Aini sengaja menggeraikan rambut. Saat perempuan itu menyibaknya, tak terasa ujung jarinya menyentuh sesuatu yang hangat di kelopak matanya.
Aini menangis. Betulkah? Serapuh inikah? Aini perlahan bangkit dengan langkah gontai menuju cermin. Menatap wajahnya yang kini berurai air mata.
Lama Aini menatap wajah yang kini akrab dengan kesunyian dan kesendirian. Wajah yang akrab dengan kesepian dan rasa hampa. Rasa yang perlahan menggerogoti jiwanya.
Mas, sampai kapan aku memeluk malam ini dengan hampa dan terluka? Sampai kapan kau selalu bilang lelah dan capek? Sampai kapan aku sanggup bertahan, bahkan di saat aku tak lagi tahu kapan terakhir kau menyentuhku? Aini merintih dalam hati. Sejuta tanya berkecamuk memenuhi kepalanya.
Aini kembali menyibak rambutnya. Meredakan sejuta kesedihan yang berkecamuk di hatinya, sekilas dia melirik wajah Afwan yang masih terlelap. Dengkur halusnya mengatakan kalau laki-laki itu tidak merasakan apa yang dia rasakan.
Afwan tidak rindu. Afwan tidak menginginkan hal apapun dari dirinya malam ini dan entah sampai kapan dan dengan alasan yang tidak Aini mengerti. Sikap dinginnya tak sebanding dengan sikap manisnya. Duh.Afwan adalah laki-laki sempurna. Tampan, mapan dan penyayang. Tak sekalipun dia bertindak menyakitkan. Tatapan matanya menghanyutkan dan senyumnya selalu lembut setiap mereka bersama. Kecupan hangatnya tak pernah absen setiap dia pergi berangkat kerja ataupun kembali.
Tapi mengapa dia tidak pernah menyentuhku? Apa aku tidak lagi cantik dan menarik? Jerit hati Arini perih. Apa dia menyembunyikan sesuatu?
Lama Aini terpaku di depan cermin menatap wajah yang penuh air mata dan tubuhnya yang terasa penat menanti belaian. Saat tak disadarinya Afwan sudah bangkit dan memeluknya.
"Tidurlah, Sayang," bisik Afwan mengejutkan Aini.
"Maaf, malam ini Mas lelah. Mas belum sanggup menunaikan kewajiban." Afwan meraih pinggang Aini dengan lembut, menariknya kembali ke tempat tidur.
"Ini masih malam. Kembalilah berbaring di sisiku," kembali bisik Afwan di telinga Aini. Hembusan nafasnya hangat. Membuat Aini makin tersiksa. Relung hatinya sebagai perempuan makin menjerit.
***Tangan Aini kaku. Dia urung mengambil lingerie di rak pajangan swalayan untuk dibayar. Hari ini Aini sengaja membuat jadwal belanja lingerie dan suplemen kesuburan untuk dirinya. Aini juga melakukan perawatan rutin agar tubuhnya dan wajahnya lebih terawat. Aini berharap apa yang dia lakukan bisa membangun cinta di hati Afwan dan membantu Afwan keluar dari masalahnya. Aini ingin disentuh, Aini ingin menjadi seorang ibu.Belum selesai Aini memasukkan belanjaannya pada kereta dorong yang dibawanya, matanya tiba-tiba terasa nanar pada sosok di pelataran parkir. Sepertinya mereka baru keluar dari swalayan yang sama.
Ya Allah...
Dada Aini gemuruh. Dadanya bertalu-talu riuh.
Apa mungkin itu sosok Afwan? laki-laki itu mengandeng seorang perempuan hamil menuju ke arah mobil warna metalik yang sangat dikenal Aini. Mobil Afwan.
Tangan Aini gemetar melepas kereta belanjaannya dengan langkah gontai dia mengikuti Afwan dan perempuan hamil di depannya. Hatinya gemuruh tidak karuan. Apa mungkin itu Afwan suaminya? Lalu siapa perempuan yang digandeng mesra Afwan?
Siapa?
Afwan tak memiliki adik atau kakak perempuan. Saudaranya hanya satu, seorang kaki-laki, itupun tinggal di luar kota. Tak mungkin juga saudara jauh. Jika Afwan memperlakukan nya begitu mesra dan lembut.
Ah, jangan-jangan?
