Fatih membanting pintu ruang kerja dengan kasar. Ia tak menyangka jika Anita akan menempatkan dirinya di posisi yang sulit. Berpisah dengan Alina jelas bukan keputusan yang mudah, kemudian beralih pada Anita juga bukan keputusan yang mudah jika berpikir waras, dan ia abai akan hal itu. Bagaimanapun, Anita dan Alina adalah saudara, walaupun bukan kandung.
*
Menjalani rutinitas di luar kebiasaan, jelas bukan hal mudah bagi Alina. Terlebih, ia tidak memiliki pengalaman kerja sebelumnya. Dengan ijazah SMA yang ia punya, Alina hanya berada di posisi yang tidak terlalu diperhitungkan di perusahaan manufaktur yang di pegang Fatih.
"Capek," keluh Alina saat berdiri di antara karyawan yang lainnya.
"Wajah Lo pucat, Al. Sakit, ya?" tanya Dela sambil menggeser kursi, mendekati Alina.
"Nggak, tuh. Pusing sedikit, sih."
"Bener, pucat. Duduk aja, Al." Meli menimpali.
"Biasa, kurang istirahat mungkin. Gak enak duduk sendiri."
"Habis ini, kita ada diperkenalkan dengan pemimpin divisi yang baru. Kabarnya duren, Gaes ... duda keren," bisik Dela.
"Lumayan ....kalau ganteng, bisa buat cuci mata." Keduanya tertawa lirih.
"Kalian berisik!" Alina berucap setengah berbisik di tengah-tengah tawaan kedua teman barunya.
"Pegal, Gue duduk nggak pa-pa kali, ya?" Alina mulai menghentak-hentakkan kali dengan pelan, kemudian merendahkan posisi duduk dari yang lainnya.
"Duduk aja. 'Kan kita di belakang, gak akan kelihatan kalau cuma satu orang yang duduk." Mela berpendapat.
"Beneran, ya? Nanti kalau ditegur, kalian belain Gue."
"Sip, tenang saja." Meli membalas.
Alina mendengarkan acara serah terima pergantian kepala divisi lama dengan yang baru. Mulai dari acara pembukaan hingga sambutan dan kepala divisi lama.
berada di kerumunan dengan berbagai macam aroma tubuh membuat kepalanya semakin lama semakin berat. Malahan, melihat Meli dan Dela yang ada di sampingku dengan pandangan yang mulai mengabur.
"Masih tahan gak, Al? Acaranya sebentar lagi, kok," ucap Dela khawatir melihat jemari Alina yang tidak berhenti memijit pelipis.
"Kuat, kok."
"Habis acara ini, nanti Gue antar ke klinik," sambung Meli.
"Lihat itu, pak Fatih sudah naik podium, ngasih sambutan." Ucapan Dela membuat Alina terkesiap sehingga secara tiba-tiba, ia berdiri sebab penasaran.
"Mas Fatih," ucapnya lirih, "kamu di sini."
Ucapan terakhir membuat mata Alina meremang dan tubuhnya pun terkulai lemas . Kegelapan menguasai diri di tengah teriakan Dila dan beberapa karyawan lainnya.
Untuk sesaat, ruangan yang dipenuhi ratusan karyawan itu mejadi gaduh. Acara sempet terhenti beberapa menit. Setelah Alina di bawa ke luar ruangan, baru di mulai kembali.
Sementara di atas podium, Fatih tidak lagi berdiri dengan tenang. Ia terlihat gelisah setelah mengetahui diri karyawan yang sempat menjeda sambutannya.
**
Alina mendapat pertolongan dari tenaga medis yang menjaga klinik. Seorang perawat memberikan serangkai pemeriksaan sebelum Alina siuman. Dela dan meli dudud di bangku tak jauh dari sahabat yang sedang mendapat penanganan. Mereka baru saja mengenal Alina, sebatas kenal di tempat kerja, dua hari selama mereka bersinggungan selama, tetapi sudah terlihat akrab.
