"Nyonya!"
Khania menoleh dan melihat Icha berlari ke arahnya. "Ada apa, Icha?"
"Itu, anu," ujar Icha terbata-bata.
"Tenanglah dulu, atur napasmu dengan benar." Khania mengelus punggung Icha.
Pelayan kecil itu menghela napas panjang dan menatap Khania. "Nyonya Rebecca bilang, kalau anda yang sudah meracuninya," ujarnya sedih.
Khania hanya terdiam.
"Semua orang sedang membicarakannya di ruang utama," lanjut Icha.
"Sudah kuduga," ujar Khania sambil menghela napas berat, gadis itu sedikit merapikan pakaiannya dan berjalan di ikuti Icha.
"Nyonya, saya mohon kuatkan diri anda, jangan menyerah, mereka semua orang jahat," ujar Icha dengan mata yang berkaca-kaca.
"Tenang saja, aku akan mulai memainkan peranku dan tidak akan kalah dari mereka," jawab Khania sambil tersenyum. "Karena akulah nyonya besar di rumah ini."
***
"Bagaimana mungkin?"
"Tega sekali dia melakukannya."
"Sudah kuduga, kehadirannya di sini hanya menghadirkan bencana."
Lagi, Khania mendapatkan cibiran yang entah sampai kapan akan berlangsung.
Bisikan-bisikan itu terdengar jelas, meski begitu, tetap tidak membuat hati Khania gentar maupun takut.
Kini, sorot mata gadis itu terlihat tegas, memandang orang-orang yang juga sedang melihat kedatangannya.
"Hei, lancang sekali dia."
"Sepertinya mau buat onar lagi."
Semua orang yang ada di sana melihat Khania dengan pandangan merendahkan.
Manik hitamnya menatap ke arah Leo yang juga sedang berada di ruangan besar itu.
Langkah Khania berhenti tepat di belakang Leo. "Apa yang terjadi?"
Leo tersentak dan menoleh. "Kenapa kau ke sini?"
"Bagaimana tidak? Aku mendengar kabar bahwa yang meracuni bibi Rebecca adalah, aku?" Khania bertanya balik sambil melihat sosok wanita yang terbaring di atas sofa.
"Ya! Pelayanku melihatmu memasukkan sesuatu pada minumanku!" hardik Rebecca.
Khania mengernyitkan alis dan bertanya, "Kapan itu terjadi?"
"Saat Leo keluar dari kamarmu, kau diam-diam masuk ke dalam kamarku dan memasukkan racun ke dalam air minum yang terletak di atas meja," jelas wanita itu.
"Ya, aku melihat nyonya Khania melakukan itu," ujar salah satu pelayan.
Khania sempat terkejut saat tahu pelayan Rebecca adalah sosok yang menghampiri Leo dan dirinya saat berada di taman.
"Bibi, jangan sembarangan menuduh Khania tanpa bukti." Leo melihat sang bibi dengan tatapan marah.
"Ini buktinya! Para pelayan menemukan botol racun ini di dalam kamar Khania, apa kau masih belum percaya padaku?" Rebecca berbicara sambil menangis.
Khania menghela napas. "Boleh aku lihat?"
Leo pun mengambilkan botol itu dan memberikannya pada Khania. Pria itu melihat sang istri yang begitu tenang.
"Hm, ini memang tidak berbau, dan seperti air pada umumnya," ujar Khania sambil mengendus botol itu.
"Apa kau mengerti soal racun?" tanya Leo.
Khania mengangguk. "Aku tidak ingin membuat bibi Rebecca kecewa, tapi sayangnya aku tahu hal yang berkaitan dengan Biokimia walau tidak banyak."
Rebecca terdiam mendengarnya.
"Dan ini adalah racun arsenik, karena sifatnya tidak berbau dan tidak berwarna," ujar Khania.
"Racun arsenik?" tanya Leo.
"Tapi racun ini bereaksi setidaknya tiga jam setelah diminum, sedangkan jarak waktu aku keluar dari kamar dan berada di taman bersama Leo, hanya sekitar satu jam."
"Benarkah begitu?"
"Lalu siapa yang benar?"
"Jadi, bukan nyonya Khania pelakunya?"
Bisikkan orang-orang di sana mulai terdengar memihak Khania, hal itu pun membuat Rebecca geram karena merasa sedang di sudutkan.
"Hei! Jangan sok tahu!" bentak Rebecca.
"Maaf bibi, tapi aku harus membela diri karena akulah teruga pelakunya," balas Khania dengan ekspresi datar.
"Lalu bagaimana dengan kondisi nyonya Rebecca? beliau sampai pingsan dan mulutnya berbusa!"
"Sebenarnya gejala dari keracunan arsenik bukan mulut yang berbusa, melainkan mual atau setidaknya mengeluarkan air liur."
