“Mas Rafli, aku ingin bicara,” ucapku sambil menatap punggungnya yang sibuk dengan telepon genggam.
Dia mendongak sekilas, lalu kembali menatap layar ponselnya. “Nanti saja, Farah. Aku sedang membalas pesan Karina.” Jantungku mencelos. Lagi-lagi, Karina. Aku mendekatinya, berdiri di depan sofa tempat dia duduk. "Apa yang dia mau sekarang?" tanyaku, mencoba terdengar tenang, meski dalam hatiku sudah berkecamuk. "Alia sedang demam. Dia butuh seseorang untuk membantunya mengantar Alia ke dokter," jawab Mas Rafli tanpa menatapku. Aku berusaha menahan amarah yang perlahan menggerogoti kesabaranku. “Dia tidak bisa menghubungi orang lain? Bukannya Karina punya keluarga atau teman lain selain kamu?” Mas Rafli menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. “Kamu tahu sendiri, Farah. Setelah Yudhi meninggal, Karina tidak punya siapa-siapa. Aku tidak bisa membiarkannya sendirian.” Nada suaranya seolah mengatakan bahwa aku ini tidak berperasaan, bahwa aku salah karena mempertanyakan perhatiannya pada sahabat lamanya itu. “Aku tahu Karina kehilangan suaminya, Mas. Aku juga tahu dia butuh dukungan. Tapi kamu sadar tidak, kamu selalu ada untuk dia dan hampir tidak pernah ada untuk aku? Aku ini istrimu,” suaraku bergetar, separuh karena marah, separuh karena ingin menangis. Mas Rafli menatapku, wajahnya sedikit mengerut. "Kamu ini kenapa sih? Bukannya aku juga selalu pulang ke rumah? Kamu masih punya aku, Farah. Karina hanya punya aku." Kata-katanya menghantamku lebih keras daripada pukulan fisik mana pun. Hanya punya aku. Aku yang berdiri di sini, yang berbagi tempat tidur dengannya, yang mengandung anaknya, tiba-tiba terasa seperti orang asing di hidupnya. “Kamu serius, Mas? Apa kamu lupa kalau aku juga sedang membutuhkanmu? Aku hamil, dan aku bahkan harus pergi ke pemeriksaan kehamilan sendiri karena kamu lebih memilih menemani Alia yang merupakan anak Karina.” Dia terlihat canggung sejenak, seolah berusaha mencari pembenaran. "Aku minta maaf soal itu, Farah. Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Alia merasa kehilangan sosok ayah. Dia masih kecil. Kamu harus mengerti." "Apa aku juga harus mengerti kalau aku ini prioritas terakhir bagimu? Karina dan Alia selalu lebih penting, Mas. Selalu.” Aku menunggu. Menunggu dia menyangkal, menunggu dia mengatakan aku salah, menunggu dia memelukku dan meyakinkanku bahwa aku salah paham. Tapi dia hanya diam. Diam yang menyakitkan. “Farah, aku tidak mau bertengkar. Karina butuh aku malam ini. Aku janji, aku akan bicara denganmu nanti.” Dia mengambil jaketnya dari sofa dan berjalan menuju pintu. “Kalau begitu, kapan aku butuh kamu, aku harus antre ya?” tanyaku dengan nada penuh luka. Langkahnya terhenti, tetapi dia tidak berbalik. “Aku akan pulang secepatnya.” Lalu pintu itu tertutup di belakangnya, meninggalkanku dalam kesunyian yang dingin. Aku duduk di meja makan, menatap makanan yang tidak tersentuh. Tanganku refleks mengusap perutku yang mulai membesar. “Kamu dengar itu, Nak? Sepertinya Ayahmu lebih peduli pada orang lain daripada kita.” Air mata jatuh tanpa bisa kutahan lagi. Aku tidak pernah merasa serendah ini sebelumnya. Karina. Nama itu seperti duri yang menusukku setiap kali disebut. Aku tahu Mas Rafli dan Karina sudah bersahabat sejak