Pov Andini
Aku tak menyangka, Mas Iqbal menamparku. Aku hanya ingin menjadi perempuan mandiri dan tak akan merepotkannya lagi.
Kuambil baju kerjanya dan kugantungkan di depan pintu kamar kami. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi untuk saat ini. Aku masih terkejut dengan apa yang baru saja Mas Iqbal lakukan kepadaku. Apakah aku salah jika ingin bekerja kembali?
Tak kuhiraukan Mas Iqbal yang berkali - kali mengetuk pintu kamarku. Bisa kudengar permintaan maafnya dari luar. Namun aku tak menggubrisnya dan tetap berdiam diri di dalam kamar.
Tak berapa lama kemudian, terdengar Mas Iqbal sudah berangkat bekerja. Aku bergegas keluar dari kamar dan mulai membersihkan rumah ini. Tak berapa lama kemudian kubaca pesan masuk dari Mas Iqbal.
Maafkan aku sayang. Aku tak sengaja menamparmu tadi. Mas khilaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Amplop coklat kemarin mas taruh di laci ya. Itu semua sudah nafkahmu yang mas berikan kepadamu.
Aku tak membalas pesan singkat dari Mas Iqbal. Aku langsung mengecek uang itu di laci. Uang itu masih utuh dan aku mengembalikannya di tempat semula.
Semalam aku terpaksa meminjam kepada Bu Sinta semalam dengan alasan kebutuhan mendadak. Entah mengapa Bu Sinta langsung memberikan pinjaman yang tidak sedikit itu padaku. Aku hanya kesal melihat sikap Mas Iqbal yang sudah sangat keterlaluan.
Tak lama kemudian aku merasakan perutku keroncongan. Untung saja ada nasi sisa semalam. Namun saat aku mengeceknya ternyata nasi itu sudah basi.
Pandanganku beralih ke arah gentong tempat aku menaruh beras. Namun tak kutemukan sebutir beraspun di dalam sana. Aku hanya bisa menghela nafas panjang saat melihat ini semua.
Akhirnya aku menggoreng tempe yang tersisa beberapa potong. Perutku sudah terasa lapar. Dari semalam aku tak makan apapun. Ingin sekali makan martabak yang dibawakan Mas Iqbal kemarin. Namun tak kutemukan di meja. Sepertinya ibu mertuaku sudah membawanya pulang. Sungguh tega sekali ibu mertuaku itu.
Alhamdulillah setidaknya siang ini aku masih bisa makan. Nasi dan tempe goreng sudah tersedia di meja. Aku menangis menitikan air mataku. Aku mulai menyantap nasi dan tempe itu dengan pandangan kosongku. Tanpa sadar Mas Iqbal tiba - tiba pulang membawa barang belanjaan.
Seketika Mas Iqbal menghentikanku untuk memakan nasi basi dan tempe itu. Mas Iqbal langsung memelukku. Aku hanya diam saja melihat apa yang dilakukan Mas Iqbal.
"Sayang, apa yang kamu makan? Maafkan aku. Ini mas bawakan kamu bahan belanjaan untuk kamu masak. Mas lihat tadi tak ada apapun di dapur," aku melepaskan pelukannya dan mulai membereskan semua belanjaan itu.
Sesekali kuusap air mata yang berjatuhan ini. Aku hanya diam dan tak berbicara sepatah kata apapun kepadanya. Aku lupa jika hari ini Mas Iqbal hanya masuk setengah hari saja.
"Amplop yang kemarin mengapa masih disini sayang. Mas kan sudah minta maaf."
"Kembalikan saja ke Bu Sinta mas. Aku meminjamnya kemarin."
Aku mulai menata makanan yang sudah kumasak tadi. Entah mengapa Mas Iqbal hari ini membelikan aku begitu banyak lauk. Ada ayam, ikan, daging, dan aneka sayuran.
"Tenang saja, aku tak menceritakan apapun kepada orang lain. Aku beralasan ada kebutuhan mendadak."
Bagaimanapun juga aku tak mungkin menceritakan masalahku kepada orang lain. Aku hanya berbicara seperlunya dengan Mas Iqbal. Entah mengapa hatiku sangat sakit saat dia menamparku tadi pagi. Tiba - tiba Mas Iqbal berlutut di hadapanku. Aku hanya diam saja sembari menatap wajahnya itu.
"Maafkan aku ndin, mulai sekarang mas janji akan berbuat adil padamu." Mas Iqbal menggenggam tanganku dan menghapus air mataku yang sudah lama menetes.
Aku hanya diam tak menanggapi perkataannya. Mas Iqbal mengeluarkan sebuah kunci dan menyerahkannya padaku.
