"Hem ... Sepertinya kamu salah orang kalau mau minta nasehat, bukankah kamu sendiri tahu kalau aku sudah gagal, Put."
"Enggak Sa, buat aku kamu tuh enggak gagal, justru kamu hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Mungkin jodoh kamu bukan dia, iya kan? Kamu jangan sedih ya?"Digenggamnya lenganku. Wajahnya mulai terlihat khawatir. Kugelengkan kepala, menyangkal ucapannya. Aku memang tak lagi bersedih atas perpisahan yang terjadi."Enggaklah, sudah biasa aku Put. Aku kuat begini ya karena anak-anak. Aku harap, pernikahan kamu nanti langgeng sampai maut memisahkan.""Aamiin ... .""Udah sore nih, kita cari makanan yuk, laper nih."Kebetulan juga kangkung yang dipegang kedua anakku sudah habis, kini mereka bergerak mendekati aku dan Putri yang duduk manis di pinggir kandang besar berisi puluhan rusa."Ibu, haus Bu, beli itu boleh, nggak?"ucap anak bungsuku sambil menunjuk penjual es krim putar yang sedang melayani pembeAku baru turun dari taxi saat mendengar namaku dipanggil. Sontak aku menoleh dan mencari sumber suara. Ada Mas Ari serta Mama di sana, di depan toko. Mau apa lagi mereka?"Ayah … !" seru kedua anakku, kemudian menghambur ke pelukan ayahnya.Mama bergerak mendekati aku, kemudian membisikkan sesuatu.Aku tak peduli dengan apa yang beliau ucapkan, karena hanya memicu gemuruh di dada ini."Anak-anak, kita masuk dulu, yuk," ajakku pada keduanya.Bukan aku tak menghargai kedatangan Mama serta Mas Ari. Namun aku tak mau anak-anak melihat keributan antara dua orang tuanya. Mereka juga terlihat lelah sejak dalam perjalanan tadi."Biarkan kami melepas kangen dulu, Dek, kan sudah lama kami nggak ketemu.""Ayah, kami capek, adik sudah ngantuk, lihat," si Kakak menunjuk adiknya yang sedang menguap.Mas Ari nampak kecewa. Tanpa aku berkata, ia telah mendengar sendiri dari lisan Arsy."Hem … padahal ayah kangen, lho sama k
Hari masih gelap saat ponselku bergetar. Kedua anakku masih anteng di kasur. Aku sendiri baru selesai merapikan mukena setelah menjalankan sholat Subuh.Memeriksa ponsel, ada puluhan pesan dari Mas Ari. Entah mengapa ia mengirim pesan sebanyak ini. Baru teringat kalau sejak semalam aku belum memeriksa ponsel. Setelah makan bersama anak-anak serta dua orang karyawan, aku langsung naik ke tempat tidur mengelus kepala buah hatiku. Tanpa disadari aku ikut terlelap. Sedangkan pekerjaan masih ada, yaitu mengurus toko online.Di antara puluhan pesan dari Mas Ari, ada satu pesan yang terselip di sana. Justru pesan itu menuntun jemariku untuk memeriksa lebih dulu. Dari Pak Ilham."Selamat malam, Bu Lisa. Mohon maaf, sekedar mengingatkan, kalau pembukaan toko saya, dilakukan lima hari lagi. Untuk pesanan, saya mau nambah ya, Bu. Pizza boks besar, Pizza mini lima ribuan, pizza mini. Kesemuanya masing-masing dua ratus piece."Pesan itu ku
"Sepi ya, Mbak, nggak ada anak-anak."Ucapan Karin menghentikan gerakanku yang sedang menyuapkan potongan buah naga ke mulut. Sudah jam sembilan pagi, dan perutku baru terisi sedikit makanan. Nasi bungkus pemberian Mas Ari kuberikan pada pengemis yang datang saat aku masih menunggu ojek yang kupesan.Bukan tak menghargai pemberian mantan suamiku. Namun, rasa iba melihat bibir pucat serta badan renta yang lemah, membuat aku tergerak mengulurkan sebungkus makanan yang berada di tanganku, selain selembar uang yang kuselipkan di sana.Aku juga sudah lama mengubah pola makan. Setiap pagi aku hanya makan buah, baru makan besar saat jam dua belas siang. Aku bersyukur asam lambungku membaik setelah mengubah pola makan ini.Kuterapkan ini juga pada kedua anakku. Mereka mulai bersedia mengganti sarapan biskuit maupun roti dengan potongan buah serta jus buah. Dulu, hampir setiap hari ada biskuit untuk mereka sarapan."Ini nanti kenyangnya awet."Selalu seperti