Tidak. Bukankah Afwan selama ini selalu mengaku ada masalah dengan kejantanannya dan membuat Aini rutin menyiapkan obat dari dokter Andrologi langganan Afwan yang juga sahabat waktu SMA? Lalu siapa wanita hamil itu?
Kepala Aini berputar. Hampir saja dia terjatuh saat bertabrakan dengan pengunjung lain yang datang buru-buru.
"Mbak Aini?" tanya perempuan yang menabrak Aini kaget.
"Mbak, bukannya tadi sudah duluan ke luar bersama Mas Afwan?"
Aini baru menyadari kalau yang menabraknya adalah Sinta sepupu jauhnya.
"Tadi aku lihat Mas Afwan menggandeng perempuan, tapi tak jelas karena hanya terlihat punggungnya. Kupikir itu Mbak Aini."
Sinta celingukan. Dia ikut menatap ke pelataran parkir tempat tadi berpapasan dengan Afwan.
Aini hanya menggeleng dan tersenyum pahit. Menyembunyikan denyut sakit di dadanya dengan berbasa-basi kalau perempuan yang bersama Afwan bisa saja saudaranya dan berharap Sinta segera berlalu. Sinta hanya mengangguk. Mungkin hatinya tak begitu saja mempercayai, tapi tetap tersenyum dan memeluk Aini.
"Oke, deh Mbak. Aku ke dalam dulu ya, mau belanja susu buat anakku." Sinta pamit dan meninggalkan Aini yang masih berdiri mematung , tatapannya kosong ke arah halaman parkir dimana tadi mobil Afwan masih ada di sana. Aini segera membayar belanjaan yang terlanjur dimasukkan ke dalam keranjang, sekuat tenaga menahan air mata yang sepertinya hendak rubuh di matanya.
Siapa perempuan hamil yang dipeluk suaminya? Dadanya bertalu dengan sejuta tanya dan kecurigaan, membuat perasaannya makin tak karuan.
***
"Tunggulah, Afwan. Sampai bapaknya Aini sembuh. Ibu tak keberatan kamu meninggalkannya, hanya saja ini bukan waktu yang tepat." Suara Ibu terdengar jelas dari dalam rumah. Lutut Aini rasanya goyah dan lunglai. Hampir saja dia rubuh dan terjatuh. Tapi sekuat tenaga Aini memegang gagang pintu ruang tamu yang
menghubungkan teras dan ruang depan di mana di dalamnya ada suami dan ibu mertua Aini juga ada suara perempuan yang tidak Aini kenal."Tapi aku lelah berpura-pura, Bu. Aku tidak pernah mencintai Aini, lagipula...Mirna sudah mau melahirkan buah cintaku." Kali ini, suara Afwan yang terdengar. Nada suaranya lirih tapi seperti ribuan palu godam di dada Aini.
Aini menegang. Apa maksudnya buah cinta dalam kalimat Mas Afwan? Apakah perempuan itu istrinya? Bukankah selama ini Afwan tak pernah menyentuhnya dengan alasan ada masalah dengan kelaki-lakiannya, tapi mengapa perempuan itu bisa hamil? Tuhan, apakah selama ini Afwan berbohong? Tega sekali. Aini tersedu.
"Ibu tahu, kau terpaksa menikahi Aini. Tapi setidaknya, bersabarlah sampai Bapak Aini sembuh." Terdengar ibu mertua Aini menenangkan. Terdengar desah napas Afwan yang berat.
"Ingat Afwan. Hutang Budi keluarga kita pada bapaknya Aini sangat besar. Jadi tetaplah bersikap baik, sampai segalanya memungkinkan."
"Tapi, aku tidak sanggup lagi lebih lama berpura-pura manis, sementara Aini terus menuntut hak nya sebagai istri." Suara Afwan terdengar tertekan.
"Sabarlah, Afwan. Dia pasti percaya ada masalah dengan reproduksi mu. Bukankah kau selama ini selalu mengunjungi dokter Andrologi? Sekarang pergilah, bawa Mirna ke tempat orang tuanya. Untuk sementara biarkan di sana sampai semuanya aman."
Astaghfirullah. Aini merintih dalam hati.
Kalimat Ibu yang panjang lebar ibarat tuba yang terasa begitu pahit bagi Aini. Sakit.
Deg. Serr.