lama, bahkan sebelum aku hadir di hidupnya. Aku juga tahu mereka dekat, tapi kedekatan itu berubah menjadi ancaman bagiku setelah Yudhi meninggal. Satu bulan pertama, aku mencoba mengerti. Aku ikut mengantar Mas Rafli ke rumah duka, ikut memberi semangat pada Karina. Tapi perlahan, aku mulai merasa disingkirkan. Karina mulai sering menghubungi Mas Rafli untuk hal-hal kecil. Dari meminta diantar ke pasar, memperbaiki keran bocor, hingga sekadar menemani ngobrol. Dan Mas Rafli selalu ada untuknya. Selalu. Aku mengambil ponselku dan membuka galeri foto. Ada foto kami berdua dari satu tahun lalu, saat Mas Rafli masih penuh perhatian. Dia tersenyum lebar di foto itu, memelukku erat di sebuah taman bunga. Waktu itu, aku merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Tapi sekarang? Aku merasa seperti orang asing dalam pernikahanku sendiri. * Suaraku tercekat ketika mendengar pintu depan terbuka. Langkah kaki Mas Rafli terdengar mendekat. Aku melirik jam dinding. Sudah hampir tengah malam. Dia masuk ke ruang tamu dan langsung menuju dapur tanpa melihatku. Aku menegakkan tubuhku, menunggu dia berbicara lebih dulu, tapi dia hanya mengambil segelas air dan duduk di kursi. "Alia baik-baik saja?" tanyaku akhirnya, dengan nada yang sengaja kutahan agar tidak terdengar sinis. Dia mengangguk sambil meminum airnya. “Alia sudah tidur. Dokter bilang itu hanya demam biasa.” Aku menunggu dia menanyakan bagaimana kabarku atau bayinya. Tapi tidak ada. Hanya hening. “Mas Rafli,” aku memecah kesunyian. “Kamu benar-benar tidak melihat ada yang salah dengan semua ini?” Dia mendongak. “Salah? Maksud kamu apa?” Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan diriku. “Kamu tidak sadar kalau selama ini kamu mengabaikan aku? Kamu tidak sadar kalau aku merasa sendirian dalam pernikahan ini?” Dia menghela napas berat, seperti orang yang lelah menghadapi omelan yang sama. “Farah, aku sudah bilang, Karina butuh bantuan. Dia itu sahabatku. Apa kamu mau aku meninggalkannya begitu saja?” “Bukan begitu, Mas Rafli! Aku tidak menyuruhmu meninggalkan Karina. Aku hanya ingin kamu berhenti memperlakukannya seperti prioritas utama dalam hidupmu. Aku istrimu, Mas. Aku juga berhak mendapatkan perhatianmu.” “Farah, kamu ini terlalu sensitif. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu tahu aku sayang sama kamu.” “Sayang?” Aku tertawa pahit. “Kalau kamu benar-benar sayang, kenapa aku tidak merasa begitu? Kenapa aku selalu merasa seperti bayang-bayang di hidupmu?” Dia berdiri, wajahnya terlihat lelah. “Farah, aku capek. Aku harus bekerja, membantu Karina, dan sekarang menghadapi keluhanmu setiap hari. Aku butuh istirahat.” Kata-katanya membuat dadaku sesak. Aku berdiri, menahan air mata yang hampir tumpah. “Kalau kamu capek, Mas, aku juga capek. Tapi aku tidak pernah memilih untuk lari dari masalah. Aku menghadapi semuanya karena aku pikir kita akan menghadapi ini bersama. Tapi aku salah.” Aku melangkah menuju kamar, meninggalkannya di ruang tamu. Tapi sebelum aku masuk, aku berhenti di ambang pintu dan berbalik menatapnya. “Mas Rafli,” suaraku rendah namun tegas. “Kalau kamu terus seperti ini, kamu akan kehilangan aku.” Aku tidak menunggu responsnya. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu, membiarkan air mata yang kutahan akhirnya mengalir deras. Di luar, aku mendengar suara ponselnya berbunyi. Dan meskipun aku tidak bisa mendengar percakapannya, aku tahu pasti siapa yang menelepon. Aku terbangun beberapa jam kemudian karena mendengar suara langkah kaki. Pintu kamar terbuka perlahan, dan aku berpikir Mas Rafli akhirnya datang untuk meminta maaf. Tapi suara itu tidak berhenti di pintu kamar. Langkah kaki itu beranjak menuju pintu depan. Aku bangkit dari tempat tidur dan mengintip dari balik tirai jendela. Mas Rafli keluar dari rumah, naik ke mobil, dan pergi. Aku tidak tahu ke mana dia pergi di tengah malam seperti ini, tapi di dalam hatiku, aku tahu jawabannya. Dia pergi menemui Karina, batinku dengan hati teriris. * Bersambung... Terima kasih telah membaca ❤️Ketika Mas Rafli pulang, aku tidak menyadarinya. Hingga pria itu menepuk punggungku pelan. Aku sedang melamun di ruang keluarga hingga tidak mengindahkan suamiku yang baru pulang. "Ada apa?" tanya suamiku itu. "Tadi Karina menemuiku," jawabku tanpa menutupi apa pun. Ekspresi Mas Rafli menegang, tampak sekali kecemasan dalam dirinya. Mungkin, dia mengira kalau Karina kembali mengusik ketenanganku."Mau apa dia ke rumah kita? Kau baik-baik saja, kan? Dia tidak melakukan apa pun padamu?" balas Mas Rafli.Aku menggeleng. "Tidak, aku baik-baik saja. Dia hanya meminta maaf dan berpamitan padaku," ujarku dengan tenang."Lalu, mengapa kamu sampai merenunginya seperti itu?" balas Rafli."Entahlah, dia mengatakan kalau sekarang dia telah menjadi istri kedua dari adik iparnya. Apakah dia melakukan hal itu dengan adik iparnya sendiri dan menjebakmu?" Dari tadi, aku selalu memikirkan hal tersebut. Tega sekali Karina melakukannya untuk menghancurkan rumah tanggaku. Membayangkan dirinya melakuka
Kehidupan pernikahanku dengan Mas Rafli kembali membaik. Setelah membuktikan kalau anak yang ada dalam kandungan Karina bukanlah anak Mas Rafli. Tidak lagi terdengar kabar tentang Karina. Aku bersyukur tidak lagi diganggu oleh keberadaannya."Kudengar kalau Karina akan menikah," ujar Kak Widya yang bertandang ke rumahku. "Oh ya? Menikah dengan siapa? Mungkin Ayah dari anaknya sudah bertanggung jawab pada dirinya," balasku dengan senyum di wajah. Kalau Karina sudah menikah, dia tidak lagi menjadi ganjalan dalam rumah tanggaku. Jadi, aku bahagia saja dia menikah dengan orang lain. "Kamu senang dia menikah?" tanya Kak Widya."Tentu saja, aku sangat senang bila dia menikah. Jadi, dia tidak bisa menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku," jawabku dengan tenang."Katanya dia menikah dengan adik suaminya sendiri. Aku tidak tahu mengapa dia memilih untuk menikah dengan adik suaminya. Bisa jadi, anak dalam kandungannya adalah miliknya," ujar Kak Widya. Sedikit terkejut dengan ucapan Kak Wi