"Ck! jadi kau mencari kebenaran? Ingin mengelak dan menunjukkan bukan kau pelakunya?" tanya Rebecca penuh amarah.
Khania menghela napas berat. "Aku lelah berdebat, sebaiknya kita cek langsung cctv yang kupasang di kamar," ujarnya sambil meminta Icha menyiapkan yang dia butuhkan.
"Apa?" Rebecca kaget bukan main.
Leo pun tersentak saat baru menyadari bahwa gadis itu memasang kamera keamanan di kamarnya.
"Hei, kau tidak boleh seenaknya memasang cctv di kediaman ini!" bentak Rebecca sambil berdiri dan hendak menampar Khania.
Leo pun menghadang sang bibi dan berkata, "Anggap saja itu adalah otoritas yang aku berikan pada Khania," ujarnya tegas.
"Ya, aku adalah nyonya besar di sini, apapun yang kulakukan sudah menjadi hak mutlak." ujar Khania sambil melihat semua orang yang ada di sana.
Dia ingin menunjukkan, bahwa kini mereka tidak bisa bersikap seenaknya.
"Bagaimana persiapannya, Icha?" tanya Khania.
Pelayan itu pun segera menghampiri Khania bersama dengan seorang pria paruh baya.
"Ini adalah pak Yuda, teknisi komputer anda, nyonya," ujar Icha.
"Kalau begitu, tolong tunjukkan rekaman itu pada mereka, pak Yuda," pinta Khania.
"Baik, nyonya." jawab pria paruh baya itu.
Tak lama berselang, tiba-tiba Rebecca berdiri dengan kepala tertunduk. "Baiklah, aku mengaku bohong," tuturnya.
Seketika keadaan di sana menjadi riuh, namun kembali senyap saat Leo menatap tajam ke arah mereka.
"Kenapa kau lakukan ini, bibi?" tanya Leo.
"Kenapa kau bertanya? Sudah jelas karena aku membencinya!" jawab wanita itu penuh amarah. "Dia tidak pantas menjadi bagian keluarga ini, dia bahkan bukan dari kalangan yang sama dengan kita!"
"Maaf untuk itu, bibi Rebecca," ujar Khania sambil berjalan menghampiri wanita itu. "Tapi aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga ini," lanjutnya tanpa ragu.
***
Suasana malam terlihat begitu indah dengan hamparan bintang juga bulan yang bersinar terang. Pemandangan yang cukup memanjakan mata sosok yang tengah terduduk dan menatap keluar jendela kamar. Manik hitamnya menatap ke atas langit. "Indah sekali," gumamnya. "Benarkah?." Suara berat itu lantas membuat Khania terlonjak kaget, diapun segera menoleh dan melihat Leo sudah memakai piyama. Penampilan pria itu sukses membuat wajah Khania merona. Dengan rambutnya yang masih basah dan baju piyama tanpa dikancing. "Rapikan bajumu, kenapa terlihat seperti itu?," tanya Khania sambil menoleh ke arah lain. Melihat respon sang istri membuat Leo tersenyum menyeringai. "Agar lebih erotis." "Astaga, dia memang serius tentang malam pertama!" batin Khania pasrah. Dengan penuh persiapan diri dan mental, Khania pun berjalan menuju tempat tidur lalu duduk. Gadis itu menutup mata dan menunggu Leo datang menghampiri. "Kau sedang apa?" tanya Leo bingung. "Jangan banyak bicara, ayo
Seakan terkena petir di siang bolong, kini gadis itu terdiam seribu bahasa, membuat lawan bicaranya bingung."Bagaimana?" tanya Leo yang sedari tadi menunggu jawaban.Wajah cantik Khania semakin pucat, dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa, baginya hal ini sungguh di luar dugaan."Itu ...""Hm?"Entah kenapa kini gadis itu merasa sebal dengan ekspresi sang suami yang sedang menggodanya."Aku tahu ini akan terjadi, tapi ... Kenapa terasa sangat memalukan?" jerit Khania dalam hati. "Lihat wajahnya! Menyebalkan!""Aku tidak ingin ada penolakan, kau mengerti?" bisik Leo dengan senyum menyeringai."HIIYYY!" Seketika tubuh Khania merinding saat mendengar ancaman itu. Dia tidak menyangka sampai seperti itu Leo menunjukkan keinginannya."Baiklah, jika sudah selesai akan aku antar kalian pulang," ujar Leo beranjak dari tempat duduknya. "Mari, nyonya." Sambungnya sambil mempersilahkan Khania berdiri."Mereka berdua sangat romantis.""Khania benar-benar beruntung.""Tuan Leo sangat gentle