Ya Allah, apakah ini jawaban dari semua teka-teki tentang sikap Afwan selama ini? Kenapa aku mendapatkan jawaban justru di rumah mertuaku sendiri, jerit Aini terluka. Orang yang Aini anggap bijaksana dan tanpa cela.
Padahal pagi-pagi sekali, Aini mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh berharap bisa mengadu pada Ibu mertua tentang apa yang dilihatnya kemarin sore tentang Afwan dan perempuan hamil yang digandengnya.
Tapi apa faktanya? Afwan dan Ibu bersekongkol. Manusia-manusia yang dikiranya tulus dan penuh cinta ternyata tak lebih dari serigala-serigala berbulu domba. Mereka menyembunyikan kepalsuan termasuk menyembunyikan madu untuk Aini. Mereka bersikap manis hanya untuk mencari waktu dan saat yang tepat untuk melemparkan dan mencampakkannya. Kejam sekali.
Mata Aini basah. Lututnya goyah dengan tangan tak lagi sanggup menopang tubuhnya. Aini tersungkur dengan dada yang porak poranda. Dada Aini turun naik dengan kepala yang terasa berputar, sampai Aini tidak menyadari kalau Afwan dan Mirna -istri mudanya- telah membuka pintu dengan niat segera pergi dari tempat itu untuk menghindari Aini.
Aini masih sibuk menyeka air matanya yang tiba-tiba mengalir deras laksana sungai di musim hujan. Apa yang dia saksikan dan dia dengar jauh lebih menusuk dari sebuah perselingkuhan. Dikhianati mungkin sangat menyakitkan tapi mendapati kenyataan kalau diri tak berarti dan berharga jauh lebih menyakitkan.
Aini hancur. Ribuan bunga cinta yang selalu bermekaran di dadanya untuk Afwan layu seketika. Tak ada lagi desir rindu di dadanya, yang ada adalah bongkahan luka yang terasa berdenyut ngilu memenuhi relung kalbunya.
Aini masih terisak pilu. Saat Afwan berdiri kaku di hadapannya. Afwan terpaku, genggaman tangannya di pinggang Mirna terasa dingin. Dia tidak menduga mendapati Aini ada di depan pintu. Bibirnya tergetar dengan wajah memucat. Mata kaget Afwan bertemu bongkahan luka di tatapan Aini.
"Aini?" Suara Arfan terdengar shock.
Aini tengadah, mata beningnya penuh air mata. Seketika bibir itu bergetar, Suaranya terdengar lirih.
"Terimakasih atas dusta mu, Mas. Terimakasih atas kepalsuan yang kau torehkan dalam hidupku, terimakasih kau telah menipuku dengan berpura-pura impoten." Aini bangkit. Menyeka air matanya dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya. Tatapannya beku dan dingin ke arah Afwan, laki-laki yang telah menganugerahinya kepalsuan dan penantian semu yang menyakitkan.
"Selamat atas kehadiran buah cintamu di rahim perempuan selainku. Berhentilah berpura-pura, karena aku pastikan, aku akan pergi dari hidupmu saat ini juga. Selamat tinggal." Aini tiba-tiba bangkit, sekilas mengulas senyum pahitnya. Dengan langkah sedikit terhuyung menyeret langkah menuju mobil yang diparkir di halaman rumah Ibu mertuanya.
"A-aini, tunggu. Aku bisa jelaskan," kata Afwan tercekat. Tangannya mengulur ingin mencegah kepergian Aini. Aini hanya tersenyum lirih dan menepis tangan Afwan. Langkahnya gegas meninggalkan sosok laki-laki yang tega memberinya luka di saat cintanya begitu menggebu.
"Aini," panggil Afwan berusaha mengejar langkah Aini, tapi sia-sia. wajah dan tatapan Aini membeku. Aini tetap memasuki mobil dan dengan kecepatan tinggi melakukannya meninggalkan rumah Ibu.
Afwan terpaku. Menatap kepergian Aini sampai mobil Aini hanya berupa noktah kecil dan menghilang.
Afwan termangu, ada perasaan sepi saat menyadari kepergian Aini sepertinya untuk selamanya.
