Share

Rumah Disita, Tawaran Tinggal Bersama

Setelah semalaman bulan menggantung, kini giliran matahari yang perlahan naik ke peraduan.

Kedua mata Arshaka mengerjap ketika mendengar alarm yang tak kunjung berhenti dari tadi. Tak perlu menoleh, ia segera meraih benda pipih di atas nakas dan melihat pukul berapa sekarang.

Namun saat ia melihat angka sembilan di layar, kedua mata yang tadi masih berat mendadak terbuka lebar.

"Sial! Aku benar-benar tidur seperti orang mati," pekiknya, di detik berikutnya ia segera bangkit dari ranjang.

Entah kapan terakhir kali Arshaka tertidur nyenyak. Agaknya perut yang dipuaskan semalam sungguh membuatnya terlena dalam kenyamanan.

Tak suka membuang waktu, Arshaka bergegas keluar setelah mengenakan pakaian. Rambut disisir seadanya, wajah yang kusut kini sudah rapi seperti baru disetrika.

"Pukul berapa pertemuan dengan Grup Sean?" tanyanya seraya menerima beberapa dokumen dari anak buah.

"Pukul sebelas. Masih ada waktu, Bos."

Mendengar itu Arshaka mengangguk. Dalam hatinya merasa lega, bagaimanapun ia tidak suka terlambat.

"Sarapan sudah siap, Bos," sapa seorang pria berambut ikal dari arah perapian.

Arshaka menengok meja makan sekilas. Kemudian duduk setelah melihat beberapa menu kesukaannya terhidang di sana.

Pertama ia mengambil potongan ayam dengan aroma lengkuas yang menyeruak, persis seperti seleranya. Namun begitu ayam digigit, ada sesuatu yang kurang. Arshaka mengerutkan dahi dengan tidak yakin.

Tidak terlalu puas dengan ayam lengkuas, Arshaka beralih pada sup iga yang aromanya sangat gurih. Akan tetapi, sayangnya harapan Arshaka lagi-lagi dipatahkan. Ada rasa yang hilang di semua hidangan.

"Apa masakanmu selalu terasa seperti ini?" tanya Arshaka.

Seluruh mata di sana saling menatap. Menelisik apakah pertanyaan bos mereka barusan pertanda baik, atau sebaliknya.

Hingga seseorang yang bertanggungjawab atas masakan akhirnya bertanya, "Benar, Bos. Itu adalah resep yang selama ini saya pakai. Apakah ada yang salah?"

Arshaka nampak berpikir sebentar. Bukannya ada yang salah, tapi entah kenapa lidahnya seperti kurang puas dengan apa yang biasa ia makan. Apakah mungkin karena makanan semalam?

Tiba-tiba Arshaka tersadar, tapi ia segera bersikap biasa saja. "Tidak. Mungkin karena aku rindu dengan rasa masakan nenekku," ucapnya.

"Apakah Anda berniat mengunjungi nyonya besar malam ini, Bos? Kebetulan tidak ada jadwal setelah bertemu dengan Grup Sean," ujar Pras, pria yang sudah menjadi asisten Arshaka beberapa tahun terakhir.

Sesaat Arshaka terdiam. Saran dari Pras terdengar masuk akal. Lagipula ia sudah lama tidak mengunjungi wanita yang merawatnya sejak kecil.

"Kita lihat nanti," ucap Arshaka seraya bangkit dari kursi. "Aku mau berangkat sekarang."

Langsung menuruti perintah, seluruh anak buah yang berada di sana mengangguk. Mobil sudah siap, bahkan beberapa pengawal juga terlihat mengekor bos besar mereka.

Sementara itu di sisi lain, di rumah sederhana yang nampak dingin.

Wilona yang tengah sibuk menyiapkan makanan tak sadar jika putranya sudah bangun dan menunggu di belakang meja dapur.

Saat wanita itu berbalik, matanya sedikit terkejut melihat Arjuna duduk dengan wajah masih mengantuk.

"Kau sudah bangun, Sayang? Kamu bisa tidur lebih lama lagi," ucap Wilona sembari menuang sayur ke dalam mangkuk.

Arjuna yang terlihat lesu menggeleng. "Aku tidak ingin terlambat pergi ke taman," ucapnya seraya mengucek mata.

Mendengarnya Wilona tertawa kecil. Ia mengelus rambut Arjuna tepat setelah meletakkan piring ke atas meja. "Kau pasti sudah tidak sabar ingin pergi ke taman."