"Ini kunci rumah kita yang baru. Alhamdulillah mas bisa membeli rumah baru untuk kita, walaupun menyicil," sejenak aku terdiam membeku sembari memegang kunci itu.
"Maafkan aku ya tidak menceritakan hal ini kepadamu. Selama ini aku menabung agar bisa membeli rumah impian kita. Kebetulan ada orang yang menjual rumah itu dengan harga murah. Akhirnya aku membelinya. Beruntungnya sisa kekurangannya bisa aku cicil."
"Mengapa kamu gak bilang sama aku mas?" aku langsung menatap Mas Iqbal dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Aku hanya ingin memberikan kejutan kepadamu sayang. Maafkan aku sudah menamparmu tadi pagi. Seharusnya aku bisa menahan emosiku."
Bisa kulihat raut wajah penyesalan darinya. Aku pun langsung menganggukkan kepalaku berusaha untuk memaafkannya.
"Lalu bagaimana dengan ibu dan Rony mas, apa kamu tetap memberikannya uang?"
"Aku akan tetap memberikan uang kepada Ibu jika kamu mengijinkan."
"Mas... aku tak pernah melarangmu untuk memberikan uang kepada ibu. Tapi sewajarnya saja untuk kebutuhan sehari - harinya ibu."
"Ya sayang, maafkan mas ya, yang sudah berbuat dzolim kepadamu." Mas Iqbal mengecup keningku dan memelukku erat.
Jika Mas Iqbal jujur padaku kalau dia berjuang keras mengumpulkan uang untuk membeli rumah, tentu aku tak semarah ini.
Aku bergegas meminta izin kepada Mas Iqbal untuk kerumah Bu Sinta. Uang yang kupinjam kemarin segera kukembalikan dan berpamitan kepada beliau bahwa aku sudah tidak bekerja kembali. Melihat bagaimana perubahan Mas Iqbal aku yakin dia sudah berubah.
Pov AndiniAku melihat Mas Iqbal sering melamun akhir - akhir ini. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Akhirnya aku beranikan diri untuk bertanya kepadanya."Mas, kamu kenapa? Kok akhir - akhir ini sering melamun?" "Aku ingin jujur sesuatu padamu sayang. Tapi aku takut kamu akan marah kepadaku." Terlihat raut wajah Mas Iqbal berubah menjadi gelisah."Katakanlah apa yang sedang mengganggu pikiranmu mas.""Kamu janji tak akan marah jika aku bicara jujur kepadamu sayang?""Ya mas, aku tak akan marah. Kecuali aku akan marah jika kamu berencana menikah lagi." Tiba - tiba terbesit dipikiranku jika Mas Iqbal akan menikah lagi. Jika itu sampai terjadi, aku akan langsung meminta cerai kepadanya. Seketika Mas Iqbal tertawa terbahak - bahak mendengar ucapanku."Hahaha, kamu tuh lucu sayang. Mana mungkin aku berbuat seperti itu. Perempuan yang mas cintai cuma kamu.""Lalu apa yang ingin kamu bicarakan mas. Aku lihat kamu sering murung beberapa hari ini." Aku kembali menanyakan hal ini kepada Mas
Pov IqbalAku bersyukur karena Andini sudah tidak marah lagi kepadaku. Beruntung aku menuruti ide dari Adi. Tapi seketika aku teringat jika aku baru saja menolak permintaan ibu. Sebenarnya aku tak tega, mengingat jika beliau adalah ibu kandungku. Tapi aku tak mau mengecewakan Andini untuk kedua kalinya. Aku gak mau kehilangan istriku.Apalagi selama ini aku sudah membuat dirinya menderita. Bodohnya diriku yang hanya memberikan nafkah satu juta saja pada dirinya. Aku gak mau mengulangi kesalahan itu lagi.Tiba - tiba saja ada pesan masuk dari ibu. Aku bergegas membuka ponselku.Sejak kapan kau mulai melawan ibu yang sudah melahirkanmu ini. Perempuan itu sudah berhasil mencuci otakmu. Kutunggu kau dirumah, ada hal yang ingin ibu bicarakan.Baik BuAku hanya bisa menghela nafas panjang saat membaca pesan singkat ibu. Aku yakin saat ini ibu sangat marah kepadaku.Sepulang dari bekerja, aku bergegas mengendarai motorku menuju rumah ibuku."Bagus ya, sejak kapan kau menolak permintaan ibu.
