Share

Bab 4

 

 

"Stop!" teriakkan Wira memekik membuat keriuhan itu senyap kembali, tetapi kini semua pasang mata memandangnya.

 

"Oh jadi ini lakinya yang dungu itu? ngelepas istri shalihah dan malah mungut lont* murahan?" teriak seorang ibu-ibu dari arah belakang.

 

"Iya bener, dia itu 'kan bos yang perusahaannya bangkrut."

 

"Jangan-jangan perusahaannya bangkrut karena sial udah nikahi perempuan itu?"

 

"Dasar pelakor bawa sial! Lebih baik lu cerein lagi aja dia dan balik ke istri sah lo dijamin tar bakal kaya lagi."

 

"Ya betul!"

 

Semua hinaan itu tentu saja seperti menusuk-nusuk hati Diandra, jika Wira belum jatuh miskin ia sudah pasti menuntut mereka semua ke jalur hukum atas pencemaran nama baik dan tindakan tidak menyenangkan.

 

Merasa jengah, Rara segera membayar ke kasir dan pergi dari kekacauan itu, ada kesal di hatinya karena makanan tadi tak habis semua, jadi mubazir 'kan?

 

Ia kembali pulang ke rumahnya yang kini sudah seperti neraka, sisi hatinya ingin pergi saja dari sana. Namun, hukum agama mengatakan jika perempuan dicerai maka ia tak boleh keluar dari rumah suaminya sebelum masa Iddah selesai.

 

Sungguh sangat berat dijalani, terlebih ada Diandra yang membuatnya tak nyaman, untung masih punya iman.

 

**

 

"Ayo, Sayang, kita pergi dari sini," ajak Wira sambil menggandeng istri barunya keluar dari kekacauan tersebut.

 

Mereka berdua keluar dengan hati jengkel luar biasa, mana perut keroncongan, kini sepasang pengantin baru itu kebingungan mencari rumah makan lain yang tentunya lebih murah.

 

"Ngeselin banget tahu ga mereka itu, pokoknya kamu harus tuntut perbuatan mereka semua biar tahu rasa!" tegas Diandra sambil menyebrang jalan.

 

"Sudahlah ga usah diperpanjang, lagian ini resikonya kalau kamu minta dinikahi cepat-cepat," jawab Wira tak mau ambil pusing.

 

Mikirin bisnis aja kepala sudah mau pecah, ini lagi malah nambah masalah yang tak penting.

 

Kalau begini Wira jadi rindu kelembutan seorang Rara. Jika ia capek pulang kerja atau ada masalah di perusahaannya, wanita itu pasti menghibur dengan berbagai cara, dan tak lupa memberikan doa agar masalah segera sirna.

 

"Terus kita makan apaan Mas?!"

 

Tepukan di bahu membuatnya terperanjat, padahal ia sedang asyik-asyiknya bernostalgia tentang Rara yang kini berubah sedingin kutub utara.

 

"Masak di rumah aja ya. Tuh ada tukang sayur kamu belanja gih." Wira menunjuk ke arah tukang sayur yang dikerumuni para ART komplek ini.

 

Diandra mengentikan langkah lalu menatap suaminya dengan jengkel, seumur hidup baru kali ini seorang Diandra belanja di tukang sayur keliling, menyebalkan! 

 

Padahal harapanku menikah dengannya ingin menikmati bagaimana indahnya jadi istri Sultan, eh sekarang ia malah seperti gelandangan, mau makan saja harus capek-capean terlebih dulu.

 

"Kamu aja sana yang belanja, aku malu lihat aja di sana babu semua, iew." Diandra bergidik jijik.

 

Walaupun ayahnya bukan seorang pengusaha kaya, tapi ayah dan ibunya selalu berusaha memanjakannya, sejak kecil hingga dewasa ia terbiasa menikmati kemewahan.

 

"Ya sudah kalau gitu kita sama-sama belanjanya, ayok." Dengan sabar Wira menggenggam jemari istrinya walau dalam hati dongkol luar biasa.

 

Rara saja tak pernah masalah belanja di tukang sayur keliling.

 

Kehadiran mereka disambut dengan bisikan dari genk ART di komplek itu, bola mata mereka melirik tak suka ke arah Diandra, lepas itu mereka saling berbisik membicarakan keburukan Diandra yang menjadi duri dalam rumah tangga Rara dan Wira.

 

Di komplek ini berita perceraian Rara yang mendadak dengan cepat menyebar dan telah sampai ke telinga kedua orang tua Rara.

 

Terlebih mereka mengadakan pesta pernikahan mewah, tentulah para netizen semakin dibuat geram.