"Jadi gak liat duda keren, kan?" keluh Meli sambil meneguk air mineral.
"Tenang, kita bakal setiap hari bertemu," balas Dela.
"Kabarnya, pak Fatih ini lebih galak daripada pak Roy." Meli menggeser duduknya karena Dela hendak ikut serta menyamankan diri pada satu-satunya kursi di ruangan itu.
"Enekan liat yang galak, tapi ganteng daripada yang gendut, botak mesum lagi."
"Husss! Nanti ada yang dengar. Jangan menyebar gosip."
"Bukan gosip. Gue dengar dari karyawan lama kalau pak Roy itu cabul. Makanya di pindahkan setelah mendapat laporan dan terbukti melakukan tindak pelecehan. Pak Fatih kabarnya belum lama menjabat di kepala di visi di kantor cabang yang lama. Di pindahkan ke sini karena kinerjanya bagus, dengar-dengar, sih begitu."
Dela dan Meli sibuk menggunjing tanpa menyadari indera pendengaran seseorang telah menangkap semua percakapan. Alina menekan mulutnya. Betapa ia ingin menjerit kuat-kuat, menahan rasa sakit yang menghimpit tiba-tiba.
"Temannya sudah sadar Mbak, tolong berikan minum," ucap perawat pada Meli dan Dela.
"Al ...." Mereka terlonjak dan langsung mendekati Alina.
"Jangan nangis, dong! Ada kita di sini. Minum dulu, gih!" Selamet dekatkan botol minum yang ada dalam genggamannya.
Usai meneguk air mineral, isakannya perlahan mereda.
"Mbak harus banyak istirahat, ya? Sudah jalan lima Minggu ini," jelas perawat itu.
"What?"
"Lima Minggu?" kejut Meli dan Dila hampir berbarengan.
"Saya kasih obat aja. Jangan lupa banyakin makan buah dan sayur. Ini!" Perawat itu menyodorkan bungkusan plastik putih yang berisi obat.
"Makasih, Mbak." Alina menerimanya. Ia berusaha menuruni ranjang dengan perlahan.
"Di sini aja dulu, Mbak. Ini saya buatkan izin biar Mbak bisa istirahat di sini." Perawat memberikan selembar kertas pada Dila.
"Iya, Al. Nanti usai jam kerja, kita jemput Lo di sini. Gak papa kami tinggal, ya?" Dela memberikan botol air mineralnya pada Alina.
"Gak pa-pa. Cuma ... Gue ingin kalian menjaga rahasia ini." Alina memandang kedua temannya secara bergantian, membuat keduanya bingung.
"Rahasia?"
"Kehamilan Gue," terang Alina. Meli dan Dela saling pandang, keheranan.
"Gue janda."
"Al ...."
"Gue gak mau mendapat predikat jelek di awal-awal kerja. Kalaupun yang lainnya bakal tau, biarlah mereka tau dengan sendirinya."
"Ternyata ini penyebab Lo sering melamun? Kukira karena Lo orangnya pendiam. Ternyata karena menyimpan sesuatu." Meli menyusul Dela yang sudah lebih dulu duduk di tepi ranjang bersama Alina.
"Jangan khawatir, Lo bisa cerita l kapanpun Lo mau. Kita siap jaga rahasia." Dela mengelus punggung Alina, memberikan penguatan walaupun bagi Alina tidak akan berkurang beban dalam hatinya.
"Makasih. Kalian mau menjaga rahasia saja, itu sudah sangat membantu, kok."
"Iya, nggak usah khawatir. Lo istirahat, kami tinggal."
Alina seorang diri duduk di ranjang klinik kantor, tak jauh dari ruangan di mana ia biasa menghabiskan waktu untuk bekerja, dua hari terakhir ini.
Kepala yang masih berat, membuatnya merebahkan diri kembali. Seorang perawat tidak tampak lagi di ruangan kecil itu. Hanya Alina, seorang diri.
Ia meraih handphone, menimangnya sambil menatap layar yang sudah terpampang nomor kontak Fatih.