"Aini, tunggu." Suara Afwan tercekat di kerongkongan, bergegas hendak menyusul tubuh perempuan yang tengah berjalan menjauh dengan pandangan penuh luka."Biarkan dia pergi." Langkah Afwan terhenti, tangan putih berkuku merah mencekal lengannya. seraut wajah Mirna tampak tidak suka."Dia istriku, Mirna. Aku takut terjadi apa-apa."Mirna tersenyum sinis."Biarkan perempuan itu berlalu dari hidupmu. Tersenyumlah, karena kamu tak harus lagi berpura-pura mencintainya.""Tapi," jawab"Cukup Mas, dia tak pantas untukmu. Hanya aku yang layak ada dihatimu." Mirna tersenyum penuh kemenangan. Membuat Afwan hanya bisa membisu. Matanya lekat menatap tempat hilangnya bayangan mobil yang membawa Aini pergi.***Aini belum pernah merasa begitu hancur. Aini juga belum pernah merasakan hatinya begitu terluka dan kecewa. Pandangannya kabur saat dia setengah berlari memasuki mobil, lelehan air mata yang membasahi pipinya
Angin berhembus lirih, menerobos tirai jendela di ruang tengah. Aini dan Afwan tak ada yang segera menemui Papa. Keduanya bimbang.Tatapan Afwan masih lekat ke wajah sedih perempuan yang selama ini dikiranya tak berharga tapi Aini membuang pandangannya. Dia tak mau tertipu dengan tatapan hangat dan menghanyutkan milik Afwan. Tatapan yang dulu membuatnya jatuh cinta dan membuat dirinya rela sekian lama menunggu untuk melabuhkan jiwanya di kedalaman cintanya.Aini kini mengerti kalau semua kemanisan itu hanyalah dusta. Hanya tipu muslihat agar dia tetap bertahan dan menikmati semua kebohongan sampai waktu yang diinginkan Afwan. Aini muak."Aini," panggil Afwan tersendat berusaha meraih jemari Aini."Aku bisa jelaskan, padamu. Aku juga bisa memberitahumu hal yang sesungguhnya." Afwan menghela nafas saat menyelesaikan kalimatnya. Seperti pencuri yang ingin membela diri di hadapan orang yang dicurinya, gugup dan terbata-bata."Apa ya
Seandainya cinta hanya sebatas kecantikan dan keelokan lahiriyah semata, semestinya Afwan adalah laki-laki yang pantas bahagia. Mirna cantik dan sempurna, tapi apa artinya cinta jika tak ada ketulusan dan rasa saling percaya?Afwan sepertinya tak sabar ingin mematikan sambungan telepon dan memijit tombol merah. Ini kali kesepuluh dia menjawab pertanyaan Mirna sejak pagi. Afwan melirik jam, setengah dua siang dia menghitung sampai tiba di rumah jam delapan malam, berapa puluh kali lagi Mirna akan menerornya dengan chat dan panggilan rutinnya."Sudah dulu ya, Sayang Mas lagi repot. Kalau ada apa-apa telepon Ibu saja buat menemanimu, suruh Bang Hasan menjemputnya.""Tapi janji ya, Mas. Harus pulang cepat. Aku iseng." Terdengar nada manja suara Mirna di sebrang sana."Kakiku bengkak, aku hanya ingin dipijit Mas."Afwan hanya menghela napas."Iya. Sudah dulu ya, Mir. Mas lagi ada klien," jawab Afwan i
"Dari mana Mas?" tanya Mirna penuh curiga. Tatapannya jatuh di wajah lelah Afwan yang baru tiba setelah seharian bekerja dan pulang menembus jalanan macet."Menemui, Aini 'kan?" Kembali meneror dengan prasangka yang sama. Bukannya menghidangkan teh buat suaminya, Mirna malah sibuk mengoceh dengan kecurigaan yang berlebihan. Wajah menornya tampak sedikit kemerahan menahan cemburu."Aku ada meeting, Mir. Ada banyak yang harus kubahas dengan staf baruku." Afwan menjelaskan apa adanya. Awal bulan ini dia menerima manager baru, banyak yang harus mereka bicarakan."Aku tidak percaya." Mirna membantah."Aku tahu kau diam-diam mengunjungi Aini di rumah Papanya. Tega sekali kamu, Mas." Mirna mulai terisak."Padahal usia kandunganku sebentar lagi memasuki trimester akhir. Kau malah as
Afwan menggigit bibir. Dia hanya sanggup menghela nafas."Boleh aku duduk di sisimu, Aini." Afwan menatap ragu."Duduklah, Mas. Ini kamarmu, kamu bebas melakukan apapun di sini."Afwan menghempaskan tubuhnya di sisi Aini yang tengah sibuk melipat pakaian. Ingin sekali Afwan meraih jemari itu dan menggenggamnya agar Aini berhenti masukan bajunya ke dalam tas yang dibawanya. Afwan tak ingin Aini pergi. Tapi tangannya terasa kaku.Dia hanya mampu melihat dengan gundah gerakan tangan Aini yang tengah sibuk memasukkan bajunya tanpa sedikitpun menoleh kepadanya."Aini, boleh memintamu sesuatu?" Suara Afwan lemah."Katakan saja, mungkin aku bisa membantumu."" Emmh...bolehkah aku memintamu untuk menginap di kamar ini, semalam saja?"Aini termenung. Sejenak menghentikan aktifitasnya." Menginap? Di sini? Di kamar ini?"Afwan mengangguk ragu."Ini masih kamarmu, Aini." Afwan menjawab hati-hati.