 

"Mau beli apa, Neng? tumben Pak Wira turun tangan temani istrinya, ke mana Mbak Rara?" sapa Mang Kadir tukang sayur yang diperkirakan berumur tiga puluh tahunan itu 

 

Diandra membulatkan mata tanpa jawaban, ia tak suka nama Rara disebut-sebut di hadapannya.

 

"Oh iya maaf lupa, udah dicerai ya." Mang Kadir cekikikan karena merasa tak enak.

 

"Kamu mau beli apa, Sayang? daging, ayam, atau udang?" Wira menunjuk ke arah lauk pauk yang ia sebutkan.

 

Diandra merenggut merasa jijik dengan kemasan lauk pauk itu, masa iya cuma dibungkus kresek putih saja, mana banyak darahnya, ga higienis!

 

"Atau mau sayuran?" tanya Wira lagi sok perhatian, padahal dalam hatinya sudah merasa jengah.

 

"Ini emang ga ada lagi ya dagingnya, ga higienis tahu lihat tuh banyak darah yang netes, jijik," sahut Diandra sambil bergidik.

 

Tentu saja lima orang ART itu menoleh tak suka, udah miskin aja belagu dan masih sok kaya, fikir mereka.

 

"Kalau mau higienis jangan beli di sini, sana di pasar swalayan atau di mal," celetuk ART yang mengenakan daster sebetis.

 

"Tahu nih, kalau ga mau beli ya sana jangan sakiti hati penjualnya," sahut ART lain yang digelung rambutnya.

 

"Oh engga apa-apa kok, ibu-ibu. Iya tadi istri saya mungkin ga bener packing-nya lain kali dagingnya dibungkus dengan rapi ga ngasal gini, maaf ya Mbak," sela Mang Kadir sambil tersenyum paksa.

 

"Iya ga apa-apa, kalau gitu kita beli udang aja ya, ini kayanya masih seger." Wira mengangkat satu kresek udang berukuran sedang.

 

Seketika bau anyir menusuk Indra penciuman Diandra, bau banget!

 

"Engga engga! Taro lagi aja, itu udang baunya nyengat banget sih, jangan-jangan udang busuk lagi, yuk kita pergi aja," sahut Diandra sambil menutup hidungnya.

 

Para ART itu melotot lagi, gedek juga lama-lama dengan kelakuan wanita ini.

 

"Heh pelakor! Kalau ngomong dijaga ya, udang ini tuh ga busuk tapi emang baunya begini!" celetuk salah satu diantara mereka.

 

"Tahu nih, lu udah miskin aja belagu apalagi kaya, sadar woi suami loh udah bangkrut gara-gara ngawinin elo!"

 

"Pak Wira juga pake nikahi perempuan kaya begini modelnya, masih mending Mbak Rara, sopan, baik dan ramah, lah dia jauh ke mana-mana."

 

"Huum, cantik juga efek dempul."

 

Tak tahan dihina kedua kalinya, Diandra memilih pergi tanpa kata, masuk ke dalam rumah dan membantingkan diri ke sofa.

 

Dasar para babu sial_an!

 

Wajahnya memerah menahan geram.

 

Di belakang, Wira mengekor sambil ngos-ngosan.

 

"Kamu harusnya ga usah ngomong nyelekit gitu, jadinya orang-orang ga suka 'kan?" tutur Wira mencoba menasihati.

 

"Ya emang kenyataannya begitu udang itu bau, kamu kok jadi belain mereka sih." Diandra makin meradang.

 

"Bukan belain, Sayang. Tapi seenggaknya kamu tadi udah bikin mereka tersinggung, lain kali jangan gitu ya."

 

Diandra makin muak dengan keadaan ini, ia berdiri penuh emosi.

 

"Aku tuh ga tahan hidup serba kekurangan gini! Mereka benar lebih baik kamu ceraikan aku aja, sana balikan lagi sama si udik!" teriak Diandra hingga sampai ke telinga Rara yang sedang rebahan di kamar atas.

 

"Sabar dong, Yang. Aku ini lagi usaha ada temen yang ngajak bisnis bareng, siapa tahu aja berhasil dan kita bisa kaya lagi, kita beli omongan orang-orang itu." Wira berusaha meredam emosinya.

 

"Engga! Aku mau pulang aja ke rumah Mama, aku ga tahan dihina terus!" Rara menepis sentuhan lembut Wira.

 

"Tapi di dalam perutmu ada anak kita, kasihan dia kalau harus lahir tanpa ayah, ayolah kamu sabar sebentar aja." Wira mengelus perut istrinya yang dililit korset dengan kencang.

 

Rara yang mendengar pertengkaran mereka dari lantai atas tiba-tiba tubuhnya meras lemas.

 

'Jadi, ini alasanmu menceraikanku? dan menikahi wanita itu cepat-cepat'

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Lg hamil pake korset ndak tkt anak lu cacat lo? W yakin itu bkn anaknya wira
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status