"Kenapa aku mencarimu, Mas? Kenapa aku ingin sekali bertemu denganmu? Inilah alasannya." Ia kembali terisak, perlahan satu tangan mengelus perut. Meski berusaha untuk tidak menangis, tetapi beban dalam dadanya ingin segera ia muntahan agar lega.
Derit pintu terdengar di buka, membuat Alina cepat-cepat menghapus air matanya.
"Mbak," panggilnya.
Tak ada sahutan.
"Mbak," panggilnya sekali lagi. Ia berharap perawat tadi yang masuk, tetapi masih juga tidak ada jawaban. Alina mulai takut.
"Mbak--" ia terbungkam seketika melihat sosok yang baru saja masuk di balik tirai yang baru saja di buka.
"Mas Fatih!"
Tanpa aba-aba dan menunggu lama, Alina menuruni ranjang dan menghambur memeluk Fatih. Ia tersedu lagi di dada lelaki itu.
"Aku mencarimu. Kemarin aku ke pulang rumah, tapi Mas Fatih gak ada di sana. Kenapa tidak memberi kabar? Kenapa pesanku tidak pernah di balas?"
"Hentikan, Alina! Kamu mau membuat geger orang-orang seisi kantor ini, hah!" bentak Fatih sambil mencengkeram kedua lengan Alina agar sedikit menjauh darinya.
"Mas ... kok, ngomongnya gitu?"
"Dengar baik-baik. Aku tidak ingin ada yang tau status kita. Kamu boleh bekerja di sini selama masa kontrak karena aku tidak punya gak untuk memecatmu. Tapi jangan sekali-kali mengaku bahwa kita pernah ada hubungannya suami istri."
"Mas--"
"Aku akan urus semuanya agar menjadi mudah. Kamu tinggal menjalaninya saja. Paham!"
"Tapi aku--"
"Paham, Al? Atau kamu mau kupersulit?"
"Mas aku--"
"Jangan lagi mencariku! Aku akan selalu ada di hadapanmu, tapi sebagai sosok yang lain."
Fatih memundurkan langkah, menjauhi Alina.
"Mas ...." Langkahnya terhenti oleh panggilan Alina.
"Maaf, Al."
Fatih berkaca-kaca, mendadak mendekati Alina yang masih berdiri dengan linangan air mata. Ia meraih tubuh Alina dan memeluknya.
"Maaf, kamu harus kuat, jangan manja dan jangan menggantungkan hidup pada orang lain. Kamu harus mandiri, Al. Maaf ...." Fatih mengakhiri ucapan dengan melepas pelukan, berbalik dan meninggalkan Alina dalam kelukaannya.
Tak ada yang lebih menyakitkan selain mendengar kejujuran yang ternyata di luar harapan, padahal itu semua benar adanya. Alina mengakui, bahwa kekurangan terbesarnya adalah tidak bisa hidup mandiri. Ia terbiasa di bergantung pada orang-orang terdekatnya. Bramantyo menjadi tempat menggantungkan hidup, tetapi telah berpulang. Fatih yang dititipi amanah juga enggan menjadi tempat berkeluh kesah.
"Mbak Nita ...."
***
"Nita, papa nggak punya waktu banyak untuk menemani kalian. Tolong jaga adikmu. Lagi-lagi, papa memintamu untuk menekan ego. Papa tau kamu terluka karena Fatih. Papa yakin, kamu bisa mencari pengganti yang jauh lebih baik. Kamu pintar dan mandiri, berbeda dengan adikmu."
Rangkaian kata demi kata dari lelaki lima puluh tahun itu masih mendengung, terasa seperti hentaka-hentakan maha dahsyat di dadanya. Meninggalkan gemuruh amarah yang tertahan demi bakti pada sang papa.
"Papa egois, bahkan hingga saat ini, papa tidak mau berterus terang tentang kenyataan yang ada. Tentang Alina dan ibunya. Papa pikir, aku robot yang tidak memiliki hati, sehingga papa bebas mengendalikan Nita tanpa pernah berpikir sakit hati yang Nita rasakan. Bertahun-tahun, pa. Nita memendam dendam ini."