Setelah hanya mendapat anggukan dan senyuman dari sang anak, Wilona kembali berkata, "Tunggu sebentar. Mama akan siap sebentar lagi."

Beruntung, Wilona benar-benar menepati janji. Sebab tak lama mereka sudah siap pergi.

Taman yang hanya berada di ujung jalan bisa dicapai dengan jalan kaki.

Sambil bergandengan tangan dengan sang ibu, Arjuna terlihat sangat senang melewati trotoar menuju taman. Matahari masih lumayan tinggi, tapi semangat bocah itu jauh melebihi.

Tak lama berjalan, mereka akhirnya tiba di taman yang cukup luas dengan beberapa arena bermain untuk anak-anak.

"Ma, aku mau main di sana," ucap Arjuna seraya menunjuk bak pasir di tengah taman.

Wilona mengiyakan. Namun ia berpesan, "Hati-hati. Bermainlah di tempat mama bisa melihatmu, mengerti?"

Tak banyak protes, Arjuna mengangguk. Lalu berlari menuju bak pasir yang dituju.

Di kursi panjang, Wilona duduk sambil mengamati putra semata wayangnya. Raga dan jiwanya lelah, tapi melihat malaikat kecilnya tersenyum senang, rasanya semua sakit menguap begitu saja.

Kalau bukan karena Arjuna, mungkin Wilona sudah berpikir menyerah sejak lama.

Sementara wanita itu masih mengawasi sang anak bermain, di jalan yang berdampingan dengan taman, sebuah mobil nampak melintas dengan pelan.

"Bagaimana, Bos? Apakah kita akan langsung ke rumah nyonya besar?" tanya Pras yang tengah mengemudi mobil.

Awalnya Arshaka akan mengangguk mengiyakan. Namun saat kepalanya menoleh, tidak sengaja ia melihat sosok yang cukup menarik perhatian.

"Berhenti," ucap Arshaka yang membuat Pras menginjak rem tiba-tiba. "Sepertinya kita ke rumah nenekku besok lagi. Ada hal yang harus aku pastikan."

Tanpa menunggu jawaban dari Pras, Arshaka bergegas turun dari mobil. Membuat kedua mata Pras melotot panik.

"Bos, Anda mau ke mana? Biar saya yang antar," ucap Pras. Sayangnya Arshaka sudah tidak peduli dan langsung berjalan mendekati taman.

Perlahan Arshaka mengatur jas dan dasi yang dikenakan. Entah kenapa, tapi pria ini ingin memperhatikan penampilan sebelum menemui Wilona.

Hingga tak lama .... "Kebetulan sekali bertemu denganmu di sini."

Sontak Wilona terperanjat. Tak ada angin maupun hujan, mendengar suara Arshaka dari belakang benar-benar membuat jantungnya berhenti sesaat.

"Oh, apa aku membuatmu terkejut?" tanya Arshaka setelah melihat reaksi Wilona.

Sejenak Wilona menelan ludah yang mendadak kering. Namun ia harus tenang, tidak boleh terlihat panik di hadapan rentenir seperti Arshaka. "Apa yang kau lakukan di sini? Mengawasiku?”

Arshaka menggeleng.  "Aku hanya penasaran. Bagaimana seseorang yang memiliki hutang besar bisa bersantai di taman seperti ini?"

Mendengarnya membuat Wilona naik pitam. Ia memang punya hutang, tapi apa salahnya bersantai sebentar? Lagipula ia hanya menutup rumah makan satu hari.

Tak terima, Wilona segera bangkit. Ia menatap mata Arshaka dengan tajam. "Dengar. Itu bukan urusanmu mau aku bersantai atau guling-guling. Yang penting aku mampu membayarmu sesuai perjanjian!"

“Kau benar, tapi sepertinya sebanyak apapun kamu bekerja, uang yang dihasilkan tidak seberapa,” ucap Arshaka. Tak lama ia melanjutkan, “Jadi aku datang padamu dengan penawaran yang menguntungkan. Kau harus bersyukur karena aku bersikap baik pada kalian."

Wilona membuang napas, memutar bola mata seolah perkataan Arshaka sama sekali tidak bisa dipercaya. "Apalagi sekarang? Kau pikir bisa memeras—"

"50%." Arshaka menyela, "aku akan memotong hutangmu sebanyak 50% di luar potongan 20% sisa bunga. Bagaimana?"

