Share

Sihir Masakan Wilona

Sudah empat hari berlalu sejak malam itu, dan Arshaka masih belum mampir ke tempat Wilona lagi untuk makan malam.

“Bukannya aku berharap lintah itu datang. Hanya saja, bukankah akan lebih baik jika dia sering makan dan memotong sisa bunganya?” keluh Wilona di tengah waktu senggang menjaga rumah makan.

Beberapa hari ini pelanggan cukup sepi, padahal ia harus bekerja keras untuk melunasi hutang.

“Hah ….” Ia hanya bisa menghela. Lagipula tidak ada yang bisa dilakukan sekarang.

Ketika Wilona masih sibuk menghitung sisa hutang dan cara melunasinya, seseorang terlihat datang untuk makan.

Suara langkah kaki yang berjalan mendekati pintu masuk membuat mata Wilona melebar senang. Setelah hampir dua jam tak ada pelanggan, itu membuatnya sedikit lega.

Wanita itu segera bangkit dan bersiap menyapa. “Selamat datang. Ap—” Namun, nada semangat Wilona mendadak berubah jutek saat melihat yang masuk adalah Arshaka. “Mau apa ke sini?”

“Mau makan, lah. Memang ada layanan apalagi selain rumah makan di sini?” jawab Arshaka, sengaja sedikit menggoda.

Tak langsung menjawab, Wilona justru menuliskan sesuatu di atas kertas. Setelah selesai ia memasangnya di depan Arshaka. “Khusus hari ini harga makanan di sini naik dua kali lipat.”

Dahi Arshaka mengerut. “Bisa begitu?”

“Bisalah.” Wilona mengangguk. “Itu karena aku harus membayar hutang yang sangat besar pada rentenir tak berperasaan. Jadi kalau kamu tidak mau, silakan keluar dan makan di tempat lain.”

Bola mata wanita itu bergeser ke arah lain. Sebal sekali rasanya menghadapi pria seperti Arshaka. Meski tidak bisa dipungkiri jika ia sedikit mengharapkan pria itu memakan masakannya.

Sedangkan di hadapannya, Arshaka terlihat menimbang sebentar. Lalu tak lama mengangguk sambil berujar, “Oke. Tidak masalah. Aku akan bayar dua kali lipat.”

Wilona mengangguk-angguk tak peduli. “Kalau begitu silakan ke— eh?” Matanya membulat, ia tidak salah dengar, kan?

Namun Arshaka mengulang dan berkata, “Aku akan bayar dua kali lipat. Jadi cepat masak sesuatu untukku.”

Eh? Wilona mematung di tempat. Sepertinya memeras pria itu jauh lebih mudah dari yang ia bayangkan. Atau justru ia yang sedang diperas?

Beberapa detik otak Wilona bekerja keras untuk menemukan maksud tersembunyi Arshaka. Rasanya mustahil lintah darat seperti pria itu akan langsung setuju tanpa bernegosiasi lebih dulu.

Mungkinkah ia sedang ditipu?

“Apa?” Arshaka mengernyit menatap Wilona yang memandang dengan mata menyipit. “Cepat buatkan aku makan.”

Meski masih dipenuhi curiga, Wilona akhirnya bergerak mundur secara perlahan menuju perapian. Ia mulai menyiapkan beberapa bahan, tapi … rasanya seperti ada yang terlewat.

Ah, benar. Bibir Wilona terbuka. “Jadi, apa yang ingin kamu makan?” tanyanya.

Tak hanya Wilona, Arshaka juga baru menyadarinya. Mungkin karena sudah yakin dengan rasa masakan wanita itu, ia jadi tidak masalah dengan apapun yang akan dimakan.

“Hmm … aku baik dengan apapun. Masak saja yang paling enak,” ucap Arshaka.

Jawaban tidak jelas seperti itu terdengar sedikit menyebalkan untuk Wilona. “Apa? Semuanya enak kalo aku yang masak.”

“Kalo gitu terserah, deh.”

“Ck!” Wilona mencebik. Namun tangannya langsung meraih spidol dan secarik kertas, lagi-lagi ia menuliskan sesuatu di atasnya. “Jadi, mau pesan terserah?”

“Pesan terserah harga jadi tiga kali lipat,” gumam Arshaka membaca tulisan yang Wilona sodorkan. Ludah ditelan dengan kasar. “Kamu licik juga ternyata.”

“Cepat! Jadi pesan tidak?”

