"Ha? Mau ini? Mau diapakan? Digoreng? Ya, jangan dong sayang!" canda Ridwan.
"Iihhh, Mas!" jawab Zahra cemberut.Entah kenapa Zahra sangat merindukan kehangat suaminya.Dan Ridwan yang tidak ingin mengecewakan istrinya itu menuntun sang istri menuju walk in closed.Karena di ranjang ada Fatih dan sofa sangat tidak memungkinkan.Apalagi kamar mandi, mengingat perut Zahra yang sangat besar.Ridwan mengambil kasur busa kecil dan diletakkan di meja kaca tengah ruangan yang berisi printilan penunjang penampilan, seperti jam tangan, berlian Zahra, belt dan masih banyak lagi.Ridwan mengunci walk in closed itu takut jika Fatih terbangun dan mencari.Ridwan menggendong sang istri dan dia dudukan di meja itu.Kemudian Ridwan mulai mencumbu bibir Zahra sambil tangannya berkelana membuka penutup tubuh Zahra.Dan mencari benda kenyal kesukaannya."Ahhh, Mas!" desah Zahra.ZahraRidwan langsung menarik Delena menjauhi Zahra. "Auuu, S—sakit!" rintih Zahra memegangi perutnya. Ridwan tanpa ampun mendorong Delena dengan penuh emosi hingga terjatuh dengan keras. Bruk! "Arkhh!" pekik Delena. Ridwan berbalik dan langsung menggendong istrinya berlari kembali menuju ruangan dokter Aruni. "S—sakit, Mas! Aaaaaaa," rintih Zahra sambil menangis karena sakit yang teramat pada perutnya. "Sabar, Sayang! Kamu wanita hebat! Bertahanlah!" jawab Ridwan tersengal. Darah mulai turun seiring dengan lari Ridwan.Mama Sofiya dan Umi Aisyah berlari mengejar Ridwan dengan penuh kepanikan melihat Zahra dan darah yang terus menetes. Teriakan Zahra masih memenuhi telinga mereka dan air mata tak bisa lagi dua ibu itu bendung. Kekhawatiran memenuhi diri mereka. Ridwan kemudian meletakkan di ranjang dokter Aruni yang kebetulan di lantai dasar. "Dokter!" teriak Ri
Tega atau tidak tega, mau atau tidak mau, Papa Ameer tetap membawa jenazah Zahra menuju rumah duka. Ridwan yang masih sangat terpukul dengan kenyataan mendadak ini hanya bisa diam. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya untuk menutupi mata bengkak Ridwan. Kabar meninggalnya istri dari CEO ternama itu menjadi perbincangan dunia maya. Hingga banyak Paparazi yang mencuri lihat keadaan rumah duka. Ridwan laki-laki perkasa yang gagah itu, nyatanya tak mampu mengangkat jenasah orang terkasihnya dengan kedua tangannya. Walau begitu, Ridwan dengan sisa tenaganya ikut masuk ke liang lahat mengantarkan sang istri ke peristirahatan terakhirnya. Dibuka sedikit kain kafan yang membungkus jenazah sang istri.Diciumnya kening pucat itu, "Beristirahatlah dengan tenang istriku, kau istri sholehah, aku ridho dengan semua yang engkau lakukan baik yang aku ketahui maupun tidak! Tunggu aku, Sayang!" lirihnya.Kata-k
"Dasar, wanita sok suci! Percuma kamu pakai niqabmu itu jika tak mampu menjaga kehormatanmu!" Zahra mengernyit bingung. Setelah penerbangan 14 jam dari Tarim, Yaman, perempuan itu sedang berada di Bandara untuk menunggu sang kakak yang katanya terjebak macet.Hanya saja, pria tinggi dengan kemeja berantakan ini–datang dan menatapnya penuh amarah.Samar-samar, Zahra bisa mencium bau alkohol yang tercium darinya."Apa maksudmu?" tanya perempuan itu menyembunyikan takut yang melingkupi dirinya.Baru kali ini, Zahra berada dalam jarak yang sangat dekat dengan laki-laki yang bukan muhrimnya.Memang tujuh tahun terakhir, wanita berusia 21 tahun itu menghabiskan masa mudanya dengan belajar agama dan jauh dari pergaulan bebas. Di sana, dia bahkan tidak keluar pondok jika tidak ada kepentingan mendesak. Bila harus keluar, Zahra juga harus didampingi hubabah atau mahramnya di sana.Jika bukan karena kabar sang ayah yang masuk ICU rumah sakit, tentunya Zahra masih berada di pondok."Jangan p
"Ya illahi Rabbi, lindungi putra dan putriku... Lindungi perjalanan mereka dan semoga selamat sampai di rumah kami," doa Umi Aisyah sambil menengadahkan tangannya berdoa dengan khusyuk.Wanita paruh baya itu menjalankan sunnah sholat malam karena perasaan gelisah melanda hatinya. "Aamiin ya Rabb," lirih abah yang ternyata mendengar doa istri tercintanya.Pria yang baru saja keluar dari ICU itu ternyata sudah berdiri dengan selang infus yang menancap di tangannya. Dia juga ikut berdoa untuk kedua buah hati mereka."Abah! Kenapa Abah bangun…? Umi ganggu Abah tidur, ya?" tanya Umi Aisyah terkejut, lalu menghampiri Abah."Tidak, Umi. Abah ingin sholat malam juga untuk mendoakan putra-putri kita... Abah gak sabar ketemu mereka, Umi," jawab Abah yang sudah sangat rindu berjumpa dengan putrinya yang sudah tujuh tahun berada di kota para bidadari surga itu."Boleh, sambil duduk saja, Abah ... Abah ‘kan belum bisa berdiri lama!" kata umi Aisyah.Abah pun mengangguk sebagai jawaban dari permin