Anita menyeka air mata. Jauh di lubuk hati, ia pun tak ingin memendam dendam. Tetapi keberadaan Alina yang selalu diistimewakan di manapun ia berada, membuatnya berhenti mengurai bakti.
Handphone berdering, Anita menatap layar pada handphonenya.
"Lihat, anak kesayanganmu, Pa. Dia masih saja manja dan tidak berhenti menggantungkan hidupnya padaku," desah Anita. Lalu tangannya menggeser layar ponsel itu.
"Mbak Nita ... mas Fatih ... ternyata kerja juga di kantorku." Suara Alina terdengar seperti isakan yang tertahan.
"Kenapa?"
"Mbak Nita di mana? Aku butuh mbak Nita ...."
" Di makam papa."
Tanpa mengindahkan keluhan Alina, Anita memutus sambungan telepon.
"Maaf, Pa. Aku tidak bisa lagi menjadi budak anak kesayangan papa. Aku juga berhak bahagia."
Alina mengakhiri ucapan dengan menabur sisa-sisa bunga dalam keranjang, kemudian beranjak pergi. Ia segera memasuki mobil yang di kemudikan seorang sopir.
"Jalan, Pak," perintahnya.
"Baik, Non."
Anita menatap gundukan tanah yang selalu ia kunjungi di akhir bulan. Seiring dengan pergerakan mobil yang meninggalkan area pemakaman, perlahan lenyap pandangan pada susara itu. Ia menoleh ke jok samping, tempat di mana teronggok buket bunga mawar putih.
Anita meraih buket itu dan mencium dengan takjub. Jemarinya membelai helai demi helai kelopak putih itu.
"Mama ... akan kubalaskan sakit hati mama. Tenanglah di sana!" gamamnya lirih.
Next
Jika hidup seorang diri, maka akan mudah bagi Alina untuk melanjutkannya tanpa menoleh ke belakang. Namun, di rahimnya kini telah menetap janin buah cintanya dengan Fatih. Suka atau tidak, ia ingin agar Fatih mengetahui bahwa ada generasi penerusnya.Alina berjalan gontai menuju parkiran motor. Tubuh yang lemah akhir-akhir ini, membuatnya ingin segera pulang. Ia mulai mengeluarkan motor, tetapi pandangannya tertaut pada seorang yang juga tengah berada di parkiran. Bedanya, ia berada di parkiran mobil.Alina terus menatapnya, ingin sekali berlari, memeluk dan menumpahkan kerinduan, tetapi tertahan oleh sebab ketidakberdayaan. Ia hanya mampu memandang sosok itu hilang dalam badan besi kendaraannya. Tanpa mampu di cegah, Alina memutar motornya dan mengikuti arah ke mana mobil hitam itu melaju.Rasa bersalah menyelimuti diri karena tidak mampu menjadi bagian penting dalam hidup Fatih. Rasa rindu akan sentuhan-sentuhan lelaki itu, membuat rasa penasaran menuhi isi kepalanya. Tentang alasan
Pagi yang cerah, Alina mengunci pintu kontrakan dengan senyum mengembang sempurna.“Bismillah. Ini awal kehidupan kita, Nak. Kita berdua saja. Tanpa mereka, kita bisa bahagia.”Sejak semalam, ia sudah mewanti-wanti dirinya agar tidak lagi tergantung pada Anita maupun Fatih. Ia sudah membuat beberapa agenda untuk hari ini, ia ingin hidupnya lebih tertata rapi.Alina menjalankan motor dengan santai, sambil bermunajat tentang apa-apa yang menjadi keinginan kecilnya. Tiba-tiba, motor matic yang ia kendarai berhenti perlahan dan mesin mati.“Ya Allah, kenapa ini?”Berkali-kali mencoba menghidupkan mesin, tetapi tetap sama. Motornya tetap mati. Ia mendorong ke pinggiran agar tidak mengganggu pengendara lain yang melintas.“Aduh, bisa telat ke kantor ini.” Ia menggumam sendiri.“Ah, Mbak Nita.” Ia mengeluarkan handphone dan mencari nomor wanita itu di daftar panggilan. Nama Anita terpampang paling atas, menandakan bahwa Anita selalu ia hubungi.Alina hendak memencet nama itu, tapi urung. Men
