Share

Bab 2

Author: Susan Satya
Wajah Dyah langsung pucat pasi.

Sejak dulu, para pedagang dipandang rendah oleh masyarakat dan menjadi status sosial terendah dalam tatanan tradisional. Hal yang paling dia benci adalah statusnya sebagai "putri pedagang".

Kalau bukan karena itu, dengan kecerdasan dan kecantikannya, dia pasti sudah menjadi Nyonya di Kediaman Panglima Perang. Tidak akan pernah ada tempat untuk wanita bodoh seperti Kamari.

Hatinya berkecamuk, Dyah segera mengubah strategi. Kini matanya dipenuhi air mata, tampak seolah sangat tersakiti.

"Ternyata Istri Panglima Perang sama saja seperti yang lainnya, sama-sama memandang rendah anak pedagang. Rupanya aku terlalu berharap. Aku kira ketulusanku akan membuatmu tulus berteman denganku. Tapi ternyata .… "

Sandiwara yang sangat bagus.

Sayang sekali, sebelum perjalanan waktu ini, Kamari baru saja menonton drama berjudul "Teman Bermuka Dua".

"Ketulusan memang bisa membuatku tulus berteman denganmu. Tapi kalau kamu adalah serigala berbulu domba yang berpura-pura tulus, kamu nanti akan disambar petir dan mati!"

"Kamari!"

Dyah belum sempat bicara, suara pria di belakangnya sudah meledak marah.

"Bagaimana bisa kamu begitu kejam padanya? Siapa yang mengajarimu?"

Air mata Dyah jatuh tepat waktu, sangat pas dengan suasananya.

"Jangan salahkan Kamari, Tuan Panglima. Kalau Kamari marah, pasti karena aku yang salah. Hanya saja, aku benar-benar tidak tahu salahku apa. Tolong, beri tahu aku, Kamari."

Kamari dalam hati memanggil ingatan tentang bagaimana sikap tokoh di drama "Teman Bermuka Dua" yang telah difitnah. Dia menegakkan tubuh, sikapnya sangat angkuh penuh kewibawaan.

"Aku adalah istri Panglima Perang. Siapa yang kamu panggil Kamari dengan akrab begitu? Kalau kamu berani mengulanginya lagi, aku akan menuduhmu telah menghina bangsawan! "

Setelah memperingatkan Dyah, Kamari memalingkan pandangan ke arah Dhaksa.

"Kalau kamu ingin bilang aku tidak punya sopan santun, langsung katakan saja. Aku bisa bersikap kejam, bergantung pada siapa lawan bicaraku. Untuk bajingan dan perempuan rendahan, mana mungkin aku beri celah sedikit pun."

Nada bicaranya tetap pedas seperti biasa. Namun, kalimat "bajingan dan perempuan rendahan" itu jelas ditujukan pada Dhaksa juga.

Wajah Dhaksa sampai memerah karena marah.

"Kamari, apa kamu begini karena aku terlalu memanjakanmu selama ini?"

Kalau orang lain mendengarnya, bisa-bisa akan mengira dia adalah ayah yang penyayang!

Kamari hanya mengangkat bahu dengan sikap acuh.

"Kalau begitu, kamu bisa memanjakanku lebih jauh lagi. Buat permintaanku barusan jadi kenyataan."

Kata-kata barusan?

Maksudnya soal cerai?

Tidak pernah ada orang yang berani mempermalukannya di depan umum seperti ini.

Dyah nyaris tidak sanggup menahan rasa malu, air matanya terus mengalir.

"Pasti Nyonya Kamari termakan hasutan orang jahat, hingga salah paham padaku sedalam ini. Nanti aku akan menjelaskan padanya secara pribadi."

Selesai mengucapkannya, Dyah pun menangis dan lari keluar.

Dari ingatan masa lalu pemilik tubuh aslinya, Kamari tahu betul rencana Keluarga Wasya.

Yang mereka incar bukan sekadar posisi sebagai istri Panglima Perang.

Keluarga Wasya menginginkan hal jauh lebih dari itu.

'Waktu masih banyak, mari kita lihat siapa yang lebih kuat.'

Kamari berbalik dan melambaikan tangan ke arah Dhaksa tanpa menoleh.

"Aku tunggu surat perceraian dari Tuan Panglima."

Melihat Kamari yang dengan anggun berjalan pergi, Dhaksa menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan.

Perempuan ini sudah menjadi pintar. Demi menarik perhatiannya, Kamari melakukan segala macam trik. Bahkan sahabat baiknya pun bisa dia musuhi begitu saja. Betapa egois dan tidak tahu balas budi!

Keributan ini cukup besar. Tidak sampai setengah hari, seluruh ibu kota sudah tahu bahwa Istri Panglima Perang sedang berseteru dan minta cerai dari sang Panglima.