POV Karina..."Kamu harus mengikuti keinginanku. Beruntung aku tidak melaporkan hubungan kalian ke meja hijau. Bayangkan bila aku melakukannya. Kamu akan mendekam di penjara," ujar Tiara dengan menggerutu. "Laporkan saja, aku tidak takut. Bila aku mendekam di penjara. Akan aku seret Arifin bersamaku," balasku dengan sengit.Tiara yang tidak bisa hamil, tentu mendapatkan tekanan yang sangat besar dari ibu mertuaku. Bu Tuti kerap kali memaksanya untuk melakukan program hamil. Berkali-kali dia mengikuti program hamil, tetapi tidak berhasil.Aku menyeringai ketika Tiara hanya bisa terdiam mendengar penuturanku. Dia tidak akan bisa membalas semua perkataanku karena ini semua bukan salahku.Perselingkuhanku dengan Arifin bukan merupakan hanya kesalahanku. Arifin juga memiliki andil dalam pengkhianatan kami. Jujur saja, aku tidak mengerti jalan pikiran Tiara yang menginginkan anakku. "Bagaimana bila kamu menjadi istri kedua Arifin saja?" tanya Bu Tuti dengan pelan.Aku terkejut mendenga
POV Karina ..Tidak! Mas Yudhi meninggal begitu cepat membuatku kehilangan semuanya. Dia memang tidak menguak perselingkuhanku. Akan tetapi, dia secepat ini meninggal karena kecelakaan naas tersebut. Kuusap perutku dengan lembut, ketika adik iparku datang untuk mengikuti pemakaman Mas Yudhi aku memanfaatkan kesempatan itu. Aku menginginkan nasib yang jelas untuk anak yang ada dalam kandunganku. Dia tidak boleh pergi dariku dan lepas dari genggamanku."Rif, kapan kamu menceraikan Tiara? Aku sudah tidak mungkin menutupi kehamilanku," ucapku dengan mimik serius.Arifin adalah adik iparku, dia dan Tiara sudah menikah cukup lama. Akan tetapi, keduanya belum dikarunia seorang anak. Hal itu membuatku menggodanya. Awalnya, kami dapat menutupi pengkhinatan ini, tetapi tidak ada lagi yang dapat kami lakukan setelah dengan mata kepalanya sendiri Mas Yudhi melihat kami bermesraan.Untungnya, ketika Mas Yudhi menyetir untuk memberitahukan perbuatan kami. Dia kecelakaan sehingga tidak sempat me
"Ini hasil tes Anda. Bila ada yang ingin dikonsultasikan, bisa Anda konsultasikan ke dokter dengan membawanya ke ruangan," ucap petugas kesehatan yang memberikan sebuah amplop pada suamiku. Hatiku berdebar menunggu hasil tes DNA Mas Rafli. Pria itu segera menghampiri yang duduk bersisian dengan Karina. Wanita di sampingku cukup diam hari ini. Tidak ada sama sekali tersirat kalau dirinya mengkhawatirkan hasil tes tersebut. Kupandangi wajah Karina yang terlihat cekung. Kami sama-sama sedang hamil. Namun, tidak jelas pria yang menghamili Karina. Kuharap semua ekspektasiku menjadi kenyataan dan anak yang ada dalam kandungannya bukanlah anak Mas Rafli."Aku bukan Ayah dari anak yang kamu kandung, Rin," ucap Rafli dengan senyum merekah di wajah. Aku tersenyum mendapati hasil tes yang sesuai harapan. Berbeda dengan Karina yang tampak tidak percaya dengan hasil itu."Apa maksudmu? Tidak mungkin. Pasti kalian melakukan sesuatu pada hasil tes tersebut!" tuduh Karina.Mas Rafli tersenyum meny
"Silakan bila Anda ingin menuntut rumah sakit. Kami juga akan menuntut balik Anda karena ingin melakukan penyuapan," ucap petugas keamanan membuat Karina terdiam. Aku tersenyum miring mendengar perkataan petugas. Kupandangi wajah Karina yang tampak merana. Perbuatan yang tidak sepantasnya itu diketahui oleh kami yang terlibat dengannya.Petugas keamanan memaksa Karina keluar dari rumah sakit. Aku dan Mas Rafli hanya memandanginya. Hatiku bersorak senang ketika dia mendapatkan perlakuan yang sepantasnya.Kutatap wajah Mas Rafli yang tidak terbaca. Apa dia memang memiliki perasaan pada Karina? Terlihat kalau bola mata Mas Rafli menyiratkan kesedihan."Mas sedih kalau anak yang dia kandung bukanlah anakmu?" tanyaku dengan pelan. Mas Rafli menatapku terkejut. "Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya tidak menyangka kalau Kirana dapat melakukan hal seperti ini. Ingin mengubah hasil tes agar aku mau bertanggung jawab," jawab Mas Rafli. Kuselami mata Mas Rafli, tidak ada kebohongan di dalam s