Mendadak Wilona terdiam. 50% adalah angka yang sangat banyak. Apalagi ia juga masih bisa mendapat potongan 20% dari sisa bunga, bukankah itu sangat menguntungkan?

Tak kunjung mendapat jawaban, Arshaka melanjutkan, "Kau hanya perlu memasak untukku setiap hari, maka hutangmu akan aku potong 50%. Menarik, bukan?"

Wilona masih enggan memutuskan. Tawaran yang terdengar sangat menggiurkan, tapi apa benar lintah darat seperti Arshaka mau memudahkannya semudah itu? Tidak. Pasti ada hal licik lain di baliknya.

“Kau sungguh akan memotong hutangku 50%? Berarti 50% + 20% sisa bunga?” tanya wanita itu memastikan.

Arshaka mengangguk. “Benar. Apa kamu tertarik?”

Tak langsung bisa memutuskan, Wilona mempertimbangkan sebentar. Sebenarnya bukan hal sulit sekadar menyiapkan makanan, tapi rasanya ada yang mengganjal.

“Aku akan memikirkannya dulu.” Akhirnya Wilona tak bisa memutuskan sekarang.

Kemudian, wanita itu memilih mengajak Arjuna pulang. Ya, bersama dengan Arshaka hanya membuat kepalanya semakin pening.

Namun saat ia tengah berjalan, di belakang terdengar langkah kaki yang mengikuti.

Merasa dibuntuti, Wilona berhenti. Ia menarik napas dalam, mencoba menahan emosi di depan sang anak. Setelahnya berbalik dan benar, Arshaka sudah tersenyum di belakang.

"Apa kau tersesat dan tidak tahu jalan pulang? Berhentilah mengikuti kami!" ujar Wilona setengah berteriak.

"Aku tidak mengikuti kalian. Aku hanya berjalan-jalan. Apakah ada larangan aku tidak boleh jalan di sini?"

Wilona tak bisa membantah. Ia hanya membuang napas kasar dan beralih dengan pasrah. "Terserah!"

Semakin kesal, Wilona berjalan lebih cepat. Membuat Arjuna sedikit kewalahan mengikuti langkah sang mama.

Hingga ketika mereka melewati rumah makan Wilona, tiba-tiba langkah wanita itu kembali terhenti. Kali ini bukan karena Arshaka, melainkan sebuah papan tulisan yang terpasang di pintu kaca.

Mengerti apa yang terjadi, Arshaka segera memberi tanda pada Pras yang sedari tadi mengikuti.

Begitu Pras tiba, Arshaka berbisik, "Bawa anak itu menjauh sebentar dari sini."

Setelahnya Arshaka maju, memposisikan diri di samping Wilona.

"Sepertinya mantan suamimu meninggalkan banyak hal untuk kalian. Setelah berurusan denganku, lihat. Bahkan sekarang ia membuat rumah makan kalian disita oleh bank," ucap Arshaka dengan santai, "harusnya bank menginformasikan lebih dulu sebelum menyita. Apa kamu tidak mendapat peringatan apapun?”

Dada Wilona terasa sesak. Ia bahkan tidak bisa membalas ejekan dari Arshaka karena saking jengkelnya, atau memikirkan surat peringatan dari bank atas penyitaan rumah makannya.

"Pria brengsek itu! Apalagi sekarang?" ujar Wilona dengan pelan. Suaranya terdengar bergetar, jelas sekali wanita ini menahan tangis agar tidak keluar.

Merasa kasihan, Arshaka yang tadinya berniat mengorek lebih banyak informasi akhirnya mengurungkan niat. Ia mendekati Wilona, menatap dengan lembut mata yang mulai mengembun oleh air mata.

"Dengar. Tinggallah di rumahku mulai sekarang."

"Kau gila? Kau pikir aku mau menerima begitu saja hanya karena rumah makan kami disita?"

Tiba-tiba wajah Arshaka nampak serius. "Lalu apa yang akan kamu lakukan? Berjualan di trotoar sampai tua? Tinggallah di rumahku, dan aku akan memotong hutangmu."

"Apa yang kau inginkan dariku?"

Arshaka terdiam sesaat. Setelahnya tersenyum dan berkata, "Kau hanya perlu memastikan makanan yang aku makan enak. Itu saja, anggap saja kamu bekerja dan aku membayar dengan memotong hutangmu. Bagaimana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status