Ada yang bilang, karena Panglima menjalin hubungan gelap dengan putri tertua Keluarga Mandalapati. Ada juga yang bilang, Panglima justru main belakang dengan sahabat dekat istrinya sendiri.

Benar atau tidak, gosip terus bergulir.

Yang pasti Istri Panglima Perang yang dulu selalu suka cari perhatian itu, sekarang membuat keonaran lagi. Dilihat dari karakter Kamari, kemungkinan untuk benar-benar bercerai nyaris nol.

Namun yang jelas, skandal ini pasti akan membuat banyak orang malu.

Semua orang pun menunggu, drama apa lagi yang akan terjadi.

...

Di Kediaman Panglima Perang.

Kamari tahu soal rumor yang tersebar, tapi dia tapi dia memilih untuk menunggu dan melihat perkembangan selanjutnya.

Yang pertama dia lakukan adalah pergi ke ruang kerja Dhaksa.

Tidak ada yang tahu apa yang sudah dia lakukan di sana. Setelah setengah jam, Kamari kembali ke kamarnya dengan wajah tenang.

Seorang pelayan datang melapor bahwa Dyah minta bertemu dengannya.

Kamari langsung menolak.

"Tidak usah. Bilang ke penjaga gerbang, mulai sekarang Dyah dilarang menginjakkan kaki di Kediaman Panglima Perang meski sejengkal pun."

Pelayan itu pun segera berlari menyampaikan pesan itu. Tidak lama kemudian, dia kembali lagi dengan tergesa-gesa.

"Nyonya, Tuan Panglima datang."

Kamari baru ingin bilang tidak ingin bertemu. Namun begitu menoleh, pria itu sudah melangkah masuk ke dalam rumah.

Dhaksa baru saja pulang dari istana sore tadi, masih mengenakan jubah resmi ungu tua dan belum sempat berganti pakaian.

Cahaya senja menyinarinya, membuatnya tampak bersinar keemasan.

Tegap, berwibawa, dan tampan luar biasa.

Asal tak melihat wajahnya dengan raut wajah galak seperti sekarang, Dhaksa bisa dibilang pria sempurna tiada duanya.

Namun, wajah itu sekarang jelas sedang terlihat marah luar biasa.

"Apa yang sudah kamu lakukan di ruang kerjaku?"

Kamari menurunkan pandangannya ke benda di tangan Dhaksa. Dengan santai dia duduk di ayunan dan bergoyang pelan.

"Aku sudah menulisnya pakai huruf tradisional. Dengan kecerdasanmu, pasti akan paham. Tinggal baca saja, selesai ‘kan?"

Dhaksa memang tidak tahu apa itu huruf tradisional, tetapi dia jelas mengerti maksud sindiran dalam ucapan itu. Dia mengangkat tangan dan melemparkan surat cerai itu ke wajah Kamari.

"Berhenti bermain-main! Aku tidak punya waktu menanggapi untuk leluconmu setiap saat!"

Kamari memungut surat itu, belum ada tanda tangan dan cap resmi. Dia langsung marah.

"Dhaksa! Karena kamu tidak mencintaiku, kenapa kita tidak bisa berpisah baik-baik?"

Pokoknya, Kamari tidak ingin hidup serumah dengannya lagi!

Mata Dhaksa menatapnya dengan tatapan dingin.

"Berpisah baik-baik? Saat ingin menikah denganku, kamu memohon pada Kaisar agar mengeluarkan perintah kerajaan. Sekarang kamu ingin cerai, aku juga harus menurutimu? Kamari, kamu pikir aku ini siapa?"

Mengingat semua kenangan pemilik asli tubuhnya di masa lalu, Kamari pun merasa bersalah.

Akhirnya dia mundur selangkah.

"Kalau kamu tidak mau bercerai, begini saja. Beri aku surat pernyataan bahwa kamu menceraikanku, aku anggap diriku diusir dari rumah. Bukankah itu lebih membuatmu merasa lega?"

Dhaksa menyeringai dingin.

"Jangan mimpi! "

Kamari terdiam.

Setelah membalikkan badan dan pergi, Dhaksa berteriak, "Mulai sekarang, Nyonya dilarang menginjakkan kaki ke ruang kerjaku!"

Eh? Kenapa kalimat itu terdengar familier?

Kamari memeluk tali ayunan dengan kesal.

Cerai itu tidak mudah, dia pun menghela napas.

Yang lebih membuatnya frustrasi adalah perjalanan waktu yang aneh ini.

Jika orang lain yang melakukan perjalanan waktu, minimal dibekali semacam sistem atau kekuatan super. Namun, dia malah hanya...