Ridwan bergegas menuju ruangan dokter yang dimaksud."Bagaimana keadaan Zahra, dok?" tanyanya langsung."Begini, Pak Ridwan. Nona Zahra ini sepertinya telah mengalami pelecehan seksual. Daerah kewanitaannya robek dan selaput daranya mengalami pendarahan yang cukup banyak,” jelas sang dokter pelan-pelan.“Pendarahannya sudah teratasi, tetapi nona Zahra seperti nya mengalami trauma pak." Mendengar itu, Ridwan menahan kesedihannya. "Lalu bagaimana, dokter?" tanyanya pada sang dokter."Saya sarankan ke psikolog saja pak, agar bisa membantu membimbing pikirannya dan semangat hidupnya lagi!" jawab dokter."Baik, Dok. Lalu, apa Zahra perlu dirawat atau…." "Pasien Zahra sudah boleh pulang pak!" sahut dokter cepat.Mendengar itu, Ridwan mengangguk.Dia pun pamit dan berdiri berjalan masuk ke UGD dan menuju bangkar Zahra.Perempuan itu sudah bangun!Namun, pandangannya begitu kosong. Hal itu membuat jantung Ridwan seakan disayat-sayat pedang."Zahra baik-baik saja?" tanya Ridwan dengan pelan
Ridwan menatap nanar Zahra didepannya, "Istighfar terus, Ra. Ingat Allah selalu bersama Ara," ucapnya pada akhirnya.Namun, Zahra yang duduk di sebelah kanan peti jenazah hanya diam tak menyahut. Dia tidak juga menoleh.Melihat itu, Ridwan kehilangan kata-kata.Azahrana Azmi Ahmad, gadis yang sholehah dan tangguh--kini terlihat sangat hancur.Ridwan menghela nafas panjang. Diperhatikannya daerah sekitar dan menyadari bahwa ambulance yang membawa mereka sudah mendekati pondok pesantren yang merupakan rumah Zahra. "Ara, Bagaimana jika kakak turun dan ke rumah sakit untuk memberitahu Abah?" tanya Ridwan. Pria itu khawatir jika Abah yang memiliki penyakit jantung mendengar kabar duka mendadak. Zahra akhirnya menoleh. "Boleh. Terima kasih Kak," jawabnya singkat kemudian kembali menatap jenazah abangnya. Tak butuh waktu lama, ambulance pun berhenti. Ridwan pun turun di depan pusat pembelanjaan, kemudian dia memesan ojek online untuk ke rumah sakit. Jantung Ridwan naik turun ketika me
"Abah ingin memegang putra dan putri Abah, Nduk." jawab Abah pelan. "Ampuni Zahra ya, Bah. Ini semua karena Zahra., kata Zahra sambil mencium tangan dan pipi Abahnya. Zahra memeluk cinta pertamanya itu dengan erat sekali, seolah dia sangat takut Abah pergi. "Ini adalah ketetapan Allah, Nak. Sakit sekali ... Tapi kita harus berusaha ikhlas," kata Abah menguatkan Zahra walau sebenarnya hatinya sangat hancur. Tak butuh waktu lama, jenazah Mail pun diantar ke makan keluarga yang berada di dalam pondok, Setelah serangkaian doa selesai, Ridwan pun ikut memikul dan masuk ke liang lahat untuk memastikan jenazah sahabatnya nyaman di peristirahatan panjangnya. Sementara itu, Zahra dan seluruh orang mengiring kepergian Mail dengan senyum air mata.Mereka tersenyum melihat wajah berseri dan senyum Ismail. Namun, air mata tak bisa berbohong untuk tidak menetes. Ridwan memutuskan untuk menetap beberapa hari di pondok untuk menunggu waktu untuk bertanggungjawab pada Azzahra. Hanya saja, satu
Melihat tak ada pergerakan dari perempuan di hadapannya, Ridwan pun mengangkat tubuh Zahra.Digendongnya Zahra ala bridal dan berlari menuju Dalem."Maaf, Zahra ... Kakak harus mengangkatmu," ucapnya dalam hati.Tok! Tok! Tok!"Assalamu'alaikum, Umi!" panggil Ridwan sembari berusaha mengetuk pintu."Waalaikumsalam, Nak Ridwan ..." ucap Umi Aisyah yang terhenti kala menyadari sang putri ada di gendongan Ridwan, "Loh, Zahra kenapa?""Zahra pingsan di pemakaman, Umi," jawab Ridwan cepat."Baiklah. Bawa masuk ke kamarnya, Nak," kata Umi sambil mengekori Zahra. Ridwan kemudian keluar dari kamar Zahra setelah meletakkan perempuan itu di ranjangnya. Dia memilih duduk di kursi ruang tengah, depan kamar Zahra. Ditatapnya beberapa santri yang masih di ruang tamu untuk mendoakan Pak Kyai dan Bang Mail. Hanya saja, dia teringat bahwa ada janji dengan neneknya di Turki.Namun, ponselnya mati karena lupa diisi dayanya sejak masalah kemarin."Sebaiknya, aku menghubungi mama besok. Selepas acara