Daripada memperpanjang urusan, pria ini akhirnya mengalah. Ia langsung melihat menu apa saja yang tersedia di sana. “Kalo gitu, aku pesan iga asam manis sama rendang,” ujarnya memesan dua makanan termahal.

“Minumnya?”

“Emm … lemon tea?”

“Oke, tunggu sebentar.”

Setelah memastikan pesanan Arshaka, Wilona kembali berbalik untuk menyiapkan bahan-bahan. Tidak semuanya dimasak sekarang, sebab untuk rendang hanya perlu dihangatkan sedikit.

Di saat ia tengah menyiapkan makanan, lonceng yang terpasang di atas pintu masuk tiba-tiba berbunyi. Seorang pelanggan datang.

“Selamat datang. Silakan duduk,” sapa Wilona dengan ramah.

Namun sesaat setelah masuk, ekspresi orang yang baru datang berubah. Dengan ragu bertanya, “Khusus hari ini harga naik dua kali lipat?”

Bibir Wilona menganga. Dengan sigap ia bergegas mengambil kertas yang tadi ditujukkan untuk Arshaka. “Tidak. Hari ini harga normal seperti biasa,” katanya, “silakan duduk dan tuliskan pesanan Anda.”

Lihatlah, wanita itu seperti bunglon yang bisa menyesuaikan warna sikapnya. Hidung Arshaka mengembang, ia hampir tertawa melihat betapa bagusnya akting Wilona.

Ya, walaupun normalnya ia akan kesal karena harganya dibedakan. Akan tetapi, agaknya tidak masalah, sihir di dalam makanan sepertinya memang benar-benar ada.

***

Setelah lidah dan perutnya merasa puas, Arshaka memutuskan untuk langsung pulang. Di sepanjang perjalanan, wajah senangnya tak bisa disembunyikan. Bahkan saat ia tiba di rumah, bunga-bunga seperti masih bermekaran mengelilinginya.

Pria itu berjalan masuk dengan tegap. Bibirnya tidak tersenyum, tapi dua sudutnya nampak tertarik ke atas.

"Makan malam sudah siap, Bos," sapa salah satu anak buahnya dengan apron yang masih dipakai.

Namun Arshaka menggeleng dan tersenyum. "Aku sudah makan. Kalian habiskan saja."

Sontak seluruh mata di sana terbelalak. Bukan kecewa karena bos sudah makan, tapi sangat terkejut karena pria yang biasanya dingin sekarang terdengar lebih lembut meski hanya nol koma sekian persen.

Masih terlena dengan makan malam yang sangat nikmat, Arshaka hanya berlalu tanpa peduli bagaimana reaksi dari para bawahannya.

"Bos terlihat lebih menyeramkan tersenyum seperti itu," bisik salah satu pria yang masih terpaku di ruang  makan.

Yang lain langsung mengangguk setuju. "Menurutmu ada yang salah dengan makanan yang dimakan bos?"

"Bisa jadi. Bos seharusnya tidak tersenyum seperti itu. Apa itu pertanda kalau hidup bos sudah tidak lama lagi?"

Plak! Kepala botak mendapatkan bonus pukulan atas apa yang dikatakan mulutnya.

"Sembarangan kamu! Bisa-bisa hidupmu yang tidak akan lama kalau bos dengar."

Pria tanpa rambut itu meringis, sayang sekali pukulan langsung mengenai kulit kepalanya tanpa ada yang bisa melindungi. Ia tak lagi menjawab, sepertinya benar, diam lebih baik.

Namun setelah dua atau tiga detik mereka diam, Pras yang baru datang setelah mengurus sesuatu di mobil ikut menyela. Dengan senyum haru ia berkata, “Bos kita sedang terkena sihir.”

“Ha?!” Bibir anak buah di sana menganga bersama.

Pras menoleh dan mengangguk. “Sihir cinta.”

Kepanikan sesaat berubah dengan raut wajah yang … entah, sulit dijelaskan. Sihir cinta? Rasanya rumor jika Ronaldo lahir di Citayam lebih bisa dipercaya.

Namun yang tidak mereka ketahui, sepertinya dugaan Pras ada benarnya.

Arshaka tersenyum semakin lebar setelah memasuki kamar. Ia merasa puas. Entah karena hutang bulan ini dibayar dengan lancar, atau sebab wanita yang bisa membuat perutnya merasa dipuaskan. Keduanya terasa sama saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status