"Khania, semua ini ... Yang benar saja," ujar Rosi tidak percaya dengan apa yang dia lihat saat ini. Berlian dengan berbagai ukuran dan warna berjejer di depan mereka, terlihat pula para pegawai toko tengah sibuk mencari stok lain karena Khania memintanya. "Pilihlah saja dulu, aku yang akan bertanggung jawab." Khania menjawab sambil melihat salah satu berlian dengan ukuran sedang. "Aku ingin, tapi ... Apa ini mimpi?" tanya Dina sambil mencubit pipinya. "Khania, semua ini, beneran tidak apa-apa?" tanya Rosi berulang kali. Khania menjawab keraguan teman-temannya dengan senyum manis. "Ya, sepertinya Leo memang sudah sengaja mempersiapkannya untuk kita." Keraguan Khania hilang saat mendapat pesan dari Leo, pria itu memberikan secarik kertas lewat pelayannya dan bertuliskan agar Khania tidak membatasi keinginannya, karena sebagai seorang Duchess, dia berhak mendapatkan itu semua. Di sisi lain Leo tidak mau dibilang suami yang pelit karena tidak memberikan kebebasan dalam hal keuanga
"ARRGGHH! HENTIKAN!" Teriak sosok itu saat Leo mencengkram pergelangan tangannya semakin keras, satu orang lainnya hanya melihat kejadian itu dengan tatapan ngeri. "Hey! Ada apa ini?" "Ya ampun!" Dina dan Riki sangat kaget saat masuk ke dalam rumah Rosi dan melihat apa yang sedang terjadi. "Akan kupatahkan semua tulang-tulangmu," gumam Leo penuh amarah. "AARGHH!" "Leo! Hentikan!" teriak Khania merasa tidak tega. "Yah, aku tahu kau pasti berkata begitu," ujar Leo menghela napas, dengan cepat dia pun melepaskan tangan pria itu. "Sebenarnya siapa kalian berdua?" Khania pun menghampiri Leo dan menjelaskan apa yang terjadi. "Mereka adalah paman Rosi, kedatangannya kemari untuk mengambil alih rumah ini, padahal Rosi membayarnya dengan mencicil dan sudah berjalan selama lima tahun." "Pantas saja, jika dilihat dari sikap mereka yang berani, sepertinya mereka memiliki hak yang lebih kuat," batin Leo. "Aku tidak boleh gegabah." "Kalian orang luar jangan ikut campur, ini adalah urusa
Terpaan angin lembut berhembus di padang rumput dan luas itu. Sinar mentari mulai naik menunjukkan eksistensinya, juga sebagai tanda makhluk hidup di bawahnya harus memulai aktivitas mereka. Suara decitan gir sepeda beberapa sosok itu menambah suasana pagi di sana menjadi lebih ramai, ada pula di antaranya selalu berhenti setelah melaju beberapa meter. "Rosi, sepertinya rantai sepedamu sudah gabisa dipakai," ujar Riki saat mencoba memperbaiki. Mendengar itu Khania pun segera menghampiri. "Rantainya putus?" Riki mengangguk. "Kau pakai punyaku saja, biar aku yang dorong sepedamu," ujar Riki pada Rosi. "Gausah ki, rumahku udah deket ko," ujar Rosi. "Rosi benar, sebaiknya kita dorong sepeda bersama-sama agar tidak ada yang tertinggal." Khania pun berjalan menghampiri Leo. "Kau tak keberatan kan?" "Tentu," jawab Leo sambil turun dan mendorong sepeda milik Khania. Beberapa menit mereka berjalan beriringan, melewati padang rumput itu hingga tiba di area sungai. Manik Khania menatap
"Khania! Sebelah sini!" Khania menolehkan wajah dan mendapati Dina dan tiga orang gadis sebaya dengannya sedang duduk di sebuah pondok kecil. Dia pun segera mengayuh sepedanya lalu menghampiri mereka. "Maaf aku terlambat," ujar sambil terengah. Ke empat sosok itu tertawa lepas saat melihat Khania yang kelelahan karena mengendarai sepeda. "Kau jarang olahraga ya?" tanya salah satu dari mereka. Khania hanya tersenyum malu, mereka sangat tahu dirinya sejak dulu, sebenarnya dia di kenal sebagai anak yang lincah dan tidak kenal lelah, tak heran jika kini mereka merasa asing saat tahu dirinya banyak berubah. "Ah benar juga, di mana suamimu? Bukankah kau mau ajak dia jalan-jalan juga?" tanya Dina. Khania menyimpan sepedanya lalu duduk di antara teman-temannya. "Sepertinya Leo tidak akan ikut, aku takut dia kelelahan karena baru selesai melakukan pekerjaan." Meski sudah mencoba untuk tidak egois, tapi tidak dipungkiri Khania sangat ingin kehadiran sosok Leo saat ini. Sejak kepergiann