NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa, Pak?" tanyaku saat Pak Wan malah diam ketika memintanya ikut turun. "Mbak Suci beneran tinggal di rumah ini?"Aku mengangguk."Saya salut sama Mbak Suci. Anak orang berada, tapi bisa hidup sederhana. Padahal dari kecil Mbak Suci terbiasa hidup berkecukupan."Sebenarnya untuk hidup sederhana aku tidak begitu kaget. Karena dalam bergaul pun tidak pernah memilah teman hanya karena materi. Almarhumah Bunda Ratri juga tidak pernah menunjukkan kemewahan yang beliau miliki. Padahal beliau juga terlahir dari orang berada. Kekayaan yang dimiliki orang tuaku bukan dari mengandalkan warisan. Mereka bekerja keras untuk mencapai keberhasilan saat ini.Sebenarnya sifat Ayah pun hampir sama dengan Almarhumah Bunda Ratri. Hanya saja setelah menikah dengan perempuan yang salah, sekarang beliau terlalu mempermasalahkan soal materi.Orang tuaku memiliki tiga rumah mewah, salah satunya yang ditempati Ayah saat ini dan menjadi rumah utama. Serta Villa kelua
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP Setelah pulang mengantar Dila, aku melihat di rumah Bu Atik banyak ibu-ibu sedang kumpul. Tidak berapa lama mereka keluar dari pintu gerbang dan melihat ke arahku yang baru saja memakirkan mobil. Membuka pintu belakang dan mengeluarkan beberapa kantong belanjaan. Tadi habis dari sekolah Dila, aku mampir ke mini market membeli segala kebutuhan pokok rumah dan juga jajan Dila."Ci, belanjanya banyak banget." Emak keluar dan membantuku. "Kebutuhan pokok, Mak. Mumpung ada rezeki.""Mampir, ibu-ibu," ucap emak ketika melihat ibu-ibu tersebut semakin mendekat ke rumah kami. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. "E-eh Emak. Mau ada acara, Mak? Kok belanja banyak," tanya salah satu dari mereka."Tidak ada. Emak saja kaget Suci belanja banyak begini.""Suci kok tiba-tiba banyak duit, ya. Padahal baru sehari jadi pembantu. Aneh," celetuk lainnya."Iya, aneh. Kerja satu bulan saja paling gaji pembantu berapa." Disusul ucapan demi ucapan y
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP POV EVIKenapa badan jadi meriang begini. Jangan-jangan ucapan Suci kemarin tidak main-main. Aku mau dijadiin tumbalnya. "Ayo, Ma. Papa antar ke dokter sekarang," ajak suamiku."Sepertinya sakit Mama bukan sakit biasa, Pa," jawabku sambil mengusap bagian tubuh yang terasa nyeri."Bukan sakit biasa gimana?""Mending kita ke orang pintar saja, Pa." "Orang pintar?""Iya, sakit Mama ini karena mau dijadikan tumbal oleh Suci. Kemarin dia bilang sendiri. Banyak saksinya.""Suci istrinya Ihsan?""Siapa lagi. Ayo, Pa, cepetan. Mama takut."Akhirnya aku dan Mas Marno pergi ke tempat Mbah Sih–orang pintar yang cukup terkenal di daerah kami. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat perempuan tua yang umurnya sudah hampir seratus tahun itu. "Mbah, saya mau minta tolong. Apa benar ada orang yang mau menjadikan saya tumbal pesugihan?" tanyaku ketika sudah bertemu dengan Mbah Sih. Dia menatapku lalu memegang kepalaku dengan sedikit menekan. "Apa
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Aku tidak habis pikir dengan Bu Evi. Sudah jelas diagnosa'nya demam berdarah. Masih saja mikirnya mau dijadikan tumbal.""Ya, sudah, Dek. Biarkan saja dia mau bicara apa. Namanya juga Bu Evi.""Mereka itu kenapa, sih, Mas, sama aku. Cuma masalah nasi kotak, sekarang merembet ke mana-mana. Kemarin dihina karena tidak punya uang. Sekarang aku ada rezeki lebih dipikir punya pesugihan. Sekalian saja 'kan aku bilang mereka akan jadi tumbal. Eh … beneran nanggepinnya. Ada-ada saja. Diam diinjak, bersuara salah."Sesampainya di rumah. Ibu-ibu geng'nya Bu Evi ternyata masih ada. Tadi waktu Bu Evi pingsan, aku dan Mas Ihsan yang mengantar ke rumah sakit dengan angkot. "Assalamu'alaikum.""Bu Kadus, Suci sudah pulang," ucap ibu-ibu tersebut tanpa menjawab salam dari kami.Bu Kadus pun keluar bersama Emak. Kenapa Bu Kadus ada di sini? Padahal beliau 'kan sedang punya hajat."Mbak Suci, bagaimana keadaan Bu Evi," tanya Bu Kadus."Aduh, Bu. Kenapa ditanya s