"Alhamdulillah ibu sehat. Ada yang mau bicara nih, sama kamu.""Siapa, Bu?" tanyaku ingin tahu.Terdengar suara kresek-kresek dari seberang telepon."Aku Mbak, adikmu yang cantik tiada duanya. Mau ngucapin makasih sama Mbak Lisa yang makin tua makin cantik."Suara tertawa pelan terdengar dari sana. Memanglah adikku ini, suka sekali menggoda kakaknya."Astaghfirullah, orang kalau muji itu yang ikhlas kenapa, pakai embel-embel tua segala," ucapku, lalu tertawa kecil."Eh, tapi makasih ya, udah bilang Mbak cantik, Dek," tambahku lagi."Iya, sama-sama. Bajunya bagus banget lho, Mbak. Modelnya kekinian, bahannya juga adem, terus nggak nerawang kalau dipakai. Pasti mahal, ya?"Terbayang wajah adikku jika sedang antusias seperti sekarang. Bola mata itu pasti sedang membesar sebab merasa kagum sekaligus penasaran."Ya, sesuai kualitas, Dek. Mahal murah itu kan relatif."Kujawab apa adanya, sebab mengal
POV AriHari sudah sore saat Lisa menghubungi aku. Akhirnya, yang kutunggu sejak pagi tadi terwujud juga. Pasti nasi krawu itu meluluhkan hati mantan istriku. Mana mungkin ia menolak, secara itu makanan favorit dia. "Mas, aku kangen sama ... .""Tentu Dek, Mas juga kangen sama kamu," potongku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Nggak nyangka ia masih menyimpan rindu, pasti dia nyesel sudah menceraikan aku, meski aku belum rela pisah sama dia. Coba kalau masih hidup bersama, pasti bisa puas kangen-kangenannya."Yey, ge er. Aku kangen sama anak-anak, bukan sama kamu. Tolong ya, Mas, aku mau vicall sama mereka, sebentar saja."Dia pasti gengsi mengakui kalau kangen sama aku. Anak-anak cuma dijadikan alasan untuk menutupi gengsinya. Dasar, orang kok gengsian. Nggak capek apa, pura-pura bilang enggak kayak gitu?Hampir saja kujawab kasar karena ia meledekku, untung saja dia cantik. Ya, aku tak bisa tidur semalama
"Bunda?"Terlihat Lisa mengernyitkan kening. Aduh, jangan sampai Lisa tau kalau ada Citra di sini. Aku kan lagi pedekate, biar dapat hatinya, lalu ambil hartanya."Iya Bu, kata Nenek, adek sama kakak punya Bunda di sini."Arsy tak mengerti meski sudah kukasih kode supaya diam. Tapi biarlah, nanti aku cari alasan kalau Lisa mencari tahu tentang Bunda yang disebutkan oleh Arsy. Asyik juga kan, kalau punya dua istri yang banyak uang?"Oh, begitu. Baiklah sayang, nanti pulangnya jangan malam ya, kan besok pagi harus sekolah, oke?""Oke Bu, tenang saja."Tiba-tiba saja Mama mengambil ponsel yang sedang dipakai video call. Mama bergerak menjauhi kami bertiga. Aku tak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh Mama, tapi aku melihat ekspresi Mama yang tak enak dilihat.***Mobil Mama melaju di tengah keramaian jalan raya. Akhir pekan kali ini jalanan ramai sekali. Kami bersiap menuju rumah Mama. Di sanalah aku
Sepanjang hari aku tak bisa fokus bekerja. Bayang-bayang wajah Lisa terus menari-nari di dalam benak.Besar sekali perubahanmu, Dek Lisa. Hampir-hampir aku tak mengenalmu sebagai mantan istri.Andai ada jalan untuk kita kembali, tentu aku akan sangat senang sekali. Terlebih lagi, kamu sudah sangat berkecukupan sekarang.Aku tak akan pusing dengan pengaturan gaji sebulan yang tak pernah tersisa. Terlebih lagi sejak dikelola Mama. Semua habis untuk bayar arisan dan arisan. Restoran Mama tinggal satu, itu pun sudah di ambang kebangkrutan, sebab tak didukung dengan baiknya pengelolaan pemasukan.Gaya hidup Mama memang sungguh luar biasa. Aku tak habis pikir, untuk apa Mama membawa pulang berpotong-potong pakaian model baru, tak jarang juga tas seharga puluhan juta hanya demi gaya.Eh, tapi, Mama kan pinter juga sekarang mendekati Citra. Bisa jadi tambang emas berikutnya kurasa.Terlebih lagi bayang akan berhasilnya gugatan
Ciuman dan pelukan kuberikan berulang kali hingga mereka geli sendiri. Rinduku sejak kemarin seakan menemukan muaranya. Rasa sepi yang menyerang diri mulai menguap dengan sendirinya. Aku berharap bisa terus mendampingi mereka tumbuh serta melimpahi dengan kasih sayang."Pak di depan ada toko buah nanti mampir dulu di situ, ya?" pintaku pada sopir yang masih fokus pada ramainya arus lalu lintas pagi ini."Baik, Bu," jawab beliau, lantas memperlambat laju kendaraan.Kedua anakku ikut menghambur ke luar begitu pintu terbuka. Kubebaskan mereka memilih buah yang mereka suka. Sekalian saja kubeli untuk stok di rumah nanti.Mobil kembali melaju ke sekolah anak-anak. Halaman sekolah masih ramai dengan orang tua yang mengantar saat kami sampai."Selamat belajar, Sayang. Ibu pulang dulu, nanti ibu jemput lagi, oke?" ujarku saat mereka selesai bersalaman."Oke, ibu." Keduanya menjawab bersamaan, lantas bergabung dengan t