Khania terdiam saat mendengar kata bulan madu dari pria yang sudah sah menjadi suaminya itu.
Leo pun tertawa lepas saat melihat ekspresi Khania.
"Harusnya kau lihat wajahmu sekarang," ujar pria itu masih dengan tawanya. "Aku hanya bercanda, tenang saja."
Khania membalasnya dengan tersenyum kaku, sesaat dia teringat pesan sang bibi.
"Khania, sesungguhnya tidak ada pernikahan yang di dasari hutang, karena itulah kau harus tetap berperan layaknya seorang istri yang baik, apa kau siap dengan semua itu?"
Itu artinya, dia benar-benar harus melayani Leo.
"Saat itu tak ada keraguan pada diriku, ada apa sebenarnya?" batin Khania.
Leo melihat perubahan ekspresi Khania, dia merasa ada sesuatu yang membebani gadis itu.
"Kau tidak perlu khawatir," ujar Leo.
Khania pun menoleh.
"Untuk yang itu," ujar Leo dengan wajah memerah. "Maksudku, kita tidak perlu melakukannya, aku tidak akan memaksamu."
Khania terdiam, pria itu ternyata tahu apa yang sedang dia pikirkan. Memang hal yang memalukan, tapi ini adalah hal yang lumrah jika dibahas oleh pasangan suami istri.
Beberapa saat tak ada respon dari Khania, membuat Leo merasa canggung dan mencoba mengganti topik pembicaraan.
"Apa kau mau berkeliling mansion?" tanya Leo.
"Ah, boleh saja," jawab Khania dengan cepat.
Tidak ada salahnya menerima tawaran Leo, Khania merasa dirinya memang harus mengenal tempat tinggal barunya itu.
"Bersiaplah, aku akan segera kembali setelah kau selesai." Leo pun berjalan meninggalkan Khania.
"Iya."
***
WUSSHH!
Angin berhembus menerbangkan beberapa helai daun di area seluas lapangan bola ini.
Harum bunga mawar begitu menyeruak di seluruh penjuru, tak heran karena di seberang sana terdapat taman bunga yang di dominasi dengan bunga tersebut.
Hanya satu kata bagi Khania saat melihat tempat itu. "Indah sekali."
Leo memandang Khania dalam diam.
"Aku tak menyangka, halaman belakang rumahmu sebesar ini, tidak bisa dipercaya," ujar Khania sambil berlari kecil.
Pria itu hanya tersenyum.
"Lihat di sana! Apa semuanya bunga mawar?" tanya Khania dengan penuh semangat.
"Ya, ayo ke sana," ajak Leo sambil meraih tangan Khania.
Gadis itu tersentak, saat dengan lembut Leo menggenggam tangannya.
DEG! DEG!
Wajah Khania sontak memerah, dan dadanya berdegup cukup kencang. "Ada apa denganku?" batinnya.
"Sampai," ujar Leo.
Kini terlihat dengan jelas, hamparan bunga mawar yang sedang bermekaran dan mengeluarkan aroma harum yang memanjakan.
"Wahh." Entah sudah berapa kali Khania menujukkan kekagumannya, yang jelas dia baru pertama kali melihat hal indah itu selama hidupnya.
"Dulu, ibu sangat menyukai bunga mawar, beliau yang menanam ini semua," ujar Leo sambil menyentuh beberapa kelopak bunga.
Khania terdiam, dia melihat kesedihan yang tersirat pada mata sebiru langit itu.
"Setelah kepergiannya, aku tak pernah melewatkan satu hari pun untuk merawat bunga-bunga ini."
"Kalau begitu, mulai sekarang percayakan semua bunga ini padaku," ujar Khania dengan senyuman lima jari. "Aku akan merawatnya sebaik dirimu," lanjutnya.
Leo terdiam, kemudian tersenyum dan berkata, "Benar, jika ibu tahu kau ikut merawat bunganya, beliau pasti senang."
DRAP! DRAP! DRAP!
"Tuan!" panggil seseorang.
Khania dan Leo pun menoleh, terlihatlah seorang pelayan perempuan yang berlari menghampiri mereka dengan wajah ketakutan.
"Ada apa?" tanya Leo.
"Maaf mengganggu anda, tapi ini darurat, nyonya Rebecca, beliau pingsan dan mulutnya mengeluarkan busa." Pelayan itu berbicara tanpa jeda.
Khania dan Leo kaget mendengarnya.
