Share

Bab 8

Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu.

Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania. 

"Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja."

Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi.

"Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?"

Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo.

"Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania. 

Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu. 

"Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo. 

Khania pun menoleh. 

"Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu."

Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalukan, tapi ini adalah hal yang lumrah jika dibahas oleh pasangan suami istri.

Beberapa saat tak ada respon dari Khania, membuat Leo merasa canggung dan mencoba mengganti topik pembicaraan. 

"Apa kau mau berkeliling mansion?" tanya Leo.

"Ah, boleh saja," jawab Khania dengan cepat. 

Tidak ada salahnya menerima tawaran Leo, Khania merasa dirinya memang harus mengenal tempat tinggal barunya itu.

"Bersiaplah, aku akan segera kembali setelah kau selesai." Leo pun berjalan meninggalkan Khania. 

"Iya."

***

WUSSHH! 

Angin berhembus menerbangkan beberapa helai daun di area seluas lapangan bola ini.

Harum bunga mawar begitu menyeruak di seluruh penjuru, tak heran karena di seberang sana terdapat taman bunga yang di dominasi dengan bunga tersebut. 

Hanya satu kata bagi Khania saat melihat tempat itu. "Indah sekali."

Leo memandang Khania dalam diam. 

"Aku tak menyangka, halaman belakang rumahmu sebesar ini, tidak bisa dipercaya," ujar Khania sambil berlari kecil.

Pria itu hanya tersenyum. 

"Lihat di sana! Apa semuanya bunga mawar?" tanya Khania dengan penuh semangat.

"Ya, ayo ke sana," ajak Leo sambil meraih tangan Khania. 

Gadis itu tersentak, saat dengan lembut Leo menggenggam tangannya.

DEG! DEG! 

Wajah Khania sontak memerah, dan dadanya berdegup cukup kencang. "Ada apa denganku?" batinnya.

"Sampai," ujar Leo. 

Kini terlihat dengan jelas, hamparan bunga mawar yang sedang bermekaran dan mengeluarkan aroma harum yang memanjakan. 

"Wahh." Entah sudah berapa kali Khania menujukkan kekagumannya, yang jelas dia baru pertama kali melihat hal indah itu selama hidupnya.

"Dulu, ibu sangat menyukai bunga mawar, beliau yang menanam ini semua," ujar Leo sambil menyentuh beberapa kelopak bunga. 

Khania terdiam, dia melihat kesedihan yang tersirat pada mata sebiru langit itu.

"Setelah kepergiannya, aku tak pernah melewatkan satu hari pun untuk merawat bunga-bunga ini."

"Kalau begitu, mulai sekarang percayakan semua bunga ini padaku," ujar Khania dengan senyuman lima jari. "Aku akan merawatnya sebaik dirimu," lanjutnya. 

Leo terdiam, kemudian tersenyum dan berkata, "Benar, jika ibu tahu kau ikut merawat bunganya, beliau pasti senang."

DRAP! DRAP! DRAP! 

"Tuan!" panggil seseorang. 

Khania dan Leo pun menoleh, terlihatlah seorang pelayan perempuan yang berlari menghampiri mereka dengan wajah ketakutan.

"Ada apa?" tanya Leo. 

"Maaf mengganggu anda, tapi ini darurat, nyonya Rebecca, beliau pingsan dan mulutnya mengeluarkan busa." Pelayan itu berbicara tanpa jeda.

Khania dan Leo kaget mendengarnya.

"Kau tunggulah di sini, aku yang akan ke sana sendiri," ujar Leo sambil berlari meninggalkan Khania.

Gadis itu hanya mengangguk sebagai respon. Dia kemudian melihat pelayan tadi masih belum beranjak, hal itu pun membuat Khania ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi. 

"Maaf, apakah sebelumnya bibi Rebecca memakan sesuatu?" tanya Khania. 

Pelayan itu mengerlingkan mata dan melihat Khania dengan tatapan tajam, tak lama dia pun melenggang pergi. 

Jangankan menjawab pertanyaan Khania, pelayan itu juga sama sekali tidak menghormatinya.

"Hah, sabar," ujar Khania sambil menghela napas.

Pasti bukan hal yang mudah berbaur dengan semua orang di kediaman itu, mulai dari para pekerja maupun anggota keluarga lainnya.

Sudut pandang mereka pasti bermacam-macam, yang jelas sebagian besar tidak menyukai keberadaannya sebagai nyonya baru di sana.

Gadis itu pun beralih menatap taman, tangannya meraih beberapa bunga.

"Hei bunga, doakan aku agar bisa bertahan tinggal di rumah ini, sebagai gantinya aku akan merawatmu sebaik ibu Leo," ujar Khania dengan tulus. 

Tidak ada hal lain lagi bagi Khania untuk saat ini, perannya sebagai istri nyatanya bukan semata-mata sebatas perjanjian yang mereka buat. 

"Apapun itu, aku berharap satu tahun ke depan akan berjalan dengan cepat," gumam gadis itu.

Tanpa disadari, hidupnya telah beralih pada pria itu, meski tanpa adanya perasaan yang berarti. 

"Setelah semuanya selesai, aku akan segera membuat surat perceraian."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status