Jika pernah merasakan hancur dalam hidup, sekaranglah saatnya. Entah apa perasaan Afwan saat ini. Antara cemas, takut ,sedih dan perasaan bersalah menjadi satu memenuhi dadanya membuat nafas rasanya sesak dan berat.Afwan luar biasa gelisah mendapati Aini tak pulang. Fadhil beberapa kali menghubunginya menanyakan Aini. Sepertinya Fadhil juga disuruh Papa untuk mencari Aini.Suami apa aku ini? bahkan orang lain seperti Fadhil juga ikut gelisah mencari istriku. Ratap Afwan gelisah. Lelah dia mengitari kota Bandung yang mulai sepi. Bahkan melintas dibenaknya untuk menanyakan keberadaan Aini ke kantor polisi atau rumah sakit di sekitar Bandung, pikiran jelek dan bukan- bukan memenuhi batok kepala Afwan.Ya Allah, jangan ambil Ainiku. Beri aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku, beri aku waktu ya Allah, walau sedetik.Afwan terisak di pinggir jalan yang mulai sepi. Tangannya gemetar menggenggam ponsel yang dari tadi tidak berhenti dipaka
Afwan terpaku di lobi klinik.Angin malam yang menderu tak bisa mengalahkan hati Afwan yang menggebu karena cemburu.Cemburu? Hallo Bro, dua tahun kau membiarkan perempuan itu memeluk sunyi, melukis malamnya sendiri dalam sepi, menggapai cintamu yang entah di mana. Sekarang kau bilang cemburu? Dimana kewarasanmu?atau...dimana perasaanmu? Hati kecil Afwan mencemooh.Ya aku memang seperti orang tak waras, aku memuja perempuan yang bertahun kehadirannya tak berharga. Aku merindukan Aini di saat jiwanya telah hancur dan membeku. Afwan menyeka sudut matanya. Dia jarang menangis dalam hidupnya, dia laki-laki tangguh dan tegar tapi melihat sorot bening dan ketulusan dalam mata Aini dia terluka.Aini tak murka dengan penghianatannya, tak ada kata makian dan umpatan. Dia tahu diri, pelan menepi dan merelakan sepotong hatinya terluka sendiri. Sialnya, semua itu lebih menyakitkan bagi seorang Afwan.Tak ada yang mencercanya saat dia menikahi Mirna diam-
Mirna!Afwan sedikit terpekik, tak menyangka Mirna mengejarnya sampai ke rumah Aini."Sebentar, Aini." Afwan mendekati Mirna dan berusaha menariknya ke luar ruangan. Bagaimana tidak, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, ada Papa Aini yang sedang sakit keras.Aini melirik Bi Darsih memberi isyarat untuk menemani Papa. Perempuan paruh baya itu dengan cepat menuruti perintah anak majikannya dan menunggui Papa di dalam kamar."Tutup, pintunya Bi."Bu Darsih mengangguk. Segera melaksanakan perintah Aini.Mirna menatap Aini dengan wajah memerah menahan kesal. Seperti seseorang yang tengah melihat pencuri miliknya yang paling berharga.Mirna lupa, dialah yang mencuri Afwan dari Aini, merayu dan menjeratnya dengan berbagai cara.Aini melangkah mendekati Mirna yang tengah menantangnya. Wajahnya tenang tak sedikitpun terlihat gentar.Aini mengajak Mirna ke ruang tamu. Setidaknya jarak ruang tamu dan kamar Papa