"Kau tunggulah di sini, aku yang akan ke sana sendiri," ujar Leo sambil berlari meninggalkan Khania.
Gadis itu hanya mengangguk sebagai respon. Dia kemudian melihat pelayan tadi masih belum beranjak, hal itu pun membuat Khania ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Maaf, apakah sebelumnya bibi Rebecca memakan sesuatu?" tanya Khania.
Pelayan itu mengerlingkan mata dan melihat Khania dengan tatapan tajam, tak lama dia pun melenggang pergi.
Jangankan menjawab pertanyaan Khania, pelayan itu juga sama sekali tidak menghormatinya.
"Hah, sabar," ujar Khania sambil menghela napas.
Pasti bukan hal yang mudah berbaur dengan semua orang di kediaman itu, mulai dari para pekerja maupun anggota keluarga lainnya.
Sudut pandang mereka pasti bermacam-macam, yang jelas sebagian besar tidak menyukai keberadaannya sebagai nyonya baru di sana.
Gadis itu pun beralih menatap taman, tangannya meraih beberapa bunga.
"Hei bunga, doakan aku agar bisa bertahan tinggal di rumah ini, sebagai gantinya aku akan merawatmu sebaik ibu Leo," ujar Khania dengan tulus.
Tidak ada hal lain lagi bagi Khania untuk saat ini, perannya sebagai istri nyatanya bukan semata-mata sebatas perjanjian yang mereka buat.
"Apapun itu, aku berharap satu tahun ke depan akan berjalan dengan cepat," gumam gadis itu.
Tanpa disadari, hidupnya telah beralih pada pria itu, meski tanpa adanya perasaan yang berarti.
"Setelah semuanya selesai, aku akan segera membuat surat perceraian."
***
Suasana malam terlihat begitu indah dengan hamparan bintang juga bulan yang bersinar terang. Pemandangan yang cukup memanjakan mata sosok yang tengah terduduk dan menatap keluar jendela kamar. Manik hitamnya menatap ke atas langit. "Indah sekali," gumamnya. "Benarkah?." Suara berat itu lantas membuat Khania terlonjak kaget, diapun segera menoleh dan melihat Leo sudah memakai piyama. Penampilan pria itu sukses membuat wajah Khania merona. Dengan rambutnya yang masih basah dan baju piyama tanpa dikancing. "Rapikan bajumu, kenapa terlihat seperti itu?," tanya Khania sambil menoleh ke arah lain. Melihat respon sang istri membuat Leo tersenyum menyeringai. "Agar lebih erotis." "Astaga, dia memang serius tentang malam pertama!" batin Khania pasrah. Dengan penuh persiapan diri dan mental, Khania pun berjalan menuju tempat tidur lalu duduk. Gadis itu menutup mata dan menunggu Leo datang menghampiri. "Kau sedang apa?" tanya Leo bingung. "Jangan banyak bicara, ayo
Seakan terkena petir di siang bolong, kini gadis itu terdiam seribu bahasa, membuat lawan bicaranya bingung."Bagaimana?" tanya Leo yang sedari tadi menunggu jawaban.Wajah cantik Khania semakin pucat, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, baginya hal ini sungguh di luar dugaan."Itu ...""Hm?"Entah kenapa kini gadis itu merasa sebal dengan ekspresi sang suami yang sedang menggodanya."Aku tahu ini akan terjadi, tapi ... Kenapa terasa sangat memalukan?" jerit Khania dalam hati. "Lihat wajahnya! Menyebalkan!""Aku tidak ingin ada penolakan, kau mengerti?" bisik Leo dengan senyum menyeringai."HIIYYY!" Seketika tubuh Khania merinding saat mendengar ancaman itu. Dia tidak menyangka sampai seperti itu Leo menunjukkan keinginannya."Baiklah, jika sudah selesai akan aku antar kalian pulang," ujar Leo beranjak dari tempat duduknya. "Mari, nyonya." Sambungnya sambil mempersilahkan Khania berdiri."Mereka berdua sangat romantis.""Khania benar-benar beruntung.""Tuan Leo sangat gentle