“Ingin sekali pergi dan menghindar, saat tak ada lagi bahu untuk bersandar. Kemana akan berserah diri? Di kala jawaban yang masih bertanya, tentang kebenaran jati diri cinta.”Tidak ada yang lebih menyakitkan saat melihat seseorang yang sangat kita rindukan berada dalam jangkauan, tetapi terasa sangat jauh. Itu yang dirasakan Alina.Ia menapaki tangga menuju lobi dengan langkah sedikit goyah. Ia sangat kecewa oleh karena niat baik tidak selalu mendapat imbal balik yang sepadan. Berniat memperbaiki diri, tetapi tetap saja aral melintang menjadi sandungan.“Al, cepat sini. Keburu telat,” panggil Meli di depan lift.Senyumnya mengembang melihat Meli melambai. Alina memasukkan handphone yang semula dalam genggaman ke dalam tas sambil berjalan. Buru-buru memasuki lift yang sudah terbuka. Ia mengangkat wajah, seketika senyumnya meluruh bersamaan dengan tatapan seseorang di dalam lift.Fatih.Alina terkejut ketika tangan kekar itu menyentak hingga ia masuk. Keadaan yang tidak siap membuatnya
“Mas,” kejut Alina. Sendok terjatuh tanpa sadar.“Setelah ini, temui aku ke ruanganku.”Fatih meninggalkan Alina dengan semua keterkejutannya. Ia ingin memanggil pria yang hanya tampak punggung itu, tetapi batal karena tidak ingin menjadi pusat perhatian. Terlebih Fatih menginginkan dirinya tidak mengungkit jati dirinya di kantor ini.“Jangan-jangan, mas Fatih mendengar percakapan tadi,” gumam Alina resah.Akhirnya, Alina memilih menutup bekal dan berjalan cepat mengejar Fatih.Disaat yang bersamaan, muncul Anita yang akhirnya berjalan menjajari langkah Fatih.Alina memperlambat langkahnya, berharap Fatih menoleh ke belakang, lalu menemukannya, mengajak berbicara berdua saja dan mengungkapkan keresahannya.Ah, hanya angan. Terlebih, keberadaannya satu kantor dengan Fatih, malah semakin memperjelas status Alina sebagai atasan dan bawahan. Bukan lagi suami dan istri.Alina kembali ke meja kerja, tanpa berniat kembali lagi ke kantin. Melupakan Meli yang sudah memesan jus untuknya.Hingga
Ia meraih handphone yang terselip di bawah bantal. Mengetik pesan pada Meli, memintanya untuk menanyakan perihal denda untuk kontrak kerja yang ia batalkan.Lima menit. Tak ada balasan dari Meli. Padahal pesan yang Alina kirim sudah bertanda centang biru.Sepuluh menit. Rasa sabar seperti terkikis, Alina mulai gelisah.“Telepon aja, deh!”Alina menekan nomor yang bertera nama Meli di sana.“Halo Mel, kok gak diangkat, sih?”“Halo,” jawab Meli dari seberang.“Pesan Gue sudah Lo baca?”“Sudah, Al, tapi ... tapi anu ...,” ucap Meli menggantung.“Kenapa, sih, jadi gagap begitu? Gimana, bisa apa nggak?”Hening. Tak ada jawaban dari Meli.“Mel!”“Lo tanya gak pada waktu yang tepat, Al.”“Kenapa? ‘Kan waktunya istirahat sekarang? Memangnya lo di mana?” tanya Alina beruntun.“Di ruangan pak Fatih.”“Hah!”Seketika, Alina langsung memutus sambungan teleponnya.“Matilah! Pasti Meli diinterogasi sama mas Fatih. Jangan-jangan, dia sudah tau kalau aku hamil,” gumamnya.Ia terlonjak dan duduk di te