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Kenapa kamu menampar Bu Yati, Ci? Emak tidak apa-apa," terang Emak setelah keluar dari rumah Bu Evi."Maafin Suci, Mak. Tadi reflek. Kening Emak sampai merah dan benjol begitu kok bilang tidak apa-apa.""Pasti nanti jadi masalah lagi.""Emak tidak perlu mikirin hal itu. Suci yang akan menghadapi mereka. Kesabaran Suci sudah habis, Mak."—----------"Ada apa, Mas?" Aku menoleh ke arah Mas Ihsan dengan mata setengah terbuka. Memandang ke arah jam yang menempel di dinding. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam."Bangun dulu!" pintanya. Aku segera merubah posisi tubuh setengah duduk.Tiba-tiba Mas Ihsan mencium keningku sambil mengucapkan selamat ulang tahun. Doa pun dia panjatkan. Membuat perasaanku begitu haru. Aku sendiri bahkan tidak ingat kalau di pergantian tanggal ini adalah hari ulang tahunku. "Terima kasih, ya, Mas. Terima kasih atas doanya. Terima kasih atas kasih sayang, perhatian dan kesabaran untuk'ku selama ini.""Aku ada sesuatu u
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Harusnya orang-orang seperti Bu Evi dan gengnya itu yang mesti merubah cara pikir dan memperbaiki sikap agar dusun kita ini adem ayem," jawab emak ketika aku menceritakan kejadian saat PKK."Suci heran, Mak. Kok ada warga dusun seperti mereka.""Jangan salah, Ci. Justru orang dusun banyak yang seperti itu. Apalagi kalau memiliki materi lebih dari lainnya. Sampai lupa kalau di atas langit masih ada langit.""Assalamu'alaikum." Terdengar ucapan salam yang menghentikan obrolan kami. Suara itu? Sepertinya aku kenal. Aku yang sedang melipat baju dibantu Emak segera beranjak untuk memastikan bahwa suara barusan adalah suara Ayah.Benar saja. Beliau berdiri di depan pintu sambil tersenyum. Aku tidak menyangka Ayah akan datang ke sini."Sampai kapan membiarkan Ayah berdiri di luar? Apa kamu tidak ingin mempersilahkan masuk?""Ayah." Segera mendekat dan memeluk beliau. "Kenapa Ayah tidak bilang kalau mau ke sini?" tanyaku mendongakkan wajah."Memangnya
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Dek," panggil Mas Ihsan saat aku dan Dila pulang dari rumah Bu Kadus. Mas Ihsan sendiri baru pulang kerja. "Dari mana kalian?" tanya Mas Ihsan ketika kami sudah masuk ke dalam angkot."Habis nyelesein masalah, Mas." Menghembuskan napas kasar sambil menyadarkan kepala di sandaran jok."Masalah apa?" Mas Ihsan menjalankan angkotnya. "Ceritanya panjang, Mas. Nanti aku ceritain kalau sudah sampai rumah."Setelah sampai rumah, aku masak air untuk mandi Mas Ihsan dan membuatkan teh hangat."Ini, Mas. Diminum dulu," tawarku.Mas Ihsan meraih teh dari tanganku dan meneguk tanpa sisa. "Terima kasih, Dek. Teh buatan kamu selalu pas dan nikmat," pujinya. Kata-kata yang membuatku merasa dihargai sebagai istri. "Oh, ya, Ci. Tadi kamu belum jawab pertanyaan Emak. Kenapa Dila diminta ke rumah Bu Kadus. Memangnya ada apa?" tanya emak penasaran.Mas Ihsan menatapku, menunggu penjelasan yang sudah kujanjikan tadi."Soal Bu Yati, Mak. Suci minta balik uang yang
NASI KOTAK BUATANKU DISHARE DI GROUP "Cepetan. Ngebut sedikit! Jangan sampai ada yang lihat saya dibonceng kamu," ucap Bu Yati sambil membenamkan wajah di punggungku."Memangnya kenapa kalau ada yang lihat?" "Masih nanya. Nanti saya dikira pro sama kamu. Bisa bahaya kalau Bu Evi sampai tahu.""Memangnya Bu Evi mau bantu Bu Yati waktu susah begini? Takut kok sama manusia. Takut sama Tuhan, Bu.""Ngga perlu ceramah. Ini kapan sampai rumah kamu. Kenapa perasaan lama banget," protesnya. "Lha wong saya mau ke warung dusun sebelah dulu. Tadinya 'kan mau ke mini market. Tapi ngga jadi karena Bu Yati.""Astaga. Kamu sengaja, ya, ngajakin saya muter-muter."-Sampai di depan rumah, Bu Yati lari dan nyelonong masuk begitu saja, tanpa permisi apalagi salam.Emak yang sedang duduk sampai kaget."Ada apa ini, Ci?" tanya emak."Tidak ada apa-apa, Mak.""Terus, Bu Yati?" Emak bingung.Aku tersenyum sambil mempersilahkan pria penagih utang yang masih berdiri di ambang pintu."Assalamu'alaikum," uc