"Khania, semua ini ... Yang benar saja," ujar Rosi tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Berlian dengan berbagai ukuran dan warna berjejer di depan mereka, terlihat pula para pegawai toko tengah sibuk mencari stok lain karena Khania memintanya. "Pilihlah saja dulu, aku yang akan bertanggung jawab." Khania menjawab sambil melihat salah satu berlian dengan ukuran sedang. "Aku ingin, tapi ... Apa ini mimpi?" tanya Dina sambil mencubit pipinya. "Khania, semua ini, beneran tidak apa-apa?" tanya Rosi berulang kali. Khania menjawab keraguan teman-temannya dengan senyum manis. "Ya, sepertinya Leo memang sudah sengaja mempersiapkannya untuk kita." Keraguan Khania hilang saat mendapat pesan dari Leo, pria itu memberikan secarik kertas lewat pelayannya dan bertuliskan agar Khania tidak membatasi keinginannya, karena sebagai seorang Duchess, dia berhak mendapatkan itu semua. Di sisi lain Leo tidak mau dibilang suami yang pelit karena tidak memberikan kebebasan dalam hal keuanga
"ARRGGHH! HENTIKAN!" Teriak sosok itu saat Leo mencengkram pergelangan tangannya semakin keras, satu orang lainnya hanya melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Hey! Ada apa ini?" "Ya ampun!" Dina dan Riki sangat kaget saat masuk ke dalam rumah Rosi dan melihat apa yang sedang terjadi. "Akan kupatahkan semua tulang-tulangmu," gumam Leo penuh amarah. "AARGHH!" "Leo! Hentikan!" teriak Khania merasa tidak tega. "Yah, aku tahu kau pasti berkata begitu," ujar Leo menghela napas, dengan cepat dia pun melepaskan tangan pria itu. "Sebenarnya siapa kalian berdua?" Khania pun menghampiri Leo dan menjelaskan apa yang terjadi. "Mereka adalah paman Rosi, kedatangannya kemari untuk mengambil alih rumah ini, padahal Rosi membayarnya dengan mencicil dan sudah berjalan selama lima tahun." "Pantas saja, jika dilihat dari sikap mereka yang berani, sepertinya mereka memiliki hak yang lebih kuat," batin Leo. "Aku tidak boleh gegabah." "Kalian orang luar jangan ikut campur, ini adalah urusa
Terpaan angin lembut berhembus di padang rumput dan luas itu. Sinar mentari mulai naik menunjukkan eksistensinya, juga sebagai tanda makhluk hidup di bawahnya harus memulai aktivitas mereka. Suara decitan gir sepeda beberapa sosok itu menambah suasana pagi di sana menjadi lebih ramai, ada pula di antaranya selalu berhenti setelah melaju beberapa meter. "Rosi, sepertinya rantai sepedamu sudah gabisa dipakai," ujar Riki saat mencoba memperbaiki. Mendengar itu Khania pun segera menghampiri. "Rantainya putus?" Riki mengangguk. "Kau pakai punyaku saja, biar aku yang dorong sepedamu," ujar Riki pada Rosi. "Gausah ki, rumahku udah deket ko," ujar Rosi. "Rosi benar, sebaiknya kita dorong sepeda bersama-sama agar tidak ada yang tertinggal." Khania pun berjalan menghampiri Leo. "Kau tak keberatan kan?" "Tentu," jawab Leo sambil turun dan mendorong sepeda milik Khania. Beberapa menit mereka berjalan beriringan, melewati padang rumput itu hingga tiba di area sungai. Manik Khania menatap
"Khania! Sebelah sini!" Khania menolehkan wajah dan mendapati Dina dan tiga orang gadis sebaya dengannya sedang duduk di sebuah pondok kecil. Dia pun segera mengayuh sepedanya lalu menghampiri mereka. "Maaf aku terlambat," ujar sambil terengah. Ke empat sosok itu tertawa lepas saat melihat Khania yang kelelahan karena mengendarai sepeda. "Kau jarang olahraga ya?" tanya salah satu dari mereka. Khania hanya tersenyum malu, mereka sangat tahu dirinya sejak dulu, sebenarnya dia di kenal sebagai anak yang lincah dan tidak kenal lelah, tak heran jika kini mereka merasa asing saat tahu dirinya banyak berubah. "Ah benar juga, di mana suamimu? Bukankah kau mau ajak dia jalan-jalan juga?" tanya Dina. Khania menyimpan sepedanya lalu duduk di antara teman-temannya. "Sepertinya Leo tidak akan ikut, aku takut dia kelelahan karena baru selesai melakukan pekerjaan." Meski sudah mencoba untuk tidak egois, tapi tidak dipungkiri Khania sangat ingin kehadiran sosok Leo saat ini. Sejak kepergiann