Pov IqbalSejak kejadian aku menampar Andini, aku sungguh sangat menyesal. Tak henti - hentinya Adi memarahiku."Apa kau gila, memberikan nafkah sejuta kepada istrimu. Aku tahu kau sedang mengumpulkan uang untuk membeli rumah. Tapi bukan begini caranya bro." Adi tampak marah setelah mendengarkan apa yang baru saja kualami."Lalu aku harus bagaimana di. Aku tak sengaja menamparnya tadi pagi.""Apa aku tak salah dengar? Semarah apapun kita jangan sampai berbuat kasar kepada perempuan. Apalagi kau memberikan nafkah yang lebih kecil dibandingkan yang kau berikan kepada ibumu. Jelas saja Andini marah.""Aku harus bagaimana sekarang. Aku bingung di. Aku tak ingin berpisah dengannya. Apalagi dia mengembalikan uang nafkahku selama setahun ini," Adi seketika menggeleng - nggelengkan kepalanya setelah mendengarkan ucapanku. Mungkin dia tak menyangka jika selama ini aku bisa bertindak sekejam itu."Tabunganmu ada berapa sekarang?""Sekitat 50 jutaan di.""Aku punya teman yang mau menjual rumahny
Pov AndiniAku tak menyangka, Mas Iqbal menamparku. Aku hanya ingin menjadi perempuan mandiri dan tak akan merepotkannya lagi. Kuambil baju kerjanya dan kugantungkan di depan pintu kamar kami. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi untuk saat ini. Aku masih terkejut dengan apa yang baru saja Mas Iqbal lakukan kepadaku. Apakah aku salah jika ingin bekerja kembali?Tak kuhiraukan Mas Iqbal yang berkali - kali mengetuk pintu kamarku. Bisa kudengar permintaan maafnya dari luar. Namun aku tak menggubrisnya dan tetap berdiam diri di dalam kamar.Tak berapa lama kemudian, terdengar Mas Iqbal sudah berangkat bekerja. Aku bergegas keluar dari kamar dan mulai membersihkan rumah ini. Tak berapa lama kemudian kubaca pesan masuk dari Mas Iqbal.Maafkan aku sayang. Aku tak sengaja menamparmu tadi. Mas khilaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Amplop coklat kemarin mas taruh di laci ya. Itu semua sudah nafkahmu yang mas berikan kepadamu.Aku tak membalas pesan singkat dari Mas Iqbal. Aku langs
Pov IqbalAndini langsung menarik tanganku menuju ke kamar kami. Aku menyuruh ibuku untuk tetap duduk tenang di ruang tamu. Saat berada di dalam kamar, Andini langsung menatapku dengan tatapan tajamnya."Ada apa Ndin?""Mas, aku tak masalah jika kamu hanya memberiku uang sejuta. Tapi setidaknya kamu harus bersikap adil padaku mas," bisa ku lihat raut wajah kemarahan dari Andini."Ya sayang, mas minta maaf. Nanti uang nafkahmu aku tambahkan 500 ribu. Jadi 1,5 juta cukup kan untuk kebutuhan kita sebulan? Lagipula kita masih belum mempunyai anak. Tentu uang itu cukup untuk memenuhi kebutuhan kita sebulan." Mendengar hal itu seketika Andini tersenyum sinis melihatku. Aku tahu dia sedang kesal karena aku masih saja memberikan uang untuk ibuku. Tapi ini uangku. Terserah aku mau apakan uangku ini. Andini hanya terdiam dan langsung meninggalkanku sendirian. Dia berlalu pergi entah kemana. Aku bergegas menghampiri ibuku yang sedang menikmati secangkir teh buatan Andini."Bagaimana, apa Andin
Pov AndiniSejak kulihat pesan singkat yang tak sengaja terbaca tadi, hatiku seketika hancur. Rupanya selama ini, Mas Iqbal mengirimkan uang yang begitu banyak kepada ibu mertuaku. Bahkan nafkahku, hanya seperempat dari uang yang dia berikan kepada ibunya.Aku berusaha untuk tetap tenang dan sedikitpun tak marah padanya. Karena percuma saja, jika aku protes, Mas Iqbal akan tetap membela ibunya. Aku berusaha diam dan tak banyak bicara untuk saat ini. Semoga dengan begini, Mas Iqbal sadar akan kesalahannya.Sepertinya aku harus mengambil lebih banyak waktu untuk bekerja di rumah Bu Sinta. Bu Sinta adalah pengusaha katering di daerahku. Beliau cukup sukses dalam menjalankan usahanya. Beliau juga banyak mempekerjakan ibu - ibu di daerah sini untuk membantunya dalam menjalankan usaha kateringnya.Aku sudah bekerja dengan beliau sejak awal menikah dulu. Tetapi hanya beberapa jam saja aku bekerja. Tentunya setelah Mas Iqbal berangkat bekerja. Itu semua kulakukan demi menutup kekurangan biaya