Aku merasa sangat lemas, tidak bertenaga malam ini. Semua makanan yang tadi kumakan telah keluar hingga membuat tubuhku terasa limbung."Bagaimana, Dok? Apa yang terjadi pada istri saya? tanya Mas Rafli dengan raut wajah penuh kekhawatiran.Jujur saja aku menyukai Mas Rafli yang mencemaskan kondisiku. Tidak pernah menyangka kalau hubungan kami akan kembali seperti sebelumnya. "Sebelumnya, saya ingin bertanya kapan terakhir kali Anda datang bulan?" jawab dokter yang membalas pertanyaan Mas Rafli dengan bertanya padaku.Aku terkejut mendengar pertanyaan dokter. Berpikir keras kapan terakhir kali aku mendapatkan menstruasiku. Sayangnya, aku tidak menemukan jawaban yang tepat. Setelah aku pulang dari rumah sakit pasca keguguran. Aku belum mendapatkan datang bulan. Mas Rafli langsung melakukannya padaku. Pria itu tampak mengerutkan dahi ketika aku hanya diam."Ehmm... Maaf, Dok. Saya bulan lalu baru saja keguguran. Hmm... Tidak mungkin kan kalau aku langsung hamil lagi. Kami...""Semua m
Kupegangi pipi yang memerah karena tamparan dari Karina. Mas Rafli, suamiku langsung menegur Karina dengan mengucapkan perkataan yang sepertinya menyakiti hati Karina. "Hentikan, si*lan. Kamu benar-benar tidak bisa aku percaya lagi, Karina. Pergi kamu sekarang juga! Aku sungguh muak dengan kelakuanmu," ucap Mas Rafli kemudian mengelus pipi yang ditampar oleh Karina.Di sudut hatiku, aku ingin menampar balik perempuan yang mengancam pernikahan kami itu. Akan tetapi, mendengar ucapan Mas Rafli aku mengingat kalau dia tidak menyukai wanita yang kasar. "Mas! Mengapa kamu berubah secepat ini? Kita ini saling mencintai. Farah menjadi penghalang bagi hubungan kita seperti ucapanmu dulu, tetapi kamu tetap tidak bisa menceraikannya," ujar Karina masih tidak beranjak dari tempatnya berdiri.Sedangkan, Mas Rafli menemengiku sekarang. Dia tidak membiarkan Karina lebih dekat denganku lagi saat ini. "Aku tidak pernah mengatakan hal itu, Karina. Mungkin kamu saja yang mengkhayal. Dulu, aku memang
Aku memang tidak begitu mengenal Kakak iparku dengan baik. Dia lebih dekat dengan Karina dibandingkan dengan diriku. Namun, Karina yang menikah terlebih dahulu dengan suaminya. Hingga, akhirnya Mas Rafli mengenalku dan menjalin hubungan denganku.Sifat Kak Widya membuatku semakin kecewa. Dia hanya diam tidak menjawab ucapanku. Kerap kali dia mengirimkan pesan untuk mengakhiri saja hubunganku dengan adiknya. Akan tetapi, kali ini dia membelaku di depan Karina. "Jawab, pertanyaanku, Kak. Kakak memang tahu kalau Karina menyukai Mas Rafli? Lalu, apa Kakak menginginkan Karina menjadi adik ipar Kakak saat ini," ujarku sengaja memancing emosi Kak Widya."Jangan sembarangan, Farah. Kamu tahu kalau aku sangat membenci pengkhianatan. Jadi, mana mungkin aku menginginkan wanita ini menjadi adik iparku," tukas Kak Widya akhirnya menjawab ucapanku. "Sudahlah, lebih baik kamu pergi dari sini, Karina. Rafli sudah memiliki keluarga sendiri. Sebaiknya, kamu intropeksi diri. Kamu memiliki anak perempu