“Menangis adalah caraku mengungkapkan kesediaan di saat bibir ini tidak mampu lagi menjelaskan tentang rasa sakit.” Alina Putri.Pasrah, sementara cara itulah yang bisa dilakukan Alina, sepulang dari apartemen yang ditempati Fatih.Sekuat apapun menahan rasa sakit, tetap tidak bisa membelokkan kenyataan bahwa Fatih dan Anita telah mengkhianatinya. Perih yang tak terkira, membuat tubuh Alina lemah. Bahkan semalaman, ia hanya makan sepotong roti dan segelas susu. Itupun terpaksa ia telan karena tidak ingin anak dalam rahimnya kelaparan.Pagi hari, sakit pada kepalanya semakin menjadi, hingga membuat Alina terpaksa meminta izin untuk absen bekerja.“Aku gak bisa seperti ini terus. Percuma berusaha mengejar simpati mbak Nita dan mas Fatih, mereka tidak akan memperdulikan aku. Pantas saja mereka berusaha menyingkirkan aku.”Kepala enggan berpindah dari bantal. Rasa sakit di hatinya tentu tidak bisa diabaikan. Ia hanya bisa pasrah.“Kira-kira, bisa gak ya, kontrak kerjanya dibatalkan? Aku g
Fatih terdiam tanpa menimpali. Membiarkan Alina menangis dan mengumpat. Sudah seharusnya Alina mengetahui hubungannya dengan Anita.“Silahkan membenci. Aku dan mbakmu sudah lama saling mencintai jauh sebelum mengenalmu. Jadi, perasaan kami tidak mungkin bisa hilang dalam hitungan hari.”Alina menutup telinga, dadanya terasa panas oleh pengakuan yang Fatih baru saja ia dengar.“Kenapa kalian nggak ngomong sebelum kita menikah?”“Karena papamu sakit. Apa kamu nggak lihat bagaimana ibu berusaha meyakinkan papamu kalau sebaiknya tidak melanjutkannya perjodohan itu?”“Aku nggak tau. Kalau aku tau kalian saling mencintai, aku nggak mungkin menyetujui perjodohan itu.”“Bulshit! Kamu keliatan tenang-tenang saja tanpa berusaha bertanya pada mbakmu yang berusaha menutupi luka batinnya.”“Aku benar-benar nggak tau kalau mbak Nita sering menangis karena masalah itu.”“Cukup! Tak perlu membahasnya lagi. Toh tidak akan mungkin mengembalikan keadaan seperti semula,” ucap Fatih dengan nada ketus.“Ak
Dalam perjalanan pun, Fatih dan Alina masih saja berdebat. Alina yang tak berdaya dengan perintah Fatih, akhirnya mengikuti perkataan Fatih untuk berpindah dari kosan itu.“Kalau nanti rumahnya tidak membuatmu nyaman, kamu boleh mengubah semua tatanan di sana sesuatu seleramu biar kamu betah, ucap Fatih sambil menjalankan mobil.“Kenapa nggak sekalian dibuat sesuka hati Mas Fatih saja? Aku jadinya nggak perlu memilih ini dan itu. Buat apa jika ujung-ujungnya apapun pilihanku tidak dianggap.” Alina menanggapi.“Aku nggak mau berdebat lagi. Capek,” balas Fatih.“Aku lebih capek lagi. Hidup dibikin mainan sama kalian berdua.”“Sebaiknya kamu diam mulai sekarang.”“Jika aku diam dan mengalah, bukan berarti pasrah. Aku butuh jeda demi menata hati,” ucap Alina.“Sudah, dong, Al. Aku hanya ingin kalian mendapat tempat tinggal yang layak. Jangan berlebihanlah!”“Kemarin Mas bilang, kalau aku harus mandiri, harus bisa menyelesaikan masalah sendiri, dan jangan tergantung kepada orang lain.”“Bi