Kamari mengambil sebuah botol keramik dari dalam baju dan melihatnya.

Dia membawa benda itu saat melakukan perjalanan waktu. Di dalamnya, berisi sepuluh pil penawar racun yang dibuat bersama profesor dari abad ke-21.

Namun karena hanya ada sepuluh pil, jumlahnya sangat terbatas.

Dia belum tahu kapan harus menggunakannya.

Setelah berpikir sejenak, dia memasukkannya kembali ke dalam baju.

Itu adalah benda satu-satunya barang yang dia bawa dari abad 21, harus dijaga baik-baik.

Siapa tahu, suatu saat benda itu bisa menyelamatkan nyawanya.

Dia mengira Dyah akan diam setelah gagal, tapi ternyata tidak.

Setelah makan malam, Kamari sedang memikirkan cara agar Dhaksa setuju untuk bercerai. Seorang pelayan datang lagi.

"Nyonya, Nyonya Asih dan Nona Dyah ada di halaman depan, Tuan Panglima memanggil Nyonya untuk datang."

Dyah datang lagi? Kamari merasa bingung dan berkata, “Kenapa harus memanggilku? Kalau dia mau bertemu, biar dia saja yang menemui mereka.”

Pelayan itu menunjuk jarinya pelan.

"Nyonya, sebaiknya Anda segera ke sana. Jangan sampai orang lain menginjak-injak harga diri kita." Kamari menatap pelayan itu dengan penuh minat.

Ah, pelayan ini bernama Sari, baru kemarin dipindahkan ke halaman rumahnya.

Dia sangat cekatan tapi selalu terlihat penakut saat bertemu orang.

Namun sekarang, meski terlihat lemah, semangatnya ternyata kuat.

Kamari tersenyum tipis. Lalu berkata, "Betul juga. Selama aku masih menjadi Nyonya di rumah ini, tidak boleh ada orang yang menginjak-injak harga diri kita. Ayo pergi!"

Kamari berjalan ke halaman depan. Saat mendekat, terdengar suara orang yang tidak tahu malu.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 100

    "Kamu sanggup menghabiskannya?"Kamari mencari meja kosong dan duduk."Masih ada kamu. Melihat perjuanganmu kemarin, jadi ini hadiah dariku."Dhaksa terdiam.Setelah bertahun-tahun menikah, ini pertama kalinya mereka keluar bersama, juga pertama kalinya makan di tempat seperti ini.Dhaksa tidak mengeluarkan uang, hanya menunggu untuk makan.Melihat Kamari begitu akrab memberi instruksi ke pemilik kedai, lebih banyak sup, kurang garam, satu mangkuk jangan diberi daun bawang.Dhaksa yang tidak makan daun bawang merasa diperhatikan, muncul rasa seperti dipelihara dari sikap Kamari.Setelah instruksi selesai, begitu mereka duduk berhadapan, Kamari mulai menyuruhnya lagi."Waktu lewat tadi, di persimpangan ada yang jual roti, belikan satu untukku."Dhaksa duduk diam."Dua mangkuk untukmu, aku cukup satu mangkuk."Kamari menggeleng. "Awalnya memang tidak berniat memberi dua mangkuk. Aku sendiri belum cukup kenyang."Dhaksa kembali menatap tubuh kecilnya, mengangkat alis."Kamu sudah capek be

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 99

    Seseorang segera mengenali mereka.Ini adalah istri Panglima Perang yang tadi malam di depan umum menghamburkan lima ratus tahil untuk memanggil pria penghibur.Bersama Panglima Perang yang kabarnya tidak bisa.Kini melihat keduanya turun dari kapal bersama-sama, bahkan masih berpegangan tangan.Panglima Perang jelas bukan datang untuk menangkap perselingkuhan.Orang-orang yang berdiri dekat memperhatikan lebih teliti.Astaga, di leher keduanya ada bekas merah memalukan yang sama.Ini pria penghibur yang dipanggil istri Panglima Perang? Jangan-jangan… itu Panglima Perang sendiri?Di belakang kapal, sebuah jendela kamar terbuka sedikit.Laksmi menatap punggung keduanya turun dari kapal, mendapat kabar pertama secara langsung."Kak Rangga… Kak Rangga, Panglima Perang sebenarnya bisa atau tidak?"Rangga menundukkan kepala, sibuk memainkan benda baru yang baru saja dikirim Dhaksa.Sebuah belati besi misterius yang bisa menembus besi seperti tanah liat.Bahan pembuatnya sangat langka. Di du

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 98

    Kamari menopang dagu, menatap siluet di sudut ruangan, matanya tersenyum penuh arti."Tapi, aku suka. Siapa suruh kamu tampan. Orang tampan bisa dimaafkan segalanya. Malam panjang ini, bagaimana kalau kamu mainkan sebuah pertunjukan untuk membuatku senang?"Uang sebanyak itu sayang kalau terbuang, menampilkan dua pertunjukan juga tidak masalah.Setelah Kamari berbicara, dia merasakan aura dari arah lawan menjadi lebih dingin.Orang di seberang tetap tidak berkata apa-apa.Dia menghela napas tipis, aroma familier ambergris perlahan menyebar di udara.Hati Kamari langsung terasa sesak. Bahkan orang yang lambat sekalipun pasti bisa merasakan ada yang tak beres."Siapa kamu?"Udara tiba-tiba hening, suasana seolah membeku."Nyonya Kamari ingin melihat pertunjukan apa, biar aku menampilkannya untukmu,"Suara yang familier tiba-tiba terdengar, membuat hati Kamari serasa naik ke tenggorokan.Tiba-tiba, cahaya melintas di depan mata, sebuah wajah hitam yang familier muncul di pandangan.Dia ti

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 97

    Kamari menjawab dengan samar, sementara wajah Laksmi penuh dengan semangat seperti baru saja mendapatkan gosip paling segar."Berarti kamu terlalu bernafsu, dong."Ucapan Laksmi selalu mengejutkan dan tak pernah biasa.Kamari tidak menduganya sama sekali, sampai rahangnya hampir jatuh.Seorang gadis yang bahkan belum menikah, kenapa bisa tahu sejauh ini?Laksmi mengira dirinya benar, lalu mulai dengan wajah serius memberi nasihat."Kakak iparku yang kedua pernah bilang, wanita tidak boleh mengorbankan diri demi pria. Coba lihat yang nomor 37, pendek dan hitam, lebih baik yang nomor 38, tinggi dan gagah. Bagaimana kalau kita tukar saja, dijamin kamu tidak akan sia-sia datang hari ini."Kamari…Dia menduga, seluruh Keluarga Mandalapati pasti berasal dari dunia lain.Kalau tidak, kenapa pemikiran mereka begitu maju?Laksmi benar-benar total dalam menjalankan rencananya. Jauh-jauh hari dia sudah menyewa sebuah kapal pesiar mewah di parit kota.Kapal itu panjangnya belasan meter, dua lantai

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 96

    Dia ternyata juga ikut serta, jangan-jangan Panglima Perang tidak bisa!Kamari sedang berpuas diri dengan kepintaran kecilnya, tiba-tiba merasa punggungnya dingin, seolah ada seseorang yang sedang menatapnya.Namun, di tempat yang penuh sesak ini, dia tidak menaruh perhatian, hanya mengira itu hembusan angin dingin.Tidak jauh dari sana, di lantai atas sebuah paviliun restoran yang tertutup tirai.Orang-orang yang menonton ramai berdiskusi."Panglima Perang terlihat gagah perkasa, tidak seperti orang yang tidak bisa.""Ah, itu karena kamu tidak mengerti. Urusan pria tidak ada hubungannya dengan penampilan, itu bisa jadi penyakit dalam, mungkin juga akibat luka di medan perang.""Pantas saja temperamen Nyonya Kamari kurang bagus, pasti karena urusan ranjang tidak terpenuhi. Itu salah Panglima Perang.""Benar sekali, wanita yang puas biasanya lembut bagai air. Kalau terus menahan diri siapa yang bisa tetap bahagia?""Kalau memang akibat luka di medan perang, kita tidak boleh mendiskrimin

  • Nyonya, Sang Panglima Perang Menyesal   Bab 95

    Tak heran orang-orang senang mengambil jalan pintas, karena godaan jalan pintas tak ada yang bisa menandingi.Sedang mengagumi itu, tiba-tiba terdengar seseorang berteriak."Laksmi, putri sah Kediaman Adipati Rakai, taruhan nomor 38, seratus emas."Kamari terkejut, pupil matanya seakan bergetar, lalu dengan cepat menoleh ke arah suara.Di lantai dua restoran di samping, Laksmi dengan anggun bersandar pada pagar, menatap ke bawah.Dia mengenakan pakaian merah yang sengaja menonjolkan pesonanya, berkilau di bawah cahaya yang bergoyang dari lampu Fendra, sangat memikat mata.Tiba-tiba, ketegangan bukan hanya mencapai titik mendidih, tetapi seluruh situasi seolah siap meledak.Sebagian besar orang di tempat itu hanyalah penonton. Ada beberapa pemuda bangsawan dengan selera aneh, ada juga wanita kaya dari keluarga terpandang.Meskipun masyarakat Kerajaan Paramarta cukup terbuka, seorang gadis dari keluarga terhormat tetap harus memikirkan reputasinya saat menikah.Paling-paling mereka datan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status